Share

Kalah Satu Langkah

Penulis: Hawa Hajari
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-01 20:08:44

Gawat! Kang Oded mau bawa-bawa keluarga dalam masalah kami. Sejenak aku panik, teringat pada Bapak dan Ibu di rumah yang akan terkaget-kaget mendengar kabar ini.

Pikiran burukku muncul, Kang Oded tidak sekadar akan menjadikan besar persoalan ini di antara keluargaku, tapi juga di keluarganya. Terbayang olehku sorot mata marah Ibu akibat tingkahku, juga cibiran dari keluarga besar Kang Oded. Siapkah aku menanggung malu dan disalahkan oleh dua keluarga? Hatiku kebat-kebit.

Eh, tapi tunggu dulu. Tadi Kang Oded bilang akan melaporkan pada ayahku saja. Ia tak mengancam akan mengabari keluarganya juga. Pikiranku mulai berpikir jernih. Kang Oded hanya ingin mengancamku agar kembali padanya dengan bantuan dari keluargaku. Ia tak bermaksud mengabari keluarganya tentang masalah kami, setidaknya belum.

Jangan-jangan ia hanya menggertak? Baik kalau begitu. Aku juga bisa balas menggertak.

“Silakan saja, Kang. Aku tidak takut. Apa Kang Oded pikir Bapak mau membela Akang yang hanya menantu? Aku ini anak kandung Bapak lho, Kang.” Aku menekankan kata menantu dan anak kandung agar ia tahu posisinya.

Dari luar aku terlihat tegar dan tak gentar, padahal dalam hatiku tersimpan rasa takut juga. Aku takut Kang Oded melaksanakan ancamannya, sehingga aku harus mengakui semua perbuatanku pada Bapak dan Ibu di kampung.

Aku lihat mata Kang Oded berputar dari kiri ke kanan, bibirnya bergerak-gerak seperti akan mengatakan sesuatu. Namun, akhirnya bibir itu terkatup rapat. Tangan Kang Oded mengepal dua-duanya. Aku kembali takut, buat apa Kang Oded mengepalkan tangan? Apakah ia mau...

Brakkk! Aku menjerit kecil. Tangan Kang Oded menghantam meja di dekatnya. Gerakan tiba-tiba itu membuatku terlonjak dari tempat duduk.

“Aku percaya Bapak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Baik, jadi kamu ingin masalah ini sampai kepada Bapak?” Mata Kang Oded menatapku tajam.

Aku ketar-ketir juga melihat sorot matanya yang penuh tekad. Tapi aku tak berniat mengalah ataupun kalah. Aku balas tatapan matanya untuk menunjukkan bahwa aku tak takut diancam.

“Masih ada waktu untuk kamu berpikir, Dik. Ingat, kamu akan malu kalau sampai aku beritahukan hal ini kepada Bapak. Aku beri waktu seminggu,” Kang Oded memberi ultimatum.

Aku malas menjawabnya. Aku bangkit mengambil sikat gigi. Aku mau ke kamar mandi lalu tidur. Besok, aku akan kembali menginap di pabrik.

Aku berbaring di tempat tidur sambil berpikir. Aku teringat lagi ucapan Kang Oded yang terakhir, bahwa aku akan malu jika masalah kami sampai kepada Bapak. Aku rasakan ucapan Kang Oded ada benarnya. Bukan hanya aku yang akan malu pada Bapak, tapi Bapak juga pasti malu memiliki anak yang memiliki masalah rumah tangga.

Bagaimanapun, aku yang mulai berkhianat. Dari sisi mana pun aku yang akan disalahkan. Tak akan ada yang mau peduli, apa saja yang sudah aku alami sehingga akhirnya aku berbuat itu.

Tiba-tiba Kang Oded masuk ke kamar. Bau asap rokok yang melekat di bajunya menguar hingga ke sudut ruang kamar tidur yang memang sempit. Aku tahu dari tadi Kang Oded merokok di luar rumah, mungkin ia masuk karena udara yang semakin dingin. Aku saja yang di dalam kamar kedinginan, apalagi di luar.

Aku tarik selimut satu-satunya yang kami miliki ke seluruh badan. Aku berbalik  miring menghadap dinding, tak mau melihat sosoknya di dalam kamar. Aku rasakan Kang Oded berbaring di sebelahku, lalu mengambil sebagian selimut yang aku pakai.

Sekarang baru aku ingat lagi, dulu-dulu ia sering meninggalkanku tidur sendiri. Kang Oded lebih memilih begadang mengobrol dengan Mang Beben tetangga di depan rumah atau menonton sepak bola jika sedang ada tayangan di TV. Sangat jarang kami mengobrol bersama.

Tatkala aku mulai bekerja di pabrik konveksi, Kang Oded tak mengubah kebiasaannya. Jarang-jarang aku ada di rumah, sekalinya pulang malah tak semakin mesra. Itu juga salah satu penyebab yang membuatku lebih senang menginap di pabrik. Di sana aku punya banyak teman untuk mengobrol.

Andai saja bisa, ingin rasanya aku pergi tidur ke ruang depan. Hatiku sudah tak sudi tidur bersama dengannya, apa daya di luar kamar jauh lebih dingin daripada di dalam kamar. Aku terpaksa berdamai dengan keadaan.

***

Pagi-pagi sekali, aku sudah bangun dan menyiapkan tas untuk pergi bekerja dan menginap. Sebelum beranjak ke kamar mandi, aku lirik Kang Oded yang masih mengorok di atas kasur. Mulutnya setengah terbuka, cairan bening meleleh dari celah bibirnya ke atas bantal.

Aku keluar pergi mandi. Kamar mandi rumah RSSS sewaan ini memang berada di luar rumah, tetapi bukan kamar mandi umum. Kami memiliki kunci kamar mandi sendiri, sehingga hanya kami yang dapat menggunakan kamar mandi di luar itu.

Aku berganti baju dan berdandan dengan hati-hati, agar tak membangunkan Kang Oded yang masih pulas. Aku ingin pergi tanpa ketahuan olehnya, takut diajak berselisih lagi.

Langkah pertamaku keluar rumah, aman. Aku menarik napas lega. Aku rapatkan pintu dengan sangat perlahan, sebelum berjalan cepat menuju jalan raya. Sebuah angkot berhenti di depanku, tepat saat aku tiba di tepi jalan. Kebetulan.

***

Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel saat aku sedang menjahit. Saat itu matahari baru mulai memancarkan sinar terang yang menyilaukan.

Dik, pergi kok nggak bilang-bilang? Pesan itu dari Kang Oded.

Maaf, Kang. Akang tadi sedang tidur, jadi tidak aku bangunkan. Balasku mencoba manis.

Padahal Akang kan mau mengantarmu pergi kerja, balasnya lagi.

Aku tersenyum sinis. Kentara sekali Kang Oded ingin membujukku dengan sikap sok perhatian. Aku sudah tak memerlukan perhatian Kang Oded yang terlambat itu. Dulu, Kang Oded sering menyuruhku pergi kerja dengan naik angkot. Sangat jarang ia bersedia mengantarku ke pabrik. Jadi, apa salah jika aku merasa perhatiannya itu palsu?

Tidak apa-apa, Kang, jawabku singkat. Malas berpanjang kata. Ponsel aku letakkan kembali ke dalam laci meja. Terdengar lagi bunyi pesan masuk, tapi tak aku pedulikan.

Aku teringat lagi pada ancaman Kang Oded. Sebelum ia melaksanakan ancaman itu, aku harus lebih dulu mengabari Bapak dan Ibu. Biar Bapak dan Ibu mengetahui masalah ini dari aku langsung.

Aku menghitung hari,  Kang Oded memberiku waktu seminggu. Artinya, ia baru akan mengadu pada Bapak setelah seminggu. Sekarang baru hari Kamis, sedangkan aku baru bisa bebas kerja mulai Sabtu siang yang akan datang. Masih ada cukup waktu sebelum Kang Oded melaksanakan ancamannya.

Rasanya aku ingin terbang sekarang juga ke kampung halaman. Tapi apa boleh buat, aku harus menunggu beberapa hari lagi untuk bisa pulang. Aku harus bersabar.

***

Sabtu siang yang aku tunggu tiba. Selepas jam kerja usai, aku sandang tas ransel yang berat penuh beban di punggung. Kakiku melangkah mantap menuju terminal bus antar kota.

Aku sangat lega setelah turun dari bus dan memasuki tapal batas kampung kelahiran. Tidak banyak yang berubah dari kampung kecil ini, masih sepi dan lengang. Mungkin malah bertambah sepi, karena para anak muda semakin banyak yang merantau pergi ke kota.

Aku berjalan pelan-pelan, akibat beban berat di punggungku. Isi tas ransel membuat jalanku terseok-seok, hampir tak sanggup menanggung beban isi tas yang berat. Akan tetapi, beratnya tas tak seberat hatiku yang dipenuhi beban masalah rumah tangga.

Senyumku merekah cerah tatkala melihat pagar rumah kayu yang aku rindu. Tiba-tiba saja aku mendapat tenaga baru untuk mempercepat langkah. Aku ingin segera melepas rindu kepada Bapak dan Ibu.

Sebuah sepeda motor butut yang amat aku kenal parkir di bagian dalam halaman rumah. Senyum menguap dari wajahku. Aku tertegun, lalu mengerjapkan mata beberapa kali. Aku sedang tak berhalusinasi, kan? Apakah betul itu sepeda motor...

“Tisni!” Sebuah suara yang aku hapal memanggil namaku.***

Hawa Hajari

Kira-kira, bagaimana masalah ini dari sisi Kang Oded, ya? Yuk, baca ceritanya besok. Bersambung ke: Niat Baik Berbuah Luka. Tunggu terbitnya besok, ya.

| 1

Bab terkait

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Niat Baik Berbuah Luka

    Bunyi derit pintu membangunkan aku dari alam mimpi. Sebelah mata aku mengintip, mencoba mencari bayang dari pintu depan yang baru saja menutup. Samar-samar, aku lihat baju biru milik Tisni. Rupanya ia pergi diam-diam selagi aku tidur.Aku diam terpekur di atas pembaringan. Sisa kantuk tadi malam sudah lenyap, seiring dengan bunyi perut yang menjerit minta diisi. Akan tetapi, aku malas keluar mencari sarapan. Aku pilih melamun memikirkan pernikahan bersama Tisni yang berada di ujung tanduk.Aku memang salah langkah sejak awal. Tidak seharusnya aku biarkan Tisni lama berduaan dengan Rudi. Niat awalku hanya ingin agar istri cantikku itu bertambah pintar, aku tidak menyangka akan begini akhirnya.Aku mengenal Rudi ketika mendapat proyek menjahit seragam pegawai salah satu kantor pemerintah. Di kantor itu, Rudi merupakan pegawai administrasi keuangan yang bertugas untuk membayar upahku. Oleh karena

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-02
  • Aku Diabaikan Saat Setia   Santet Pengasihan

    “Assalamu’alaikum...” Aku melempar salam di depan rumah Pak Madya.Kebetulan istri Pak Madya yang keluar, wanita paruh baya berwajah teduh dan berkerudung panjang.“Wa’alaikumussalam. Oh, Kang Oded. Cari Bapak? Masuk dulu, Kang,” kata istri Pak Madya ramah. Pintu rumah dibukanya lebar-lebar.“Duduk dulu, ya. Bapak sedang di kamar mandi,” istri Pak Madya mempersilakan aku untuk duduk di kursi tamu.Istri Pak Madya menghilang ke dalam lagi. Tak berapa lama, dia muncul dengan sebuah nampan berisi segelas kopi dan sepiring kecil pisang goreng.“Silakan dinikmati dulu. Mungkin Bapak agak lama, Kang.” Istri Pak Madya masuk ke dalam lagi.Aku duduk menunggu sambil menikmati hidangan. Aku melamun lagi. Sejak Tisni ketahuan berselingkuh, aku jadi sering melamunkan masa lalu.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03
  • Aku Diabaikan Saat Setia   Mencari Penengah

    “Santet? Kok Kang Oded bisa menyangka begitu?” Pak Madya mengerutkan dahi, sebelah tangannya menggaruk telinga kiri. Wajah Pak Madya terlihat kebingungan.“Karena sikapnya aneh, Pak. Istri yang dulu sangat cinta pada saya sekarang berbalik membenci. Bukankah santet pengasihan begitu, Pak? Membuat istri membenci suami atau sebaliknya, hingga akhirnya suami-istri berpisah,” kataku panjang lebar.Pak Madya mengangguk-angguk. Tapi ekspresi wajahnya tak bisa aku tebak, setuju atau tidak setuju dengan kecurigaanku barusan. Pak Madya menghela napas.“Kita jangan berprasangka buruk dulu, Kang. Mungkin ada masalah lain yang membuat istri menjadi berubah sikap,” Pak Madya memberi nasihat.Aku terdiam. Ya, masalahnya ada pada Rudi. Pasti Rudi yang membuat istriku berubah. Aku semakin yakin, Rudi yang sudah menyantet istriku. Kalau tidak, mana mungkin istri yang pendiam sepert

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-04
  • Aku Diabaikan Saat Setia   Tetangga Saja Tahu

    “Apa Teh Lisa tahu?” Tanyaku penasaran. “Ya. Tisni jarang ada di rumah kan, Kang?” Teh Lisa mengerjapkan mata saat berbalik tanya. Melihat gelagatnya yang mencurigakan, aku jadi punya insting bahwa Teh Lisa tidak jujur. “Tolong, Teh. Beri tahu saya apa yang Teteh tahu,” ujarku memelas, memohon kejujurannya. Kupandangi sepasang mata Teh Lisa dengan sorot permohonan yang sungguh-sungguh, berharap Teh Lisa merasa iba dan mau berpihak kepadaku. Teh Lisa menundukkan kepala, lalu melirikku takut-takut. “Kang Oded jangan marah, ya?” Pintanya dengan wajah seperti tak enak. “Iya, Teh. Saya nggak akan marah,” ujarku meyakinkannya. Senyum aku bentangkan selebar mungkin, berharap sikapku akan membuatnya menjadi berani berkata yang sebenarnya. Teh Lisa menghela napas, lalu ikut duduk di kursi kosong

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-05
  • Aku Diabaikan Saat Setia   Hatiku Hancur

    “Ceritakan semua yang Teh Lisa tahu. Jangan ada yang ditutupi lagi,” pintaku dengan tatapan serius.Jujur saja, jantungku berdebar keras saat mengatakan permintaan itu. Hatiku dipenuhi prasangka sekaligus ketakutan akan hal yang mungkin aku dengar. Aku takut kecurigaanku terbukti bahwa Tisni telah... Ah, tak sanggup aku memikirkannya.Teh Lisa menoleh ke arah Mang Beben yang masih menjemur pakaian penyewa kos. Mang Beben balas memandang Teh Lisa, terlihat kepalanya mengangguk kecil sebagai tanda dukungan untuk istrinya.Teh Lisa memutar kepalanya kembali kepadaku. Ia mencondongnkan tubuhnya sedikit ke arahku sambil berbisik,“Tisni sudah sering pergi berdua kemana-mana dengan Mas Rudi, Kang...” ujarnya pelan, tapi terdengar jelas di telingaku.Aku terdiam. Sering pergi berdua? Kapan itu terjadi? Ke mana saja? Menga

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-06
  • Aku Diabaikan Saat Setia   Suami Bujangan

    “Aku mau dijemput pulang. Sekarang!” Kata Tisni tegas.Mataku melotot.Tiba-tiba sudut mataku melihat bayangan berjaket merah-hitam muncul dan mematikan mesin motor di depan rumah. Sosok itu sangat familiar, lantaran kelewat sering berkunjung. Rudi melepaskan helm dari kepala, menurunkan ritsleting jaket, kemudian menyampirkan jaket dan helm di atas sepeda motor.Sebelum beranjak, ia menyugar rambutnya beberapa kali sambil bercermin di kaca spion. Melihat gelagatnya, Rudi baru pulang dari kantor dan langsung ke rumahku. Aku mendapat ide.“Oke. Nanti Rudi yang jemput kamu pulang,” kataku senang, merasa sudah menemukan jalan keluar terbaik dari masalah.“Hah?” Hanya itu reaksi Tisni. Setelah itu ia terdiam.“Kamu tunggu saja di sana, sebentar lagi Rudi yang jemput,” tegasku lagi sebelum

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-07
  • Aku Diabaikan Saat Setia   Reaksi Bapak

    Hari berganti.“Mengapa usaha tas nggak jalan lagi, Pak?” Akhirnya kesampaian juga niatku untuk bertanya, saat Bapak duduk santai di depan rumah setelah bangun tidur. Ya, bangun tidur. Selepas shalat subuh tadi, Bapak tidur lagi. Alasannya mengantuk akibat bangun sebelum subuh.“Bapak kena tipu!” Jawab mertuaku langsung, kemudian mengembuskan napas sedih.Aku terkesiap. Mengapa aku tidak tahu kabar berita ini? Tepatnya, Tisni tidak bercerita apa-apa.“Apa ada toko yang ingkar bayar, Pak?” Telisikku lebih jauh.“Ceritanya cukup panjang,” Bapak membetulkan letak duduknya, kakinya yang semula terangkat satu di atas kursi kini diturunkan.“Enam bulan sebelum bangkrut ada kenalan yang menyarankan untuk menambah pemasaran tas sampai ke luar kota. Dia lalu menge

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-08
  • Aku Diabaikan Saat Setia   Reaksi Ibu

    “Tisni dan Oded sedang ada masalah,” kata Bapak memulai, mata beliau memandang Ibu lama.Ibu yang dipandangi seserius itu memiringkan sedikit kepalanya, kemudian memerhatikan ekspresi Bapak dengan dahi berkerut.“Serius ya, Pak? Bapak sampai muram begini,” sahut Ibu sambil terus mengamati ekspresi Bapak.“Kata Oded Tisni sudah melakukan... perbuatan jahat, Bu,” Bapak tersendat. Melihat gayanya, Bapak tampak tidak tega mengatakan kata “selingkuh”.“Perbuatan jahat apa, Pak? Bicaranya yang jelas, dong.” Ibu terlihat penasaran tingkat tinggi. Andai dewa dewi itu nyata, pasti rasa penasaran Ibu sudah sampai ke tempat tinggal para dewa di kahyangan.“Iya, maksud Bapak...”Kriettt! Bunyi pagar rumah yang dibuka memotong ucapan Bapak.Sontak kami

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-09

Bab terbaru

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Ekstra Part 4: Resti dan Dewi

    Tisni membalik badan dan melangkah pergi, setelah sebelumnya berpamitan pada sahabatnya Dewi dan Resti di pintu gerbang mess. Dewi dan Resti sama-sama menatap tas ransel yang tergantung di punggung Tisni, menjauh bersama pemiliknya. Sosok Tisni lenyap di balik angkot yang membawanya pergi secepat kedatangannya yang mengebut.“Kasihan Tisni ya, Res,” desah Dewi pelan. Napasnya mengembus pelan namun berat.“Maksudmu?” sahut Resti. Bola hitam mata Resti bergulir ke sudut, melirik Dewi di sampingnya.“Ya, Tisni hanya dikadalin Mas Rudi,” jelas Dewi. Sekarang Dewi menggeleng-gelengkan kepala dengan raut wajah prihatin.“Hm, sebetulnya aku sudah menduga sejak lama lho, Dew,” balas Resti. Kepalanya ditelengkan miring, hingga wajahnya lurus ke arah wajah Dewi.“Oya? Kok bisa, Res? Kamu punya firasat begitu?” kejar Dewi. Dewi bal

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Ekstra Part 3: Kang Oded Mengejar Cinta

    Pasrah. Itulah sikap yang kupilih. Biar saja semua orang membicarakanku sekehendak hati. Lebih baik aku fokus pada pekerjaan. Meskipun dalam hati kecil, terbersit rasa penasaran. Siapa dalang penyebar fitnah ini?Suatu hari, aku ungkapkan ganjalan hati tentang hal ini pada Boy dan Beni. Mereka berdua sudah aku percaya, karena terbukti berulang kali tak pernah mencampuri urusan orang lain jika tak diminta.“Kalau menurutku, penyebar fitnah itu ya Santi sendiri,” ujar Beni sambil merokok.Usai satu kalimat, ia mengisap benda haram itu dengan nikmat. Asap keluar dari dua lubang hidungnya membentuk dua jalur asap.“Menurutku juga begitu. Santi sakit hati, makanya mengarang kisah untuk menyudutkanmu, Kang,” timpal Beni.Beni seorang perokok berat, levelnya melebihi Boy. Sekarang saja ia mengeluarkan bungkus rokok kedua, lalu sebatang rokok berpindah

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Ekstra Part 2: Kang Oded Mencari Pengganti

    Tiada hari tanpa penyesalan. Menyesal kurang memerhatikan Tisni, menyesal kurang menunjukkan rasa cintaku padanya, menyesal menganggap keluhannya sebagai angin lalu, menyesal dan menyesali banyak hal. Ribuan penyesalan silih berganti menghinggapi benak, hingga aku tenggelam dalam lautan keputusasaan.“Sudah, Ded. Jangan terlalu dipikirkan. Semua yang telah berlalu, anggaplah masa lalu kelabu. Pikirkan langkah baru,” nasihat Paman Andi kepadaku, sok bergaya menjadi pujangga.Tak aku jawab perhatian kakak ayahku itu. Hanya sorot mata pilu yang kuberikan sebagai tanggapan. Meskipun mulutku terkunci, sejatinya hatiku ingin menampik.“Mudah bagi Paman bicara itu, karena bukan Paman yang patah hati,” bisik hati kecilku.Lepasnya Tisni sebagai istri merupakan kehilangan besar yang berdampak hebat bagi jiwa dan ragaku. Baru dua minggu surat cerai dari Pengadilan Agama kuterima, berat

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Ekstra Part 1: Isi Hati Mas Rudi

    Cantik. Itu yang kulihat ketika pertama kali mengenal Tisni. Wajahnya lugu khas gadis kampung, namun ia tak terlihat kampungan. Kulitnya putih bersih dan halus, matanya tidak liar jelalatan, bahkan ia lebih sering menunduk jika berbicara dengan lelaki atau orang yang lebih tua.Kang Oded sendiri teman yang cukup menyenangkan. Sejak kantorku menyewa jasanya untuk membuat seragam kantor, kami mulai dekat. Awalnya aku ke rumahnya untuk urusan proyek baju seragam, lalu kunjunganku berlanjut untuk sekedar mengobrol santai.Keberadaan Tisni yang cantik menjadi daya tarik tersendiri bagiku untuk terus berkunjung ke rumah Kang Oded. Dengan bertandang ke rumahnya, aku berharap dapat menikmati wajah cantik Tisni.Saat Kang Oded meminta bantuanku untuk mengajari Tisni komputer, aku langsung menyanggupi. Ini kesempatan untuk berdekat-dekatan dengan Tisni. Siapa yang tak suka berdekatan dengan perempuan cantik yang harumnya melambung

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Syarat

    Keesokan harinya, sebuah paket besar datang ke rumah. Saat itu, kami sekeluarga sedang makan siang bersama.“Paket!” seru Abang pengantar paket dari ekspedisi.Aku menghambur ke pintu depan, lantaran tahu Ibu sudah cukup tua untuk berlari menyambut paket.“Ya?” Sapaku pada Abang paket.“Paket buat Ibu Tisni?” tanyanya, sementara mata Abang paket terpaku pada label di atas paket besar yang ditopang oleh kedua tangannya.“Saya sendiri,” jawabku antusias.“Silakan,” ujar Abang paket seraya menyerahkan paket besar seukuran kardus minuman mineral ke arahku.Aku menyambut paket terbungkus kertas tebal cokelat itu, sedangkan Abang paket mencatat sesuatu dalam notesnya.“Terima kasih,” ujarku otomatis.Aku berjalan masuk kembali sambi

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Nenek Minum Jamu

    Haruskah aku menerima Kang Oded kembali, setelah semua kekecewaan yang ia berikan? Rasanya tak mungkin aku menjilat ludah sendiri. Egoku mengajak untuk menolak tawaran Kang Oded.Tetapi ... Bukankah aku juga gegabah? Aku balas semua kelakuannya dengan pengkhianatan, sebelum kami resmi berpisah. Kalau dipikir-pikir lagi, aku pun sama bersalahnya dengan Kang Oded.Aku bingung.“Aku pikirkan dulu, Kang,” kataku akhirnya.Kang Oded mengangguk pelan. Tak kulihat kemarahan ataupun kekecewaan dari raut wajahnya. Mungkin reaksiku sudah diperkirakan olehnya.“Akang tunggu, Dik,” balasnya, tatapannya penuh ke arah mataku.“Oya, Akang mau berpantun dulu. Boleh?” tambahnya, tak terduga.“Boleh, Kang,” jawabku sambil mengangguk.“Ke Cikini membeli dukuhWayah gini masih

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Masih Ada Cinta

    “Tisni? Tumben pulang di hari kerja begini,” sapa Ibu dengan nada suara terkejut.Tiba-tiba saja sosok Ibu muncul dari belakang dia. Tergopoh-gopoh Ibu mendekatiku dengan raut wajah yang sulit dilukiskan. Sorot mata Ibu heran menatapku, tapi bibir beliau tersenyum semringah.“Ayo lekas masuk, kok malah bengong di depan rumah,” seloroh Ibu.Senyum Ibu semakin lebar saat menggandeng tanganku dan menuntun untuk memasuki rumah. Aku tersadar dari rasa terpana yang menghipnotis, lalu dengan pasrah mengikuti langkah Ibu yang mendahului gerakan kakiku.“Kebetulan sekali kamu datang, Tis. Kamu jadi bisa bertemu Oded,” celetuk Ibu.Gandengan tangan Ibu semakin erat, sementara tatapan Ibu beralih-alih antara aku dan Kang Oded di hadapan. Aku mematung, bingung harus bereaksi yang patut. Sementara itu, Kang Oded juga tampak gugup dan grogi berhadapan dengan

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Bagai Tebu dan Botol

    Saat sadar, aku sudah berada di atas kasur di mess. Bagaimana caranya aku sampai di sini? Apakah aku bermimpi?Aku terbatuk, ada sesuatu yang gatal di kerongkongan.“Kamu sudah sadar, Tis? Duh, Tisni. Aku cemas banget,” suara Dewi mengalun.Ternyata Dewi sudah ada di sebelahku, dengan Resti di belakangnya. Aku betul-betul merasa kebingungan saat ini.“Apa yang terjadi?” Tanyaku lemah.“Kamu pingsan. Mas Rudi memanggilkan taksi dari aplikasi untuk kita tumpangi,” jawab Dewi.Ah, sekarang ingatanku kembali. Kejadian di kantor Mas Rudi kembali berputar dalam memori. Kilasan peristiwa menyakitkan yang ingin aku lenyapkan selamanya. Peristiwa terburuk dalam hidupku hingga saat ini.Tiba-tiba tanganku sudah ada dalam genggaman Dewi. Hangat telapak tangannya di tanganku terasa sangat nyaman, memberi ketenangan

  • Aku Diabaikan Saat Setia   Jelaskan Padaku

    “Mas Rudi keterlaluan!” jeritku sambil menangis.Air mata berjatuhan, membasahi pipi dan baju yang aku kenakan. Tanpa sadar, tanganku meremas-remas kuat ujung baju hingga kusut.Dewi memelukku erat, bahkan matanya ikut berkaca-kaca dan basah. Ia memang sahabat sejati, dalam senang dan susah. Bahkan di saat aku berbuat buruk, tak sedikit pun ia mengutuk.Resti terdiam di tempat duduk, sedangkan kepalanya tertunduk. Jemari lentik memungut kartu undangan yang tergeletak di lantai, lalu meluruskan permukaan yang terlipat.“Sabar, Tis. Sabar...” ujar Dewi lirih sekali.Dalam suaranya, aku merasakan sikap prihatin dan simpati yang besar. Pelukannya tak mengendor, meskipun bahuku terguncang-guncang karena tangisan.“Aku harus minta penjelasan dari Mas Rudi!” Aku memekik, memuntahkan rasa sesak yang bergumpal dalam dada.&nb

DMCA.com Protection Status