Tika langsung turun ke bawah setelah melapor padaku tentang kedatangan Ibu dan Rosi. Aku merapikan hijab instan berwarna biru muda yang kupakai. “Kamu mau menunggu di atas atau ikut turun bersamaku Nin?”“Aku ikut tu_”Belum selesai Hanin bicara, HP-nya sudah berdering nyaring. Tanda ada pesan masuk. Dapat kulihat sekilas nama pegawai di tokonya yang menelpon.“Kamu terima dulu telpon pegawaimu.”“Iya Mbak.”Kakiku melangkah menuruni tangga. Lalu masuk ke dalam dapur. Ibu dan Rosi sudah duduk di kursi seperti yang di katakan Tika tadi. Melihat kedatanganku, mata Rosi berbinar senang. Ah aku baru ingat jika hari ini Rosi akan membeli seserahan untuk acara pernikahannya. Pasti dia mau minta uang dariku.“Dasar kamu ini. Bukannya pulang ke rumah dulu untuk membuat sarapan, malah langsung pergi ke warung,” omel Ibu begitu aku duduk di depannya.Padahal di rumah juga ada Rosi dan Syntia. Kenapa tidak menyuruh kedua putrinya saja untuk memasak? Kuhela nafas perlahan agar tidak terpancing em
Aku hanya bisa mengerjapkan mata bingung. Kurapikan hijab instan berwarna abu yang sedang kukenakan untuk mengusir kecanggungan di antara kami. Pandanganku beralih pada tangan di atas meja. Tidak berani menatap wajahnya. “Apa maksud perkataan Pak Farhan tadi?”“Saya ingin membeli mobil suami anda. Sebenarnya kontrak kerja saya sudah berakhir bulan depan. Mobil yang saya gunakan sekarang adalah mobil kantor. Setelah pindah ke kota ini, saya membutuhkan mobil pribadi. Saya pikir daripada mencari di dealer, lebih baik membeli mobil suami Mbak Dania. Jika cocok maka kita bisa mengurus over kredit mobil pada dealer,” terang Pak Farhan yang masih membuatku merasa heran.Jika dia memang ingin membeli mobil pribadi, kenapa harus membeli mobil bekas? Dari cerita Hanin aku tahu jika Pak Farhan berasal dari keluarga terpandang di kota ini. Dengan pekerjaannya sebagai pengacara dan kekayaan keluarganya, aku yakin Pak Farhan bisa membeli mobil baru yang jauh lebih bagus dari mobil Mas Aksa.Seanda
Aku memalingkan wajah hingga memutus kontak mata kami. Dadaku berdegup kencang karena takut jika Arumi akan melihat wajah kami. Apalagi jika dia sampai mengenaliku. Walaupun sudah menghela nafas berulang kali, tetapi aku tetap takut. Bagaimana jika Arumi mendengar semua percakapan kami? Bisa jadi dia akan melaporkannya pada Mas Aksa.“Tenang saja Mbak. Sepertinya dia tidak mendengar percakapan kita. Wanita itu sedang menelpon seseorang. Dia memakai earphone di telinganya dan aku tidak sengaja melihat layar HP-nya yang masih tersambung dengan seseorang.” Hanin menjelaskan. Aku menghela nafas lega. Masih mendengar suara Arumi yang tengah bicara dengan pelayan. Dari sudut mata aku melihatnya berjalan menuju kasir dengan tangan masih memegang hp. Sepertinya ia tengah bicara dengan seseorang di sebrang sambungan telpon.Mungkin dia tidak melihat wajahku. Atau Arumi memang tidak tahu sosokku sama sekali? Rasanya tidak mungkin. Pandangan tidak bisa lepas darinya. Sekarang Arumi mengeluarkan
“Maaf Mas,” kata Syntia lalu berlari masuk ke dalam kamarnya. Suara pintu yang terbuka dan tertutup terdengar nyaring. Sepertinya Syntia takut akan menjadi sasaran kemarahan Mas Aksa karena sudah keceplosan menyebut tentang uang penjualan mobil.Mas Aksa menundukan kepalanya. Ia tidak berani memandang wajahku. Saat Mas Aksa berjalan aku langsung memegang tangannya. Dengan memasang wajah pura-pura lugu, aku kemudian bertanya, “Apa maskud Syntia tadi Mas? Kenapa dia mengatakan jika aku tidak akan mendapat bagian dari over kredit mobil? Apakah mobilmu sudah terjual?”Aku menatapnya tajam. Membuat Mas Aksa tidak berani balas menatap. Tangannya mengusap leher dengan wajah gelisah. Kebiasaannya jika sedang kalut. Bibir Mas Aksa terbuka lalu tertutup. Suaranya terdengar samar karena tertahan di tenggorokan. Dia tidak mampu menjawab rentetan pertanyaanku.“Kenapa diam saja? Benarkan kalau mobilmu sudah laku terjual?” tanyaku padanya. Aku melepaskan pegangan tangan Mas Aksa.“Bukan begitu. Mob
Suara erangan Mas Aksa membuatku memasukan semua pakaian wanita itu ke bawah tempar tidur lagi. Aku menatap Mas Aksa yang membalikan badannya menghadap dinding. Kuhela nafas lega. Untung saja Mas Aksa tidak terbangun. Untuk mengetahui siapa pemilik semua pakaian itu, aku harus memeriksa rekaman kamera CCTV hari ini. Kulangkahkan kaki ke tempat tidur anak-anak yang ada di ujung kamar. Duduk sambil bersandar pada dinding. Menatap layar HP yang sudah menampilkan rekaman kamera CCTV. Ternyata Arumi sudah datang ke rumah ini sejak siang. Mereka pergi ke tukang jahit untuk mengukur badan Arumi karena wanita itu juga akan mendapat seragam keluarga. Sama sepertiku. Padahal Arumi bukan bagian dari keluarga ini. “Bagaimana kalau Dania curiga?” tanya Arumi khawatir. Mas Aksa yang duduk di sampingnya merangkul bahu Arumi mesra. Ia bahkan mencium pipi Arumi di depan keluarganya. “Tenang saja sayang. Semua keluargaku akan mendapat seragam keluarga. Jadi, kau bisa berpura-pura sebagai kakak sepup
Ibu dan Arumi hanya bisa terdiam. Mereka tidak berani menatap wajahku. Kaki Arumi bergerak gelisah sampai ia tidak sadar jika daster Ibu yang ia kenakan mencetak jelas bentuk badannya. Sadar jika aku sedang memperhatikan tubuhnya, Arumi menyilangkan tangannya di depan dada."Siapa wanita ini Bu?" tanyaku sekali lagi. Arumi tidak berani menjawab karena ia hanya menundukan kepalanya."Namanya Arumi. Dia kakak sepupunya Aksa yang dulu kerja di Batam. Baru pulang kemarin lalu pergi ke rumah ini untuk mengukur baju seragam saat pernikahan Rosi. Kalian tidak pernah bertemu karena kontrak kerja Arumi selama sepuluh tahun baru berakhir kemarin," jawab Ibu memberi alasan. "Oh begitu. Mbak Arumi keponakannya Ibu atau mendiang Bapak?""Dia keponakan dari Bapaknya Aksa. Kamu tahu sendiri hubungan kami dengan keluarga Bapaknya Aksa tidak baik. Hanya Arumi yang masih mau menjalin silaturahmi dengan kami. Kedatangan Arumi kesini untuk mewakili keluarga Bapaknya Aksa," tutur Ibu yang lancar mengatak
Aku tidak tahu harus bagaimana bereaksi. Tubuhku seolah kaku hingga tidak bisa digerakan. Begitu juga dengan Pak Farhan, tetapi dia dengan cepat menguasai keadaan. Tanpa menyadari ekspresi kami, Mas Aksa santai duduk di hadapan Pak Farhan. Aku pamit undur diri untuk melayani pembeli yang lain serta fokus mendengarkan percakapan Mas Aksa dan Pak Farhan.“Iya. Saya memang pecinta burger. Kebetulan Ibu saya pernah beli di warung ini. Harganya murah dan rasanya enak,” kata Pak Farhan menjawab pertanyaan Mas Aksa sebelumnya.“Alhamdulillah kalau Pak Farhan suka. Warung ini milik istri saya. Dia tadi yang melayani Pak Farhan. Namanya Dania.” Tunjuk Mas Aksa padaku. Dari sudut mata aku bisa melihatnya tersenyum bangga.“Seperti yang Bapak lihat, usaha warung istri saya maju pesat, tetapi bukan berarti saya mengandalkan semua kebutuhan pada Dania. Termasuk dengan biaya pernikahan adik saya. Karena itulah saya menjual mobil yang masih kredit,” kata Mas Aksa yang bisa kudengar dengan jelas.Dia
Ibu segera menarik tangan tetangga yang bicara jika aku menikah karena hamil di luar nikah. Baru saja aku hendak mengejar Ibu, Mas Aksa sudah menahan tangan ini. Dia menarikku untuk masuk ke dalam rumah. Di ikuti dengan keluarga kami yang lain. Aku berusaha memberontak karena tidak ingin meninggalkan anak-anak di luar. “Apa yang kamu lakukan Mas? Lepaskan. Kasihan Mawar dan Melati hanya berdua di luar.” Aku berhasil menarik tangan yang di genggamnya. Namun, Mas Aksa menariknya lagi hingga kami masuk ke dalam kamar. “Kamu nggak perlu khawatir dengan anak-anak. Mereka bersama dengan tetangga kita. Tolong dengarkan aku dulu Nia. Aku akan menjelaskan semuanya. Jangan sampai acara pernikahan Rosi hancur karena kamu bertengkar dengan Ibu,” pinta Mas Aksa dengan nada memelas. Aku hanya mendengus kesal. Sebelum bertanya padanya, “Memangnya aku yang sudah membuat keributan?” “Bukan kamu. Hanya saja aku tidak ingin kamu meladeni perkataan tetangga kita. Apa yang dia ucapkan hanya fitnah