Kami sarapan bersama di rumah Hanin. Rencana untuk menempati rumah baru terpaksa di tunda pagi ini. Aku dan anak-anak akan berangkat lebih dulu. Hanin akan menyusul setelah adikku memindahkan sebagian barangnya ke rumah baru. Dia sarapan dengan cepat agar bisa melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.“Bagaimana kalau kita menyewa jasa bodyguard Mbak?” tanya Hanin setelah nasi di piringnya habis.Aku yang baru saja membantu anak-anak turun dari kursi yang tinggi menoleh pada Hanin. Menyewa bodyguard? Itu berarti akan ada orang asing yang tinggal bersama kami. Bukan karena kamarnya tidak cukup. Hanya saja aku tidak ingin ada pria yang tinggal bersama kami di saat statusku masih sah sebagai istri Mas Aksa.“Aku nggak mau tinggal dengan pria asing Nin,” bisikku agar tidak terdengar oleh Mawar dan Melati yang menunggu di ruang tengah.Hanin tertawa sambil menggeleng. “Kita akan menyewa bodyguard perempuan Mbak. Bukan laki-laki. Tidak mungkin aku membawa pria asing untuk tinggal bersa
POV Aksa Sejak dulu aku tidak percaya dengan yang namanya cinta. Tidak ada orang berhati tulus di dunia ini selain keluarga sendiri. Bahkan seorang Ayah juga bisa menghianati istri dan anak-anaknya. Bagiku hanya Ibu, Rosi dan Syntia, orang terpenting dalam hidup. Karena itulah aku tidak pernah serius dalam menjalin hubungan. Tujuan utamaku adalah menikah dengan wanita kaya agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk Ibu, Rosi dan Syntia. Sayangnya tidak mudah memacari anak orang kaya. Mereka pasti mencari pasangan yang selevel. Tidak seperti aku yang hanya bekerja di koperasi kecil dengan gaji UMR kota ini. Aku menurunkan standar saat bertemu dengan Arumi. Kakak tingkat saat kuliah di Semarang yang tergila-gila padaku. Dia berasal dari keluarga kelas menengah. Ayahnya adalah pegawai negeri sipil dan Ibunya adalah Ibu Rumah Tangga. Setelah lulus kuliah Arumi bekerja di perusahaan swasta dengan gaji di kisaran lima sampai tujuh juta per bulan. Entah apa yang membuat Arumi tergila
Varo beranjak dari kursinya lalu masuk ke dalam kamar. Rosi segera berdiri untuk menyusul suaminya. Hanya menyisakan aku, Ibu dan Syntia di meja makan. Ibu menghela nafas kesal. Begitu juga denganku yang berusaha menahan emosi dengan mengepalkan kedua tangan. “Aneh sekali. Kenapa Kak Varo tidak mau kalian bercerai? Apa mungkin dia tidak mau ikut membantu membiayai kebutuhan keluarga kita?” tanya Syntia yang punya pikiran yang sama denganku. “Lebih baik kamu pergi dengan Varo ke sekolah anak-anak untuk menunggu Dania, Sa. Sekaligus katakan pada Varo kalau dia harus ikut menanggung kebutuhan keluarga kita setelah kamu berpisah dari Dania. Ibu tidak mau dia hanya ongkang-ongkang kaki di rumah ini. Selama berpacaran dengan Rosi, Varo tidak pernah memberikan barang mahal seperti yang dilakukan Dania dulu. Ibu berusaha menahan diri karena tahu dia berasal dari keluarga terpandang. Namun kalau tidak bisa memberi uang lebih baik Rosi berpisah dari Varo setelah anak mereka lahir.” “Sabar Bu
Kami duduk di salah satu meja kantin yang ada di lantai dua. Danang ijin pada manajerku dengan alasan ingin mengenang masa lalu. Karena itulah kami tidak bisa makan siang bersama dengan tim proyek di antara dua perusahaan. Sambil membawa nampan makanan, Danang mengajakku duduk di meja pojok. Tertutup oleh pot tanaman setinggi setengah meter dengan batang hijau yang menjulantai.“Memang apa yang mau kamu ceritakan tentang Varo, Nang?” tanyaku langsung pada intinya. Makanan di atas meja sama sekali tidak membuat berselera untuk makan. Aku ingin langsung mendengar penjelasan Danang.“Kamu dulu yang cerita. Darimana kenal Varo dan bagaimana hubungan kalian selama ini hingga Varo berhasil menikah dengan Rosi,” ujar Danang menatapku serius.Aku menceritakan awal mula perkenalan kami. Setengah tahun yang lalu Rosi membawa Varo berkunjung ke rumah Ibu. Dia memperkenalkan diri sebagai pegawai di perusahaan ini. Pamannya adalah direktur dan Varo sendiri punya jabatan mentereng. Paman tertuanya
Dua hari sudah berlalu sejak aku dan anak-anak keluar dari rumah Mas Aksa. Dia terus datang ke warung menanyakan keberadaanku pada Tika dan pegawai yang lain. Kubiarkan saja dia menunggu disana. Karena aku mengajak anak-anak pergi ke Semarang untuk menyewa bodyguard. Aku ingin memeriksa latar belakangnya secara langsung.Awalnya Hanin tidak setuju karena aku dan anak-anak akan pergi dengan menaiki taksi online. Namun setelah mengatakan jika aku pergi bersama Bu Rindang ke kantor pengacaranya, Hanin baru setuju. Itupun karena ada berkas yang harus aku kumpulkan disana. Setelah dari kantor pengacara baru aku pergi ke tempat yang di beri tahu Hanin agar bisa menyewa bodyguard.,Akhirnya aku menyewa bodyguard perempuan bernama Rani. Perawakannya kecil dengan tubuh yang cukup mungil. Tidak akan ada orang yang menyangka jika Rani bekerja sebagai bodyguard karena ia memakai pakaian tertutup untuk menutupi sedikit otot yang terlihat di lengannya. Rambut ikalnya yang panjang di biarkan tergera
Setelah Mas Aksa pergi, Tika menyerahkan amplop itu padaku. Terdapat logo salah satu rumah sakit terkenal di kota ini. Aku melangkah menaiki tangga. Lebih baik di simpan di lantai dua agar bisa dibaca nanti malam. Setelah meletakan amplop itu di laci yang berada di lantai dua, aku turun ke bawah. Membantu Tika dan pegawai lain yang masih sibuk dengan pekerjaan.Jam lima sore Tika pamit pulang. Meninggalkanku bersama Lia dan Rina yang bekerja shift malam. Kesibukan di warung membuatku baru bisa memegang ponsel setelah menunaikan salat maghrib di lantai dua. Tidak lupa aku juga menghubungi anak-anak yang berada di rumah bersama Rani dan Hanin. Saling bercerita satu sama lain. Aku merasa tenang karena meninggalkan mereka di rumah bersama Rani. Karena Hanin masih sibuk dengan pekerjaannya di dalam kamar. Keputusan untuk mengambil bodyguard memang sangat tepat. Warung ini bukan lagi tempat yang aman untuk anak-anak. Sehingga aku terpaksa meninggalkan mereka di rumah baru kami dengan penjag
Entah jam berapa aku tidur semalam. Mungkin lewat jam satu malam karena aku baru bisa tidur setelah menunaikan salat tahajjud. Setelah bangkit dari tempat tidur, aku melihat cermin yang berada di sebrang. Terlihat mata yang merah dengan rambut yang berantakan. Kedatangan Varo benar-benar membuat pikiran menjadi kacau. Rasa takut yang menghantui membuat susah tidur. Adzan subuh terdengar bergema dari musala dan masjid yang ada di dekat rumah. Segera membangunkan Mawar dan Melati lalu keluar dari kamar. Rupanya Hanin dan Rani juga sudah bangun. Kami memutuskan untuk salat subuh berjamaah di ruang tengah. Setelah selesai salah subuh, kami membagi tugas seperti biasa. Rani menawarkan diri untuk menyapu halaman, aku memasak untuk sarapan serta bekal anak-anak dan Hanin menyapu rumah serta mencuci piring. Saat sedang membuat sarapan, aku menceritakan tentang kejadian semalam pada Hanin. Dia nampak terkejut hingga hampir menjatuhkan panci yang sedang di cucinya. "Ternyata firasat burukku
Tega dia bilang? Sepertinya Mas Aksa sama sekali belum sadar jika perbuatannya selama ini sungguh menyakitkan hati. Dia bertindak seolah-olah menjadi korban dan akulah penjahat. Seperti yang sudah kami duga, Mas Aksa tidak akan terima di gugat cerai. Karena dia akan kehilangan tambang uangnya yaitu aku. Di balik kata penyemangat dan senyum para tetangga, aku tahu jika banyak di antara mereka yang menyebut wanita bodoh dan lemah. Mau saja di peralat keluarga suami untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di jadikan tulang punggung selama bertahun-tahun dengan nafkah yang minim. Menerima kata-kata kasar Mas Aksa dan masih banyak lagi. Mereka tidak tahu aku memilih bertahan karena janjiku pada mendiang Ibu. Sejak kecil Ibu sudah mendidik kami untuk selalu memegang teguh janji yang terucap. Menjadi orang jujur dan mau menolong orang lain. Hal itu jugalah yang membuatku bertahan selama enam tahun pernikahan. Akhirnya aku bisa melanggar janji Ibu setelah Mas Aksa menampar pipi ini. Kekerasan fisik