Aku menatap Mas Aksa tajam lalu meletakan sendok di atas piring. Pandanganku beralih pada Mawar dan Melati yang sudah selesai makan. “Kalian tunggu Ibu di ruang tamu ya. Ada yang mau Ibu bicarakan dengan Ayah.” “Iya Bu,” jawab Mawar. Ia sudah turun dari kursi lalu menggandeng tangan Melati menuju ruang tamu. Setelah anak-anak sudah pergi, aku jadi bisa lebih mudah menjawab permintaan Mas Aksa. Kali ini aku harus berpura-pura tidak mengerti. Mereka tidak boleh tahu jika aku sudah mengetahui semuanya lewat rekaman kamera CCTV kecil yang tersembunyi. “Aku tidak setuju. Sudah ada dua rumah tangga dalam satu rumah. Kalau Varo dan Rosi tinggal disini juga itu berarti akan ada tiga keluarga. Walaupun rumah ini kelak akan jadi milikmu, tapi aku yang membayar angsurannya setiap bulan Mas. Lalu apa tadi kamu bilang? Aku harus memasak sarapan lebih banyak dan menyiapkan bekal Varo?” tanyaku sambil tertawa menghina. “Aku ini kakak iparnya, bukan istrinya. Kewajibanku hanya melayanimu, menjaga
Untuk pertamanya kalinya air mata menggenang karena Mas Aksa. Setelah sekian tahun aku tidak lagi menangis akibat ulahnya. Kali ini pertahananku runtuh karena Mas Aksa dan Varo sudah melibatkan anak-anak. Saat aku hendak melangkah menghampiri mereka, tiba-tiba saja nasihat Hanin terngiang dalam kepala. “Jika Mbak Nia sudah memutuskan untuk berpisah atau pergi dari rumah itu, pasti Mas Aksa tidak akan terima. Karena bagi Mas Aksa, Mbak Nia adalah tambang uangnya. Aku juga tidak tahu kenapa dia belum berani meminta lebih pada Varo. Seandainya Mas Aksa menghalangi Mbak Nia untuk pergi hingga melemahkan tekat, jangan gegabah mengambil keputusan. Segera telpon aku walaupun aku sudah menerima kontrak kerja. Aku akan berusaha datang. Jika tidak bisa maka aku akan meminta tolong pada pegawai untuk mengurus semuanya,” kata Hanin kemarin saat dia menelpon. Kusurutkan langkah masuk ke kamar. Menutup pintu kamar perlahan lalu mengambil HP untuk menghubungi Hanin. Hanya perlu menunggu beberapa d
Kami sarapan bersama di rumah Hanin. Rencana untuk menempati rumah baru terpaksa di tunda pagi ini. Aku dan anak-anak akan berangkat lebih dulu. Hanin akan menyusul setelah adikku memindahkan sebagian barangnya ke rumah baru. Dia sarapan dengan cepat agar bisa melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.“Bagaimana kalau kita menyewa jasa bodyguard Mbak?” tanya Hanin setelah nasi di piringnya habis.Aku yang baru saja membantu anak-anak turun dari kursi yang tinggi menoleh pada Hanin. Menyewa bodyguard? Itu berarti akan ada orang asing yang tinggal bersama kami. Bukan karena kamarnya tidak cukup. Hanya saja aku tidak ingin ada pria yang tinggal bersama kami di saat statusku masih sah sebagai istri Mas Aksa.“Aku nggak mau tinggal dengan pria asing Nin,” bisikku agar tidak terdengar oleh Mawar dan Melati yang menunggu di ruang tengah.Hanin tertawa sambil menggeleng. “Kita akan menyewa bodyguard perempuan Mbak. Bukan laki-laki. Tidak mungkin aku membawa pria asing untuk tinggal bersa
POV Aksa Sejak dulu aku tidak percaya dengan yang namanya cinta. Tidak ada orang berhati tulus di dunia ini selain keluarga sendiri. Bahkan seorang Ayah juga bisa menghianati istri dan anak-anaknya. Bagiku hanya Ibu, Rosi dan Syntia, orang terpenting dalam hidup. Karena itulah aku tidak pernah serius dalam menjalin hubungan. Tujuan utamaku adalah menikah dengan wanita kaya agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk Ibu, Rosi dan Syntia. Sayangnya tidak mudah memacari anak orang kaya. Mereka pasti mencari pasangan yang selevel. Tidak seperti aku yang hanya bekerja di koperasi kecil dengan gaji UMR kota ini. Aku menurunkan standar saat bertemu dengan Arumi. Kakak tingkat saat kuliah di Semarang yang tergila-gila padaku. Dia berasal dari keluarga kelas menengah. Ayahnya adalah pegawai negeri sipil dan Ibunya adalah Ibu Rumah Tangga. Setelah lulus kuliah Arumi bekerja di perusahaan swasta dengan gaji di kisaran lima sampai tujuh juta per bulan. Entah apa yang membuat Arumi tergila
Varo beranjak dari kursinya lalu masuk ke dalam kamar. Rosi segera berdiri untuk menyusul suaminya. Hanya menyisakan aku, Ibu dan Syntia di meja makan. Ibu menghela nafas kesal. Begitu juga denganku yang berusaha menahan emosi dengan mengepalkan kedua tangan. “Aneh sekali. Kenapa Kak Varo tidak mau kalian bercerai? Apa mungkin dia tidak mau ikut membantu membiayai kebutuhan keluarga kita?” tanya Syntia yang punya pikiran yang sama denganku. “Lebih baik kamu pergi dengan Varo ke sekolah anak-anak untuk menunggu Dania, Sa. Sekaligus katakan pada Varo kalau dia harus ikut menanggung kebutuhan keluarga kita setelah kamu berpisah dari Dania. Ibu tidak mau dia hanya ongkang-ongkang kaki di rumah ini. Selama berpacaran dengan Rosi, Varo tidak pernah memberikan barang mahal seperti yang dilakukan Dania dulu. Ibu berusaha menahan diri karena tahu dia berasal dari keluarga terpandang. Namun kalau tidak bisa memberi uang lebih baik Rosi berpisah dari Varo setelah anak mereka lahir.” “Sabar Bu
Kami duduk di salah satu meja kantin yang ada di lantai dua. Danang ijin pada manajerku dengan alasan ingin mengenang masa lalu. Karena itulah kami tidak bisa makan siang bersama dengan tim proyek di antara dua perusahaan. Sambil membawa nampan makanan, Danang mengajakku duduk di meja pojok. Tertutup oleh pot tanaman setinggi setengah meter dengan batang hijau yang menjulantai.“Memang apa yang mau kamu ceritakan tentang Varo, Nang?” tanyaku langsung pada intinya. Makanan di atas meja sama sekali tidak membuat berselera untuk makan. Aku ingin langsung mendengar penjelasan Danang.“Kamu dulu yang cerita. Darimana kenal Varo dan bagaimana hubungan kalian selama ini hingga Varo berhasil menikah dengan Rosi,” ujar Danang menatapku serius.Aku menceritakan awal mula perkenalan kami. Setengah tahun yang lalu Rosi membawa Varo berkunjung ke rumah Ibu. Dia memperkenalkan diri sebagai pegawai di perusahaan ini. Pamannya adalah direktur dan Varo sendiri punya jabatan mentereng. Paman tertuanya
Dua hari sudah berlalu sejak aku dan anak-anak keluar dari rumah Mas Aksa. Dia terus datang ke warung menanyakan keberadaanku pada Tika dan pegawai yang lain. Kubiarkan saja dia menunggu disana. Karena aku mengajak anak-anak pergi ke Semarang untuk menyewa bodyguard. Aku ingin memeriksa latar belakangnya secara langsung.Awalnya Hanin tidak setuju karena aku dan anak-anak akan pergi dengan menaiki taksi online. Namun setelah mengatakan jika aku pergi bersama Bu Rindang ke kantor pengacaranya, Hanin baru setuju. Itupun karena ada berkas yang harus aku kumpulkan disana. Setelah dari kantor pengacara baru aku pergi ke tempat yang di beri tahu Hanin agar bisa menyewa bodyguard.,Akhirnya aku menyewa bodyguard perempuan bernama Rani. Perawakannya kecil dengan tubuh yang cukup mungil. Tidak akan ada orang yang menyangka jika Rani bekerja sebagai bodyguard karena ia memakai pakaian tertutup untuk menutupi sedikit otot yang terlihat di lengannya. Rambut ikalnya yang panjang di biarkan tergera
Setelah Mas Aksa pergi, Tika menyerahkan amplop itu padaku. Terdapat logo salah satu rumah sakit terkenal di kota ini. Aku melangkah menaiki tangga. Lebih baik di simpan di lantai dua agar bisa dibaca nanti malam. Setelah meletakan amplop itu di laci yang berada di lantai dua, aku turun ke bawah. Membantu Tika dan pegawai lain yang masih sibuk dengan pekerjaan.Jam lima sore Tika pamit pulang. Meninggalkanku bersama Lia dan Rina yang bekerja shift malam. Kesibukan di warung membuatku baru bisa memegang ponsel setelah menunaikan salat maghrib di lantai dua. Tidak lupa aku juga menghubungi anak-anak yang berada di rumah bersama Rani dan Hanin. Saling bercerita satu sama lain. Aku merasa tenang karena meninggalkan mereka di rumah bersama Rani. Karena Hanin masih sibuk dengan pekerjaannya di dalam kamar. Keputusan untuk mengambil bodyguard memang sangat tepat. Warung ini bukan lagi tempat yang aman untuk anak-anak. Sehingga aku terpaksa meninggalkan mereka di rumah baru kami dengan penjag
Aku masih diam. Kaget karena lamunan yang tiba-tiba buyar. Tubuhku gemetar dengan pikiran kosong. Melihatku yang masih saja, Mas Aksa menuntunku duduk di sofa. Dia membawa teh hangat dan mengambil pisang rebus dari dandang lalu menyajikannya di meja. Wajah Mas Aksa tampak sangat khawatir melihatku yang masih diam sejak tadi. Pikiranku buntu. Aku menghela nafas berulang kali agar lebih tenang. Tanpa sadar tangisku sudah pecah. Mas Aksa membawa tubuh ini dalam pelukan. Harum parfum yang masih menempel di bajunya membuatku tenang. Baru kali ini Mas Aksa memperlakukanku selembut ini. Tidak pernah terbayang akan mendapat pelukannya setelah lima tahun pernikahan yang menyiksa. Keputusan untuk rujuk yang kulakukan demi anak-anak justru membawa hubungan kami menjadi lebih dekat lagi.“Aku minta maaf jika ada salah padamu.” Tangan besarnya mengusap punggungku lembut. Getar suaranya sangat terasa dalam setiap gerakan tangannya. Aku menggeleng. Ini semua bukan salahnya. Berusaha meredam tangisan
Malam semakin larut. Kami sudah selesai makan malam bersama. Setelah bicara dengan Mas Aksa, Ibu akhirnya mau menginap di rumah ini bersama Rosi dan Syntia. Walaupun besok pagi harus bangun pagi sekali untuk pulang agar bisa jualan di rumah. Alhamdulillah dari berjualan Ibu punya uang yang lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Penghasilan Rosi dan Syntia juga membantu. Sehingga uang dari Mas Aksa bisa ditabung untuk biaya persalinan Rosi kelak. Semuanya akan terasa cukup jika tidak berfoya-foya. "Besok libur jualan saja dulu Bu," kata Mas Aksa begitu kami pindah ke ruang tengah. Aku masih sibuk mencuci piring dibantu Rosi dan Syntia. Rani sudah kembali ke rumahnya sebelum adzan maghrib berkumandang. Memastikan jika keluarganya juga aman di rumah. "Kalau libur pelanggan Ibu jadi pergi Sa. Ibu sudah tidak sakit lagi. Saat badan masih sehati, lebih enak dibuat bekerja. Lagipula setelah jualan, badan Ibu jadi lebih segar karena terus bergerak." "Jualan Ibu sudah mulai habis?
Kami turun ke lantai satu bersama setelah mengambil wudhu. Salat berjamaah di musola. Selain Rani, Bapak dan anak-anak, hanya Rosi yang ikut karena Ibu dan Syntia masih tertidur. Kami memutuskan membiarkan mereka tidur sebentar lagi sampai setengah jam ke depan. Setelah salat ashar, anak-anak sudah mengajak Mas Aksa untuk melihat tanaman mereka.“Besok kita jadi beli tanaman baru Yah?” tanya Mawar bersemangat.“Jadi dong.”“Aku dan Mawar juga mau beli pakai uang tabungan kita sendiri Yah.” Melati sudah memekik senang memikirkan ide itu. Aku hanya bisa menggeleng mendengar ocehan anak-anak yang sangat bersemangat setiap kali bermain dengan ayah mereka. Pandanganku sempat teralih sebentar ke teras.Melihat Bapak bersantai di teras samping melihat menantu dan kedua cucunya. Rosi yang kembali masuk kamar, Rani duduk di sofa ruang tengah untuk mengetik novel dengan tangan lain yang kadang memegang ponsel lain yang menampilkan rekaman kamera CCTV di rumahnya. Agar bisa tetap memantau keadaa
Usai cairan infus Ibu sudah habis, kami pulang ke rumah dua lantai untuk sementara waktu agar bisa memantai keadaan Ibu yang belum sepenuhnya pulih. Ibu dan Syntia menatap bingung saat mobil sudah berhenti di depan pagar. Ibu terlihat tidak enak, tetapi tidak bicara apapun. Aku menekan bel agar Rani membukakan pagar. Tidak lama kemudian gadis itu sudah keluar. Saat pagar terbuka, mobil pegawai Hanin masuk. Aku berjalan mengikuti di belakang. “Kamu turun dulu Don. Pasti capek nunggu kita seharian ini,” ucapku pada pegawai Hanin yang siang ini bertugas sebagai sopir dadakan kami. Aku memang sudah mengenal beberapa pegawai Hanin yang sudah lama bekerja dengannya. Salah satunya adalah Doni. Karena Doni sering menemani Hanin jika ada pekerjaan di luar. Dia juga sudah di angkat sebagai manajer toko dan memegang semua pekerjaan saat Hanin sibuk menyelesaikan pekerjaannya sebagai programmer. “Terima kasih Mbak. Maaf merepotkan.” Meski bicara seperti itu, Doni tetap terkekeh pelan. “Nggak
“Apa maksud kalian? Adik saya sudah berpisah dari suaminya sejak sebulan lalu. Dia sudah tidak ada tanggung jawab atas semua hutang yang ditinggalkan Varo. Apa buktinya jika adik saya juga terlibat?” kata Mas Aksa menengahi. Dia berhasil meredam emosi berkat Pak RT yang memanggil Limas agar kedua rentenir itu tidak melanjutkan keributan. Suasana ruang tamu benar-benar kacau. Tidak hanya keluarga dan dua preman itu, banyak tetangga yang melihat dari luar sehingga ruang tamu terasa sesak. Aku tidak lagi mendengar apa saja yang mereka bicarakan karena sudah membawa Ibu ke kamar. Membaringkan beliau di tempat tidur, melepas sandalnya lalu menaikan selimut. Wajah Ibu tampak kesakitan. Ia terus memegang pinggul sebelah kanan sejak tadi. Tubuhnya juga terasa dingin dengan keringat yang tampak di dahi dan seluruh tubuh. Erangan kesakitan Ibu sudah tidak terdengar separah tadi saat aku baru saja datang. Hanya wajahnya yang masih tampak pucat. Aku berjongkok agar bisa sejajar dengan Ibu. “A
Rasanya seperti kembali saat kami masih pacaran. Pergi bedua hanya untuk ke minimarket sambil bergandengan tangan. Melibat banyak orang yang juga datang bersama pasangan masing-masing sambil bergandengan tangan seperti kami. Membuat tidak banyak orang yang mengamati kami. Bedanya dulu aku dan Mas Aksa hanya akan berjalan bersisian karena tidak mau bergandengan tangan dengannya sebelum menikah. Sekarang kami menunjukkan kemesraan di depan umum. Setelah belanja di minimarket aku memesan taksi online lagi. Kami menunggu di parkiran. Mas Aksa menenteng satu kantung plastik besar di tangan kanan dan tangan kiri menggenggam tanganku. Banyak orang yang melihat dengan beragam pandangan. Ada yang tersenyum melihat kemesraan kami. Ada juga yang menggeleng dengan wajah jengah. Seolah sudah sering melihat pemandangan serupa. Ada juga yang merengut sebal."Maaf aku belum bisa menjadi kepala keluarga yang baik. Doakan rejekiku lancar ya agar bisa membelikan barang apapun yang kau mau." Tiba-tiba s
Kami pergi ke rumah Pak RT bersama. Bapak di rumah bersama anak-anak. Aku memastikan Bapak mengunci pagar dari dalam lalu keluar. Tidak lupa kuingatkan Bapak untuk mengunci semua pintu di rumah termasuk menambahkan gembok. Walau dengan perasaan tidak nyam, kami tetap harus pergi ke rumah Pak RT. Di rumah Pak RT, Varo diikat dengan tali tambang dan mulut yang ditutup serbet. Melihat kedatanganku, mata pria itu melotot tajam. Salah satu warga lalu melepas serbet yang menutup mulutnya agar dia bisa bicara saat di interogasi. Setelah penutup mulutnya terlepas, Varo justru terdiam. Dia tidak lagi mengerang seperti tadi.“Kenapa anda berusaha masuk ke rumah Bu Nia dengan membawa pisau kecil? Anda tahu itu termasuk tindak kejahatan yang bisa membuat anda dijebloskan ke penjara?” tanya Pak RT langsung pada intinya. Varo tidak menjawab apapun. Dia hanya menunduk. Entah kenapa sekarang dia justru diam. Padahal sosok Varo yang kukenal tidak seperti ini.“Tindakan anda bisa dikatakan sebagai aksi
Pekerjaan hari ini tidak banyak setelah aku dan Rani pulang dari sekolah bersama anak-anak. Bapak yang tengah menonton TV hanya menyapa kami lalu bermain bersama kedua cucunya seperti biasa. "Bagaimana sekolah hari ini?" tanya Bapak lembut seperti saat aku masih kecil dulu. Kenangan indah yang hampir saja terlupakan setelah puluhan tahun berlalu. "Seru Kung," jawab Mawar dan Melati pendek. Tidak pernah tertarik jika ditanya tentang sekolah. Justru mereka susah meletakan tas di sofa lalu menarik tangan Bapak untuk pergi ke kamar beliau mengambil mainan mereka. Aku membawa tas anak-anak naik ke lantau dua. Membiarkan anak-anak bersama Rani dan Bapak lalu turun ke bawah. Bapak tidak menceritakan masalah apapun. Berarti tidak ada orang yang mencoba bertamu karena tadi pagi aku melihat Ana yang mengintai rumah ini. Aku duduk di sofa ruang tengah untuk menonton TV yang seperti biasa menayangkan kartun kesukaan anak-anak. Walaupun tidak ditonton karena mereka sibuk bermain kartu bergamba
“Ada yang mau aku bicarakan denganmu Mas,” ucapku begitu kami masuk kamar usai melaksanakan salat subuh berjamaah. Waktu kami tidak banyak karena anak-anak sudah mengajak ayah mereka untuk menyiram bunga bersama dengan Bapak. Mungkin kami hanya bisa bicara di kamar untuk beberapa hari ke depan. Selama Mawar dan Melati masih ingin menikmati waktu dengan ayah mereka sepenuhnya, tidak akan ada waktu berdua untuk kami. “Ada apa Nia?” tanya Mas Aksa lembut. Dia mencatolkan kemeja dan sarung lalu meletakan kopiah di dalam nakas. Padahal dulu Mas Aksa adalah tipe orang yang berantakan. Dia akan menyuruhku mencatolkan baju yang diletakan begitu saja di atas tempat tidur. Tidak lupa Mas Aksa berganti baju dengan memakai kaos oblong berwarna hitam dan celana pendek. Pakaian bersantai yang sudah ia pakai sejak lama. Mas Aksa lalu duduk disampingku. Dari jarak sedekat ini aku bisa mencium aroma parfumnya yang tidak berubah. Sungguh wajah Mas Aksa terlihat berkal-kali lipat lebih keren saat dia