“Kang, aku nggak ada kegiatan. Aku mau cari kerja,” pintaku sambil cemberut pada Kang Oded yang asyik menjahit.
Biasanya, Kang Oded akan mengabulkan apapun keinginanku bila aku sudah merajuk. Kang Oded menghentikan tekanan kakinya pada pedal dinamo mesin jahit, lalu mengerutkan dahi.
“Kamu mau kerja? Kerja apa modal ijazah SMP? Apa ada perusahaan yang mau terima?”
Aku terdiam mendengar alasan Kang Oded, benar juga.
“Sebelum kerja, kamu harus meningkatkan kemampuan. Kamu bisa komputer?” Kang Oded melirikku. Aku menggeleng lemah, pupus rasanya harapanku.
“Aku punya teman yang bisa mengajari komputer. Kamu mau?” Lanjut Kang Oded. Aku mengangguk penuh semangat.
“Teman Akang perempuan?” Tanyaku penasaran. Di mana Kang Oded kenal perempuan itu? Tiba-tiba aku menjadi curiga.
“Oh, bukan. Teman Akang laki-laki,” jawab Kang Oded santai.
Hah? Aku terperanjat. Jadi, aku akan diajari oleh seorang lelaki? Hmmm... Apakah tidak rikuh nantinya? Mendadak hatiku ragu. Kang Oded mengamati perubahan air wajahku.
“Kenapa, Dik?” Tanya Kang Oded heran.
“Teman Akang laki-laki. Aku malu, Kang,” kataku keberatan.
“Nggak apa-apa. Dia orangnya baik, kok. Nanti juga Akang temani selama belajar. Jangan cemas,” Kang Oded menenangkan.
Hmmm, aku masih ragu sebetulnya. Tapi kalau Kang Oded berjanji menemani selama aku belajar, mungkin aku tidak terlalu canggung.
“Iya deh, Kang.” Aku memberi persetujuan, meskipun masih ada ragu di hati.
“Besok aku bilang ke temanku untuk mengajarimu komputer,” janji Kang Oded. Aku mengangguk pelan.
***
“Tisni, ini temanku yang akan mengajarimu komputer. Namanya Rudi,” Kang Oded memperkenalkan lelaki yang datang bersamanya. Aku tersenyum dan mengangguk kaku.
Tak aku sangka teman Kang Oded masih muda dan tampan... Aku perkirakan umurnya hanya dua atau tiga tahun di atasku, belum ada tiga puluh tahun.
“Rudi ini pintar sekali komputernya, dia bagian administrasi di kantor. Iya kan, Rud?” Kang Oded menoleh ke samping.
“He eh. Kalau hanya mengetik dan bikin tabel saja sih gampang, tapi kalau lebih dari itu saya juga ndak bisa.” Mas Rudi berkata dengan logat Jawa yang sangat kentara. Ia lalu tersenyum, ternyata senyumnya manis juga.
“Mas asli Jawa, ya?” Tanyaku berbasa-basi.
“Iya, tepatnya saya dari Kebumen. Kalau Mbak Tisni asli mana?” Ia membalas sapa basa-basiku.
“Saya dari Cirebon, Mas. Kalau istri Mas Rudi dari Jawa juga?” Aku semakin lancar mengobrol dengannya, suasana kaku mulai mencair.
“Eh? Saya belum menikah lho, Mbak,” Mas Rudi tersenyum-senyum. Oh, ternyata teman Kang Oded masih bujangan.
“Mungkin bisa dimulai saja kursus komputernya,” potong Kang Oded tiba-tiba.
Mas Rudi terlonjak, seolah baru ingat tujuannya ke rumah kami. Ia membuka tas hitam yang sedari tadi diletakkan di atas meja. Dari dalamnya, ia mengeluarkan sebuah laptop.
Aku mengamati Mas Rudi yang membuka laptop dan memasang kabel pada stop kontak. Lalu, aku disuruh mendekat.
“Ini namanya keyboard, Mbak,” Mas Rudi mulai mengenalkan tombol-tombol dan fungsi yang ada pada laptop.
Seperti janjinya, Kang Oded menemaniku belajar komputer pada Mas Rudi. Sambil aku belajar, Kang Oded mengobrol dengan Mas Rudi. Suasana belajar jadi terasa lebih santai karena diselingi obrolan ringan.
Sekali, dua kali, Kang Oded masih sabar menemaniku belajar. Lama kelamaan, Kang Oded bosan juga menungguiku. Hingga pada suatu hari...
“Akang mau ke depan dulu ya, Tis. Ada yang mau diobrolkan dengan Mang Beben,” kata Kang Oded mengejutkanku. Ternyata aku ditinggalkan berdua dengan Mas Rudi.
Suasana yang awalnya santai dan nyaman, kembali kaku karena kepergian Kang Oded. Tapi kekakuan itu ternyata hanya sementara, sebentar saja aku dan Mas Rudi kembali santai. Malah dengan kepergian Kang Oded, kami bisa lebih bebas mengobrol dan bercanda.
Aku pikir, itulah awal mula tumbuhnya rasa diantara kami. Jangan salahkan aku yang selingkuh, bukankah ada peran Kang Oded juga dalam hal ini?
***
Seperti janjinya kemarin, Kang Oded datang menjemputku tepat pukul empat sore. Seharusnya hari ini aku lembur lagi, tapi aku sudah izin pada supervisor untuk tidak lembur karena ada urusan keluarga.
Aku sudah menyiapkan mental untuk pertempuran nanti malam. Jika harus bertengkar, biarlah pertengkaran itu kami lakukan di rumah. Jangan sampai aku dan Kang Oded bertengkar di kantor, aku takut dipecat nantinya.
Sebelum pulang ke rumah, Kang Oded mampir di warung soto langganan kami. Kang Oded memesan soto dan kami makan bersama. Selama makan, kami lebih banyak diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
Setelah sampai di rumah, barulah Kang Oded kembali membicarakan kemelut rumah tangga kami.
“Jangan sampai kita bercerai ya, Dik,” bujuknya lagi.
Aku mulai putus asa dengan Kang Oded. Sepertinya, sampai kapan pun dia tak akan mau mengerti bahwa aku sudah tak ingin lagi bersamanya.
“Kang, perasaanku sudah mati. Titik.” Aku kembali menegaskan.
“Kamu tahu kan, Dik. Perceraian itu perbuatan yang dibenci Allah,” imbuhnya sungguh-sungguh.
Oh, bagus betul omongannya. Sekarang Kang Oded bawa-bawa nama Allah. Mengapa dia tidak ingat Allah saat meminta Mas Rudi yang menjemputku pulang dari pabrik?
“Ya... Bagaimana ya, Kang. Kalau aku terus jadi istrimu, aku takut durhaka,” balasku tak kalah lihai.
“Akang nggak mau kan, aku berdosa setiap hari? Lebih baik kita cerai saja agar sama-sama bebas dari dosa,” tambahku semakin mantap.
Kang Oded menghela napas, ia pasti sadar sudah kalah bicara. Aku menunggu dengan sabar jurus apa lagi yang ingin dikeluarkan Kang Oded.
“Dik, kamu pasti kesepian di rumah, ya. Aku ingat dulu kamu minta kerja karena bosan di rumah,” suara Kang Oded terdengar melembut lagi.
Aku diam, mencoba mengira-ngira ke mana arah pembicaraannya kali ini.
“Kita ke dokter yuk, Dik. Cari tahu penyebab mengapa kamu belum hamil juga,” Kang Oded tersenyum membujuk.
Oh, jadi sekarang Kang Oded mau membujukku dengan anak. Tapi tunggu, bukankah selama ini Kang Oded berprinsip bahwa anak diberikan Allah jika sudah dikehendaki-Nya? Mengapa sekarang Kang Oded berubah pikiran? Ini pasti hanya akal-akalannya agar aku membatalkan niat menggugat cerai.
“Anak itu urusan Allah, Kang. Manusia nggak bisa mengatur kapan punya anak, termasuk dokter.” Santai aku menyahut, mengembalikan ucapan yang dulu sering digaungkannya setiap kali aku mengeluh karena tak kunjung hamil.
Aku pikir ada baiknya juga kami tak punya anak, jadi ketika akan cerai tak perlu berebut hak asuh anak.
Aku amati wajah Kang Oded yang terdiam, terlihat sekali Kang Oded tengah berpikir keras. Ingin tertawa aku dibuatnya, mati-matian ia mencari alasan dan dalih agar aku batal menggugat cerai.
“Dik, Bapak dulu sangat mendukung kita menikah. Jika kamu masih ingin cerai, akan aku laporkan perselingkuhanmu pada Bapak,” ancam Kang Oded dengan wajah mengeras.
Aku terkejut.***
Gawat! Kang Oded mau bawa-bawa keluarga dalam masalah kami. Sejenak aku panik, teringat pada Bapak dan Ibu di rumah yang akan terkaget-kaget mendengar kabar ini. Pikiran burukku muncul, Kang Oded tidak sekadar akan menjadikan besar persoalan ini di antara keluargaku, tapi juga di keluarganya. Terbayang olehku sorot mata marah Ibu akibat tingkahku, juga cibiran dari keluarga besar Kang Oded. Siapkah aku menanggung malu dan disalahkan oleh dua keluarga? Hatiku kebat-kebit. Eh, tapi tunggu dulu. Tadi Kang Oded bilang akan melaporkan pada ayahku saja. Ia tak mengancam akan mengabari keluarganya juga. Pikiranku mulai berpikir jernih. Kang Oded hanya ingin mengancamku agar kembali padanya dengan bantuan dari keluargaku. Ia tak bermaksud mengabari keluarganya tentang masalah kami, setidaknya belum. Jangan-jangan ia hanya menggertak? Baik kalau begitu. Aku juga bisa balas menggertak. &
Bunyi derit pintu membangunkan aku dari alam mimpi. Sebelah mata aku mengintip, mencoba mencari bayang dari pintu depan yang baru saja menutup. Samar-samar, aku lihat baju biru milik Tisni. Rupanya ia pergi diam-diam selagi aku tidur.Aku diam terpekur di atas pembaringan. Sisa kantuk tadi malam sudah lenyap, seiring dengan bunyi perut yang menjerit minta diisi. Akan tetapi, aku malas keluar mencari sarapan. Aku pilih melamun memikirkan pernikahan bersama Tisni yang berada di ujung tanduk.Aku memang salah langkah sejak awal. Tidak seharusnya aku biarkan Tisni lama berduaan dengan Rudi. Niat awalku hanya ingin agar istri cantikku itu bertambah pintar, aku tidak menyangka akan begini akhirnya.Aku mengenal Rudi ketika mendapat proyek menjahit seragam pegawai salah satu kantor pemerintah. Di kantor itu, Rudi merupakan pegawai administrasi keuangan yang bertugas untuk membayar upahku. Oleh karena
“Assalamu’alaikum...” Aku melempar salam di depan rumah Pak Madya.Kebetulan istri Pak Madya yang keluar, wanita paruh baya berwajah teduh dan berkerudung panjang.“Wa’alaikumussalam. Oh, Kang Oded. Cari Bapak? Masuk dulu, Kang,” kata istri Pak Madya ramah. Pintu rumah dibukanya lebar-lebar.“Duduk dulu, ya. Bapak sedang di kamar mandi,” istri Pak Madya mempersilakan aku untuk duduk di kursi tamu.Istri Pak Madya menghilang ke dalam lagi. Tak berapa lama, dia muncul dengan sebuah nampan berisi segelas kopi dan sepiring kecil pisang goreng.“Silakan dinikmati dulu. Mungkin Bapak agak lama, Kang.” Istri Pak Madya masuk ke dalam lagi.Aku duduk menunggu sambil menikmati hidangan. Aku melamun lagi. Sejak Tisni ketahuan berselingkuh, aku jadi sering melamunkan masa lalu.
“Santet? Kok Kang Oded bisa menyangka begitu?” Pak Madya mengerutkan dahi, sebelah tangannya menggaruk telinga kiri. Wajah Pak Madya terlihat kebingungan.“Karena sikapnya aneh, Pak. Istri yang dulu sangat cinta pada saya sekarang berbalik membenci. Bukankah santet pengasihan begitu, Pak? Membuat istri membenci suami atau sebaliknya, hingga akhirnya suami-istri berpisah,” kataku panjang lebar.Pak Madya mengangguk-angguk. Tapi ekspresi wajahnya tak bisa aku tebak, setuju atau tidak setuju dengan kecurigaanku barusan. Pak Madya menghela napas.“Kita jangan berprasangka buruk dulu, Kang. Mungkin ada masalah lain yang membuat istri menjadi berubah sikap,” Pak Madya memberi nasihat.Aku terdiam. Ya, masalahnya ada pada Rudi. Pasti Rudi yang membuat istriku berubah. Aku semakin yakin, Rudi yang sudah menyantet istriku. Kalau tidak, mana mungkin istri yang pendiam sepert
“Apa Teh Lisa tahu?” Tanyaku penasaran. “Ya. Tisni jarang ada di rumah kan, Kang?” Teh Lisa mengerjapkan mata saat berbalik tanya. Melihat gelagatnya yang mencurigakan, aku jadi punya insting bahwa Teh Lisa tidak jujur. “Tolong, Teh. Beri tahu saya apa yang Teteh tahu,” ujarku memelas, memohon kejujurannya. Kupandangi sepasang mata Teh Lisa dengan sorot permohonan yang sungguh-sungguh, berharap Teh Lisa merasa iba dan mau berpihak kepadaku. Teh Lisa menundukkan kepala, lalu melirikku takut-takut. “Kang Oded jangan marah, ya?” Pintanya dengan wajah seperti tak enak. “Iya, Teh. Saya nggak akan marah,” ujarku meyakinkannya. Senyum aku bentangkan selebar mungkin, berharap sikapku akan membuatnya menjadi berani berkata yang sebenarnya. Teh Lisa menghela napas, lalu ikut duduk di kursi kosong
“Ceritakan semua yang Teh Lisa tahu. Jangan ada yang ditutupi lagi,” pintaku dengan tatapan serius.Jujur saja, jantungku berdebar keras saat mengatakan permintaan itu. Hatiku dipenuhi prasangka sekaligus ketakutan akan hal yang mungkin aku dengar. Aku takut kecurigaanku terbukti bahwa Tisni telah... Ah, tak sanggup aku memikirkannya.Teh Lisa menoleh ke arah Mang Beben yang masih menjemur pakaian penyewa kos. Mang Beben balas memandang Teh Lisa, terlihat kepalanya mengangguk kecil sebagai tanda dukungan untuk istrinya.Teh Lisa memutar kepalanya kembali kepadaku. Ia mencondongnkan tubuhnya sedikit ke arahku sambil berbisik,“Tisni sudah sering pergi berdua kemana-mana dengan Mas Rudi, Kang...” ujarnya pelan, tapi terdengar jelas di telingaku.Aku terdiam. Sering pergi berdua? Kapan itu terjadi? Ke mana saja? Menga
“Aku mau dijemput pulang. Sekarang!” Kata Tisni tegas.Mataku melotot.Tiba-tiba sudut mataku melihat bayangan berjaket merah-hitam muncul dan mematikan mesin motor di depan rumah. Sosok itu sangat familiar, lantaran kelewat sering berkunjung. Rudi melepaskan helm dari kepala, menurunkan ritsleting jaket, kemudian menyampirkan jaket dan helm di atas sepeda motor.Sebelum beranjak, ia menyugar rambutnya beberapa kali sambil bercermin di kaca spion. Melihat gelagatnya, Rudi baru pulang dari kantor dan langsung ke rumahku. Aku mendapat ide.“Oke. Nanti Rudi yang jemput kamu pulang,” kataku senang, merasa sudah menemukan jalan keluar terbaik dari masalah.“Hah?” Hanya itu reaksi Tisni. Setelah itu ia terdiam.“Kamu tunggu saja di sana, sebentar lagi Rudi yang jemput,” tegasku lagi sebelum
Hari berganti.“Mengapa usaha tas nggak jalan lagi, Pak?” Akhirnya kesampaian juga niatku untuk bertanya, saat Bapak duduk santai di depan rumah setelah bangun tidur. Ya, bangun tidur. Selepas shalat subuh tadi, Bapak tidur lagi. Alasannya mengantuk akibat bangun sebelum subuh.“Bapak kena tipu!” Jawab mertuaku langsung, kemudian mengembuskan napas sedih.Aku terkesiap. Mengapa aku tidak tahu kabar berita ini? Tepatnya, Tisni tidak bercerita apa-apa.“Apa ada toko yang ingkar bayar, Pak?” Telisikku lebih jauh.“Ceritanya cukup panjang,” Bapak membetulkan letak duduknya, kakinya yang semula terangkat satu di atas kursi kini diturunkan.“Enam bulan sebelum bangkrut ada kenalan yang menyarankan untuk menambah pemasaran tas sampai ke luar kota. Dia lalu menge
Tisni membalik badan dan melangkah pergi, setelah sebelumnya berpamitan pada sahabatnya Dewi dan Resti di pintu gerbang mess. Dewi dan Resti sama-sama menatap tas ransel yang tergantung di punggung Tisni, menjauh bersama pemiliknya. Sosok Tisni lenyap di balik angkot yang membawanya pergi secepat kedatangannya yang mengebut.“Kasihan Tisni ya, Res,” desah Dewi pelan. Napasnya mengembus pelan namun berat.“Maksudmu?” sahut Resti. Bola hitam mata Resti bergulir ke sudut, melirik Dewi di sampingnya.“Ya, Tisni hanya dikadalin Mas Rudi,” jelas Dewi. Sekarang Dewi menggeleng-gelengkan kepala dengan raut wajah prihatin.“Hm, sebetulnya aku sudah menduga sejak lama lho, Dew,” balas Resti. Kepalanya ditelengkan miring, hingga wajahnya lurus ke arah wajah Dewi.“Oya? Kok bisa, Res? Kamu punya firasat begitu?” kejar Dewi. Dewi bal
Pasrah. Itulah sikap yang kupilih. Biar saja semua orang membicarakanku sekehendak hati. Lebih baik aku fokus pada pekerjaan. Meskipun dalam hati kecil, terbersit rasa penasaran. Siapa dalang penyebar fitnah ini?Suatu hari, aku ungkapkan ganjalan hati tentang hal ini pada Boy dan Beni. Mereka berdua sudah aku percaya, karena terbukti berulang kali tak pernah mencampuri urusan orang lain jika tak diminta.“Kalau menurutku, penyebar fitnah itu ya Santi sendiri,” ujar Beni sambil merokok.Usai satu kalimat, ia mengisap benda haram itu dengan nikmat. Asap keluar dari dua lubang hidungnya membentuk dua jalur asap.“Menurutku juga begitu. Santi sakit hati, makanya mengarang kisah untuk menyudutkanmu, Kang,” timpal Beni.Beni seorang perokok berat, levelnya melebihi Boy. Sekarang saja ia mengeluarkan bungkus rokok kedua, lalu sebatang rokok berpindah
Tiada hari tanpa penyesalan. Menyesal kurang memerhatikan Tisni, menyesal kurang menunjukkan rasa cintaku padanya, menyesal menganggap keluhannya sebagai angin lalu, menyesal dan menyesali banyak hal. Ribuan penyesalan silih berganti menghinggapi benak, hingga aku tenggelam dalam lautan keputusasaan.“Sudah, Ded. Jangan terlalu dipikirkan. Semua yang telah berlalu, anggaplah masa lalu kelabu. Pikirkan langkah baru,” nasihat Paman Andi kepadaku, sok bergaya menjadi pujangga.Tak aku jawab perhatian kakak ayahku itu. Hanya sorot mata pilu yang kuberikan sebagai tanggapan. Meskipun mulutku terkunci, sejatinya hatiku ingin menampik.“Mudah bagi Paman bicara itu, karena bukan Paman yang patah hati,” bisik hati kecilku.Lepasnya Tisni sebagai istri merupakan kehilangan besar yang berdampak hebat bagi jiwa dan ragaku. Baru dua minggu surat cerai dari Pengadilan Agama kuterima, berat
Cantik. Itu yang kulihat ketika pertama kali mengenal Tisni. Wajahnya lugu khas gadis kampung, namun ia tak terlihat kampungan. Kulitnya putih bersih dan halus, matanya tidak liar jelalatan, bahkan ia lebih sering menunduk jika berbicara dengan lelaki atau orang yang lebih tua.Kang Oded sendiri teman yang cukup menyenangkan. Sejak kantorku menyewa jasanya untuk membuat seragam kantor, kami mulai dekat. Awalnya aku ke rumahnya untuk urusan proyek baju seragam, lalu kunjunganku berlanjut untuk sekedar mengobrol santai.Keberadaan Tisni yang cantik menjadi daya tarik tersendiri bagiku untuk terus berkunjung ke rumah Kang Oded. Dengan bertandang ke rumahnya, aku berharap dapat menikmati wajah cantik Tisni.Saat Kang Oded meminta bantuanku untuk mengajari Tisni komputer, aku langsung menyanggupi. Ini kesempatan untuk berdekat-dekatan dengan Tisni. Siapa yang tak suka berdekatan dengan perempuan cantik yang harumnya melambung
Keesokan harinya, sebuah paket besar datang ke rumah. Saat itu, kami sekeluarga sedang makan siang bersama.“Paket!” seru Abang pengantar paket dari ekspedisi.Aku menghambur ke pintu depan, lantaran tahu Ibu sudah cukup tua untuk berlari menyambut paket.“Ya?” Sapaku pada Abang paket.“Paket buat Ibu Tisni?” tanyanya, sementara mata Abang paket terpaku pada label di atas paket besar yang ditopang oleh kedua tangannya.“Saya sendiri,” jawabku antusias.“Silakan,” ujar Abang paket seraya menyerahkan paket besar seukuran kardus minuman mineral ke arahku.Aku menyambut paket terbungkus kertas tebal cokelat itu, sedangkan Abang paket mencatat sesuatu dalam notesnya.“Terima kasih,” ujarku otomatis.Aku berjalan masuk kembali sambi
Haruskah aku menerima Kang Oded kembali, setelah semua kekecewaan yang ia berikan? Rasanya tak mungkin aku menjilat ludah sendiri. Egoku mengajak untuk menolak tawaran Kang Oded.Tetapi ... Bukankah aku juga gegabah? Aku balas semua kelakuannya dengan pengkhianatan, sebelum kami resmi berpisah. Kalau dipikir-pikir lagi, aku pun sama bersalahnya dengan Kang Oded.Aku bingung.“Aku pikirkan dulu, Kang,” kataku akhirnya.Kang Oded mengangguk pelan. Tak kulihat kemarahan ataupun kekecewaan dari raut wajahnya. Mungkin reaksiku sudah diperkirakan olehnya.“Akang tunggu, Dik,” balasnya, tatapannya penuh ke arah mataku.“Oya, Akang mau berpantun dulu. Boleh?” tambahnya, tak terduga.“Boleh, Kang,” jawabku sambil mengangguk.“Ke Cikini membeli dukuhWayah gini masih
“Tisni? Tumben pulang di hari kerja begini,” sapa Ibu dengan nada suara terkejut.Tiba-tiba saja sosok Ibu muncul dari belakang dia. Tergopoh-gopoh Ibu mendekatiku dengan raut wajah yang sulit dilukiskan. Sorot mata Ibu heran menatapku, tapi bibir beliau tersenyum semringah.“Ayo lekas masuk, kok malah bengong di depan rumah,” seloroh Ibu.Senyum Ibu semakin lebar saat menggandeng tanganku dan menuntun untuk memasuki rumah. Aku tersadar dari rasa terpana yang menghipnotis, lalu dengan pasrah mengikuti langkah Ibu yang mendahului gerakan kakiku.“Kebetulan sekali kamu datang, Tis. Kamu jadi bisa bertemu Oded,” celetuk Ibu.Gandengan tangan Ibu semakin erat, sementara tatapan Ibu beralih-alih antara aku dan Kang Oded di hadapan. Aku mematung, bingung harus bereaksi yang patut. Sementara itu, Kang Oded juga tampak gugup dan grogi berhadapan dengan
Saat sadar, aku sudah berada di atas kasur di mess. Bagaimana caranya aku sampai di sini? Apakah aku bermimpi?Aku terbatuk, ada sesuatu yang gatal di kerongkongan.“Kamu sudah sadar, Tis? Duh, Tisni. Aku cemas banget,” suara Dewi mengalun.Ternyata Dewi sudah ada di sebelahku, dengan Resti di belakangnya. Aku betul-betul merasa kebingungan saat ini.“Apa yang terjadi?” Tanyaku lemah.“Kamu pingsan. Mas Rudi memanggilkan taksi dari aplikasi untuk kita tumpangi,” jawab Dewi.Ah, sekarang ingatanku kembali. Kejadian di kantor Mas Rudi kembali berputar dalam memori. Kilasan peristiwa menyakitkan yang ingin aku lenyapkan selamanya. Peristiwa terburuk dalam hidupku hingga saat ini.Tiba-tiba tanganku sudah ada dalam genggaman Dewi. Hangat telapak tangannya di tanganku terasa sangat nyaman, memberi ketenangan
“Mas Rudi keterlaluan!” jeritku sambil menangis.Air mata berjatuhan, membasahi pipi dan baju yang aku kenakan. Tanpa sadar, tanganku meremas-remas kuat ujung baju hingga kusut.Dewi memelukku erat, bahkan matanya ikut berkaca-kaca dan basah. Ia memang sahabat sejati, dalam senang dan susah. Bahkan di saat aku berbuat buruk, tak sedikit pun ia mengutuk.Resti terdiam di tempat duduk, sedangkan kepalanya tertunduk. Jemari lentik memungut kartu undangan yang tergeletak di lantai, lalu meluruskan permukaan yang terlipat.“Sabar, Tis. Sabar...” ujar Dewi lirih sekali.Dalam suaranya, aku merasakan sikap prihatin dan simpati yang besar. Pelukannya tak mengendor, meskipun bahuku terguncang-guncang karena tangisan.“Aku harus minta penjelasan dari Mas Rudi!” Aku memekik, memuntahkan rasa sesak yang bergumpal dalam dada.&nb