Share

Bab 41

Author: Alita novel
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Entah jam berapa aku tidur semalam. Mungkin lewat jam satu malam karena aku baru bisa tidur setelah menunaikan salat tahajjud. Setelah bangkit dari tempat tidur, aku melihat cermin yang berada di sebrang. Terlihat mata yang merah dengan rambut yang berantakan. Kedatangan Varo benar-benar membuat pikiran menjadi kacau. Rasa takut yang menghantui membuat susah tidur.

Adzan subuh terdengar bergema dari musala dan masjid yang ada di dekat rumah. Segera membangunkan Mawar dan Melati lalu keluar dari kamar. Rupanya Hanin dan Rani juga sudah bangun. Kami memutuskan untuk salat subuh berjamaah di ruang tengah.

Setelah selesai salah subuh, kami membagi tugas seperti biasa. Rani menawarkan diri untuk menyapu halaman, aku memasak untuk sarapan serta bekal anak-anak dan Hanin menyapu rumah serta mencuci piring. Saat sedang membuat sarapan, aku menceritakan tentang kejadian semalam pada Hanin. Dia nampak terkejut hingga hampir menjatuhkan panci yang sedang di cucinya.

"Ternyata firasat burukku
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 42

    Tega dia bilang? Sepertinya Mas Aksa sama sekali belum sadar jika perbuatannya selama ini sungguh menyakitkan hati. Dia bertindak seolah-olah menjadi korban dan akulah penjahat. Seperti yang sudah kami duga, Mas Aksa tidak akan terima di gugat cerai. Karena dia akan kehilangan tambang uangnya yaitu aku. Di balik kata penyemangat dan senyum para tetangga, aku tahu jika banyak di antara mereka yang menyebut wanita bodoh dan lemah. Mau saja di peralat keluarga suami untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di jadikan tulang punggung selama bertahun-tahun dengan nafkah yang minim. Menerima kata-kata kasar Mas Aksa dan masih banyak lagi. Mereka tidak tahu aku memilih bertahan karena janjiku pada mendiang Ibu. Sejak kecil Ibu sudah mendidik kami untuk selalu memegang teguh janji yang terucap. Menjadi orang jujur dan mau menolong orang lain. Hal itu jugalah yang membuatku bertahan selama enam tahun pernikahan. Akhirnya aku bisa melanggar janji Ibu setelah Mas Aksa menampar pipi ini. Kekerasan fisik

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 43

    Selain membuka akun sosial media Rosi, aku juga membuka sosial media Syntia, Ibu dan yang terakhir Mas Aksa. Tidak ada postingan apapun selama beberapa hari terakhir. Padahal dulu Ibu dan Syntia aktif bermain sosial media. Justru aku membaca beberapa komentar dari akun tetangga kami di postingan terakhir Ibu. Dua di antaranya adalah Ibu-ibu yang bergosip di hari pernikahan Rosi.Mereka julid karena Rosi sering mengunggah status yang menyindir sang suami padahal usia pernikahan mereka belum ada satu bulan. Syntia dan Mas Aksa memilih diam. Tidak menanggapi sindiran atau ujaran kebencian dari para tetangga di sosial media. Namun tidak dengan Ibu. Dia menanggapi bahwa postingan Rosi sama sekali tidak terkait dengan masalah rumah tangganya. Saat ada yang membahas tidak pernah melihatku dan Varo pulang ke rumah lagi, Ibu membalas bahwa kami ada urusan pekerjaan yang tidak bisa di tinggalkan.Rupanya para tetangga sudah sadar jika aku pergi dari rumah. Teringat dengan kejadian beberapa hari

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 44

    Aku sungguh tidak enak pada Bu Rindang karena sikap Mas Aksa yang memalukan. Tidak mungkin aku meminta beliau untuk tetap memajukan mobil dengan dalih mengancam Mas Aksa. Hampir saja tangan ini membuka pintu jika Rani tidak menahanku. Dia menggeleng lalu turun dari mobil. “Siapa kamu? Aku tidak ada urusan denganmu,” bentak Mas Aksa dengan tangan mendorong Rani. Namun dia justru jatuh tersungkur saat Rani lebih dulu menjegal kakinya. “Kamu tidak perlu tahu siapa aku,” kata Rani sambil menotok beberapa bagian di tubuh Mas Aksa. Setelah melakukan hal itu, ia masuk ke mobil. “Kita bisa pergi sekarang Bu.” “Baik. Terima kasih Mbak Rani.” Mobil sudah melaju melewati Mas Aksa yang di kerumuni Ibu, Rosi dan Syntia. Tubuhnya seperti terbujur kaku seolah tidak berdaya. Melihat keherananku, Rani dengan baik hati menjelaskan jika ia menotok beberapa bagian vital di tubuh Mas Aksa agar dia tidak bisa bergerak. Sehingga kita bisa pergi dari sana dengan leluasa. “Memang nggak masalah Ran?” tan

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 45

    Aku segera berlari keluar dapur. Terdengar teriakan para pembeli dan pegawai yang melihat Mas Aksa mengejar dengan memegang pisau. Dia tidak boleh melukai siapapun di dalam warung. Kakiku terus berlari keluar hingga tiba di tepi jalan raya. Seolah sudah gelap mata, Mas Aksa sama sekali tidak berhenti. Dia berhasil menangkan tanganku dan hendak menusukan pisau itu saat terdengar teriakan Rani yang nyaring. Hampir saja Mas Aksa berhasil menusukku jika Rani tidak datang tepat waktu. Pisau sudah melayang di udara. Rani dengan cekatan menangkap pisau itu lalu memberikannya pada Tika yang ikut keluar dari warung. Tika berlari sambil membawa pisau itu ke masuk. Sementara itu, Rani sudah berhasil melumpuhkan Mas Aksa dengan cara menotok bagian vitalnya agar tidak bisa bergerak. “Lepaskan aku. Kita akan pergi bersama Nia. Kalau kamu tidak mau rujuk maka kita bisa berpisah dengan cara lain. Kamu tidak boleh bahagia di saat aku menderita,” teriak Mas Aksa memberontak. Padahal tubuhnya sudah ka

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 46

    Pagi berjalan seperti biasa. Salat subuh, membuat sarapan, mandi lalu istirahat di dalam kamar. Tugas rumah sudah di bagi dengan Rani dan Hanin. Anak-anak juga sudah di antar oleh pengawal mereka. Sebelum mengantar anak-anak ke sekolah, Rani sempat menemuiku.“Kata Tia dia bisa interview kapan saja Mbak. Karena ada kakaknya yang akan menginap untuk menjaga ibu mereka.” “Syukurlah. Tolong beri tahu saudaramu jika kita bisa interview jam empat sore. Agar dia bisa praktik secara langsung bersama denganku malam ini. Aku ingin melihat kemampuannya dalam melayani pelanggan.” “Baik Mbak.” Anak-anak dan Rani pulang jam setengah sepuluh pagi. Kami menghabiskan waktu di ruang tengah untuk menonton TV bersama. Tidak lupa aku menanyakan kegiatan mereka selama di sekolah. Rani juga bercerita jika dia sudah akrab dengan wali murid yang lain. Walaupun harus mengarang alasan saat ada yang menanyakan kenapa bukan aku yang kini mengantar dan menunggu anak-anak di sekolah. “Awalnya aku mau mengarang

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 47

    Semua orang memandang kami dengan aneh. Ada yang sudah tahu kejadian kemarin, tetapi juga ada yang belum. Aku tidak ingin persepsi orang-orang tentang warung ini buruk. Jadi aku segera membantu Ibu untuk berdiri. Tubuhnya terasa bergetar hebat karena menahan tangis. Belum lagi dengan wajahnya yang sembab karena terus menangis. Mungkin memikirkan nasib Mas Aksa yang kini sedang di penjara. Pandanganku beralih pada Rosi dan Syntia yang diam saja di belakang Ibu mereka. Aku mengira Rosi dan Syntia akan mengarahkan kamera ponsel untuk merekam kami tadi. Namun mereka hanya berdiri mematung tanpa suara. Tidak menggenggam ponsel sama sekali. “Kalian bisa menunggu di lantai dua. Aku akan pergi ke dapur untuk mengambil minuman,” ucapku tenang. “Terima kasih Nia.” Rosi lalu membantu Ibunya menaiki tangga. Tidak mungkin aku meminta mereka ke dapur karena sudah ada Tia yang menunggu disana. Terpaksa aku menunda interview dengan gadis itu. Saat berjalan ke dapur, terlihat Tia tengah mengamati

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 48

    Meskipun Varo tidak bisa melihatku, tetap saja aku merasa tidak tenang. Dada ini berdetak lebih keras. Hampir saja tubuhku limbung jika tidak bisa menguasai diri. Kuhela nafas berulang kali agar lebih tenang. Pandangan beralih pada Tia yang sedang meminum es tehnya. “Sebentar ya Tia. Aku mau mengirim pesan dulu.” “Iya Mbak.” Kuambil ponsel dari dalam saku gamis lalu membuka kontak Lia. Dia adalah orang terakhir yang ditanya Varo. Aku ingin tahu apa saja yang mereka bicarakan dan memintanya untuk melihat ke depan warung agar bisa memastikan keberadaan Varo. Tidak lama kemudian pesan sudah berubah menjadi centang biru. Artinya Lia sudah membaca pesanku. Dari balik penghalang di antara dapur dan warung, aku bisa melihat Lia yang berjalan keluar. Dia kembali untuk melayani pembeli lalu mengambil ponselnya. Pesanku sudah dibalas. [Tadi Pak Varo menanyakan apakah Mbak Nia selalu masuk kerja setiap siang dan baru pulang pada malam harinya lalu aku jawab jika Mbak Nia tidak pernah masuk

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 49

    Diam-diam aku segera turun dari tangga lalu masuk ke dalam kamar mandi yang ada di belakang tangga. Dadaku berdegup kencang. Ternyata kehadiran Varo lebih menakutkan dari Mas Aksa. Dia seperti terobsesi padaku. Bukannya memperbaiki hubungan dengan Rosi, Varo justru memilih mengintai istri kakak iparnya sendiri. Tidak ada suara keributan yang terjadi. Semuanya berjalan seperti biasa. Lima belas menit sudah berlalu. Aku takut jika ada orang yang hendak menggunakan kamar mandi perempuan. Mungkin aku harus memeriksa kamera CCTV sekarang. Tanganku mengambil ponsel dari saku gamis. Belum sempat aku membuka HP, terdengar keributan. Varo berteriak marah yang di timpali dengan suara Rina dan Lia. Seketika suasana menjadi bising karena para pembeli tidak terima Varo sudah mengganggu ketenangan mereka. Aku bahkan tidak berani melihat apa yang terjadi di rekaman kamera CCTV. Bagaimana jika Varo menghancurkan image warung yang sudah terbangun selama ini? Mungkin menghadapinya adalah jalan terba

Latest chapter

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 90

    Aku masih diam. Kaget karena lamunan yang tiba-tiba buyar. Tubuhku gemetar dengan pikiran kosong. Melihatku yang masih saja, Mas Aksa menuntunku duduk di sofa. Dia membawa teh hangat dan mengambil pisang rebus dari dandang lalu menyajikannya di meja. Wajah Mas Aksa tampak sangat khawatir melihatku yang masih diam sejak tadi. Pikiranku buntu. Aku menghela nafas berulang kali agar lebih tenang. Tanpa sadar tangisku sudah pecah. Mas Aksa membawa tubuh ini dalam pelukan. Harum parfum yang masih menempel di bajunya membuatku tenang. Baru kali ini Mas Aksa memperlakukanku selembut ini. Tidak pernah terbayang akan mendapat pelukannya setelah lima tahun pernikahan yang menyiksa. Keputusan untuk rujuk yang kulakukan demi anak-anak justru membawa hubungan kami menjadi lebih dekat lagi.“Aku minta maaf jika ada salah padamu.” Tangan besarnya mengusap punggungku lembut. Getar suaranya sangat terasa dalam setiap gerakan tangannya. Aku menggeleng. Ini semua bukan salahnya. Berusaha meredam tangisan

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 89

    Malam semakin larut. Kami sudah selesai makan malam bersama. Setelah bicara dengan Mas Aksa, Ibu akhirnya mau menginap di rumah ini bersama Rosi dan Syntia. Walaupun besok pagi harus bangun pagi sekali untuk pulang agar bisa jualan di rumah. Alhamdulillah dari berjualan Ibu punya uang yang lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Penghasilan Rosi dan Syntia juga membantu. Sehingga uang dari Mas Aksa bisa ditabung untuk biaya persalinan Rosi kelak. Semuanya akan terasa cukup jika tidak berfoya-foya. "Besok libur jualan saja dulu Bu," kata Mas Aksa begitu kami pindah ke ruang tengah. Aku masih sibuk mencuci piring dibantu Rosi dan Syntia. Rani sudah kembali ke rumahnya sebelum adzan maghrib berkumandang. Memastikan jika keluarganya juga aman di rumah. "Kalau libur pelanggan Ibu jadi pergi Sa. Ibu sudah tidak sakit lagi. Saat badan masih sehati, lebih enak dibuat bekerja. Lagipula setelah jualan, badan Ibu jadi lebih segar karena terus bergerak." "Jualan Ibu sudah mulai habis?

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 88

    Kami turun ke lantai satu bersama setelah mengambil wudhu. Salat berjamaah di musola. Selain Rani, Bapak dan anak-anak, hanya Rosi yang ikut karena Ibu dan Syntia masih tertidur. Kami memutuskan membiarkan mereka tidur sebentar lagi sampai setengah jam ke depan. Setelah salat ashar, anak-anak sudah mengajak Mas Aksa untuk melihat tanaman mereka.“Besok kita jadi beli tanaman baru Yah?” tanya Mawar bersemangat.“Jadi dong.”“Aku dan Mawar juga mau beli pakai uang tabungan kita sendiri Yah.” Melati sudah memekik senang memikirkan ide itu. Aku hanya bisa menggeleng mendengar ocehan anak-anak yang sangat bersemangat setiap kali bermain dengan ayah mereka. Pandanganku sempat teralih sebentar ke teras.Melihat Bapak bersantai di teras samping melihat menantu dan kedua cucunya. Rosi yang kembali masuk kamar, Rani duduk di sofa ruang tengah untuk mengetik novel dengan tangan lain yang kadang memegang ponsel lain yang menampilkan rekaman kamera CCTV di rumahnya. Agar bisa tetap memantau keadaa

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 87

    Usai cairan infus Ibu sudah habis, kami pulang ke rumah dua lantai untuk sementara waktu agar bisa memantai keadaan Ibu yang belum sepenuhnya pulih. Ibu dan Syntia menatap bingung saat mobil sudah berhenti di depan pagar. Ibu terlihat tidak enak, tetapi tidak bicara apapun. Aku menekan bel agar Rani membukakan pagar. Tidak lama kemudian gadis itu sudah keluar. Saat pagar terbuka, mobil pegawai Hanin masuk. Aku berjalan mengikuti di belakang. “Kamu turun dulu Don. Pasti capek nunggu kita seharian ini,” ucapku pada pegawai Hanin yang siang ini bertugas sebagai sopir dadakan kami. Aku memang sudah mengenal beberapa pegawai Hanin yang sudah lama bekerja dengannya. Salah satunya adalah Doni. Karena Doni sering menemani Hanin jika ada pekerjaan di luar. Dia juga sudah di angkat sebagai manajer toko dan memegang semua pekerjaan saat Hanin sibuk menyelesaikan pekerjaannya sebagai programmer. “Terima kasih Mbak. Maaf merepotkan.” Meski bicara seperti itu, Doni tetap terkekeh pelan. “Nggak

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 86

    “Apa maksud kalian? Adik saya sudah berpisah dari suaminya sejak sebulan lalu. Dia sudah tidak ada tanggung jawab atas semua hutang yang ditinggalkan Varo. Apa buktinya jika adik saya juga terlibat?” kata Mas Aksa menengahi. Dia berhasil meredam emosi berkat Pak RT yang memanggil Limas agar kedua rentenir itu tidak melanjutkan keributan. Suasana ruang tamu benar-benar kacau. Tidak hanya keluarga dan dua preman itu, banyak tetangga yang melihat dari luar sehingga ruang tamu terasa sesak. Aku tidak lagi mendengar apa saja yang mereka bicarakan karena sudah membawa Ibu ke kamar. Membaringkan beliau di tempat tidur, melepas sandalnya lalu menaikan selimut. Wajah Ibu tampak kesakitan. Ia terus memegang pinggul sebelah kanan sejak tadi. Tubuhnya juga terasa dingin dengan keringat yang tampak di dahi dan seluruh tubuh. Erangan kesakitan Ibu sudah tidak terdengar separah tadi saat aku baru saja datang. Hanya wajahnya yang masih tampak pucat. Aku berjongkok agar bisa sejajar dengan Ibu. “A

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 85

    Rasanya seperti kembali saat kami masih pacaran. Pergi bedua hanya untuk ke minimarket sambil bergandengan tangan. Melibat banyak orang yang juga datang bersama pasangan masing-masing sambil bergandengan tangan seperti kami. Membuat tidak banyak orang yang mengamati kami. Bedanya dulu aku dan Mas Aksa hanya akan berjalan bersisian karena tidak mau bergandengan tangan dengannya sebelum menikah. Sekarang kami menunjukkan kemesraan di depan umum. Setelah belanja di minimarket aku memesan taksi online lagi. Kami menunggu di parkiran. Mas Aksa menenteng satu kantung plastik besar di tangan kanan dan tangan kiri menggenggam tanganku. Banyak orang yang melihat dengan beragam pandangan. Ada yang tersenyum melihat kemesraan kami. Ada juga yang menggeleng dengan wajah jengah. Seolah sudah sering melihat pemandangan serupa. Ada juga yang merengut sebal."Maaf aku belum bisa menjadi kepala keluarga yang baik. Doakan rejekiku lancar ya agar bisa membelikan barang apapun yang kau mau." Tiba-tiba s

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 84

    Kami pergi ke rumah Pak RT bersama. Bapak di rumah bersama anak-anak. Aku memastikan Bapak mengunci pagar dari dalam lalu keluar. Tidak lupa kuingatkan Bapak untuk mengunci semua pintu di rumah termasuk menambahkan gembok. Walau dengan perasaan tidak nyam, kami tetap harus pergi ke rumah Pak RT. Di rumah Pak RT, Varo diikat dengan tali tambang dan mulut yang ditutup serbet. Melihat kedatanganku, mata pria itu melotot tajam. Salah satu warga lalu melepas serbet yang menutup mulutnya agar dia bisa bicara saat di interogasi. Setelah penutup mulutnya terlepas, Varo justru terdiam. Dia tidak lagi mengerang seperti tadi.“Kenapa anda berusaha masuk ke rumah Bu Nia dengan membawa pisau kecil? Anda tahu itu termasuk tindak kejahatan yang bisa membuat anda dijebloskan ke penjara?” tanya Pak RT langsung pada intinya. Varo tidak menjawab apapun. Dia hanya menunduk. Entah kenapa sekarang dia justru diam. Padahal sosok Varo yang kukenal tidak seperti ini.“Tindakan anda bisa dikatakan sebagai aksi

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 83

    Pekerjaan hari ini tidak banyak setelah aku dan Rani pulang dari sekolah bersama anak-anak. Bapak yang tengah menonton TV hanya menyapa kami lalu bermain bersama kedua cucunya seperti biasa. "Bagaimana sekolah hari ini?" tanya Bapak lembut seperti saat aku masih kecil dulu. Kenangan indah yang hampir saja terlupakan setelah puluhan tahun berlalu. "Seru Kung," jawab Mawar dan Melati pendek. Tidak pernah tertarik jika ditanya tentang sekolah. Justru mereka susah meletakan tas di sofa lalu menarik tangan Bapak untuk pergi ke kamar beliau mengambil mainan mereka. Aku membawa tas anak-anak naik ke lantau dua. Membiarkan anak-anak bersama Rani dan Bapak lalu turun ke bawah. Bapak tidak menceritakan masalah apapun. Berarti tidak ada orang yang mencoba bertamu karena tadi pagi aku melihat Ana yang mengintai rumah ini. Aku duduk di sofa ruang tengah untuk menonton TV yang seperti biasa menayangkan kartun kesukaan anak-anak. Walaupun tidak ditonton karena mereka sibuk bermain kartu bergamba

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 82

    “Ada yang mau aku bicarakan denganmu Mas,” ucapku begitu kami masuk kamar usai melaksanakan salat subuh berjamaah. Waktu kami tidak banyak karena anak-anak sudah mengajak ayah mereka untuk menyiram bunga bersama dengan Bapak. Mungkin kami hanya bisa bicara di kamar untuk beberapa hari ke depan. Selama Mawar dan Melati masih ingin menikmati waktu dengan ayah mereka sepenuhnya, tidak akan ada waktu berdua untuk kami. “Ada apa Nia?” tanya Mas Aksa lembut. Dia mencatolkan kemeja dan sarung lalu meletakan kopiah di dalam nakas. Padahal dulu Mas Aksa adalah tipe orang yang berantakan. Dia akan menyuruhku mencatolkan baju yang diletakan begitu saja di atas tempat tidur. Tidak lupa Mas Aksa berganti baju dengan memakai kaos oblong berwarna hitam dan celana pendek. Pakaian bersantai yang sudah ia pakai sejak lama. Mas Aksa lalu duduk disampingku. Dari jarak sedekat ini aku bisa mencium aroma parfumnya yang tidak berubah. Sungguh wajah Mas Aksa terlihat berkal-kali lipat lebih keren saat dia

DMCA.com Protection Status