Suara erangan Mas Aksa membuatku memasukan semua pakaian wanita itu ke bawah tempar tidur lagi. Aku menatap Mas Aksa yang membalikan badannya menghadap dinding. Kuhela nafas lega. Untung saja Mas Aksa tidak terbangun. Untuk mengetahui siapa pemilik semua pakaian itu, aku harus memeriksa rekaman kamera CCTV hari ini. Kulangkahkan kaki ke tempat tidur anak-anak yang ada di ujung kamar. Duduk sambil bersandar pada dinding. Menatap layar HP yang sudah menampilkan rekaman kamera CCTV. Ternyata Arumi sudah datang ke rumah ini sejak siang. Mereka pergi ke tukang jahit untuk mengukur badan Arumi karena wanita itu juga akan mendapat seragam keluarga. Sama sepertiku. Padahal Arumi bukan bagian dari keluarga ini. “Bagaimana kalau Dania curiga?” tanya Arumi khawatir. Mas Aksa yang duduk di sampingnya merangkul bahu Arumi mesra. Ia bahkan mencium pipi Arumi di depan keluarganya. “Tenang saja sayang. Semua keluargaku akan mendapat seragam keluarga. Jadi, kau bisa berpura-pura sebagai kakak sepup
Ibu dan Arumi hanya bisa terdiam. Mereka tidak berani menatap wajahku. Kaki Arumi bergerak gelisah sampai ia tidak sadar jika daster Ibu yang ia kenakan mencetak jelas bentuk badannya. Sadar jika aku sedang memperhatikan tubuhnya, Arumi menyilangkan tangannya di depan dada."Siapa wanita ini Bu?" tanyaku sekali lagi. Arumi tidak berani menjawab karena ia hanya menundukan kepalanya."Namanya Arumi. Dia kakak sepupunya Aksa yang dulu kerja di Batam. Baru pulang kemarin lalu pergi ke rumah ini untuk mengukur baju seragam saat pernikahan Rosi. Kalian tidak pernah bertemu karena kontrak kerja Arumi selama sepuluh tahun baru berakhir kemarin," jawab Ibu memberi alasan. "Oh begitu. Mbak Arumi keponakannya Ibu atau mendiang Bapak?""Dia keponakan dari Bapaknya Aksa. Kamu tahu sendiri hubungan kami dengan keluarga Bapaknya Aksa tidak baik. Hanya Arumi yang masih mau menjalin silaturahmi dengan kami. Kedatangan Arumi kesini untuk mewakili keluarga Bapaknya Aksa," tutur Ibu yang lancar mengatak
Aku tidak tahu harus bagaimana bereaksi. Tubuhku seolah kaku hingga tidak bisa digerakan. Begitu juga dengan Pak Farhan, tetapi dia dengan cepat menguasai keadaan. Tanpa menyadari ekspresi kami, Mas Aksa santai duduk di hadapan Pak Farhan. Aku pamit undur diri untuk melayani pembeli yang lain serta fokus mendengarkan percakapan Mas Aksa dan Pak Farhan.“Iya. Saya memang pecinta burger. Kebetulan Ibu saya pernah beli di warung ini. Harganya murah dan rasanya enak,” kata Pak Farhan menjawab pertanyaan Mas Aksa sebelumnya.“Alhamdulillah kalau Pak Farhan suka. Warung ini milik istri saya. Dia tadi yang melayani Pak Farhan. Namanya Dania.” Tunjuk Mas Aksa padaku. Dari sudut mata aku bisa melihatnya tersenyum bangga.“Seperti yang Bapak lihat, usaha warung istri saya maju pesat, tetapi bukan berarti saya mengandalkan semua kebutuhan pada Dania. Termasuk dengan biaya pernikahan adik saya. Karena itulah saya menjual mobil yang masih kredit,” kata Mas Aksa yang bisa kudengar dengan jelas.Dia
Ibu segera menarik tangan tetangga yang bicara jika aku menikah karena hamil di luar nikah. Baru saja aku hendak mengejar Ibu, Mas Aksa sudah menahan tangan ini. Dia menarikku untuk masuk ke dalam rumah. Di ikuti dengan keluarga kami yang lain. Aku berusaha memberontak karena tidak ingin meninggalkan anak-anak di luar. “Apa yang kamu lakukan Mas? Lepaskan. Kasihan Mawar dan Melati hanya berdua di luar.” Aku berhasil menarik tangan yang di genggamnya. Namun, Mas Aksa menariknya lagi hingga kami masuk ke dalam kamar. “Kamu nggak perlu khawatir dengan anak-anak. Mereka bersama dengan tetangga kita. Tolong dengarkan aku dulu Nia. Aku akan menjelaskan semuanya. Jangan sampai acara pernikahan Rosi hancur karena kamu bertengkar dengan Ibu,” pinta Mas Aksa dengan nada memelas. Aku hanya mendengus kesal. Sebelum bertanya padanya, “Memangnya aku yang sudah membuat keributan?” “Bukan kamu. Hanya saja aku tidak ingin kamu meladeni perkataan tetangga kita. Apa yang dia ucapkan hanya fitnah
Aku menatap Mas Aksa tajam lalu meletakan sendok di atas piring. Pandanganku beralih pada Mawar dan Melati yang sudah selesai makan. “Kalian tunggu Ibu di ruang tamu ya. Ada yang mau Ibu bicarakan dengan Ayah.” “Iya Bu,” jawab Mawar. Ia sudah turun dari kursi lalu menggandeng tangan Melati menuju ruang tamu. Setelah anak-anak sudah pergi, aku jadi bisa lebih mudah menjawab permintaan Mas Aksa. Kali ini aku harus berpura-pura tidak mengerti. Mereka tidak boleh tahu jika aku sudah mengetahui semuanya lewat rekaman kamera CCTV kecil yang tersembunyi. “Aku tidak setuju. Sudah ada dua rumah tangga dalam satu rumah. Kalau Varo dan Rosi tinggal disini juga itu berarti akan ada tiga keluarga. Walaupun rumah ini kelak akan jadi milikmu, tapi aku yang membayar angsurannya setiap bulan Mas. Lalu apa tadi kamu bilang? Aku harus memasak sarapan lebih banyak dan menyiapkan bekal Varo?” tanyaku sambil tertawa menghina. “Aku ini kakak iparnya, bukan istrinya. Kewajibanku hanya melayanimu, menjaga
Untuk pertamanya kalinya air mata menggenang karena Mas Aksa. Setelah sekian tahun aku tidak lagi menangis akibat ulahnya. Kali ini pertahananku runtuh karena Mas Aksa dan Varo sudah melibatkan anak-anak. Saat aku hendak melangkah menghampiri mereka, tiba-tiba saja nasihat Hanin terngiang dalam kepala. “Jika Mbak Nia sudah memutuskan untuk berpisah atau pergi dari rumah itu, pasti Mas Aksa tidak akan terima. Karena bagi Mas Aksa, Mbak Nia adalah tambang uangnya. Aku juga tidak tahu kenapa dia belum berani meminta lebih pada Varo. Seandainya Mas Aksa menghalangi Mbak Nia untuk pergi hingga melemahkan tekat, jangan gegabah mengambil keputusan. Segera telpon aku walaupun aku sudah menerima kontrak kerja. Aku akan berusaha datang. Jika tidak bisa maka aku akan meminta tolong pada pegawai untuk mengurus semuanya,” kata Hanin kemarin saat dia menelpon. Kusurutkan langkah masuk ke kamar. Menutup pintu kamar perlahan lalu mengambil HP untuk menghubungi Hanin. Hanya perlu menunggu beberapa d
Kami sarapan bersama di rumah Hanin. Rencana untuk menempati rumah baru terpaksa di tunda pagi ini. Aku dan anak-anak akan berangkat lebih dulu. Hanin akan menyusul setelah adikku memindahkan sebagian barangnya ke rumah baru. Dia sarapan dengan cepat agar bisa melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.“Bagaimana kalau kita menyewa jasa bodyguard Mbak?” tanya Hanin setelah nasi di piringnya habis.Aku yang baru saja membantu anak-anak turun dari kursi yang tinggi menoleh pada Hanin. Menyewa bodyguard? Itu berarti akan ada orang asing yang tinggal bersama kami. Bukan karena kamarnya tidak cukup. Hanya saja aku tidak ingin ada pria yang tinggal bersama kami di saat statusku masih sah sebagai istri Mas Aksa.“Aku nggak mau tinggal dengan pria asing Nin,” bisikku agar tidak terdengar oleh Mawar dan Melati yang menunggu di ruang tengah.Hanin tertawa sambil menggeleng. “Kita akan menyewa bodyguard perempuan Mbak. Bukan laki-laki. Tidak mungkin aku membawa pria asing untuk tinggal bersa
POV Aksa Sejak dulu aku tidak percaya dengan yang namanya cinta. Tidak ada orang berhati tulus di dunia ini selain keluarga sendiri. Bahkan seorang Ayah juga bisa menghianati istri dan anak-anaknya. Bagiku hanya Ibu, Rosi dan Syntia, orang terpenting dalam hidup. Karena itulah aku tidak pernah serius dalam menjalin hubungan. Tujuan utamaku adalah menikah dengan wanita kaya agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk Ibu, Rosi dan Syntia. Sayangnya tidak mudah memacari anak orang kaya. Mereka pasti mencari pasangan yang selevel. Tidak seperti aku yang hanya bekerja di koperasi kecil dengan gaji UMR kota ini. Aku menurunkan standar saat bertemu dengan Arumi. Kakak tingkat saat kuliah di Semarang yang tergila-gila padaku. Dia berasal dari keluarga kelas menengah. Ayahnya adalah pegawai negeri sipil dan Ibunya adalah Ibu Rumah Tangga. Setelah lulus kuliah Arumi bekerja di perusahaan swasta dengan gaji di kisaran lima sampai tujuh juta per bulan. Entah apa yang membuat Arumi tergila