Nusa menatap istrinya yang terbaring di atas ranjang dengan mata yang sudah terpejam, napas wanita itu terdengar sudah beraturan menandakan jika Syaqila sudah terlelap.
Mendekat kearah sang istri, tangannya terulur mengusap pipi Syaqila yang masih didapati sisa-sisa air mata itu dengan lembut. Perasaan bersalah memenuhi relung hati Nusa.“Maafkan aku sayang,” bisik Nusa dengan lirih. Lalu mendaratkan kecupan di puncak kepala Syaqila.Setelah itu Nusa pun naik keatas ranjang membaringkan tubuhnya di samping sang istri, memeluk Syaqila yang membelakanginya itu.“Percayalah jika pun nanti aku sudah menikah dengan Lara, kamu akan tetap menjadi ratu dalam hatiku, Syaqila,” bisik Nusa kembali seraya mulai memejamkan matanya.Satu minggu berlalu ...Nusa terasa tersiksa karena sikap Syaqila yang berubah, istrinya yang biasa bawel itu mendadak menjadi pendiam, bicara pun hanya seperlunya saja. Namun, walaupun begitu, Syaqila masih tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri, menyiapkan segala kebutuhan suaminya.“Sayang, mau sampai kapan kamu kaya gini? Aku rindu istriku yang dulu!”Nusa baru pulang dari kantor, seperti biasa Syaqila menyambut kedatangannya. Tapi, sikap Syaqila masih tetap dingin padanya.Pertanyaan Nusa barusan sukses membuat langkah Syaqila terhenti, kemudian wanita itu berbalik, menatap Nusa yang terlihat sangat frustasi itu.“Mari kita berpisah, Mas,” pinta Syaqila dengan raut wajah tanpa ekspresi.Nusa langsung terdiam, tentu saja dia merasa terkejut mendengar permintaan istrinya. Dengan cepat Nusa menggelengkan kepalanya. “Enggak! Kamu itu ngomong apa sih, Sya?”Pria itu perjalan mendekati istrinya, mencoba meraih tangan Syaqila tapi dengan gerakan cepat Syaqila menyembunyikan tangannya kebelakang, enggan bersentuhan dengan suaminya itu.“Aku sudah memikirkan semuanya dengan matang, Mas. Aku tidak siap di madu dan tak akan pernah siap!” ungkap Syaqila dengan tegas.Satu minggu ini dia sudah mencoba memikirkan semuanya. Walaupun rasa cintanya pada Nusa sangat besar, di balik rasa kecewa yang ia rasakan di saat suaminya itu mengatakan niatnya untuk menikah lagi. Tapi, jika harus di poligami lebih baik ia mundur. Berpisah dengan Nusa pasti sangat menyakitkan, setelah tiga tahun yang sudah mereka lewati bersama. Banyak kenangan indah yang sudah tercipta, apa lagi selama ini Nusa selalu memperlakukannya dengan baik, tak pernah sekali pun pria itu membuatnya bersedih selama mereka bersama.Tapi, jika terus dipertahankan rasanya tidak mungkin. Jangankan melihat nanti suaminya menikah lagi, melihat Nusa yang sering dilirik oleh wanita lain diluar sana di saat mereka pergi bersama pun terkadang Syaqila cemburu melihatnya, apa lagi ia harus berbagi suami dengan madunya.“Enggak! Sampai kapan aku gak akan mau berpisah sama kamu, Sya! Aku mencintai kamu, aku tidak akan pernah melepaskan kamu, sampai kapanpun kamu akan tetap menjadi istriku!” tolak Nusa dengan tegas, menatap Syaqila dengan tatapan penuh amarah.Jelas ia tidak suka mendengar Syaqila yang meminta berpisah dengannya. Sampai kapanpun semua itu tidak akan pernah terjadi. Tidak perduli dia dianggap egois, yang pasti ia tidak sanggup jika harus kehilangan istrinya.“Kamu egois, Mas!” pekik Syaqila, tak bisa menahan amarahnya. Tidak, 'kah, Nusa memikirkan perasaannya?“Terserah kamu mau bilang apa, Sya. Tapi, jangan pernah sekalipun kamu berharap jika aku akan menceraikan, kamu. Dengar itu!”“Baik! Tapi, aku tidak mengizinkan kamu menikahi Lara!” balas Syaqila.“Dengan atau tanpa izin dari kamu pun, Nusa akan tetap menikahi Lara!”Tiba-tiba sebuah suara menyahut pertengkaran antara Nusa dan Syaqila, pasangan suami-istri itu pun sontak bersamaan menatap kearah sumber suara tersebut. Suara tersebut tak lain milik Bu Yanti.Entah sejak kapan wanita paruh baya itu sudah berdiri di sana.“Syaqila, Mama sudah berusaha bicara baik-baik sama kamu, tapi, rasanya semua itu percuma. Mama pikir kamu akan mengerti posisi Nusa dan Mama, ternyata dugaan Mama salah!” ucap Bu Yanti lagi, menatap nyalang pada menantunya itu.“Yang egois itu kamu, Syaqila. Kamu tidak bisa memberikan saya cucu tapi kamu melarang suami kamu untuk menikah lagi! Harusnya kamu introspeksi diri, Syaqila bukan seperti ini!” sambungnya. Bu Yanti bahkan tak lagi menyebut dirinya Mama pada saat berbicara dengan menantunya itu.Di sini terlihat Bu Yanti seperti orang yang terzalimi, membuat seolah dirinya korban dari keegoisan Syaqila. Playing victim!Syaqila menggeleng-gelengkan kepalanya, drama apa ini? Kenapa di sini seolah dirinya yang jahat?“Ma, Mama seorang wanita, bukan? Seharusnya Mama ngerti perasaan aku? Di dunia ini tidak ada wanita yang ingin berbagi suami, Ma! Mama bilang aku egois? Bagaimana jika posisi ini terjadi pada Mama? Apa Mama akan menerima begitu saja saat suami Mama mau menikah lagi dengan wanita lain?” cerca Syaqila, tak bisa mengontrol dirinya. Ia meluapkan apa yang ada didalam hatinya.Ini untuk pertama kalinya Syaqila berbicara dengan nada tinggi pada Ibu mertuanya itu. Entahlah, rasa hormatnya seakan sirna begitu saja, Syaqila merasa tidak respect lagi pada Bu Yanti.Sikap lembut yang selama ini ditunjukkan ibu mertuanya itu padanya seperti topeng semata saja.Bu Yanti langsung terdiam mendengar perkataan Syaqila. Di poligami, memang menyakitkan. Tapi, hati nurani ibu mertuanya Syaqila itu seperti sudah digelapkan oleh egonya. Apapun yang terjadi Nusa dan Lara harus menikah! Titik!Syaqila tersenyum sinis melihat Ibu mertuanya yang kehilangan kata-kata tersebut.“Tidak semudah itu, 'kan, Ma? Apa aku masih dikatakan egois?” tanya Syaqila lagi, suaranya merendah.“Sudah cukup, Sya!” bentak Nusa. Ia tahu Ibunya salah, tapi, ia tidak suka Syaqila memojokkan wanita yang sudah melahirkannya itu.“Gak seharusnya kamu bicara seperti itu pada, Mama, Sya! Dia Ibuku, wanita yang sudah melahirkan suamimu ini!” tunjuk Nusa pada dirinya sendiri. “Kamu benar-benar berubah, Sya! Aku gak kenal kamu yang sekarang!”“Kalau begitu ceraikan aku, Mas!” tegas Syaqila. Kemudian berlalu dari sana.Nusa membuang nafas panjangnya sambil menatap nanar kepergian Syaqila, begitu pula dengan Bu Yanti, namun tatapan wanita itu menatap kepergian menantunya dengan tatapan yang sulit diartikan.Syaqila terkulai lemas dibalik pintu kamarnya dengan bahu yang berguncang, tangis yang sedari tadi ia tahan kini tak bisa ia bendung lagi. Air mata itu mengalir deras dari sudut matanya, nyatanya dia tidak sekuat itu menghadapi ujian yang kini tengah menerpanya. Kenapa jadi seperti ini?Kenapa Tuhan memberikan cobaan yang begitu dahsyat ini padanya? Bertahan terlalu sakit, pergi pun pasti akan sulit. Mengingat Nusa dengan tegas berkata tidak akan pernah menceraikannya.“Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?” lirih Syaqila.Sementara itu, Nusa dan Bu Yanti kini tengah duduk berhadapan di ruang keluarga di rumah tersebut.“Ma, maafin sikap Syaqila tadi ya,” pinta Nusa mengiba.“Istri kamu itu memang kurang ajar sekarang, Nu! Apa dia lupa kalau Mama ini mertuanya? Keterlaluan, tau gak?!” sahut Bu Yanti kesal.“Mungkin tadi Syaqila sedang emosi aja, Ma. Dia gak bisa mengontrol emosinya itu, jangan dimasukin ke hati, ya, Ma.”“Lebih baik kamu turutin saja kemauan istri kamu itu, Nu. Dia mau bercerai, 'kan? Sudah sana lebih baik kamu berpisah saja sama dia!” titah Bu Yanti, namun langsung mendapatkan penolakan dari putranya tersebut.“Enggak! Aku enggak mau!” tolak Nusa.“Terserah kamu saja, deh! Menasihati orang bucin kaya kamu emang susah!”“Oh iya, pernikahan kamu dan Lara minggu depan akan dilangsungkan,” lanjut Bu Yanti.“Hah?” Nusa terkejut. Apa itu tidak terlalu cepat, bahkan Nusa belum mendapatkan izin dari istrinya untuk niatnya menikah dengan Lara.Minggu depan?Menikah?Apa Nusa siap?Bersambung ...Usai kepulangan Ibunya, Nusa masih duduk termenung di sana. Perkataan wanita yang sudah melahirkan itu terus menari-nari dibenak Nusa. Bagaimana ini? Apa yang harus dia lakukan? Ia benar-benar belum siap untuk menikahi Lara secepat itu. Dan bagaimana dengan Syaqila, bagaimana ia menyampaikan hal ini pada istri tercintanya itu? Mendadak kepalanya terasa pusing, kenapa semuanya jadi seperti ini?Hingga keesokan paginya, seperti biasa Nusa menyantap sarapan yang sudah disiapkan oleh istrinya itu sebelum ia berangkat ke kantor. Syaqila ada di sana menemani suaminya sarapan. Namun, dari awal hingga selesai mereka menyantap makanan, wanita itu tidak bersuara sama sekali, suasana hening mendominasi tidak ada obrolan hangat seperti biasanya. “Sya, aku ingin membicarakan sesuatu,” ujar Nusa, menahan istrinya yang hendak beranjak dari sana. Syaqila pun kembali mendudukkan dirinya di kursi meja makan tersebut, menatap sekilas pada suaminya. “Apa?” tanya Syaqila dengan raut wajah datar. Lalu
“Kenapa muka Lo kusut begitu?” tanya Rian pada Nusa di saat pria itu kembali. “Biasa, kena omel Gue. Tapi ... emang Gue yang salah sih,” jawab Nusa lemas. “Tumben banget kena omel, biasanya perkerjaan Lo beres semua?”“Belakangan ini Gue lagi banyak masalah, jadi kurang fokus kerja, pusing kepala gue,” keluh Nusa. Rian terlihat mengangguk-angguk kepalanya. “Lagi ada masalah apaan sih? Kayanya serius banget?” tanyanya kepo. Penasaran masalah apa yang tengah dihadapi oleh sahabatnya itu. Nusa menghelai napas beratnya, seperti memang ia butuh teman bicara. Apa lagi dia dan Rian sudah berteman sejak dulu, tidak ada salahnya ia menceritakan masalahnya itu, siapa tahu sahabatnya itu bisa memberikan saran. “Yaelah, ditanya malah bengong!” sentak Rian. “Gue mau nikah lagi,” ujar Nusa. “Hah?” Rian nampak terkejut, “serius Lo, bro? Keren banget mau punya bini dua!” lanjutnya sambil tergelak tawa. “Gue serius, Rian!” ucap Nusa kesal menatap tajam padanya, kerena sahabatnya itu malah terta
Singkat cerita, hari pernikahan antara Nusa dan Lara pun tidak bisa dihindari. Besok acara pernikahan kedua suaminya Syaqila itu akan dilangsungkan di kediaman Bu Yanti. “Sya, besok pernikahan aku dan Lara akan dilangsungkan, di rumah Mama. Maaf jika ini terlalu cepat dan aku gak bisa menghindari semuanya, aku gak bisa menolak permintaan Mama, dia wanita yang sudah melahirkan aku, Sya. Kamu mengerti, ‘kan? Aku gak minta buat kamu hadir di sana, karena aku tahu semua ini masih sulit untuk kamu. Aku hanya minta restu dan doa dari kamu, bagaimana pun kamu adalah istriku,” ucap Nusa, semalam. Syaqila bergeming, walaupun sebenernya ia cukup terkejut dengan kabar yang diberikan pria yang berstatus suaminya itu. Nusa memang pernah mengatakan jika pernikahan keduanya dengan Lara akan dipercepat beberapa hari yang lalu. Tapi, kini hatinya seolah membatu, mendengar hal itu tidak ada lagi rasa ngilu yang terasa di dadanya. Apakah mungkin ia sudah mati rasa? “Aku pamit ke rumah Mama dulu, ya.
Setengah jam kemudian, Syaqila kini sudah sampai di sebuah Restoran tempat di mana wanita itu membuat janji dengan pengacaranya yaitu Lia. Syaqila masuk kedalam Restoran tersebut seraya menatap kesekitar mencari keberadaan Lia. “Mbak Syaqila ya?” Tiba-tiba seorang wanita menghampirinya. Syaqila mengangguk. “Iya, Bu Lia ya?” “Iya saya Lia, mari,” ajaknya. Mereka pun berjalan beringin menuju tempat yang sebelumnya sudah di pesan oleh Lia. Namun, Syaqila sedikit kebingungan saat melihat ada seorang pria yang duduk di sana. Siapa dia? Syaqila seperti pernah melihat pria itu tapi di mana, ya? Apa mungkin pria itu suaminya Lia? Entahlah, untuk apa juga ia memperdulikan pria itu. Urusannya ke sini ingin membicarakan soal rencana penggugatan cerainya bersama Lia. “Kak, pindah tempat sana!” pinta Lia pada pria tersebut. Pria itu hanya mengangguk, menuruti perintahnya. Mencari tempat duduk lain. “Mari duduk, Mbak,” ujar Lia pada Syaqila. Syaqila kembali mengangguk. “Maaf ya saya memb
Langit sore itu nampak dipenuhi awan hitam, tanda-tanda hujan akan datang. Namun, Syaqila betah menatap langit suram tersebut, langit itu seakan menggambarkan perasaannya saat ini, gelap. Wanita berusia 25 tahu itu menadahkan wajah dan tangannya di saat tetasan air dari langit itu mulai turun, membiarkan rintik hujan mengenai wajah dan tangannya.Hujan semakin lebat, Syaqila masih setia berdiri di taman belakang rumahnya itu. Hingga air hujan tersebut sukses membuatnya basah kuyup. Entah apa yang ada dipikiran wanita itu, yang pasti saat ini Syaqila ingin menangis sejadi-jadinya menumpahkan air matanya bersamaan dengan air hujan menjadi satu. “Ya Allah, Non!” Tariak Bi Nur, terengah-engah menghampiri sang majikan seraya membawa payung. Tanpa kata-kata wanita paruh baya itu langsung memayungi majikannya dan memapahnya masuk kedalam rumah. “Tunggu sebentar, Bibi ambilkan handuk dulu,” lanjut Bi Nur, mendudukkan majikannya itu di kursi meja makan. Lalu ia berjalan secepat mungkin men
Syaqila masih terdiam mencoba mencerna baik-baik ucapan Dokter Sinta barusan. Semua itu sangat sulit ia percaya.Jadi obat yang selama ini ia konsumsi adalah Pil KB? Bukan obat penyubur kandungan? Pantas saja selama ini ia tidak hamil-hamil. Bukan karena dirinya mandul, tapi karena obat itu! Sampai kapan pun dia tidak akan bisa mempunyai anak jika terus mengonsumsi obat itu! Ya Tuhan apa ini? Siapa yang tega melakukan semua ini padanya? Syaqila masih mengingat jelas, saat malam pertama dirinya menikah dengan Nusa, suaminya itu yang memberikan obat tersebut. Nusa juga sempat memperlihatkan wadah obat tersebut hanya saja Syaqila memang tidak menelitinya, apa merek obat tersebut. Ia percaya begitu saja dan menurut meminum obat tersebut karena Nusa mengatakan jika obat tersebut obat penyubur kandungan, dengan harapan jika Syaqila meminumnya mereka akan segera diberikan momongan. Kenapa Nusa tega membohonginya? Kenapa suaminya tega melakukan semua ini?Tapi, apakah mungkin Nusa yang m
“Bisa dipercepat gak sih Mbak? Ini waktunya udah mepet loh, bentar lagi akad nikah mau dilangsungkan!” pinta Lara ketus pada MUA yang masih memoles wajahnya. “Sabar Mbak, sebentar lagi ini selesai kok,” sahut sang MUA. Berusaha tetap ramah dan profesional, walaupun sebenernya hatinya sudah sangat dongkol menghadapi kliennya yang satu ini. Kerana apa yang terjadi saat ini tidak sesuai dengan kesepakatan awal mereka. Lara terlalu bawel dan bersikap seenaknya. “Ck! Dari tadi bilangnya sebentar lagi terus, bayaran aja mahal tapi kerjanya lemot!” gumam Lara dengan suara cukup pelan. Namun, masih terdengar jelas oleh sang MUA. MUA yang bernama Lindy itu tidak ingin menyahutinya. Ia hanya menghelai nafas panjangnya, menghadapi sikap Lara yang semakin menjadi tersebut. Hingga beberapa saat kemudian, Lara pun sudah selesai dengan riasannya. Wanita yang sebentar lagi akan menjadi istri kedua Nusa itu nampak tersenyum puas saat melihat hasil riasannya lewat cermin yang ada di depannya it
Acara pesta pernikahan Nusa dan Lara masih berlanjut, semakin siang makin banyak tamu undangan yang terus berdatangan, Bu Yanti memang sengaja mengundang banyak sahabat dan kerabatnya. Wanita itu memang menyiapkan pesta pernikahan kedua putranya dengan matang. Karena tanpa sepengetahuan Nusa, dia sudah merencanakan semua ini sudah cukup lama. Nusa sendiri dibuat terkejut, ia tidak menyangka Ibunya akan mengundang banyak tamu undangan seperti ini. Pesta pernikahannya dengan Lara pun bisa dikatakan cukup mewah, sangat jauh berbeda saat Nusa menikahi istri pertamanya, Syaqila. Mereka hanya mengadakan Ijab Qabul di KUA lalu berlanjut makan-makan dikediaman Bu Yanti bersama dengan keluarga dekatnya. Karena Syaqila sendiri adalah anak yatim pintu, dia sudah tidak punya keluarga. Hanya Ibu Panti yang saat itu mengantarkan Syaqila menikah dan mengikuti acaranya. “Ma, berapa banyak undangan yang Mamah sebar?” tanya Nusa berbisik pada sang Bu Yanti yang berdiri di sampingnya. Di sela mereka
“Di mana rumah kamu?” tanya Leo, sejak tadi ia melajukan mobilnya, belum sempat bertanya kemana ia harus mengantarkan Syaqila dan Rima. “Perumahan Gandaria,” jawab Syaqila. Letak rumahnya memang tidak terlalu jauh dari Rumah Sakit tersebut. Leo sendiri tahu perumahan tersebut, lantas pria itu pun mengangguk kepalanya usai mendapatkan jawaban dari Syaqila. Suasana hening seketika, diam-diam Leo memperhatikan Syaqila dari kaca spion yang ada dihadapannya. Leo bisa melihat dari gerak-gerik wanita itu, Syaqila nampak tidak nyaman. Entah apa yang tengah dipikirkan oleh Syaqila saat ini. Hingga beberapa saat kemudian, Rima memecah keheningan tersebut, wanita itu bertanya pada Leo. “Kak Leo kok tadi bisa ada di Rumah Sakit? Kebetulan sekali ya.” Rima memang memanggil Leo dengan sebutan Kakak, selain usai Leo memang lebih tua darinya, pria itu juga Kakak dari Lia, temannya. “Ah iya, itu ... emm tadi saya kebelet, jadi mampir dulu ke sana, numpang pipis,” jawabnya gugup. “Terus saya lia
Nusa baru saja terbangun, pria itu terkejut disaat melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul 08.30 WIB.“Astaga, aku kesiangan!” gumamnya kesal sendiri.Ia pun segara bergegas dari ranjang, menyingkirkan tangan wanita yang melingkar di pinggangnya. Tangan tersebut tak lain adalah tangan Lara, wanita itu terlihat masih tertidur pulas tanpa busana. Akibat pergulatan panasnya bersama Nusa semalam, sebab itu pula yang membuat Nusa bangun kesiangan. Nusa pun buru-buru menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Mengingat hari sudah cukup siang, dan hari ini ia berniat akan menemui istri pertamanya yaitu Syaqila, setelah beberapa hari istrinya itu di rawat di Rumah Sakit dan Nusa belum sempat menjenguknya. Bukan ia tidak khawatir, tentu saja Nusa sangat mengkhawatirkan istri pertamanya itu. Bahkan saat pertama kali mendapatkan kabar jika Syaqila masuk Rumah Sakit akibat kecelakaan, Nusa sudah berniat akan menemuinya. Tapi, sayangnya Bu Yanti melarangnya, dan tidak mengizinkan ia pergi
“Keadaan Bu Syaqila sudah membaik, hari ini Bu Syaqila sudah diperbolehkan pulang, tapi tunggu cairan inpusannya habis dulu ya,” kata seorang Dokter yang baru saja selesai memeriksa kondisi Syaqila pada pagi itu. “Alhamdulilah,” seru Rima. Yang memang selama dua hari ini menemani Syaqila di sana, wanita itu rela tidak masuk ke kantor demi menemani sahabatnya. Sementara Syaqila, wanita itu tersenyum sambil mengangguk kepala. Syukur, dia sudah diperbolehkan pulang. Ia juga tidak betah lama-lama di Rumah Sakit. “Kalau begitu saya permisi dulu,” pamit sang Dokter.“Baik Dok, terima kasih,” angguk Syaqila dan Rima bersamaan. Setelah itu sang Dokter pun berlalu dari ruangan rawat Syaqila. “Alhamdulilah, Sya, kamu udah boleh pulang. Kalau begitu aku mau beresin barang-barang kamu dulu, ya,” ucap Rima.“Iya, Rim. Maaf ya kalau aku ngerepotin kamu terus,” sahut Syaqila merasa tidak enak pada sahabat itu. “Iya kamu emang ngerepotin banget, Sya. Aduh pusing aku,” balas Rima sewot. Dengan
Acara pesta pernikahan Nusa dan Lara masih berlanjut, semakin siang makin banyak tamu undangan yang terus berdatangan, Bu Yanti memang sengaja mengundang banyak sahabat dan kerabatnya. Wanita itu memang menyiapkan pesta pernikahan kedua putranya dengan matang. Karena tanpa sepengetahuan Nusa, dia sudah merencanakan semua ini sudah cukup lama. Nusa sendiri dibuat terkejut, ia tidak menyangka Ibunya akan mengundang banyak tamu undangan seperti ini. Pesta pernikahannya dengan Lara pun bisa dikatakan cukup mewah, sangat jauh berbeda saat Nusa menikahi istri pertamanya, Syaqila. Mereka hanya mengadakan Ijab Qabul di KUA lalu berlanjut makan-makan dikediaman Bu Yanti bersama dengan keluarga dekatnya. Karena Syaqila sendiri adalah anak yatim pintu, dia sudah tidak punya keluarga. Hanya Ibu Panti yang saat itu mengantarkan Syaqila menikah dan mengikuti acaranya. “Ma, berapa banyak undangan yang Mamah sebar?” tanya Nusa berbisik pada sang Bu Yanti yang berdiri di sampingnya. Di sela mereka
“Bisa dipercepat gak sih Mbak? Ini waktunya udah mepet loh, bentar lagi akad nikah mau dilangsungkan!” pinta Lara ketus pada MUA yang masih memoles wajahnya. “Sabar Mbak, sebentar lagi ini selesai kok,” sahut sang MUA. Berusaha tetap ramah dan profesional, walaupun sebenernya hatinya sudah sangat dongkol menghadapi kliennya yang satu ini. Kerana apa yang terjadi saat ini tidak sesuai dengan kesepakatan awal mereka. Lara terlalu bawel dan bersikap seenaknya. “Ck! Dari tadi bilangnya sebentar lagi terus, bayaran aja mahal tapi kerjanya lemot!” gumam Lara dengan suara cukup pelan. Namun, masih terdengar jelas oleh sang MUA. MUA yang bernama Lindy itu tidak ingin menyahutinya. Ia hanya menghelai nafas panjangnya, menghadapi sikap Lara yang semakin menjadi tersebut. Hingga beberapa saat kemudian, Lara pun sudah selesai dengan riasannya. Wanita yang sebentar lagi akan menjadi istri kedua Nusa itu nampak tersenyum puas saat melihat hasil riasannya lewat cermin yang ada di depannya it
Syaqila masih terdiam mencoba mencerna baik-baik ucapan Dokter Sinta barusan. Semua itu sangat sulit ia percaya.Jadi obat yang selama ini ia konsumsi adalah Pil KB? Bukan obat penyubur kandungan? Pantas saja selama ini ia tidak hamil-hamil. Bukan karena dirinya mandul, tapi karena obat itu! Sampai kapan pun dia tidak akan bisa mempunyai anak jika terus mengonsumsi obat itu! Ya Tuhan apa ini? Siapa yang tega melakukan semua ini padanya? Syaqila masih mengingat jelas, saat malam pertama dirinya menikah dengan Nusa, suaminya itu yang memberikan obat tersebut. Nusa juga sempat memperlihatkan wadah obat tersebut hanya saja Syaqila memang tidak menelitinya, apa merek obat tersebut. Ia percaya begitu saja dan menurut meminum obat tersebut karena Nusa mengatakan jika obat tersebut obat penyubur kandungan, dengan harapan jika Syaqila meminumnya mereka akan segera diberikan momongan. Kenapa Nusa tega membohonginya? Kenapa suaminya tega melakukan semua ini?Tapi, apakah mungkin Nusa yang m
Langit sore itu nampak dipenuhi awan hitam, tanda-tanda hujan akan datang. Namun, Syaqila betah menatap langit suram tersebut, langit itu seakan menggambarkan perasaannya saat ini, gelap. Wanita berusia 25 tahu itu menadahkan wajah dan tangannya di saat tetasan air dari langit itu mulai turun, membiarkan rintik hujan mengenai wajah dan tangannya.Hujan semakin lebat, Syaqila masih setia berdiri di taman belakang rumahnya itu. Hingga air hujan tersebut sukses membuatnya basah kuyup. Entah apa yang ada dipikiran wanita itu, yang pasti saat ini Syaqila ingin menangis sejadi-jadinya menumpahkan air matanya bersamaan dengan air hujan menjadi satu. “Ya Allah, Non!” Tariak Bi Nur, terengah-engah menghampiri sang majikan seraya membawa payung. Tanpa kata-kata wanita paruh baya itu langsung memayungi majikannya dan memapahnya masuk kedalam rumah. “Tunggu sebentar, Bibi ambilkan handuk dulu,” lanjut Bi Nur, mendudukkan majikannya itu di kursi meja makan. Lalu ia berjalan secepat mungkin men
Setengah jam kemudian, Syaqila kini sudah sampai di sebuah Restoran tempat di mana wanita itu membuat janji dengan pengacaranya yaitu Lia. Syaqila masuk kedalam Restoran tersebut seraya menatap kesekitar mencari keberadaan Lia. “Mbak Syaqila ya?” Tiba-tiba seorang wanita menghampirinya. Syaqila mengangguk. “Iya, Bu Lia ya?” “Iya saya Lia, mari,” ajaknya. Mereka pun berjalan beringin menuju tempat yang sebelumnya sudah di pesan oleh Lia. Namun, Syaqila sedikit kebingungan saat melihat ada seorang pria yang duduk di sana. Siapa dia? Syaqila seperti pernah melihat pria itu tapi di mana, ya? Apa mungkin pria itu suaminya Lia? Entahlah, untuk apa juga ia memperdulikan pria itu. Urusannya ke sini ingin membicarakan soal rencana penggugatan cerainya bersama Lia. “Kak, pindah tempat sana!” pinta Lia pada pria tersebut. Pria itu hanya mengangguk, menuruti perintahnya. Mencari tempat duduk lain. “Mari duduk, Mbak,” ujar Lia pada Syaqila. Syaqila kembali mengangguk. “Maaf ya saya memb
Singkat cerita, hari pernikahan antara Nusa dan Lara pun tidak bisa dihindari. Besok acara pernikahan kedua suaminya Syaqila itu akan dilangsungkan di kediaman Bu Yanti. “Sya, besok pernikahan aku dan Lara akan dilangsungkan, di rumah Mama. Maaf jika ini terlalu cepat dan aku gak bisa menghindari semuanya, aku gak bisa menolak permintaan Mama, dia wanita yang sudah melahirkan aku, Sya. Kamu mengerti, ‘kan? Aku gak minta buat kamu hadir di sana, karena aku tahu semua ini masih sulit untuk kamu. Aku hanya minta restu dan doa dari kamu, bagaimana pun kamu adalah istriku,” ucap Nusa, semalam. Syaqila bergeming, walaupun sebenernya ia cukup terkejut dengan kabar yang diberikan pria yang berstatus suaminya itu. Nusa memang pernah mengatakan jika pernikahan keduanya dengan Lara akan dipercepat beberapa hari yang lalu. Tapi, kini hatinya seolah membatu, mendengar hal itu tidak ada lagi rasa ngilu yang terasa di dadanya. Apakah mungkin ia sudah mati rasa? “Aku pamit ke rumah Mama dulu, ya.