Usai kepulangan Ibunya, Nusa masih duduk termenung di sana. Perkataan wanita yang sudah melahirkan itu terus menari-nari dibenak Nusa.
Bagaimana ini? Apa yang harus dia lakukan? Ia benar-benar belum siap untuk menikahi Lara secepat itu. Dan bagaimana dengan Syaqila, bagaimana ia menyampaikan hal ini pada istri tercintanya itu?Mendadak kepalanya terasa pusing, kenapa semuanya jadi seperti ini?Hingga keesokan paginya, seperti biasa Nusa menyantap sarapan yang sudah disiapkan oleh istrinya itu sebelum ia berangkat ke kantor.Syaqila ada di sana menemani suaminya sarapan. Namun, dari awal hingga selesai mereka menyantap makanan, wanita itu tidak bersuara sama sekali, suasana hening mendominasi tidak ada obrolan hangat seperti biasanya.“Sya, aku ingin membicarakan sesuatu,” ujar Nusa, menahan istrinya yang hendak beranjak dari sana.Syaqila pun kembali mendudukkan dirinya di kursi meja makan tersebut, menatap sekilas pada suaminya.“Apa?” tanya Syaqila dengan raut wajah datar. Lalu ia memalingkan wajahnya menghindari tatapan suaminya itu.Nusa terdiam sejenak, kedua netranya tak lepas memandang istrinya, yang seperti enggan menatapnya itu, hatinya terasa nyeri melihat perubahan sikap sang istri.“Mama memintaku secepatnya menikahi Lara,” ujar Nusa lirih, dengan berat hati ia memberitahu istrinya tentang keinginan Bu Yanti semalam.Sebuah senyuman terulas dibibir wanita cantik itu tatkala mendengar penuturan suaminya itu. “Menikahlah, kenapa harus memberitahu aku?”Terlihat Syaqila menanggapinya dengan santai tidak ada keterkejutan sama sekali. Hal itu membuat Nusa cukup aneh melihatnya.“Ka-kamu mengizinkan aku menikahi dia, Sya?” tanya Nusa gugup.“Apa kamu perlu izinku? Bukankah dengan atau tanpa izinku kamu dan dia pasti akan menikah juga?” balik tanya Syaqila.“Apa maksud kamu, Sya? Kamu istriku, jelas aku perlu izinmu!”“Jika aku tidak mengizinkan, bagaimana?”Seketika Nusa langsung mati kata mendengarnya. Sadar, jika pernikahannya dengan Lara pasti akan terjadi, keinginan Bu Yanti sudah tidak bisa diganggu gugat lagi.Syaqila terlihat mengambil napas panjangnya, ia kini ia menatap intens pada Nusa yang duduk berseberangan dengannya itu.“Kamu tidak bisa menjawab pertanyaan aku, 'kan, Mas? Benar, 'kan, apa yang aku katakan barusan? Jadi ... Lebih baik kamu ceraikan aku saja, Mas. Sebelum kamu menikah dengan Lara,” pinta Syaqila.Tapi, langsung mendapatkan gelengan cepat dari Nusa, jelas ia menolak permintaan istrinya.“Harus berapa kali aku bilang sama kamu, Sya! Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menceraikan kamu!” tegasnya.“Baiklah, kalau begitu terserah kamu saja!” Syaqila langsung beranjak dari sana.‘Jika kamu kekeuh tidak mau menceraikan aku, Mas, biar aku yang akan menggugat cerai kamu. Aku tidak sanggup jika harus di madu,’ lanjut Syaqila hanya terdengar oleh bilik hatinya.Syaqila benar-benar sudah tidak perduli lagi apa yang akan terjadi selanjutnya. Fokusnya kini ingin berpisah dengan suaminya itu, jika Nusa tidak ingin bercerai dengannya, maka dirinya yang akan menggugat cerai suaminya itu. Karena ia sudah yakin pernikahan antara suaminya dan Lara pasti akan terjadi, seribu kali ia menolaknya, tidak akan ada gunanya.Hal pertama yang harus ia lakukan saat ini adalah, mencari seorang pengacara untuk membantunya. Tentunya semua itu harus ia lakukan secara diam-diam tanpa sepengetahuan Nusa, kerena jika Nusa tahu, ia yakin suaminya itu pasti tidak akan tinggal diam.***“Nu, Lo dipanggil Pak Leo, tuh,” ujar Rian rekan kerjanya sekaligus temannya sejak mereka masih kuliah dulu.“Pak Leo?” ulang Nusa keheranan. Pak Leo, yang dimaksud adalah pemilik perusahaan tempat mereka kerja.“Ada apa ya dia manggil Gue?” lanjut Nusa.Rian mengangkat bahunya tidak tahu. “Sana temuin aja dulu cepet!” titahnya, langsung mendapatkan anggukan dari Nusa.Pria itu pun beranjak dari tempat duduknya, berjalan menuju ruangan yang bertuliskan ‘Direktur Utama’ tepatnya ruangan Pak Leo berada. Nusa sendiri di sana menjabat sebagai manager.Sesampainya di depan ruangan tersebut, Nusa mengetuk pintu terlebih dahulu.“Masuk!” Terdengar sahutan dari dalam sana.Dia pun membuka pintu ruangan tersebut dan masuk.“Selamat siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Nusa dengan sopan.“Duduk,” titah atasannya itu.Nusa menurut, dia pun duduk di kursi yang ada didepan meja atasannya itu. Nusa tidak berani menatap Leo, dari sudut matanya ia melihat ekspresi wajah sang atasan tidak biasa, ada kilatan amarah yang seperti terpancar dari sana.“Anda tahu kenapa saya memanggil Anda ke sini?” tanya Leo, mulai membuka percakapan.Nusa menggeleng.Brakk!Nusa tersentak saat tiba-tiba atasannya itu membanting map ke atas meja.“Apa anda sudah periksa laporan ini dengan benar? Saya sudah memberikan waktu untuk anda membenahi laporan ini, tapi kenapa hasilnya tambah kacau, hah?” bentak Leo penuh dengan amarah.“Ma-maaf, Pak. Sa-saya akan periksa ulang laporannya dan membenahi semuanya secepatnya,” jawab Nusa terbata-bata.“Saya tidak mau tahu, besok laporan ini harus segara selesai sesuai yang saya mau! Saya benar-benar kecewa sama kamu, kinerja kamu belakang ini sangat buruk, Pak Nusa!”“Maafkan saya, Pak. Saya janji akan berkerja lebih baik lagi, belakang ini saya banyak masalah, jadi-”“Saya tidak perduli dengan masalah kamu dan saya tidak mau tahu! Seharusnya anda kerja profesional, anda tahu proyek ini bukan proyek kaleng-kaleng, Pak Nusa? Ini proyek besar. Jika sampai proyek ini gagal, saya tidak segan-segan untuk memecat kamu!” ancam Leo.Membuat Nusa ketakutan. “Sa-saya akan berkerja semaksimal mungkin untuk memperbaiki semuanya, Pak, saya janji!” ujar Nisa.“Saya tidak butuh janji anda! Cepat keluar dan kerjakan, besok saya tunggu!” tegas Leo seraya mengibaskan tangannya, meminta Nusa agar cepat keluar dari ruangannya.Nusa mengangguk cepat, ia pun segara beranjak dari sana tak lupa membawa serta map tersebut.Nusa membuang napas beratnya setalah ia keluar dari ruangan atasannya itu. Sepertinya hari ini ia akan lembur sampai malam. Mengingat ancaman dari sang atasan barusan, semua orang yang berkerja di perusahaan tersebut tahu, jika Leo tidak pernah main-main dengan perkataannya.Nusa sendiri sadar jika semua ini memang kesalahannya, belakang ini dia memang tidak fokus dengan tugasnya akibat masalah yang tengah menerpa rumah tangganya dan Syaqila.Bersambung ...“Kenapa muka Lo kusut begitu?” tanya Rian pada Nusa di saat pria itu kembali. “Biasa, kena omel Gue. Tapi ... emang Gue yang salah sih,” jawab Nusa lemas. “Tumben banget kena omel, biasanya perkerjaan Lo beres semua?”“Belakangan ini Gue lagi banyak masalah, jadi kurang fokus kerja, pusing kepala gue,” keluh Nusa. Rian terlihat mengangguk-angguk kepalanya. “Lagi ada masalah apaan sih? Kayanya serius banget?” tanyanya kepo. Penasaran masalah apa yang tengah dihadapi oleh sahabatnya itu. Nusa menghelai napas beratnya, seperti memang ia butuh teman bicara. Apa lagi dia dan Rian sudah berteman sejak dulu, tidak ada salahnya ia menceritakan masalahnya itu, siapa tahu sahabatnya itu bisa memberikan saran. “Yaelah, ditanya malah bengong!” sentak Rian. “Gue mau nikah lagi,” ujar Nusa. “Hah?” Rian nampak terkejut, “serius Lo, bro? Keren banget mau punya bini dua!” lanjutnya sambil tergelak tawa. “Gue serius, Rian!” ucap Nusa kesal menatap tajam padanya, kerena sahabatnya itu malah terta
Singkat cerita, hari pernikahan antara Nusa dan Lara pun tidak bisa dihindari. Besok acara pernikahan kedua suaminya Syaqila itu akan dilangsungkan di kediaman Bu Yanti. “Sya, besok pernikahan aku dan Lara akan dilangsungkan, di rumah Mama. Maaf jika ini terlalu cepat dan aku gak bisa menghindari semuanya, aku gak bisa menolak permintaan Mama, dia wanita yang sudah melahirkan aku, Sya. Kamu mengerti, ‘kan? Aku gak minta buat kamu hadir di sana, karena aku tahu semua ini masih sulit untuk kamu. Aku hanya minta restu dan doa dari kamu, bagaimana pun kamu adalah istriku,” ucap Nusa, semalam. Syaqila bergeming, walaupun sebenernya ia cukup terkejut dengan kabar yang diberikan pria yang berstatus suaminya itu. Nusa memang pernah mengatakan jika pernikahan keduanya dengan Lara akan dipercepat beberapa hari yang lalu. Tapi, kini hatinya seolah membatu, mendengar hal itu tidak ada lagi rasa ngilu yang terasa di dadanya. Apakah mungkin ia sudah mati rasa? “Aku pamit ke rumah Mama dulu, ya.
Setengah jam kemudian, Syaqila kini sudah sampai di sebuah Restoran tempat di mana wanita itu membuat janji dengan pengacaranya yaitu Lia. Syaqila masuk kedalam Restoran tersebut seraya menatap kesekitar mencari keberadaan Lia. “Mbak Syaqila ya?” Tiba-tiba seorang wanita menghampirinya. Syaqila mengangguk. “Iya, Bu Lia ya?” “Iya saya Lia, mari,” ajaknya. Mereka pun berjalan beringin menuju tempat yang sebelumnya sudah di pesan oleh Lia. Namun, Syaqila sedikit kebingungan saat melihat ada seorang pria yang duduk di sana. Siapa dia? Syaqila seperti pernah melihat pria itu tapi di mana, ya? Apa mungkin pria itu suaminya Lia? Entahlah, untuk apa juga ia memperdulikan pria itu. Urusannya ke sini ingin membicarakan soal rencana penggugatan cerainya bersama Lia. “Kak, pindah tempat sana!” pinta Lia pada pria tersebut. Pria itu hanya mengangguk, menuruti perintahnya. Mencari tempat duduk lain. “Mari duduk, Mbak,” ujar Lia pada Syaqila. Syaqila kembali mengangguk. “Maaf ya saya memb
Langit sore itu nampak dipenuhi awan hitam, tanda-tanda hujan akan datang. Namun, Syaqila betah menatap langit suram tersebut, langit itu seakan menggambarkan perasaannya saat ini, gelap. Wanita berusia 25 tahu itu menadahkan wajah dan tangannya di saat tetasan air dari langit itu mulai turun, membiarkan rintik hujan mengenai wajah dan tangannya.Hujan semakin lebat, Syaqila masih setia berdiri di taman belakang rumahnya itu. Hingga air hujan tersebut sukses membuatnya basah kuyup. Entah apa yang ada dipikiran wanita itu, yang pasti saat ini Syaqila ingin menangis sejadi-jadinya menumpahkan air matanya bersamaan dengan air hujan menjadi satu. “Ya Allah, Non!” Tariak Bi Nur, terengah-engah menghampiri sang majikan seraya membawa payung. Tanpa kata-kata wanita paruh baya itu langsung memayungi majikannya dan memapahnya masuk kedalam rumah. “Tunggu sebentar, Bibi ambilkan handuk dulu,” lanjut Bi Nur, mendudukkan majikannya itu di kursi meja makan. Lalu ia berjalan secepat mungkin men
Syaqila masih terdiam mencoba mencerna baik-baik ucapan Dokter Sinta barusan. Semua itu sangat sulit ia percaya.Jadi obat yang selama ini ia konsumsi adalah Pil KB? Bukan obat penyubur kandungan? Pantas saja selama ini ia tidak hamil-hamil. Bukan karena dirinya mandul, tapi karena obat itu! Sampai kapan pun dia tidak akan bisa mempunyai anak jika terus mengonsumsi obat itu! Ya Tuhan apa ini? Siapa yang tega melakukan semua ini padanya? Syaqila masih mengingat jelas, saat malam pertama dirinya menikah dengan Nusa, suaminya itu yang memberikan obat tersebut. Nusa juga sempat memperlihatkan wadah obat tersebut hanya saja Syaqila memang tidak menelitinya, apa merek obat tersebut. Ia percaya begitu saja dan menurut meminum obat tersebut karena Nusa mengatakan jika obat tersebut obat penyubur kandungan, dengan harapan jika Syaqila meminumnya mereka akan segera diberikan momongan. Kenapa Nusa tega membohonginya? Kenapa suaminya tega melakukan semua ini?Tapi, apakah mungkin Nusa yang m
“Bisa dipercepat gak sih Mbak? Ini waktunya udah mepet loh, bentar lagi akad nikah mau dilangsungkan!” pinta Lara ketus pada MUA yang masih memoles wajahnya. “Sabar Mbak, sebentar lagi ini selesai kok,” sahut sang MUA. Berusaha tetap ramah dan profesional, walaupun sebenernya hatinya sudah sangat dongkol menghadapi kliennya yang satu ini. Kerana apa yang terjadi saat ini tidak sesuai dengan kesepakatan awal mereka. Lara terlalu bawel dan bersikap seenaknya. “Ck! Dari tadi bilangnya sebentar lagi terus, bayaran aja mahal tapi kerjanya lemot!” gumam Lara dengan suara cukup pelan. Namun, masih terdengar jelas oleh sang MUA. MUA yang bernama Lindy itu tidak ingin menyahutinya. Ia hanya menghelai nafas panjangnya, menghadapi sikap Lara yang semakin menjadi tersebut. Hingga beberapa saat kemudian, Lara pun sudah selesai dengan riasannya. Wanita yang sebentar lagi akan menjadi istri kedua Nusa itu nampak tersenyum puas saat melihat hasil riasannya lewat cermin yang ada di depannya it
Acara pesta pernikahan Nusa dan Lara masih berlanjut, semakin siang makin banyak tamu undangan yang terus berdatangan, Bu Yanti memang sengaja mengundang banyak sahabat dan kerabatnya. Wanita itu memang menyiapkan pesta pernikahan kedua putranya dengan matang. Karena tanpa sepengetahuan Nusa, dia sudah merencanakan semua ini sudah cukup lama. Nusa sendiri dibuat terkejut, ia tidak menyangka Ibunya akan mengundang banyak tamu undangan seperti ini. Pesta pernikahannya dengan Lara pun bisa dikatakan cukup mewah, sangat jauh berbeda saat Nusa menikahi istri pertamanya, Syaqila. Mereka hanya mengadakan Ijab Qabul di KUA lalu berlanjut makan-makan dikediaman Bu Yanti bersama dengan keluarga dekatnya. Karena Syaqila sendiri adalah anak yatim pintu, dia sudah tidak punya keluarga. Hanya Ibu Panti yang saat itu mengantarkan Syaqila menikah dan mengikuti acaranya. “Ma, berapa banyak undangan yang Mamah sebar?” tanya Nusa berbisik pada sang Bu Yanti yang berdiri di sampingnya. Di sela mereka
“Keadaan Bu Syaqila sudah membaik, hari ini Bu Syaqila sudah diperbolehkan pulang, tapi tunggu cairan inpusannya habis dulu ya,” kata seorang Dokter yang baru saja selesai memeriksa kondisi Syaqila pada pagi itu. “Alhamdulilah,” seru Rima. Yang memang selama dua hari ini menemani Syaqila di sana, wanita itu rela tidak masuk ke kantor demi menemani sahabatnya. Sementara Syaqila, wanita itu tersenyum sambil mengangguk kepala. Syukur, dia sudah diperbolehkan pulang. Ia juga tidak betah lama-lama di Rumah Sakit. “Kalau begitu saya permisi dulu,” pamit sang Dokter.“Baik Dok, terima kasih,” angguk Syaqila dan Rima bersamaan. Setelah itu sang Dokter pun berlalu dari ruangan rawat Syaqila. “Alhamdulilah, Sya, kamu udah boleh pulang. Kalau begitu aku mau beresin barang-barang kamu dulu, ya,” ucap Rima.“Iya, Rim. Maaf ya kalau aku ngerepotin kamu terus,” sahut Syaqila merasa tidak enak pada sahabat itu. “Iya kamu emang ngerepotin banget, Sya. Aduh pusing aku,” balas Rima sewot. Dengan
“Di mana rumah kamu?” tanya Leo, sejak tadi ia melajukan mobilnya, belum sempat bertanya kemana ia harus mengantarkan Syaqila dan Rima. “Perumahan Gandaria,” jawab Syaqila. Letak rumahnya memang tidak terlalu jauh dari Rumah Sakit tersebut. Leo sendiri tahu perumahan tersebut, lantas pria itu pun mengangguk kepalanya usai mendapatkan jawaban dari Syaqila. Suasana hening seketika, diam-diam Leo memperhatikan Syaqila dari kaca spion yang ada dihadapannya. Leo bisa melihat dari gerak-gerik wanita itu, Syaqila nampak tidak nyaman. Entah apa yang tengah dipikirkan oleh Syaqila saat ini. Hingga beberapa saat kemudian, Rima memecah keheningan tersebut, wanita itu bertanya pada Leo. “Kak Leo kok tadi bisa ada di Rumah Sakit? Kebetulan sekali ya.” Rima memang memanggil Leo dengan sebutan Kakak, selain usai Leo memang lebih tua darinya, pria itu juga Kakak dari Lia, temannya. “Ah iya, itu ... emm tadi saya kebelet, jadi mampir dulu ke sana, numpang pipis,” jawabnya gugup. “Terus saya lia
Nusa baru saja terbangun, pria itu terkejut disaat melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul 08.30 WIB.“Astaga, aku kesiangan!” gumamnya kesal sendiri.Ia pun segara bergegas dari ranjang, menyingkirkan tangan wanita yang melingkar di pinggangnya. Tangan tersebut tak lain adalah tangan Lara, wanita itu terlihat masih tertidur pulas tanpa busana. Akibat pergulatan panasnya bersama Nusa semalam, sebab itu pula yang membuat Nusa bangun kesiangan. Nusa pun buru-buru menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Mengingat hari sudah cukup siang, dan hari ini ia berniat akan menemui istri pertamanya yaitu Syaqila, setelah beberapa hari istrinya itu di rawat di Rumah Sakit dan Nusa belum sempat menjenguknya. Bukan ia tidak khawatir, tentu saja Nusa sangat mengkhawatirkan istri pertamanya itu. Bahkan saat pertama kali mendapatkan kabar jika Syaqila masuk Rumah Sakit akibat kecelakaan, Nusa sudah berniat akan menemuinya. Tapi, sayangnya Bu Yanti melarangnya, dan tidak mengizinkan ia pergi
“Keadaan Bu Syaqila sudah membaik, hari ini Bu Syaqila sudah diperbolehkan pulang, tapi tunggu cairan inpusannya habis dulu ya,” kata seorang Dokter yang baru saja selesai memeriksa kondisi Syaqila pada pagi itu. “Alhamdulilah,” seru Rima. Yang memang selama dua hari ini menemani Syaqila di sana, wanita itu rela tidak masuk ke kantor demi menemani sahabatnya. Sementara Syaqila, wanita itu tersenyum sambil mengangguk kepala. Syukur, dia sudah diperbolehkan pulang. Ia juga tidak betah lama-lama di Rumah Sakit. “Kalau begitu saya permisi dulu,” pamit sang Dokter.“Baik Dok, terima kasih,” angguk Syaqila dan Rima bersamaan. Setelah itu sang Dokter pun berlalu dari ruangan rawat Syaqila. “Alhamdulilah, Sya, kamu udah boleh pulang. Kalau begitu aku mau beresin barang-barang kamu dulu, ya,” ucap Rima.“Iya, Rim. Maaf ya kalau aku ngerepotin kamu terus,” sahut Syaqila merasa tidak enak pada sahabat itu. “Iya kamu emang ngerepotin banget, Sya. Aduh pusing aku,” balas Rima sewot. Dengan
Acara pesta pernikahan Nusa dan Lara masih berlanjut, semakin siang makin banyak tamu undangan yang terus berdatangan, Bu Yanti memang sengaja mengundang banyak sahabat dan kerabatnya. Wanita itu memang menyiapkan pesta pernikahan kedua putranya dengan matang. Karena tanpa sepengetahuan Nusa, dia sudah merencanakan semua ini sudah cukup lama. Nusa sendiri dibuat terkejut, ia tidak menyangka Ibunya akan mengundang banyak tamu undangan seperti ini. Pesta pernikahannya dengan Lara pun bisa dikatakan cukup mewah, sangat jauh berbeda saat Nusa menikahi istri pertamanya, Syaqila. Mereka hanya mengadakan Ijab Qabul di KUA lalu berlanjut makan-makan dikediaman Bu Yanti bersama dengan keluarga dekatnya. Karena Syaqila sendiri adalah anak yatim pintu, dia sudah tidak punya keluarga. Hanya Ibu Panti yang saat itu mengantarkan Syaqila menikah dan mengikuti acaranya. “Ma, berapa banyak undangan yang Mamah sebar?” tanya Nusa berbisik pada sang Bu Yanti yang berdiri di sampingnya. Di sela mereka
“Bisa dipercepat gak sih Mbak? Ini waktunya udah mepet loh, bentar lagi akad nikah mau dilangsungkan!” pinta Lara ketus pada MUA yang masih memoles wajahnya. “Sabar Mbak, sebentar lagi ini selesai kok,” sahut sang MUA. Berusaha tetap ramah dan profesional, walaupun sebenernya hatinya sudah sangat dongkol menghadapi kliennya yang satu ini. Kerana apa yang terjadi saat ini tidak sesuai dengan kesepakatan awal mereka. Lara terlalu bawel dan bersikap seenaknya. “Ck! Dari tadi bilangnya sebentar lagi terus, bayaran aja mahal tapi kerjanya lemot!” gumam Lara dengan suara cukup pelan. Namun, masih terdengar jelas oleh sang MUA. MUA yang bernama Lindy itu tidak ingin menyahutinya. Ia hanya menghelai nafas panjangnya, menghadapi sikap Lara yang semakin menjadi tersebut. Hingga beberapa saat kemudian, Lara pun sudah selesai dengan riasannya. Wanita yang sebentar lagi akan menjadi istri kedua Nusa itu nampak tersenyum puas saat melihat hasil riasannya lewat cermin yang ada di depannya it
Syaqila masih terdiam mencoba mencerna baik-baik ucapan Dokter Sinta barusan. Semua itu sangat sulit ia percaya.Jadi obat yang selama ini ia konsumsi adalah Pil KB? Bukan obat penyubur kandungan? Pantas saja selama ini ia tidak hamil-hamil. Bukan karena dirinya mandul, tapi karena obat itu! Sampai kapan pun dia tidak akan bisa mempunyai anak jika terus mengonsumsi obat itu! Ya Tuhan apa ini? Siapa yang tega melakukan semua ini padanya? Syaqila masih mengingat jelas, saat malam pertama dirinya menikah dengan Nusa, suaminya itu yang memberikan obat tersebut. Nusa juga sempat memperlihatkan wadah obat tersebut hanya saja Syaqila memang tidak menelitinya, apa merek obat tersebut. Ia percaya begitu saja dan menurut meminum obat tersebut karena Nusa mengatakan jika obat tersebut obat penyubur kandungan, dengan harapan jika Syaqila meminumnya mereka akan segera diberikan momongan. Kenapa Nusa tega membohonginya? Kenapa suaminya tega melakukan semua ini?Tapi, apakah mungkin Nusa yang m
Langit sore itu nampak dipenuhi awan hitam, tanda-tanda hujan akan datang. Namun, Syaqila betah menatap langit suram tersebut, langit itu seakan menggambarkan perasaannya saat ini, gelap. Wanita berusia 25 tahu itu menadahkan wajah dan tangannya di saat tetasan air dari langit itu mulai turun, membiarkan rintik hujan mengenai wajah dan tangannya.Hujan semakin lebat, Syaqila masih setia berdiri di taman belakang rumahnya itu. Hingga air hujan tersebut sukses membuatnya basah kuyup. Entah apa yang ada dipikiran wanita itu, yang pasti saat ini Syaqila ingin menangis sejadi-jadinya menumpahkan air matanya bersamaan dengan air hujan menjadi satu. “Ya Allah, Non!” Tariak Bi Nur, terengah-engah menghampiri sang majikan seraya membawa payung. Tanpa kata-kata wanita paruh baya itu langsung memayungi majikannya dan memapahnya masuk kedalam rumah. “Tunggu sebentar, Bibi ambilkan handuk dulu,” lanjut Bi Nur, mendudukkan majikannya itu di kursi meja makan. Lalu ia berjalan secepat mungkin men
Setengah jam kemudian, Syaqila kini sudah sampai di sebuah Restoran tempat di mana wanita itu membuat janji dengan pengacaranya yaitu Lia. Syaqila masuk kedalam Restoran tersebut seraya menatap kesekitar mencari keberadaan Lia. “Mbak Syaqila ya?” Tiba-tiba seorang wanita menghampirinya. Syaqila mengangguk. “Iya, Bu Lia ya?” “Iya saya Lia, mari,” ajaknya. Mereka pun berjalan beringin menuju tempat yang sebelumnya sudah di pesan oleh Lia. Namun, Syaqila sedikit kebingungan saat melihat ada seorang pria yang duduk di sana. Siapa dia? Syaqila seperti pernah melihat pria itu tapi di mana, ya? Apa mungkin pria itu suaminya Lia? Entahlah, untuk apa juga ia memperdulikan pria itu. Urusannya ke sini ingin membicarakan soal rencana penggugatan cerainya bersama Lia. “Kak, pindah tempat sana!” pinta Lia pada pria tersebut. Pria itu hanya mengangguk, menuruti perintahnya. Mencari tempat duduk lain. “Mari duduk, Mbak,” ujar Lia pada Syaqila. Syaqila kembali mengangguk. “Maaf ya saya memb
Singkat cerita, hari pernikahan antara Nusa dan Lara pun tidak bisa dihindari. Besok acara pernikahan kedua suaminya Syaqila itu akan dilangsungkan di kediaman Bu Yanti. “Sya, besok pernikahan aku dan Lara akan dilangsungkan, di rumah Mama. Maaf jika ini terlalu cepat dan aku gak bisa menghindari semuanya, aku gak bisa menolak permintaan Mama, dia wanita yang sudah melahirkan aku, Sya. Kamu mengerti, ‘kan? Aku gak minta buat kamu hadir di sana, karena aku tahu semua ini masih sulit untuk kamu. Aku hanya minta restu dan doa dari kamu, bagaimana pun kamu adalah istriku,” ucap Nusa, semalam. Syaqila bergeming, walaupun sebenernya ia cukup terkejut dengan kabar yang diberikan pria yang berstatus suaminya itu. Nusa memang pernah mengatakan jika pernikahan keduanya dengan Lara akan dipercepat beberapa hari yang lalu. Tapi, kini hatinya seolah membatu, mendengar hal itu tidak ada lagi rasa ngilu yang terasa di dadanya. Apakah mungkin ia sudah mati rasa? “Aku pamit ke rumah Mama dulu, ya.