Bunyi derit pintu membangunkan aku dari alam mimpi. Sebelah mata aku mengintip, mencoba mencari bayang dari pintu depan yang baru saja menutup. Samar-samar, aku lihat baju biru milik Tisni. Rupanya ia pergi diam-diam selagi aku tidur.
Aku diam terpekur di atas pembaringan. Sisa kantuk tadi malam sudah lenyap, seiring dengan bunyi perut yang menjerit minta diisi. Akan tetapi, aku malas keluar mencari sarapan. Aku pilih melamun memikirkan pernikahan bersama Tisni yang berada di ujung tanduk.
Aku memang salah langkah sejak awal. Tidak seharusnya aku biarkan Tisni lama berduaan dengan Rudi. Niat awalku hanya ingin agar istri cantikku itu bertambah pintar, aku tidak menyangka akan begini akhirnya.
Aku mengenal Rudi ketika mendapat proyek menjahit seragam pegawai salah satu kantor pemerintah. Di kantor itu, Rudi merupakan pegawai administrasi keuangan yang bertugas untuk membayar upahku. Oleh karena itu, kami sering berkomunikasi mengenai proyek yang aku tangani.
Pekerjaan itu sendiri memakan waktu satu bulan, lantaran begitu banyaknya pegawai yang akan dibuatkan seragam. Apalagi ukuran tubuh mereka bervariasi dari ukuran S sampai XL. Pembayaran upah dilakukan dua kali, sekali saat setengah pekerjaan selesai dan terakhir ketika seluruh seragam sudah diberikan.
Rudi teman mengobrol yang asyik. Jarang-jarang aku cocok mengobrol dengan seseorang, namun dengan Rudi berbeda. Pikiranku dan pikiran Rudi seolah sejalan, kami klop hampir dalam segala hal termasuk topik candaan.
Tatkala Tisni mengatakan ingin bekerja, aku ingin dia mendapatkan pekerjaan bergaji lumayan. Dalam hematku, pekerjaan yang menghasilkan uang besar adalah pekerjaan kantoran.
Sayangnya, Tisni hanya berijazah SMP. Jika bekerja di kantor, paling-paling dia hanya akan diterima menjadi petugas di bagian bersih-bersih atau pembantu dapur. Berapalah gaji petugas bersih-bersih. Daripada kerja di luar dengan gaji tak seberapa, lebih baik dia di rumah saja membantuku menjahit.
Agar bisa mendapat pekerjaan yang baik, Tisni harus memiliki kemampuan yang lebih elit. Langsung terpikir olehku, kemampuan itu berupa mengoperasikan komputer. Tisni harus belajar komputer! Tapi, kami tidak punya komputer apalagi laptop. Mau kursus juga sulit, karena kursus komputer sudah menjadi pendidikan langka di kota kembang ini.
Pikir punya pikir, akhirnya aku putuskan untuk meminta bantuan Rudi saja. Bukankah ia pegawai administrasi di kantornya? Tentu bukan hal yang sulit untuk mengajari komputer dasar kepada Tisni. Lagipula, dia teman yang aku percaya.
Awalnya aku berpikir, dengan meminta bantuan Rudi akan mendapatkan dua keuntungan. Keuntungan pertama, Tisni bisa belajar komputer secara gratis. Aku tersenyum sendiri saat itu, mengingat betapa cerdik pemikiranku.
Kedua, aku ada teman mengobrol untuk menemani menjahit. Orang tidak akan tahu betapa bosannya duduk di meja mesin seharian hanya menjahit tanpa teman bicara. Sekali memanggil Rudi, dua masalahku terpecahkan.
Menjadikan Tisni sebagai teman bicara bukan pilihan. Selama pernikahan dengan Tisni, aku hapal arah pembicaraannya pasti itu-itu saja. Membosankan. Aku perlu teman mengobrol yang sepadan.
Selain itu, obrolan lelaki dan perempuan pastilah berbeda. Tisni tidak akan sanggup mengimbangi pembicaraanku. Mana dia paham soal sepak bola atau ilmu-ilmu supranatural yang menjadi kegemaranku. Paling jauh Tisni hanya bisa menjadi pendengar yang baik, tanpa banyak tanggapan. Memang dia lebih cocok menonton sinetron saja, daripada diajak bicara tidak pernah nyambung.
Tapi aku bersyukur Tisni wanita pendiam, tidak cerewet seperti kebanyakan ibu-ibu di gang tempat kami tinggal. Memang seharusnya jadi perempuan itu tidak perlu kebanyakan bicara, yang penting mendengarkan dan melayani suami dengan baik. Itu baru namanya istri yang berbakti.
Aku sering jengah melihat para suami takut istri di kampung ini, mau-maunya mereka dimarahi dan diomeli oleh istri-istri mereka. Seolah-olah kedudukan para lelaki itu berada di bawah ketiak istri.
Makanya, aku juga melarang Tisni ikut pengajian di musala setempat. Aku takut sifat cerewet ibu-ibu di sini menular padanya. Bisa-bisa aku diceramahinya setiap hari. Tentu saja dia boleh berteman, tapi hanya dengan orang-orang tertentu yang aku pilihkan. Aku memang membatasinya bergaul, demi ketenangan rumah tangga kami.
Akan tetapi, rupanya perhitunganku salah besar. Saat Rudi mengajari Tisni, aku sedang sepi orderan. Lama-lama bosan juga mengobrol dengan Rudi sambil menemani Tisni belajar. Aku tinggalkan saja mereka berdua belajar, sementara aku pilih mengobrol dengan tetangga di depan rumah.
Aku pikir mereka tidak akan berbuat macam-macam di rumahku sendiri. Lagipula, bukankah Rudi temanku? Tisni itu wanita pasif, mana mungkin dia akan merayu temanku. Pemikiranku ternyata meleset, Rudi yang aku percaya malah mencaplok istriku.
Krucuk, krucukkk! Perutku semakin keras berbunyi, melayangkan protes atas diabaikannya rasa lapar. Aku tersadar. Aku bangkit dari kasur untuk pergi mencuci muka ke kamar mandi.
Wajahku terasa segar selepas membasuh muka, membuat pikiranku semakin terbuka. Aku sengaja tidak mandi. Malas. Tak ada semangat lagi untuk beraktivitas.
“Kang Oded! Kang Oded!”
Aku dengar pintu rumahku diketuk-ketuk seseorang. Tanpa tergesa aku membuka pintu. Di depan ada Pak Doni yang rumahnya selang dua rumah dari rumahku.
“Kang, saya mau menjahitkan celana. Bisa?” Pak Doni langsung bertanya sambil mengacungkan kantung plastik hitam di tangannya.
“Wah, maaf sekali Pak Doni. Saya belum bisa menerima jahitan, sedang ada kesibukan,” tolakku dengan raut wajah menyesal.
“Oh. Ya sudah kalau begitu. Permisi, Kang Oded.” Pak Doni tampak kecewa, tapi berlalu juga tanpa banyak tanya. Syukurlah Pak Doni tidak mempertanyakan kesibukan yang membuat aku berhenti menerima jahitan.
Aku sudah memutuskan untuk tidak menerima pesanan jahitan untuk sementara. Siapa juga yang bisa berkonsentrasi bekerja di tengah terjangan badai rumah tangga begini. Hatiku galau, tindak tandukku tak tenang. Aku yakin tidak bisa menjahit dengan betul nantinya, salah-salah malah membuat marah pelanggan. Lebih baik aku berhenti dulu bekerja hingga persoalanku dengan Tisni beres.
Aku langkahkan kaki keluar gang, mencari penjual bubur ayam yang biasa mangkal di pertigaan jalan.
Sambil makan bubur ayam, aku berpikir-pikir lagi. Apa yang harus aku lakukan agar Tisni kembali padaku? Mungkin aku harus membujuknya dengan perhatian, atau aku rayu dia dengan perhiasan?
Aku sudah mencoba membujuk Tisni dengan perhatian, tapi usahaku tampaknya gagal. Terbukti sikapnya tak berubah ketika aku belikan nasi kuning dan gorengan, tetap dingin dan bersikukuh minta cerai.
Apa sebaiknya Tisni aku belikan kalung dan gelang emas? Konon katanya, perempuan bisa langsung berubah sikap jika dihadiahi benda-benda yang berkilau. Tapi, bagaimana jika Tisni menolak hadiahku itu? Sia-sia kuhabiskan uang untuk sesuatu yang tak pasti. Lebih parah lagi, bagaimana jika ia ambil hadiahku namun tetap tak mau kembali? Bisa tekor aku. Sudah jatuh tertimpa tangga.
Sebaiknya aku meminta nasihat seseorang. Tapi siapa? Ah! Tiba-tiba aku teringat pada Pak Madya, orang tua yang sering menjadi imam di musala perkampungan. Dulu aku sering mengobrolkan persoalan agama dengan beliau. Tiba-tiba aku baru sadar, sudah lama tidak pernah shalat di musala lagi.***
Berhasil nggak ya usaha Kang Oded? Apa menurutmu Kang Oded salah? Tunggu lanjutannya besok: Santet Pengasihan.
“Assalamu’alaikum...” Aku melempar salam di depan rumah Pak Madya.Kebetulan istri Pak Madya yang keluar, wanita paruh baya berwajah teduh dan berkerudung panjang.“Wa’alaikumussalam. Oh, Kang Oded. Cari Bapak? Masuk dulu, Kang,” kata istri Pak Madya ramah. Pintu rumah dibukanya lebar-lebar.“Duduk dulu, ya. Bapak sedang di kamar mandi,” istri Pak Madya mempersilakan aku untuk duduk di kursi tamu.Istri Pak Madya menghilang ke dalam lagi. Tak berapa lama, dia muncul dengan sebuah nampan berisi segelas kopi dan sepiring kecil pisang goreng.“Silakan dinikmati dulu. Mungkin Bapak agak lama, Kang.” Istri Pak Madya masuk ke dalam lagi.Aku duduk menunggu sambil menikmati hidangan. Aku melamun lagi. Sejak Tisni ketahuan berselingkuh, aku jadi sering melamunkan masa lalu.
“Santet? Kok Kang Oded bisa menyangka begitu?” Pak Madya mengerutkan dahi, sebelah tangannya menggaruk telinga kiri. Wajah Pak Madya terlihat kebingungan.“Karena sikapnya aneh, Pak. Istri yang dulu sangat cinta pada saya sekarang berbalik membenci. Bukankah santet pengasihan begitu, Pak? Membuat istri membenci suami atau sebaliknya, hingga akhirnya suami-istri berpisah,” kataku panjang lebar.Pak Madya mengangguk-angguk. Tapi ekspresi wajahnya tak bisa aku tebak, setuju atau tidak setuju dengan kecurigaanku barusan. Pak Madya menghela napas.“Kita jangan berprasangka buruk dulu, Kang. Mungkin ada masalah lain yang membuat istri menjadi berubah sikap,” Pak Madya memberi nasihat.Aku terdiam. Ya, masalahnya ada pada Rudi. Pasti Rudi yang membuat istriku berubah. Aku semakin yakin, Rudi yang sudah menyantet istriku. Kalau tidak, mana mungkin istri yang pendiam sepert
“Apa Teh Lisa tahu?” Tanyaku penasaran. “Ya. Tisni jarang ada di rumah kan, Kang?” Teh Lisa mengerjapkan mata saat berbalik tanya. Melihat gelagatnya yang mencurigakan, aku jadi punya insting bahwa Teh Lisa tidak jujur. “Tolong, Teh. Beri tahu saya apa yang Teteh tahu,” ujarku memelas, memohon kejujurannya. Kupandangi sepasang mata Teh Lisa dengan sorot permohonan yang sungguh-sungguh, berharap Teh Lisa merasa iba dan mau berpihak kepadaku. Teh Lisa menundukkan kepala, lalu melirikku takut-takut. “Kang Oded jangan marah, ya?” Pintanya dengan wajah seperti tak enak. “Iya, Teh. Saya nggak akan marah,” ujarku meyakinkannya. Senyum aku bentangkan selebar mungkin, berharap sikapku akan membuatnya menjadi berani berkata yang sebenarnya. Teh Lisa menghela napas, lalu ikut duduk di kursi kosong
“Ceritakan semua yang Teh Lisa tahu. Jangan ada yang ditutupi lagi,” pintaku dengan tatapan serius.Jujur saja, jantungku berdebar keras saat mengatakan permintaan itu. Hatiku dipenuhi prasangka sekaligus ketakutan akan hal yang mungkin aku dengar. Aku takut kecurigaanku terbukti bahwa Tisni telah... Ah, tak sanggup aku memikirkannya.Teh Lisa menoleh ke arah Mang Beben yang masih menjemur pakaian penyewa kos. Mang Beben balas memandang Teh Lisa, terlihat kepalanya mengangguk kecil sebagai tanda dukungan untuk istrinya.Teh Lisa memutar kepalanya kembali kepadaku. Ia mencondongnkan tubuhnya sedikit ke arahku sambil berbisik,“Tisni sudah sering pergi berdua kemana-mana dengan Mas Rudi, Kang...” ujarnya pelan, tapi terdengar jelas di telingaku.Aku terdiam. Sering pergi berdua? Kapan itu terjadi? Ke mana saja? Menga
“Aku mau dijemput pulang. Sekarang!” Kata Tisni tegas.Mataku melotot.Tiba-tiba sudut mataku melihat bayangan berjaket merah-hitam muncul dan mematikan mesin motor di depan rumah. Sosok itu sangat familiar, lantaran kelewat sering berkunjung. Rudi melepaskan helm dari kepala, menurunkan ritsleting jaket, kemudian menyampirkan jaket dan helm di atas sepeda motor.Sebelum beranjak, ia menyugar rambutnya beberapa kali sambil bercermin di kaca spion. Melihat gelagatnya, Rudi baru pulang dari kantor dan langsung ke rumahku. Aku mendapat ide.“Oke. Nanti Rudi yang jemput kamu pulang,” kataku senang, merasa sudah menemukan jalan keluar terbaik dari masalah.“Hah?” Hanya itu reaksi Tisni. Setelah itu ia terdiam.“Kamu tunggu saja di sana, sebentar lagi Rudi yang jemput,” tegasku lagi sebelum
Hari berganti.“Mengapa usaha tas nggak jalan lagi, Pak?” Akhirnya kesampaian juga niatku untuk bertanya, saat Bapak duduk santai di depan rumah setelah bangun tidur. Ya, bangun tidur. Selepas shalat subuh tadi, Bapak tidur lagi. Alasannya mengantuk akibat bangun sebelum subuh.“Bapak kena tipu!” Jawab mertuaku langsung, kemudian mengembuskan napas sedih.Aku terkesiap. Mengapa aku tidak tahu kabar berita ini? Tepatnya, Tisni tidak bercerita apa-apa.“Apa ada toko yang ingkar bayar, Pak?” Telisikku lebih jauh.“Ceritanya cukup panjang,” Bapak membetulkan letak duduknya, kakinya yang semula terangkat satu di atas kursi kini diturunkan.“Enam bulan sebelum bangkrut ada kenalan yang menyarankan untuk menambah pemasaran tas sampai ke luar kota. Dia lalu menge
“Tisni dan Oded sedang ada masalah,” kata Bapak memulai, mata beliau memandang Ibu lama.Ibu yang dipandangi seserius itu memiringkan sedikit kepalanya, kemudian memerhatikan ekspresi Bapak dengan dahi berkerut.“Serius ya, Pak? Bapak sampai muram begini,” sahut Ibu sambil terus mengamati ekspresi Bapak.“Kata Oded Tisni sudah melakukan... perbuatan jahat, Bu,” Bapak tersendat. Melihat gayanya, Bapak tampak tidak tega mengatakan kata “selingkuh”.“Perbuatan jahat apa, Pak? Bicaranya yang jelas, dong.” Ibu terlihat penasaran tingkat tinggi. Andai dewa dewi itu nyata, pasti rasa penasaran Ibu sudah sampai ke tempat tinggal para dewa di kahyangan.“Iya, maksud Bapak...”Kriettt! Bunyi pagar rumah yang dibuka memotong ucapan Bapak.Sontak kami
“Bu!” Bapak meraih tubuh Ibu yang lunglai, kemudian membaringkan pada sofa panjang.“Cepat ambil minyak kayu putih, Tis,” perintah Bapak sembari menoleh ke arah Tisni.Tisni tergeragap, ia sadar dari sikap terbengong akibat terkejut melihat Ibu jatuh. Tergopoh-gopoh, Tisni memasuki kamarnya dan mencari barang yang diinginkan Bapak.Aku mematung di tempat, tak tahu apa yang harus dilakukan. Aku menatap ke arah Ibu yang tengah dikipasi oleh Bapak.“Ini minyak kayu putihnya, Pak,” Tisni datang setengah berlari, di tangannya teracung sebotol kecil minyak kayu putih dan sehelai tisu.Bapak menyambut botol yang diulurkan Tisni, lalu membuka tutupnya. Cairan beraroma kuat di dalam botol dituangkan sedikit ke tisu. Tisu yang sudah basah oleh minyak itu lalu digerak-gerakkan di depan hidung Ibu.Entah kar
Tisni membalik badan dan melangkah pergi, setelah sebelumnya berpamitan pada sahabatnya Dewi dan Resti di pintu gerbang mess. Dewi dan Resti sama-sama menatap tas ransel yang tergantung di punggung Tisni, menjauh bersama pemiliknya. Sosok Tisni lenyap di balik angkot yang membawanya pergi secepat kedatangannya yang mengebut.“Kasihan Tisni ya, Res,” desah Dewi pelan. Napasnya mengembus pelan namun berat.“Maksudmu?” sahut Resti. Bola hitam mata Resti bergulir ke sudut, melirik Dewi di sampingnya.“Ya, Tisni hanya dikadalin Mas Rudi,” jelas Dewi. Sekarang Dewi menggeleng-gelengkan kepala dengan raut wajah prihatin.“Hm, sebetulnya aku sudah menduga sejak lama lho, Dew,” balas Resti. Kepalanya ditelengkan miring, hingga wajahnya lurus ke arah wajah Dewi.“Oya? Kok bisa, Res? Kamu punya firasat begitu?” kejar Dewi. Dewi bal
Pasrah. Itulah sikap yang kupilih. Biar saja semua orang membicarakanku sekehendak hati. Lebih baik aku fokus pada pekerjaan. Meskipun dalam hati kecil, terbersit rasa penasaran. Siapa dalang penyebar fitnah ini?Suatu hari, aku ungkapkan ganjalan hati tentang hal ini pada Boy dan Beni. Mereka berdua sudah aku percaya, karena terbukti berulang kali tak pernah mencampuri urusan orang lain jika tak diminta.“Kalau menurutku, penyebar fitnah itu ya Santi sendiri,” ujar Beni sambil merokok.Usai satu kalimat, ia mengisap benda haram itu dengan nikmat. Asap keluar dari dua lubang hidungnya membentuk dua jalur asap.“Menurutku juga begitu. Santi sakit hati, makanya mengarang kisah untuk menyudutkanmu, Kang,” timpal Beni.Beni seorang perokok berat, levelnya melebihi Boy. Sekarang saja ia mengeluarkan bungkus rokok kedua, lalu sebatang rokok berpindah
Tiada hari tanpa penyesalan. Menyesal kurang memerhatikan Tisni, menyesal kurang menunjukkan rasa cintaku padanya, menyesal menganggap keluhannya sebagai angin lalu, menyesal dan menyesali banyak hal. Ribuan penyesalan silih berganti menghinggapi benak, hingga aku tenggelam dalam lautan keputusasaan.“Sudah, Ded. Jangan terlalu dipikirkan. Semua yang telah berlalu, anggaplah masa lalu kelabu. Pikirkan langkah baru,” nasihat Paman Andi kepadaku, sok bergaya menjadi pujangga.Tak aku jawab perhatian kakak ayahku itu. Hanya sorot mata pilu yang kuberikan sebagai tanggapan. Meskipun mulutku terkunci, sejatinya hatiku ingin menampik.“Mudah bagi Paman bicara itu, karena bukan Paman yang patah hati,” bisik hati kecilku.Lepasnya Tisni sebagai istri merupakan kehilangan besar yang berdampak hebat bagi jiwa dan ragaku. Baru dua minggu surat cerai dari Pengadilan Agama kuterima, berat
Cantik. Itu yang kulihat ketika pertama kali mengenal Tisni. Wajahnya lugu khas gadis kampung, namun ia tak terlihat kampungan. Kulitnya putih bersih dan halus, matanya tidak liar jelalatan, bahkan ia lebih sering menunduk jika berbicara dengan lelaki atau orang yang lebih tua.Kang Oded sendiri teman yang cukup menyenangkan. Sejak kantorku menyewa jasanya untuk membuat seragam kantor, kami mulai dekat. Awalnya aku ke rumahnya untuk urusan proyek baju seragam, lalu kunjunganku berlanjut untuk sekedar mengobrol santai.Keberadaan Tisni yang cantik menjadi daya tarik tersendiri bagiku untuk terus berkunjung ke rumah Kang Oded. Dengan bertandang ke rumahnya, aku berharap dapat menikmati wajah cantik Tisni.Saat Kang Oded meminta bantuanku untuk mengajari Tisni komputer, aku langsung menyanggupi. Ini kesempatan untuk berdekat-dekatan dengan Tisni. Siapa yang tak suka berdekatan dengan perempuan cantik yang harumnya melambung
Keesokan harinya, sebuah paket besar datang ke rumah. Saat itu, kami sekeluarga sedang makan siang bersama.“Paket!” seru Abang pengantar paket dari ekspedisi.Aku menghambur ke pintu depan, lantaran tahu Ibu sudah cukup tua untuk berlari menyambut paket.“Ya?” Sapaku pada Abang paket.“Paket buat Ibu Tisni?” tanyanya, sementara mata Abang paket terpaku pada label di atas paket besar yang ditopang oleh kedua tangannya.“Saya sendiri,” jawabku antusias.“Silakan,” ujar Abang paket seraya menyerahkan paket besar seukuran kardus minuman mineral ke arahku.Aku menyambut paket terbungkus kertas tebal cokelat itu, sedangkan Abang paket mencatat sesuatu dalam notesnya.“Terima kasih,” ujarku otomatis.Aku berjalan masuk kembali sambi
Haruskah aku menerima Kang Oded kembali, setelah semua kekecewaan yang ia berikan? Rasanya tak mungkin aku menjilat ludah sendiri. Egoku mengajak untuk menolak tawaran Kang Oded.Tetapi ... Bukankah aku juga gegabah? Aku balas semua kelakuannya dengan pengkhianatan, sebelum kami resmi berpisah. Kalau dipikir-pikir lagi, aku pun sama bersalahnya dengan Kang Oded.Aku bingung.“Aku pikirkan dulu, Kang,” kataku akhirnya.Kang Oded mengangguk pelan. Tak kulihat kemarahan ataupun kekecewaan dari raut wajahnya. Mungkin reaksiku sudah diperkirakan olehnya.“Akang tunggu, Dik,” balasnya, tatapannya penuh ke arah mataku.“Oya, Akang mau berpantun dulu. Boleh?” tambahnya, tak terduga.“Boleh, Kang,” jawabku sambil mengangguk.“Ke Cikini membeli dukuhWayah gini masih
“Tisni? Tumben pulang di hari kerja begini,” sapa Ibu dengan nada suara terkejut.Tiba-tiba saja sosok Ibu muncul dari belakang dia. Tergopoh-gopoh Ibu mendekatiku dengan raut wajah yang sulit dilukiskan. Sorot mata Ibu heran menatapku, tapi bibir beliau tersenyum semringah.“Ayo lekas masuk, kok malah bengong di depan rumah,” seloroh Ibu.Senyum Ibu semakin lebar saat menggandeng tanganku dan menuntun untuk memasuki rumah. Aku tersadar dari rasa terpana yang menghipnotis, lalu dengan pasrah mengikuti langkah Ibu yang mendahului gerakan kakiku.“Kebetulan sekali kamu datang, Tis. Kamu jadi bisa bertemu Oded,” celetuk Ibu.Gandengan tangan Ibu semakin erat, sementara tatapan Ibu beralih-alih antara aku dan Kang Oded di hadapan. Aku mematung, bingung harus bereaksi yang patut. Sementara itu, Kang Oded juga tampak gugup dan grogi berhadapan dengan
Saat sadar, aku sudah berada di atas kasur di mess. Bagaimana caranya aku sampai di sini? Apakah aku bermimpi?Aku terbatuk, ada sesuatu yang gatal di kerongkongan.“Kamu sudah sadar, Tis? Duh, Tisni. Aku cemas banget,” suara Dewi mengalun.Ternyata Dewi sudah ada di sebelahku, dengan Resti di belakangnya. Aku betul-betul merasa kebingungan saat ini.“Apa yang terjadi?” Tanyaku lemah.“Kamu pingsan. Mas Rudi memanggilkan taksi dari aplikasi untuk kita tumpangi,” jawab Dewi.Ah, sekarang ingatanku kembali. Kejadian di kantor Mas Rudi kembali berputar dalam memori. Kilasan peristiwa menyakitkan yang ingin aku lenyapkan selamanya. Peristiwa terburuk dalam hidupku hingga saat ini.Tiba-tiba tanganku sudah ada dalam genggaman Dewi. Hangat telapak tangannya di tanganku terasa sangat nyaman, memberi ketenangan
“Mas Rudi keterlaluan!” jeritku sambil menangis.Air mata berjatuhan, membasahi pipi dan baju yang aku kenakan. Tanpa sadar, tanganku meremas-remas kuat ujung baju hingga kusut.Dewi memelukku erat, bahkan matanya ikut berkaca-kaca dan basah. Ia memang sahabat sejati, dalam senang dan susah. Bahkan di saat aku berbuat buruk, tak sedikit pun ia mengutuk.Resti terdiam di tempat duduk, sedangkan kepalanya tertunduk. Jemari lentik memungut kartu undangan yang tergeletak di lantai, lalu meluruskan permukaan yang terlipat.“Sabar, Tis. Sabar...” ujar Dewi lirih sekali.Dalam suaranya, aku merasakan sikap prihatin dan simpati yang besar. Pelukannya tak mengendor, meskipun bahuku terguncang-guncang karena tangisan.“Aku harus minta penjelasan dari Mas Rudi!” Aku memekik, memuntahkan rasa sesak yang bergumpal dalam dada.&nb