Diam-diam aku segera turun dari tangga lalu masuk ke dalam kamar mandi yang ada di belakang tangga. Dadaku berdegup kencang. Ternyata kehadiran Varo lebih menakutkan dari Mas Aksa. Dia seperti terobsesi padaku. Bukannya memperbaiki hubungan dengan Rosi, Varo justru memilih mengintai istri kakak iparnya sendiri. Tidak ada suara keributan yang terjadi. Semuanya berjalan seperti biasa. Lima belas menit sudah berlalu. Aku takut jika ada orang yang hendak menggunakan kamar mandi perempuan. Mungkin aku harus memeriksa kamera CCTV sekarang. Tanganku mengambil ponsel dari saku gamis. Belum sempat aku membuka HP, terdengar keributan. Varo berteriak marah yang di timpali dengan suara Rina dan Lia. Seketika suasana menjadi bising karena para pembeli tidak terima Varo sudah mengganggu ketenangan mereka. Aku bahkan tidak berani melihat apa yang terjadi di rekaman kamera CCTV. Bagaimana jika Varo menghancurkan image warung yang sudah terbangun selama ini? Mungkin menghadapinya adalah jalan terba
Aku terdiam sejenak. Jadi pria ini datang bukan karena permintaan Mas Aksa, tetapi karena ingin memenjarakan Varo. Danang dengan santai memakan sosis bakar pertamanya hingga habis. Ingatanku kembali ke masa beberapa tahun silam saat mengikuti Mas Aksa menghadiri reuni sekolah. Danang memang sosok yang baik di antara teman-teman Mas Aksa yang sibuk menggoda. Bahkan dulu dia berhasil masuk ke cabang perusahaan ternama di kota ini. Hanya sebatas itu ingatanku tentang Danang. Karena ia juga berpindah tempat untuk menyapa teman-temannya dari kelas lain. Kini pria itu sudah memandangku lalu berkata, “Kamu pasti kaget saya membahas tentang Varo.” Aku menggeleng. Bukan merasa kaget. Hanya merasa penasaran saja apa hubungan Danang dengan Varo. Tunggu dulu. Bukankah Danang bekerja di perusahaan keluarga Varo? Wajar jika mereka saling mengenal dan mungkin saling menjatuhkan. Namun tidak mungkin aku bertanya tentang kemungkinan terakhir. “Tidak. Aku ingat anda bekerja di perusahaan keluarga Va
Istri teman baik ya? Aku hanya bisa menyunggingkan senyum. Justru yang baik adalah Danang. Pekerjaannya mapan dan loyal pada teman-temannya jika ada yang meminjam uang. Karena itulah jika ada kebutuhan mendesak terkadang Mas Aksa juga meminjam uang pada Danang. Walaupun mereka tidak belum pernah bertemu lagi setelah reuni sekolah beberapa tahun lalu.Bagi Danang mungkin Mas Aksa adalah suami yang baik. Mereka hanya saling mengenal karakter masing-masing di bangku SMA. Ia tidak pernah tahu bagaimana sikap Mas Aksa pada istri dan anak sendiri. Selalu memihak pada keluarganya, tidak penah memberi nafkah yang layak, menuntut istri untuk membiayai kebutuhan keluarganya hingga berselingkuh untuk mendapat tambahan uang.Pria ini juga belum tahu jika rumah tanggaku dan Mas Aksa di ambang kehancuran. Kami sudah menjalani sidang pertama hari ini. Walaupun sempat ada tragedy yang terjadi. Dia tidak perlu tahu perpisahan kami dari mulutku. Biarlah Danang tahu dari Mas Aksa atau orang lain.“Terim
“Apa rencanamu Ran?” tanya Hanin penasaran.Rani justru menunjukkan gambar yang sudah ia buat di ponselnya. Rute rumah kami lewat pintu belakang. Ada banyak kelokan jalan yang harus dilalui di gank kecil. Dari rumah, kami harus berjalan satu kilometer lalu berbelok ke kiri. Terus jalan hingga ada pertigaan, jalan lurus melewati empat rumah sampai kami tiba di rumah kosong itu.Menurut papan yang terpasang di depan pagar, rumah dua lantai itu di jual oleh pemiliknya. Rumah yang sudah kusam dengan pelataran penuh daun membuatku yakin jika rumah itu sudah lama kosong. Belum ada yang membelinya sejak dijual. Jika melewati rumah itu pada malam hari suasananya akan terasa sangat aneh.“Kita akan membuat Varo yakin kalau Mbak Nia tinggal di rumah ini,” jawab Rani.“Caranya?” Keningku berkerut tidak mengerti.Tidak mungkin kami masuk ke dalam pagar karena rumah itu milik orang lain. Atau hanya berpura-pura berdiri di depan gerbang. Bisa jadi Varo justru akan semakin curiga. Apalagi aku yakin
Sesuai dengan rencana Rani, aku pergi dengan menaiki motor ke rumahnya lebih dulu. Tidak ada orang yang tahu termasuk Varo bahwa rumah ini sebenarnya milik pengawalku. Mungkin para warga yang sudah lama tinggal disini hanya mengingat jika rumah ini milik Bapaknya Rani yang kemudian diwariskan pada anaknya. Saat kami sampai disana sudah ada seorang perempuan yang tengah menyapu halaman rumah. Wajahnya sangat mirip dengan Tia. Bedanya wanita itu memiliki badan yang lebih berisi dan sedikit lebih tinggi dari Tia. Hijab instan berwarna hitam yang menutup rambut membuat wajahnya terlihat lebih bersahaja.“Assalamualaikum Mbak Nana,” sapa Tia lalu menyalimi tangan wanita itu. Aku mengikuti di belakang Rani dan ikut menyalami wanita yang di panggil Nana. Jika di lihat dari wajah sepertinya kami seumuran.“Waalaikumsalam Ran. Lama nggak bertemu. Apa dia bosmu?” tanya Nana ramah saat menjabat tanganku yang terasa cukup kasar. Bisa di pastikan jika dia adalah orang yang bekerja keras.“Iya Mbak
Aku berusaha menahan getar tubuh saat memasukan ponsel ke dalam tas. Bertindak sealami mungkin agar tidak terlihat ketakutan. Jaraknya denganku hanya tinggal sejengkal. Varo sudah bersiap duduk di kursi sebrang meja. Degup jantung terus bertalu tidak bisa diam karena aku merasa sangat ketakutan. Bagaimana jika dia mengetahui penyamaranku? Semua rencana yang sudah kami susun akan gagal seketika.“Mbak Nia.” Rani berjalan ke arahku sambil melambaikan tangan. Membuat Varo yang sudah bersiap duduk beranjak pergi. Mereka saling berpapasan seolah tidak ada yang akan terjadi.Rani memeluk tubuhku erat. Ternyata dia juga gemetar karena rencana kami hampir saja gagal. Aku menghela nafas dalam. Meredakan rasa tegang yang sempat melanda. Begitu juga dengan Rani. Varo berjalan menjauh lalu duduk di meja yang ada di samping kami. Rani melepaskan pelukannya lalu duduk di tempat yang akan di jangkau Varo sebelumnya.“Padahal kita hanya beberapa hari tidak bertemu, tetapi seperti sudah lama saja. Kam
Saat menoleh ke belakang terlihat Rani sudah berdiri di belakangku dengan wajah sembap. Dia pasti baru saja menangis hingga suaranya serak. Hampir saja aku ketakutan karena mengira jika Rani bukan manusia. Aku menggeleng sambil menunjuk keluar. Tampak pemandangan dari balik pagar. Ada juga rumah kos dengan lalu lalang mahasiswa yang akan berangkat kuliah atau sudah selesai mengikuti kelas.“Hanya ingin mengamati Varo. Ternyata dia masih menunggu di luar. Seharusnya Varo cukup tahu kalau aku tinggal di rumah ini lalu pergi. Kenapa dia masih menunggu disana?” Aku mengungkapkan keheranan. Rani juga menatap ke tempat Varo berdiri. Pria itu duduk di atas motor dengan memakai masker dan topi.“Mungkin dia menunggu aku keluar dari rumah ini agar bisa masuk ke dalam. Varo masih ingin menjalankan rencananya saat Mbak Nia sendiri. Selain itu, bisa jadi Varo berpikir jika Mbak Nia hanya tinggal bersama anak-anak. Jadi dia bisa lebih leluasa untuk masuk,” kata Rani masuk akal.“Apakah rumah ini r
“Nggak masalah Pak.” Aku menyalami tangannya yang terasa kasar dan kapalan. Gurat wajah tuanya menandakan kerja keras. Berbeda dengan terakhir kali kami bertemu enam tahun lalu. Saat aku meminta Bapak untuk menjadi wali nikah. Bapak masih terlihat bugar. Wajahnya juga tidak selelah ini.Anak-anak dengan anteng bermain mainan baru yang dibawakan Bapak. Dua boneka dengan warna yang berbeda. Boneka pertama berwarna merah dan muda boneka kedua berwarna ungu. Mereka lalu membawanya masuk ke kamar utama. Meninggalkan kami bertiga di ruangan ini. Rani duduk di sampingku tanpa bertanya apapun.“Perkenalkan Ran, dia Bapakku dan Hanin..” Aku memperkenalkan mereka setelah beberapa detik hening.Rani bangkit sejenak lalu menyalkami tangan Bapak. Pandangannya lalu beralih padaku. “Kalau begitu aku ijin masuk kamar ya Mbak.”“Iya.” Aku mengangguk. Menatapn punggung Rani yang hilang di balik pintu menuju ruang tengah.Suasana terasa hening sesaat setelah kepergian Rani. Bapak menyesap teh hangat yan