Syaqila langsung melepaskan tangannya dari genggaman Ibu mertuanya, tanpa kata ia langsung beranjak dari sana, dengan langkah yang cepat berjalan menuju kamar.
“Syaqila, Sya!” panggil Bu Yanti.Tapi Syaqila tidak menghiraukannya, ia butuh waktu sendiri, memberikan jawaban serta keputusan tersebut tidaklah gampang, karena sejati tidak ada seorang wanita yang ingin diduakan, berbagi suami dengan wanita lain apapun itu alasannya!“Ma, udah!” ucap Nusa, menahan Bu Yanti yang hendak pergi menyusul Syaqila.“Tapi, Nu-”“Biar nanti aku yang akan bicara sama Syaqila,” potong Nusa. Akhirnya Bu Yanti pun mengangguk pasrah.Setelah itu Nusa pun berlalu dari sana menyusul istrinya. Sebenarnya Nusa tidak setuju dengan hal ini, tapi ia tidak ada pilihan lain, posisinya terasa serba salah.Usai kepergian Nusa, Lara mendekat kearah Bu Yanti, merangkul wanita paruh baya itu. “Tante, sepertinya ini akan sulit, lebih baik aku mundur saja,” kata Lara dengan lirih.Bu Yanti langsung menatapnya, “enggak! Kamu jangan bicara seperti ini, Lara. Kamu pasti akan menjadi menantu Tante!” tegasnya.***Syaqila duduk ditepi ranjang sambil menangis tersedu-sedu. Kenyataan ini terlalu pahit dan sulit untuk ia terima. Jika sudah seperti ini, ia harus menyalahkan siapa?Apa harus ia menyalahkan dirinya sendiri dengan kekurangan saat ini?Apakah benar ia mandul?Tapi, bukankah hasil medis pun selalu menyatakan jika dirinya sehat dan kemungkinan mempunyai anak itu ada. Hanya belum waktu saja, tidak bisakah mereka bersabar sebentar saja?“Sya ... ” Suara lembut itu menyapanya bersamaan dengan pintu kamar yang terbuka.Suara yang biasanya selalu mendebarkan hati Syaqila, kini terasa berbeda. Suara lembut yang menyapanya itu sudah memberi luka.Nusa terlihat berjalan mendekati istrinya. Syaqila bergeming, pandangannya lurus kedepan dengan mata yang terus menitikkan air mata.“Sejak kapan, Mas?” tanya Syaqila dengan suara yang bergetar. Sesaat Nusa sudah duduk disampingnya.“Maafkan aku ... ” Nusa meraih tangannya, tapi dengan cepat Syaqila menepisnya.“Bukan kata itu yang aku mau dengar dari kamu, Mas. Jawab! Sejak kapan kamu mengkhianati aku, mengkhianati pernikahan kita?” tanya Syaqila meninggikan suaranya.“Aku gak pernah mengkhianati kamu, Sya, aku gak pernah mengkhianati pernikahan kita, demi Tuhan!”Syaqila menyerka air matanya seraya tersenyum hambar. Senyuman yang penuh dengan kekecewaan nampak jelas terlihat oleh Nusa.“Percayalah, Sya. Aku hanya mencinta kamu, hanya nama kamu yang tersemat di dalam hati aku, tidak ada wanita lain!” lanjut Nusa sambil menunjuk dadanya sendiri, menyakinkan sang istri jika dirinya sangatlah mencinta Syaqila dan itu benar adanya.“Cukup, Mas! Jangan bicara omong kosong!” Syaqila menatap tajam pada suaminya.“Aku tidak berbicara omong kosong, Sya. Demi Tuhan, sumpah, aku hanya mencinta kamu!” balas Nusa dengan tegas, membalas tatapan istrinya. “Aku tidak bisa membantah keinginan Mama, Sya,” lanjutnya lirih.Kedua netra Nusa nampak berkaca-kaca. Wajahnya menampakan ketidak berdayaannya. “Mama ingin segara memiliki cucu, aku tidak punya pilihan lain.”“Tapi, aku gak mandul, Mas! Pernikahan kita bahkan baru berjalan tiga tahun, Mas! Kemungkinan aku segara hamil itu pasti besar! Di luar sana bahkan ada yang menikah sudah lebih lama dari kita dan belum dikarunia anak juga, banyak diluar sana pejuang garis dua. Kita hanya perlu bersabar saja, ini semua hanya masalah waktu Mas, tidak bisakah kalian bersabar sebentar saja? Aku juga ingin mempunyai anak, Mas, ingin sekali, tapi jika Tuhan belum menghendakinya, aku bisa apa? Kenapa kamu malah ingin membawa wanita lain dalam rumah tangga kita, Mas! Kanapa?” papar Syaqila dengan dada naik turun, meluapkan isi hati dan kekecewaan pada sang suami.Nusa langsung menundukkan kepalanya. Ucapan Syaqila memang ada benar, apakah ia terlalu cepat menyetujui keputusan yang diberikan oleh ibunya?‘Jika kamu tidak mau menikahi Lara, lebih baik Mama mati saja!’ ancaman dari ibunya saat itu, membuat Nusa tak ada pilihan lain selain menyetujui permintaan dari wanita yang sudah melahirkan itu.‘Selama ini Mama tidak pernah meminta apapun dari kamu, Nu, Mama selalu membebaskan kamu untuk memilih dan mendukung pilihan kamu, dari hal apapun. Tapi, untuk kali ini, Mama mohon dengan sangat, Mama hanya ingin cucu, kamu dan Syaqila belum bisa memberinya, Mama sudah cukup sabar menunggu selama ini. Lagi pula dalam ajaran kita, pria boleh lebih memiliki satu istri, apa lagi kamu punya alasan yang kuat untuk meminta izin pada Syaqila untuk menikahi Lara, bukankah selama ini Syaqila juga ingin sekali memiliki anak, Mama yakin jika nanti kamu menikah dengan Lara, dan dia hamil, Syaqila juga pasti bahagia, karena anak kamu dan Lara akan jadi anak Syaqila juga.’“Aku melakukan ini semua untuk kebahagiaan kamu juga, Sya,” ucap Nusa, yang teringat dengan ucapan ibunya tempo itu.Syaqila terkejut mendengar ucapan suaminya.‘Bahagia?’ tanya Syaqila hanya terdengar oleh bilik hatinya.Bahagia macam apa yang akan dia rasakan? Jelas-jelas suaminya akan membawa ratu lain dalam istana cinta mereka. Membawa Madu untuknya, Madu dengan lain rasa, bukan Madu yang biasa mempunyai rasa manis, tapi Madu yang rasanya mungkin teramat pahit. Membayangkan saja membuat hati Syaqila kembali terasa nyeri.“Jika aku dan Lara menikah, lalu Lara hamil, kita akan punya anak sayang, anak aku dan Lara nantinya akan menjadi anak kamu, juga. Bukankah kamu juga sangat menginginkan anak?”Lagi-lagi Syaqila dibuat terkejut dengan ucapan suaminya. Tak sadarkah Nusa jika ucapannya itu semakin membuat hati istrinya terluka? Bak luka yang masih basah di siram oleh air garam, perih! Bukankah secara tidak langsung Nusa menganggap jika Syaqila tidak bisa memberikan dirinya anak.“Aku bukan wanita mandul, Mas! Aku memang ingin memiliki anak, tapi bukan anak dari benihmu dan wanita itu!” tegas Syaqila, dengan tatapan terluka bercampur amarah.“Sya-”“Lebih baik kamu keluar, Mas! Aku ingin istirahat!” potong Syaqila, mengusir suaminya. Syaqila langsung naik keatas ranjang membaringkan tubuhnya di sana, dengan posisi membelakangi Nusa.“Baiklah, aku tahu kamu butuh waktu. Aku tahu semua ini sulit untuk kamu, Sya. Aku pun sama, tapi aku tidak punya pilihan, aku sangat mencintai kamu dan tidak ingin kehilangan kamu, tapi aku juga tidak bisa membantah keinginan Mama, aku juga tidak ingin kehilangan wanita yang sudah melahirkan aku, Sya. Kalian berdua wanita yang sangat aku sayangi,” ucap Nusa. Lalu beranjak dari sana, ia tahu jika Syaqila butuh waktu untuk memikirkan semuanya.‘Kamu tahu semua ini sulit untuk aku, Mas, tapi kamu melakukannya. Tidakkah kamu mengerti perasaanku, aku tahu kamu sangat menyayangi Mama, tapi kenapa kamu tega melukai hatiku? Ibumu memang Surga—mu, Mas, tapi aku adalah kunci Surga—mu,’ batin Syaqila. Hanya mampu berkata dalam hatinya.Ia tidak tahu setelah ini harus apa, bertahan atau mundur?Yang pasti saat ini Syaqila ingin menenangkan diri terlebih dahulu, menata hatinya yang masih porak-poranda itu. Ia harus memikirkan matang-matang keputusan apa yang akan ia ambil.Bersambung ...Nusa menatap istrinya yang terbaring di atas ranjang dengan mata yang sudah terpejam, napas wanita itu terdengar sudah beraturan menandakan jika Syaqila sudah terlelap. Mendekat kearah sang istri, tangannya terulur mengusap pipi Syaqila yang masih didapati sisa-sisa air mata itu dengan lembut. Perasaan bersalah memenuhi relung hati Nusa. “Maafkan aku sayang,” bisik Nusa dengan lirih. Lalu mendaratkan kecupan di puncak kepala Syaqila. Setelah itu Nusa pun naik keatas ranjang membaringkan tubuhnya di samping sang istri, memeluk Syaqila yang membelakanginya itu. “Percayalah jika pun nanti aku sudah menikah dengan Lara, kamu akan tetap menjadi ratu dalam hatiku, Syaqila,” bisik Nusa kembali seraya mulai memejamkan matanya. Satu minggu berlalu ...Nusa terasa tersiksa karena sikap Syaqila yang berubah, istrinya yang biasa bawel itu mendadak menjadi pendiam, bicara pun hanya seperlunya saja. Namun, walaupun begitu, Syaqila masih tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri, menyiapk
Usai kepulangan Ibunya, Nusa masih duduk termenung di sana. Perkataan wanita yang sudah melahirkan itu terus menari-nari dibenak Nusa. Bagaimana ini? Apa yang harus dia lakukan? Ia benar-benar belum siap untuk menikahi Lara secepat itu. Dan bagaimana dengan Syaqila, bagaimana ia menyampaikan hal ini pada istri tercintanya itu? Mendadak kepalanya terasa pusing, kenapa semuanya jadi seperti ini?Hingga keesokan paginya, seperti biasa Nusa menyantap sarapan yang sudah disiapkan oleh istrinya itu sebelum ia berangkat ke kantor. Syaqila ada di sana menemani suaminya sarapan. Namun, dari awal hingga selesai mereka menyantap makanan, wanita itu tidak bersuara sama sekali, suasana hening mendominasi tidak ada obrolan hangat seperti biasanya. “Sya, aku ingin membicarakan sesuatu,” ujar Nusa, menahan istrinya yang hendak beranjak dari sana. Syaqila pun kembali mendudukkan dirinya di kursi meja makan tersebut, menatap sekilas pada suaminya. “Apa?” tanya Syaqila dengan raut wajah datar. Lalu
“Kenapa muka Lo kusut begitu?” tanya Rian pada Nusa di saat pria itu kembali. “Biasa, kena omel Gue. Tapi ... emang Gue yang salah sih,” jawab Nusa lemas. “Tumben banget kena omel, biasanya perkerjaan Lo beres semua?”“Belakangan ini Gue lagi banyak masalah, jadi kurang fokus kerja, pusing kepala gue,” keluh Nusa. Rian terlihat mengangguk-angguk kepalanya. “Lagi ada masalah apaan sih? Kayanya serius banget?” tanyanya kepo. Penasaran masalah apa yang tengah dihadapi oleh sahabatnya itu. Nusa menghelai napas beratnya, seperti memang ia butuh teman bicara. Apa lagi dia dan Rian sudah berteman sejak dulu, tidak ada salahnya ia menceritakan masalahnya itu, siapa tahu sahabatnya itu bisa memberikan saran. “Yaelah, ditanya malah bengong!” sentak Rian. “Gue mau nikah lagi,” ujar Nusa. “Hah?” Rian nampak terkejut, “serius Lo, bro? Keren banget mau punya bini dua!” lanjutnya sambil tergelak tawa. “Gue serius, Rian!” ucap Nusa kesal menatap tajam padanya, kerena sahabatnya itu malah terta
Singkat cerita, hari pernikahan antara Nusa dan Lara pun tidak bisa dihindari. Besok acara pernikahan kedua suaminya Syaqila itu akan dilangsungkan di kediaman Bu Yanti. “Sya, besok pernikahan aku dan Lara akan dilangsungkan, di rumah Mama. Maaf jika ini terlalu cepat dan aku gak bisa menghindari semuanya, aku gak bisa menolak permintaan Mama, dia wanita yang sudah melahirkan aku, Sya. Kamu mengerti, ‘kan? Aku gak minta buat kamu hadir di sana, karena aku tahu semua ini masih sulit untuk kamu. Aku hanya minta restu dan doa dari kamu, bagaimana pun kamu adalah istriku,” ucap Nusa, semalam. Syaqila bergeming, walaupun sebenernya ia cukup terkejut dengan kabar yang diberikan pria yang berstatus suaminya itu. Nusa memang pernah mengatakan jika pernikahan keduanya dengan Lara akan dipercepat beberapa hari yang lalu. Tapi, kini hatinya seolah membatu, mendengar hal itu tidak ada lagi rasa ngilu yang terasa di dadanya. Apakah mungkin ia sudah mati rasa? “Aku pamit ke rumah Mama dulu, ya.
Setengah jam kemudian, Syaqila kini sudah sampai di sebuah Restoran tempat di mana wanita itu membuat janji dengan pengacaranya yaitu Lia. Syaqila masuk kedalam Restoran tersebut seraya menatap kesekitar mencari keberadaan Lia. “Mbak Syaqila ya?” Tiba-tiba seorang wanita menghampirinya. Syaqila mengangguk. “Iya, Bu Lia ya?” “Iya saya Lia, mari,” ajaknya. Mereka pun berjalan beringin menuju tempat yang sebelumnya sudah di pesan oleh Lia. Namun, Syaqila sedikit kebingungan saat melihat ada seorang pria yang duduk di sana. Siapa dia? Syaqila seperti pernah melihat pria itu tapi di mana, ya? Apa mungkin pria itu suaminya Lia? Entahlah, untuk apa juga ia memperdulikan pria itu. Urusannya ke sini ingin membicarakan soal rencana penggugatan cerainya bersama Lia. “Kak, pindah tempat sana!” pinta Lia pada pria tersebut. Pria itu hanya mengangguk, menuruti perintahnya. Mencari tempat duduk lain. “Mari duduk, Mbak,” ujar Lia pada Syaqila. Syaqila kembali mengangguk. “Maaf ya saya memb
Langit sore itu nampak dipenuhi awan hitam, tanda-tanda hujan akan datang. Namun, Syaqila betah menatap langit suram tersebut, langit itu seakan menggambarkan perasaannya saat ini, gelap. Wanita berusia 25 tahu itu menadahkan wajah dan tangannya di saat tetasan air dari langit itu mulai turun, membiarkan rintik hujan mengenai wajah dan tangannya.Hujan semakin lebat, Syaqila masih setia berdiri di taman belakang rumahnya itu. Hingga air hujan tersebut sukses membuatnya basah kuyup. Entah apa yang ada dipikiran wanita itu, yang pasti saat ini Syaqila ingin menangis sejadi-jadinya menumpahkan air matanya bersamaan dengan air hujan menjadi satu. “Ya Allah, Non!” Tariak Bi Nur, terengah-engah menghampiri sang majikan seraya membawa payung. Tanpa kata-kata wanita paruh baya itu langsung memayungi majikannya dan memapahnya masuk kedalam rumah. “Tunggu sebentar, Bibi ambilkan handuk dulu,” lanjut Bi Nur, mendudukkan majikannya itu di kursi meja makan. Lalu ia berjalan secepat mungkin men
Syaqila masih terdiam mencoba mencerna baik-baik ucapan Dokter Sinta barusan. Semua itu sangat sulit ia percaya.Jadi obat yang selama ini ia konsumsi adalah Pil KB? Bukan obat penyubur kandungan? Pantas saja selama ini ia tidak hamil-hamil. Bukan karena dirinya mandul, tapi karena obat itu! Sampai kapan pun dia tidak akan bisa mempunyai anak jika terus mengonsumsi obat itu! Ya Tuhan apa ini? Siapa yang tega melakukan semua ini padanya? Syaqila masih mengingat jelas, saat malam pertama dirinya menikah dengan Nusa, suaminya itu yang memberikan obat tersebut. Nusa juga sempat memperlihatkan wadah obat tersebut hanya saja Syaqila memang tidak menelitinya, apa merek obat tersebut. Ia percaya begitu saja dan menurut meminum obat tersebut karena Nusa mengatakan jika obat tersebut obat penyubur kandungan, dengan harapan jika Syaqila meminumnya mereka akan segera diberikan momongan. Kenapa Nusa tega membohonginya? Kenapa suaminya tega melakukan semua ini?Tapi, apakah mungkin Nusa yang m
“Bisa dipercepat gak sih Mbak? Ini waktunya udah mepet loh, bentar lagi akad nikah mau dilangsungkan!” pinta Lara ketus pada MUA yang masih memoles wajahnya. “Sabar Mbak, sebentar lagi ini selesai kok,” sahut sang MUA. Berusaha tetap ramah dan profesional, walaupun sebenernya hatinya sudah sangat dongkol menghadapi kliennya yang satu ini. Kerana apa yang terjadi saat ini tidak sesuai dengan kesepakatan awal mereka. Lara terlalu bawel dan bersikap seenaknya. “Ck! Dari tadi bilangnya sebentar lagi terus, bayaran aja mahal tapi kerjanya lemot!” gumam Lara dengan suara cukup pelan. Namun, masih terdengar jelas oleh sang MUA. MUA yang bernama Lindy itu tidak ingin menyahutinya. Ia hanya menghelai nafas panjangnya, menghadapi sikap Lara yang semakin menjadi tersebut. Hingga beberapa saat kemudian, Lara pun sudah selesai dengan riasannya. Wanita yang sebentar lagi akan menjadi istri kedua Nusa itu nampak tersenyum puas saat melihat hasil riasannya lewat cermin yang ada di depannya it
“Di mana rumah kamu?” tanya Leo, sejak tadi ia melajukan mobilnya, belum sempat bertanya kemana ia harus mengantarkan Syaqila dan Rima. “Perumahan Gandaria,” jawab Syaqila. Letak rumahnya memang tidak terlalu jauh dari Rumah Sakit tersebut. Leo sendiri tahu perumahan tersebut, lantas pria itu pun mengangguk kepalanya usai mendapatkan jawaban dari Syaqila. Suasana hening seketika, diam-diam Leo memperhatikan Syaqila dari kaca spion yang ada dihadapannya. Leo bisa melihat dari gerak-gerik wanita itu, Syaqila nampak tidak nyaman. Entah apa yang tengah dipikirkan oleh Syaqila saat ini. Hingga beberapa saat kemudian, Rima memecah keheningan tersebut, wanita itu bertanya pada Leo. “Kak Leo kok tadi bisa ada di Rumah Sakit? Kebetulan sekali ya.” Rima memang memanggil Leo dengan sebutan Kakak, selain usai Leo memang lebih tua darinya, pria itu juga Kakak dari Lia, temannya. “Ah iya, itu ... emm tadi saya kebelet, jadi mampir dulu ke sana, numpang pipis,” jawabnya gugup. “Terus saya lia
Nusa baru saja terbangun, pria itu terkejut disaat melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul 08.30 WIB.“Astaga, aku kesiangan!” gumamnya kesal sendiri.Ia pun segara bergegas dari ranjang, menyingkirkan tangan wanita yang melingkar di pinggangnya. Tangan tersebut tak lain adalah tangan Lara, wanita itu terlihat masih tertidur pulas tanpa busana. Akibat pergulatan panasnya bersama Nusa semalam, sebab itu pula yang membuat Nusa bangun kesiangan. Nusa pun buru-buru menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Mengingat hari sudah cukup siang, dan hari ini ia berniat akan menemui istri pertamanya yaitu Syaqila, setelah beberapa hari istrinya itu di rawat di Rumah Sakit dan Nusa belum sempat menjenguknya. Bukan ia tidak khawatir, tentu saja Nusa sangat mengkhawatirkan istri pertamanya itu. Bahkan saat pertama kali mendapatkan kabar jika Syaqila masuk Rumah Sakit akibat kecelakaan, Nusa sudah berniat akan menemuinya. Tapi, sayangnya Bu Yanti melarangnya, dan tidak mengizinkan ia pergi
“Keadaan Bu Syaqila sudah membaik, hari ini Bu Syaqila sudah diperbolehkan pulang, tapi tunggu cairan inpusannya habis dulu ya,” kata seorang Dokter yang baru saja selesai memeriksa kondisi Syaqila pada pagi itu. “Alhamdulilah,” seru Rima. Yang memang selama dua hari ini menemani Syaqila di sana, wanita itu rela tidak masuk ke kantor demi menemani sahabatnya. Sementara Syaqila, wanita itu tersenyum sambil mengangguk kepala. Syukur, dia sudah diperbolehkan pulang. Ia juga tidak betah lama-lama di Rumah Sakit. “Kalau begitu saya permisi dulu,” pamit sang Dokter.“Baik Dok, terima kasih,” angguk Syaqila dan Rima bersamaan. Setelah itu sang Dokter pun berlalu dari ruangan rawat Syaqila. “Alhamdulilah, Sya, kamu udah boleh pulang. Kalau begitu aku mau beresin barang-barang kamu dulu, ya,” ucap Rima.“Iya, Rim. Maaf ya kalau aku ngerepotin kamu terus,” sahut Syaqila merasa tidak enak pada sahabat itu. “Iya kamu emang ngerepotin banget, Sya. Aduh pusing aku,” balas Rima sewot. Dengan
Acara pesta pernikahan Nusa dan Lara masih berlanjut, semakin siang makin banyak tamu undangan yang terus berdatangan, Bu Yanti memang sengaja mengundang banyak sahabat dan kerabatnya. Wanita itu memang menyiapkan pesta pernikahan kedua putranya dengan matang. Karena tanpa sepengetahuan Nusa, dia sudah merencanakan semua ini sudah cukup lama. Nusa sendiri dibuat terkejut, ia tidak menyangka Ibunya akan mengundang banyak tamu undangan seperti ini. Pesta pernikahannya dengan Lara pun bisa dikatakan cukup mewah, sangat jauh berbeda saat Nusa menikahi istri pertamanya, Syaqila. Mereka hanya mengadakan Ijab Qabul di KUA lalu berlanjut makan-makan dikediaman Bu Yanti bersama dengan keluarga dekatnya. Karena Syaqila sendiri adalah anak yatim pintu, dia sudah tidak punya keluarga. Hanya Ibu Panti yang saat itu mengantarkan Syaqila menikah dan mengikuti acaranya. “Ma, berapa banyak undangan yang Mamah sebar?” tanya Nusa berbisik pada sang Bu Yanti yang berdiri di sampingnya. Di sela mereka
“Bisa dipercepat gak sih Mbak? Ini waktunya udah mepet loh, bentar lagi akad nikah mau dilangsungkan!” pinta Lara ketus pada MUA yang masih memoles wajahnya. “Sabar Mbak, sebentar lagi ini selesai kok,” sahut sang MUA. Berusaha tetap ramah dan profesional, walaupun sebenernya hatinya sudah sangat dongkol menghadapi kliennya yang satu ini. Kerana apa yang terjadi saat ini tidak sesuai dengan kesepakatan awal mereka. Lara terlalu bawel dan bersikap seenaknya. “Ck! Dari tadi bilangnya sebentar lagi terus, bayaran aja mahal tapi kerjanya lemot!” gumam Lara dengan suara cukup pelan. Namun, masih terdengar jelas oleh sang MUA. MUA yang bernama Lindy itu tidak ingin menyahutinya. Ia hanya menghelai nafas panjangnya, menghadapi sikap Lara yang semakin menjadi tersebut. Hingga beberapa saat kemudian, Lara pun sudah selesai dengan riasannya. Wanita yang sebentar lagi akan menjadi istri kedua Nusa itu nampak tersenyum puas saat melihat hasil riasannya lewat cermin yang ada di depannya it
Syaqila masih terdiam mencoba mencerna baik-baik ucapan Dokter Sinta barusan. Semua itu sangat sulit ia percaya.Jadi obat yang selama ini ia konsumsi adalah Pil KB? Bukan obat penyubur kandungan? Pantas saja selama ini ia tidak hamil-hamil. Bukan karena dirinya mandul, tapi karena obat itu! Sampai kapan pun dia tidak akan bisa mempunyai anak jika terus mengonsumsi obat itu! Ya Tuhan apa ini? Siapa yang tega melakukan semua ini padanya? Syaqila masih mengingat jelas, saat malam pertama dirinya menikah dengan Nusa, suaminya itu yang memberikan obat tersebut. Nusa juga sempat memperlihatkan wadah obat tersebut hanya saja Syaqila memang tidak menelitinya, apa merek obat tersebut. Ia percaya begitu saja dan menurut meminum obat tersebut karena Nusa mengatakan jika obat tersebut obat penyubur kandungan, dengan harapan jika Syaqila meminumnya mereka akan segera diberikan momongan. Kenapa Nusa tega membohonginya? Kenapa suaminya tega melakukan semua ini?Tapi, apakah mungkin Nusa yang m
Langit sore itu nampak dipenuhi awan hitam, tanda-tanda hujan akan datang. Namun, Syaqila betah menatap langit suram tersebut, langit itu seakan menggambarkan perasaannya saat ini, gelap. Wanita berusia 25 tahu itu menadahkan wajah dan tangannya di saat tetasan air dari langit itu mulai turun, membiarkan rintik hujan mengenai wajah dan tangannya.Hujan semakin lebat, Syaqila masih setia berdiri di taman belakang rumahnya itu. Hingga air hujan tersebut sukses membuatnya basah kuyup. Entah apa yang ada dipikiran wanita itu, yang pasti saat ini Syaqila ingin menangis sejadi-jadinya menumpahkan air matanya bersamaan dengan air hujan menjadi satu. “Ya Allah, Non!” Tariak Bi Nur, terengah-engah menghampiri sang majikan seraya membawa payung. Tanpa kata-kata wanita paruh baya itu langsung memayungi majikannya dan memapahnya masuk kedalam rumah. “Tunggu sebentar, Bibi ambilkan handuk dulu,” lanjut Bi Nur, mendudukkan majikannya itu di kursi meja makan. Lalu ia berjalan secepat mungkin men
Setengah jam kemudian, Syaqila kini sudah sampai di sebuah Restoran tempat di mana wanita itu membuat janji dengan pengacaranya yaitu Lia. Syaqila masuk kedalam Restoran tersebut seraya menatap kesekitar mencari keberadaan Lia. “Mbak Syaqila ya?” Tiba-tiba seorang wanita menghampirinya. Syaqila mengangguk. “Iya, Bu Lia ya?” “Iya saya Lia, mari,” ajaknya. Mereka pun berjalan beringin menuju tempat yang sebelumnya sudah di pesan oleh Lia. Namun, Syaqila sedikit kebingungan saat melihat ada seorang pria yang duduk di sana. Siapa dia? Syaqila seperti pernah melihat pria itu tapi di mana, ya? Apa mungkin pria itu suaminya Lia? Entahlah, untuk apa juga ia memperdulikan pria itu. Urusannya ke sini ingin membicarakan soal rencana penggugatan cerainya bersama Lia. “Kak, pindah tempat sana!” pinta Lia pada pria tersebut. Pria itu hanya mengangguk, menuruti perintahnya. Mencari tempat duduk lain. “Mari duduk, Mbak,” ujar Lia pada Syaqila. Syaqila kembali mengangguk. “Maaf ya saya memb
Singkat cerita, hari pernikahan antara Nusa dan Lara pun tidak bisa dihindari. Besok acara pernikahan kedua suaminya Syaqila itu akan dilangsungkan di kediaman Bu Yanti. “Sya, besok pernikahan aku dan Lara akan dilangsungkan, di rumah Mama. Maaf jika ini terlalu cepat dan aku gak bisa menghindari semuanya, aku gak bisa menolak permintaan Mama, dia wanita yang sudah melahirkan aku, Sya. Kamu mengerti, ‘kan? Aku gak minta buat kamu hadir di sana, karena aku tahu semua ini masih sulit untuk kamu. Aku hanya minta restu dan doa dari kamu, bagaimana pun kamu adalah istriku,” ucap Nusa, semalam. Syaqila bergeming, walaupun sebenernya ia cukup terkejut dengan kabar yang diberikan pria yang berstatus suaminya itu. Nusa memang pernah mengatakan jika pernikahan keduanya dengan Lara akan dipercepat beberapa hari yang lalu. Tapi, kini hatinya seolah membatu, mendengar hal itu tidak ada lagi rasa ngilu yang terasa di dadanya. Apakah mungkin ia sudah mati rasa? “Aku pamit ke rumah Mama dulu, ya.