“Ini Akang bawakan gorengan,” Kang Oded mengulurkan bungkusan hitam di tangannya.
Oh, ternyata isi bungkusan itu gorengan. Tapi, tapi... Aku tak begitu suka gorengan yang asin. Gorengan memang camilan kesukaan Kang Oded, tapi bukan kesukaanku. Aku suka yang manis-manis seperti terang bulan. Satu bukti lagi betapa tak perhatiannya Kang Oded padaku. Masa menikah sepuluh tahun masih tak tahu makanan kesukaanku? Aku menepuk jidat.
“Ada apa, Dik?” Kang Oded bingung melihat aku menepuk jidat.
“Nggak, Kang. Aku kira ada nyamuk di dahiku,” kataku berbohong.
“Terima kasih gorengannya. Ayo ke ruang tamu, Kang.” Aku berjalan mendahului Kang Oded menuju ruangan khusus menerima tamu bagi pegawai. Aku tak ingin pembicaraanku didengar oleh para satpam di luar.
Kami duduk berhadapan. Senyum dan tatapan Kang Oded tak lepas dariku saat berbicara.
“Ada apa, Kang? Jangan lama-lama, aku sedang lembur. Nanti bisa ditegur supervisor,” aku memperingatkan Kang Oded dengan tatapan dingin.
Sebetulnya, hatiku resah kalau-kalau Mas Rudi tiba-tiba datang. Bisa berabe jika dua lelaki ini bertemu dan bertengkar di pabrik. Aku tak mau jadi bahan gunjingan teman-teman nantinya.
“Bagaimana, Dik. Dik Tisni mau kan berbaikan? Jangan cerai ya, Dik.” Kang Oded menatap penuh harap ke arahku.
“Maaf, Kang. Sepertinya aku nggak bisa lagi,” kataku sambil membuang pandang. Senyum Kang Oded langsung lenyap.
“Dik, apa hanya kesalahanku saja yang kamu besar-besarkan? Apa aku nggak pernah berbuat baik sama kamu?” Suara Kang Oded mulai terdengar frustrasi.
Aku berpikir dan mengingat. Ya, tentu saja ada banyak kebaikan Kang Oded padaku. Aku menyadari dan mengakuinya.
“Aku biayai kamu main ke Ancol saat ingin jalan-jalan bersama teman SD. Ingat?” Kang Oded menyegarkan ingatanku.
Aku mengangguk-angguk. Ya, memang aku pernah bertamasya ke Ancol atas biaya penuh Kang Oded. Dia sendiri tidak ikut kala itu, karena sedang ada proyek menjahit seragam sekolah.
“Aku juga memberimu hadiah ulang tahun kalung emas saat kamu berulang tahun yang ke-26. Ingat?” Kang Oded mengingatkan lagi.
Aku terus mengangguk-angguk. Aku ingat, akulah yang minta diberi hadiah ulang tahun. Jika aku tak minta hadiah, maka Kang Oded pasti lupa bahwa pada hari itu aku berulang tahun. Kang Oded memberi hadiah bukan atas inisiatif dirinya sendiri.
Ya, dia baik. Tapi, dia kurang peka. Anehnya, Kang Oded tak pernah sadar bahwa sikap kurang pekanya sering membuatku geram.
“Aku tak seburuk yang kamu pikirkan, Dik,” katanya semakin berani.
Eh, apa-apaan? Jadi dia mau memaksakan pendapat bahwa dirinya tak seburuk yang aku pikir? Enak saja Kang Oded bicara.
“Iya, Akang memang sebetulnya baik...” Aku sengaja membuatnya melambung. Kang Oded tersenyum puas, rasa percaya dirinya kembali membesar seperti balon.
“Sayangnya aku sudah nggak cinta kamu lagi, Kang.” Kemudian aku mengempaskannya keras-keras. Senyum di wajah Kang Oded kembali jatuh. Rasakan!
“Aku percaya Akang akan menemukan orang yang lebih baik dariku,” lanjutku halus, menolak ajakannya untuk kembali.
Siapapun tahu, kalimat klise itu memiliki arti yang berkebalikan. Maksudku yang sebenarnya adalah aku akan menemukan orang yang lebih baik dari dirinya.
“Kamu nggak adil sama aku, Dik! Kamu nggak memberi kesempatan buatku untuk berubah,” Kang Oded mulai marah. Emosiku jadi ikut tersulut mendengar ucapannya.
“Jadi aku harus bagaimana agar adil?” Tantangku gemas.
“Beri aku kesempatan kedua! Beri waktu untuk membuktikan bahwa aku bisa jadi suami yang kamu inginkan!” Tangan Kang Oded menggebrak meja.
Gawat! Apa bunyi gebrakan itu terdengar sampai ke luar? Suara Kang Oded juga bertambah tinggi. Aku jadi takut pertengkaran kami terdengar oleh teman-temanku. Aku harus lebih berhati-hati bicara padanya.
Otakku berpikir keras, mencari cara agar Kang Oded mau pulang secepatnya. Kalau terjadi keributan, mau ditaruh di mana mukaku di hadapan teman-teman. Selain itu, penilaian bos terhadapku bisa berubah miring. Aku tak mau dianggap membawa masalah pribadi ke tempat kerja. Aku harus...
“Baik. Aku mau memberi Akang kesempatan. Besok aku pulang, kita bicarakan di rumah. Jangan di sini,” pungkasku tegas.
“Sekarang saja kita pulang bersama,” Kang Oded mulai memaksa.
“Aku harus lembur hari ini. Akang mau aku dapat masalah?” Aku tatap tajam matanya, untuk melihat reaksinya.
Kang Oded mengangguk-angguk. Pasti dia tak mau aku mendapat masalah gara-gara dia. Kalau sampai berbuat begitu, aku akan langsung menolak bertemu lagi.
“Baik, Dik. Besok Akang jemput kamu sepulang kerja,” suara Kang Oded kembali merayu.
Aku mengangguk, berharap dia segera pergi dari hadapanku. Hatiku sudah ketar-ketir memikirkan Mas Rudi yang mungkin datang kapan saja.
“Akang pulang dulu,” pamitnya sebelum berdiri.
Aku keluar bersama Kang Oded dari ruang tamu pabrik. Aku amati punggung kurus Kang Oded sampai sosoknya menaiki sepeda motor. Bunyi knalpot sepeda motor butut Kang Oded semakin menjauh. Aku menarik napas panjang karena lega.
“Dik Tisni!” Aku menoleh ke arah sumber suara. Mas Rudi datang mendekat dengan senyum menghias wajah. Aku melongo kaget. Ternyata Mas Rudi sudah datang.
“Baru datang, Mas?” Tanyaku heran.
“Sudah setengah jam yang lalu. Kata Pak Satpam kamu sedang ada tamu, jadi aku menunggu di pos.”
Mas Rudi menoleh ke arah pos satpam. Seorang satpam mengamati percakapan kami dari kejauhan. Mas Rudi mengangguk dan tersenyum ke arahnya, sebagai tanda ucapan terima kasih. Pak Satpam tersenyum kembali lalu masuk ke dalam pos jaganya.
“Ini, Mas bawakan martabak manis kesukaanmu,” Mas Rudi menyerahkan kotak makanan yang terbungkus plastik putih.
Aku tersenyum senang, tanganku bergerak mengambil bungkusan yang terulur.
“Ayo ke ruang tamu, Mas,” ajakku pada Mas Rudi. Beriringan kami menuju ruang tamu.
“Mas Rudi tahu siapa tamuku?” Pancingku karena ingin tahu.
“Tahu,” jawabnya singkat. Aku mengangguk, kami tahu sama tahu. Tak perlu membahasnya lebih jauh.
“Kang Oded sudah tahu tentang kita,” kataku sambil mencomot sepotong martabak manis.
“Dari mana Kang Oded tahu?” Mas Rudi tampak penasaran.
“Ponselku dibuka oleh Kang Oded. Aku sih senang, nggak bisa selamanya kita kucing-kucingan.” Aku menggigit potongan martabak manis dengan nikmat.
“Tadi apa kata Kang Oded?” Mas Rudi menatapku serius.
“Dia mengajakku berbaikan. Besok sore aku dijemput pulang untuk membicarakan itu di rumah,” aku berkata terus terang dan apa adanya.
Wajah Mas Rudi tampak aneh, entah apa yang dipikirkannya. Aku harus tahu apa itu.
“Kenapa, Mas?” Aku menghentikan kunyahan di mulut.
“Aku sebetulnya nggak enak sama Kang Oded, aku sudah mengkhianati kepercayaannya,” Mas Rudi menunduk terpekur. Aku diam sambil mengunyah martabak manis pelan-pelan. Mulut kami sama-sama terkunci.
Ingatanku mundur ke beberapa bulan yang lalu, pada momen awal perkenalanku dengan Mas Rudi. Saat itu, aku belum bekerja di pabrik konveksi. Aku masih menganggur dan merasa bosan luar biasa. ***
“Kang, aku nggak ada kegiatan. Aku mau cari kerja,” pintaku sambil cemberut pada Kang Oded yang asyik menjahit.Biasanya, Kang Oded akan mengabulkan apapun keinginanku bila aku sudah merajuk. Kang Oded menghentikan tekanan kakinya pada pedal dinamo mesin jahit, lalu mengerutkan dahi.“Kamu mau kerja? Kerja apa modal ijazah SMP? Apa ada perusahaan yang mau terima?”Aku terdiam mendengar alasan Kang Oded, benar juga.“Sebelum kerja, kamu harus meningkatkan kemampuan. Kamu bisa komputer?” Kang Oded melirikku. Aku menggeleng lemah, pupus rasanya harapanku.“Aku punya teman yang bisa mengajari komputer. Kamu
Gawat! Kang Oded mau bawa-bawa keluarga dalam masalah kami. Sejenak aku panik, teringat pada Bapak dan Ibu di rumah yang akan terkaget-kaget mendengar kabar ini. Pikiran burukku muncul, Kang Oded tidak sekadar akan menjadikan besar persoalan ini di antara keluargaku, tapi juga di keluarganya. Terbayang olehku sorot mata marah Ibu akibat tingkahku, juga cibiran dari keluarga besar Kang Oded. Siapkah aku menanggung malu dan disalahkan oleh dua keluarga? Hatiku kebat-kebit. Eh, tapi tunggu dulu. Tadi Kang Oded bilang akan melaporkan pada ayahku saja. Ia tak mengancam akan mengabari keluarganya juga. Pikiranku mulai berpikir jernih. Kang Oded hanya ingin mengancamku agar kembali padanya dengan bantuan dari keluargaku. Ia tak bermaksud mengabari keluarganya tentang masalah kami, setidaknya belum. Jangan-jangan ia hanya menggertak? Baik kalau begitu. Aku juga bisa balas menggertak. &
Bunyi derit pintu membangunkan aku dari alam mimpi. Sebelah mata aku mengintip, mencoba mencari bayang dari pintu depan yang baru saja menutup. Samar-samar, aku lihat baju biru milik Tisni. Rupanya ia pergi diam-diam selagi aku tidur.Aku diam terpekur di atas pembaringan. Sisa kantuk tadi malam sudah lenyap, seiring dengan bunyi perut yang menjerit minta diisi. Akan tetapi, aku malas keluar mencari sarapan. Aku pilih melamun memikirkan pernikahan bersama Tisni yang berada di ujung tanduk.Aku memang salah langkah sejak awal. Tidak seharusnya aku biarkan Tisni lama berduaan dengan Rudi. Niat awalku hanya ingin agar istri cantikku itu bertambah pintar, aku tidak menyangka akan begini akhirnya.Aku mengenal Rudi ketika mendapat proyek menjahit seragam pegawai salah satu kantor pemerintah. Di kantor itu, Rudi merupakan pegawai administrasi keuangan yang bertugas untuk membayar upahku. Oleh karena
“Assalamu’alaikum...” Aku melempar salam di depan rumah Pak Madya.Kebetulan istri Pak Madya yang keluar, wanita paruh baya berwajah teduh dan berkerudung panjang.“Wa’alaikumussalam. Oh, Kang Oded. Cari Bapak? Masuk dulu, Kang,” kata istri Pak Madya ramah. Pintu rumah dibukanya lebar-lebar.“Duduk dulu, ya. Bapak sedang di kamar mandi,” istri Pak Madya mempersilakan aku untuk duduk di kursi tamu.Istri Pak Madya menghilang ke dalam lagi. Tak berapa lama, dia muncul dengan sebuah nampan berisi segelas kopi dan sepiring kecil pisang goreng.“Silakan dinikmati dulu. Mungkin Bapak agak lama, Kang.” Istri Pak Madya masuk ke dalam lagi.Aku duduk menunggu sambil menikmati hidangan. Aku melamun lagi. Sejak Tisni ketahuan berselingkuh, aku jadi sering melamunkan masa lalu.
“Santet? Kok Kang Oded bisa menyangka begitu?” Pak Madya mengerutkan dahi, sebelah tangannya menggaruk telinga kiri. Wajah Pak Madya terlihat kebingungan.“Karena sikapnya aneh, Pak. Istri yang dulu sangat cinta pada saya sekarang berbalik membenci. Bukankah santet pengasihan begitu, Pak? Membuat istri membenci suami atau sebaliknya, hingga akhirnya suami-istri berpisah,” kataku panjang lebar.Pak Madya mengangguk-angguk. Tapi ekspresi wajahnya tak bisa aku tebak, setuju atau tidak setuju dengan kecurigaanku barusan. Pak Madya menghela napas.“Kita jangan berprasangka buruk dulu, Kang. Mungkin ada masalah lain yang membuat istri menjadi berubah sikap,” Pak Madya memberi nasihat.Aku terdiam. Ya, masalahnya ada pada Rudi. Pasti Rudi yang membuat istriku berubah. Aku semakin yakin, Rudi yang sudah menyantet istriku. Kalau tidak, mana mungkin istri yang pendiam sepert
“Apa Teh Lisa tahu?” Tanyaku penasaran. “Ya. Tisni jarang ada di rumah kan, Kang?” Teh Lisa mengerjapkan mata saat berbalik tanya. Melihat gelagatnya yang mencurigakan, aku jadi punya insting bahwa Teh Lisa tidak jujur. “Tolong, Teh. Beri tahu saya apa yang Teteh tahu,” ujarku memelas, memohon kejujurannya. Kupandangi sepasang mata Teh Lisa dengan sorot permohonan yang sungguh-sungguh, berharap Teh Lisa merasa iba dan mau berpihak kepadaku. Teh Lisa menundukkan kepala, lalu melirikku takut-takut. “Kang Oded jangan marah, ya?” Pintanya dengan wajah seperti tak enak. “Iya, Teh. Saya nggak akan marah,” ujarku meyakinkannya. Senyum aku bentangkan selebar mungkin, berharap sikapku akan membuatnya menjadi berani berkata yang sebenarnya. Teh Lisa menghela napas, lalu ikut duduk di kursi kosong
“Ceritakan semua yang Teh Lisa tahu. Jangan ada yang ditutupi lagi,” pintaku dengan tatapan serius.Jujur saja, jantungku berdebar keras saat mengatakan permintaan itu. Hatiku dipenuhi prasangka sekaligus ketakutan akan hal yang mungkin aku dengar. Aku takut kecurigaanku terbukti bahwa Tisni telah... Ah, tak sanggup aku memikirkannya.Teh Lisa menoleh ke arah Mang Beben yang masih menjemur pakaian penyewa kos. Mang Beben balas memandang Teh Lisa, terlihat kepalanya mengangguk kecil sebagai tanda dukungan untuk istrinya.Teh Lisa memutar kepalanya kembali kepadaku. Ia mencondongnkan tubuhnya sedikit ke arahku sambil berbisik,“Tisni sudah sering pergi berdua kemana-mana dengan Mas Rudi, Kang...” ujarnya pelan, tapi terdengar jelas di telingaku.Aku terdiam. Sering pergi berdua? Kapan itu terjadi? Ke mana saja? Menga
“Aku mau dijemput pulang. Sekarang!” Kata Tisni tegas.Mataku melotot.Tiba-tiba sudut mataku melihat bayangan berjaket merah-hitam muncul dan mematikan mesin motor di depan rumah. Sosok itu sangat familiar, lantaran kelewat sering berkunjung. Rudi melepaskan helm dari kepala, menurunkan ritsleting jaket, kemudian menyampirkan jaket dan helm di atas sepeda motor.Sebelum beranjak, ia menyugar rambutnya beberapa kali sambil bercermin di kaca spion. Melihat gelagatnya, Rudi baru pulang dari kantor dan langsung ke rumahku. Aku mendapat ide.“Oke. Nanti Rudi yang jemput kamu pulang,” kataku senang, merasa sudah menemukan jalan keluar terbaik dari masalah.“Hah?” Hanya itu reaksi Tisni. Setelah itu ia terdiam.“Kamu tunggu saja di sana, sebentar lagi Rudi yang jemput,” tegasku lagi sebelum
Tisni membalik badan dan melangkah pergi, setelah sebelumnya berpamitan pada sahabatnya Dewi dan Resti di pintu gerbang mess. Dewi dan Resti sama-sama menatap tas ransel yang tergantung di punggung Tisni, menjauh bersama pemiliknya. Sosok Tisni lenyap di balik angkot yang membawanya pergi secepat kedatangannya yang mengebut.“Kasihan Tisni ya, Res,” desah Dewi pelan. Napasnya mengembus pelan namun berat.“Maksudmu?” sahut Resti. Bola hitam mata Resti bergulir ke sudut, melirik Dewi di sampingnya.“Ya, Tisni hanya dikadalin Mas Rudi,” jelas Dewi. Sekarang Dewi menggeleng-gelengkan kepala dengan raut wajah prihatin.“Hm, sebetulnya aku sudah menduga sejak lama lho, Dew,” balas Resti. Kepalanya ditelengkan miring, hingga wajahnya lurus ke arah wajah Dewi.“Oya? Kok bisa, Res? Kamu punya firasat begitu?” kejar Dewi. Dewi bal
Pasrah. Itulah sikap yang kupilih. Biar saja semua orang membicarakanku sekehendak hati. Lebih baik aku fokus pada pekerjaan. Meskipun dalam hati kecil, terbersit rasa penasaran. Siapa dalang penyebar fitnah ini?Suatu hari, aku ungkapkan ganjalan hati tentang hal ini pada Boy dan Beni. Mereka berdua sudah aku percaya, karena terbukti berulang kali tak pernah mencampuri urusan orang lain jika tak diminta.“Kalau menurutku, penyebar fitnah itu ya Santi sendiri,” ujar Beni sambil merokok.Usai satu kalimat, ia mengisap benda haram itu dengan nikmat. Asap keluar dari dua lubang hidungnya membentuk dua jalur asap.“Menurutku juga begitu. Santi sakit hati, makanya mengarang kisah untuk menyudutkanmu, Kang,” timpal Beni.Beni seorang perokok berat, levelnya melebihi Boy. Sekarang saja ia mengeluarkan bungkus rokok kedua, lalu sebatang rokok berpindah
Tiada hari tanpa penyesalan. Menyesal kurang memerhatikan Tisni, menyesal kurang menunjukkan rasa cintaku padanya, menyesal menganggap keluhannya sebagai angin lalu, menyesal dan menyesali banyak hal. Ribuan penyesalan silih berganti menghinggapi benak, hingga aku tenggelam dalam lautan keputusasaan.“Sudah, Ded. Jangan terlalu dipikirkan. Semua yang telah berlalu, anggaplah masa lalu kelabu. Pikirkan langkah baru,” nasihat Paman Andi kepadaku, sok bergaya menjadi pujangga.Tak aku jawab perhatian kakak ayahku itu. Hanya sorot mata pilu yang kuberikan sebagai tanggapan. Meskipun mulutku terkunci, sejatinya hatiku ingin menampik.“Mudah bagi Paman bicara itu, karena bukan Paman yang patah hati,” bisik hati kecilku.Lepasnya Tisni sebagai istri merupakan kehilangan besar yang berdampak hebat bagi jiwa dan ragaku. Baru dua minggu surat cerai dari Pengadilan Agama kuterima, berat
Cantik. Itu yang kulihat ketika pertama kali mengenal Tisni. Wajahnya lugu khas gadis kampung, namun ia tak terlihat kampungan. Kulitnya putih bersih dan halus, matanya tidak liar jelalatan, bahkan ia lebih sering menunduk jika berbicara dengan lelaki atau orang yang lebih tua.Kang Oded sendiri teman yang cukup menyenangkan. Sejak kantorku menyewa jasanya untuk membuat seragam kantor, kami mulai dekat. Awalnya aku ke rumahnya untuk urusan proyek baju seragam, lalu kunjunganku berlanjut untuk sekedar mengobrol santai.Keberadaan Tisni yang cantik menjadi daya tarik tersendiri bagiku untuk terus berkunjung ke rumah Kang Oded. Dengan bertandang ke rumahnya, aku berharap dapat menikmati wajah cantik Tisni.Saat Kang Oded meminta bantuanku untuk mengajari Tisni komputer, aku langsung menyanggupi. Ini kesempatan untuk berdekat-dekatan dengan Tisni. Siapa yang tak suka berdekatan dengan perempuan cantik yang harumnya melambung
Keesokan harinya, sebuah paket besar datang ke rumah. Saat itu, kami sekeluarga sedang makan siang bersama.“Paket!” seru Abang pengantar paket dari ekspedisi.Aku menghambur ke pintu depan, lantaran tahu Ibu sudah cukup tua untuk berlari menyambut paket.“Ya?” Sapaku pada Abang paket.“Paket buat Ibu Tisni?” tanyanya, sementara mata Abang paket terpaku pada label di atas paket besar yang ditopang oleh kedua tangannya.“Saya sendiri,” jawabku antusias.“Silakan,” ujar Abang paket seraya menyerahkan paket besar seukuran kardus minuman mineral ke arahku.Aku menyambut paket terbungkus kertas tebal cokelat itu, sedangkan Abang paket mencatat sesuatu dalam notesnya.“Terima kasih,” ujarku otomatis.Aku berjalan masuk kembali sambi
Haruskah aku menerima Kang Oded kembali, setelah semua kekecewaan yang ia berikan? Rasanya tak mungkin aku menjilat ludah sendiri. Egoku mengajak untuk menolak tawaran Kang Oded.Tetapi ... Bukankah aku juga gegabah? Aku balas semua kelakuannya dengan pengkhianatan, sebelum kami resmi berpisah. Kalau dipikir-pikir lagi, aku pun sama bersalahnya dengan Kang Oded.Aku bingung.“Aku pikirkan dulu, Kang,” kataku akhirnya.Kang Oded mengangguk pelan. Tak kulihat kemarahan ataupun kekecewaan dari raut wajahnya. Mungkin reaksiku sudah diperkirakan olehnya.“Akang tunggu, Dik,” balasnya, tatapannya penuh ke arah mataku.“Oya, Akang mau berpantun dulu. Boleh?” tambahnya, tak terduga.“Boleh, Kang,” jawabku sambil mengangguk.“Ke Cikini membeli dukuhWayah gini masih
“Tisni? Tumben pulang di hari kerja begini,” sapa Ibu dengan nada suara terkejut.Tiba-tiba saja sosok Ibu muncul dari belakang dia. Tergopoh-gopoh Ibu mendekatiku dengan raut wajah yang sulit dilukiskan. Sorot mata Ibu heran menatapku, tapi bibir beliau tersenyum semringah.“Ayo lekas masuk, kok malah bengong di depan rumah,” seloroh Ibu.Senyum Ibu semakin lebar saat menggandeng tanganku dan menuntun untuk memasuki rumah. Aku tersadar dari rasa terpana yang menghipnotis, lalu dengan pasrah mengikuti langkah Ibu yang mendahului gerakan kakiku.“Kebetulan sekali kamu datang, Tis. Kamu jadi bisa bertemu Oded,” celetuk Ibu.Gandengan tangan Ibu semakin erat, sementara tatapan Ibu beralih-alih antara aku dan Kang Oded di hadapan. Aku mematung, bingung harus bereaksi yang patut. Sementara itu, Kang Oded juga tampak gugup dan grogi berhadapan dengan
Saat sadar, aku sudah berada di atas kasur di mess. Bagaimana caranya aku sampai di sini? Apakah aku bermimpi?Aku terbatuk, ada sesuatu yang gatal di kerongkongan.“Kamu sudah sadar, Tis? Duh, Tisni. Aku cemas banget,” suara Dewi mengalun.Ternyata Dewi sudah ada di sebelahku, dengan Resti di belakangnya. Aku betul-betul merasa kebingungan saat ini.“Apa yang terjadi?” Tanyaku lemah.“Kamu pingsan. Mas Rudi memanggilkan taksi dari aplikasi untuk kita tumpangi,” jawab Dewi.Ah, sekarang ingatanku kembali. Kejadian di kantor Mas Rudi kembali berputar dalam memori. Kilasan peristiwa menyakitkan yang ingin aku lenyapkan selamanya. Peristiwa terburuk dalam hidupku hingga saat ini.Tiba-tiba tanganku sudah ada dalam genggaman Dewi. Hangat telapak tangannya di tanganku terasa sangat nyaman, memberi ketenangan
“Mas Rudi keterlaluan!” jeritku sambil menangis.Air mata berjatuhan, membasahi pipi dan baju yang aku kenakan. Tanpa sadar, tanganku meremas-remas kuat ujung baju hingga kusut.Dewi memelukku erat, bahkan matanya ikut berkaca-kaca dan basah. Ia memang sahabat sejati, dalam senang dan susah. Bahkan di saat aku berbuat buruk, tak sedikit pun ia mengutuk.Resti terdiam di tempat duduk, sedangkan kepalanya tertunduk. Jemari lentik memungut kartu undangan yang tergeletak di lantai, lalu meluruskan permukaan yang terlipat.“Sabar, Tis. Sabar...” ujar Dewi lirih sekali.Dalam suaranya, aku merasakan sikap prihatin dan simpati yang besar. Pelukannya tak mengendor, meskipun bahuku terguncang-guncang karena tangisan.“Aku harus minta penjelasan dari Mas Rudi!” Aku memekik, memuntahkan rasa sesak yang bergumpal dalam dada.&nb