Menghadapi manusia kurang ajar sepertinya tidak perlu pakai emosi. Semua tenaga akan terkuras habis seperti saat aku bertengkar dengan Mas Aksa. Aku melipat tangan di depan dada. Menatapnya sambil tersenyum sinis. “Sayangnya aku tidak mau. Kalian beruntung karena ikut Bapak sehingga bisa dapat tempat tinggal gratis. Namun aku tidak mau membiayai anak pelakor yang sudah menghancurkan keluargaku agar bisa hidup enak. Cukup Bapak saja yang menjadi tanggung jawabku.”Mulut Ana ternganga. Mata Budi melotot tajam menatapku. Akhirnya dia menampakan kemarahan setelah sejak tadi masih terlihat santai di tengah kondisi yang masih luntang-lantung mencari tempat tinggal. Mulutnya sudah terbuka hendak bicara, tetapi kembali tertutup. Budi mengepalkan tangannya semakin erat karena tahu tidak bisa melawan perkataanku. Aku lalu berbalik untuk masuk ke dalam. Bapak yang ketahuan memperhatikan kami langsung menoleh. Beliau duduk tegak seperti tadi.“Aku sudah menghubungi pemilik kontrakan Mbak. Katanya
Seperti yang sudah kunjanjikan pada Ibu, hari ini aku dan Rani pergi ke kantor polisi untuk membebaskan Mas Aksa. Hati terasa lebih tenang karena Varo sudah di jebloskan dalam penjara. Membuatku merasa bebas pergi kemanapun. Walaupun masih harus dikawal oleh Rani sampai tugasnya habis. Karena aku mengontrak jasa Rani selama enam bulan. Itu semua sudah kuperhitungkan termasuk proses perceraian dengan Mas Aksa.Mobil sudah tiba di depan kantor polisi. Tidak ada motor Rosi di parkiran. Apakah mereka belum datang? Namun rasa penasaranku sirna saat kami sudah masuk kantor polisi. Ibu menunggu bersama Rosi dan Syntia. Saat melihat kedatangan kami dia langsung berdiri. Begitu juga dengan kedua adik iparku.“Assalamualaikum Bu.” Aku menyalami tangan beliau seperti yang selama ini kulakukan. Tetap menunjukkan baktiku sebagai menantu karena setelah aku berpisah dari Mas Aksa, ibunya akan tetap jadi ibu mertua dan aku akan tetap jadi menantunya.“Waalaukumsalam Nia,” jawab Ibu ramah. Tidak seper
Langkah apa yang harus kuambil untuk memberi mereka pelajaran? Aku tidak bisa berdiam diri terus seperti ini. Pikirkanlah Nia. Tiba-tiba sebuah ide melintas. Setelah mendapat sebuah ide, aku mengetik pesan balasan pada Rani lalu mengirimkannya. Mereka harus diberi pelajaran karena sudah berani mengancam. Akan kutunjukkan bahwa aku tidak takut sama sekali. Baru saja hendak keluar dari aplikasi WA, pesan Ana sudah terhapus. Rupanya dia takut dengan ancaman yang diberikan Rani.[Sudah beres Mbak. Aku baru saja mengantarkan bapaknya Mbak Nia pulang lalu menunjukkan pesan itu pada mereka. Hasilnya mereka langsung takut.][Kerja bagus Ran.]Kututup ponsel lalu meletakannya di atas meja. Fokus bermain bersama anak-anak untuk mengganti waktu kami yang sempat hilang selama bertahun-tahun. Akhirnya aku bisa bersantai dari padatnya pekerjaan rumah dan warung. Walaupun semua ini kulakukan untuk menghindari Varo yang akhirnya ditangkap polisi.“Kita main leggo sekarang Bu,” seru Melati yang sudah
Mas Aksa masih terdiam setelah turun dari motor. Dia belum menyadari bahwa mobil yang berhenti di sampingnya adalah mobil Hanin. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Bingung dengan bangunan TK yang terdiri dari empat kelas. Di pojok kanan bangunan adalah ruang guru. Berderet kelas A, B dan C. Lalu di pojok kiri adalah kamar mandi. Tidak ada kantin atau pedagang yang berjualan karen peraturan sekolah mewajibkan setiap murid untuk membawa bekal.Aku turun dari mobil bersama Rani. Menghampiri Mas Aksa yang masih berdiri bingung. Dia sampai tidak menyadari kehadiranku. Tangannya merogoh saku lalu mengeluarkan ponsel. “Mungkin aku memang harus menghubungi Nia dulu. Salahku tidak meminta ijin dan bertanya,” gumam Mas Aksa pelan yang masih bisa kudengar dengan jelas karena suasana sekolah yang masih sepi.Para wali murid yang menunggu sibuk melihat anak-anak mereka dari balik jendela. Mengawasi karena sebentar lagi bel pulang sekolah akan berbunyi. Sebelum Mas Aksa menghubungi, aku segera
Hidayah memang bisa datang darimana saja. Aku sama sekali tidak menyangka jika Mas Aksa dan keluarganya bisa berubah sedrastis itu hanya karena bantuan Danang. Enam tahun aku berusaha mengubah mereka, selalu berdoa agar Mas Aksa mau berubah, tetapi tidak ada perubahan. Justru berujung pada pertengkaran kami hingga berakhir pada perpisahan. Siapa sangka pertemuannya dengan Danang di penjara bisa mengubah semuanya.Terlintas salah satu alasanku mantap untuk berpisah. Arumi. Apakah Mas Aksa masih rajin berhubungan dengan Arumi? Karena aku tidak lagi memantau pesan WA dari ponselnya yang sudah kusadap. Dari luar ia memang benar-benar taubat. Namun aku ingin mengetahui hal ini untuk memantapkan hati. Apakah dia layak diberikan kesempatan kedua untuk memperbaiki diri sebagai ayah untuk anak-anak kami?“Tadi kamu bilang Danang meminjamkan uang yang akan dipotong dari gaji. Lalu sekarang kamu mengatakan jika ia memberikan uang sebagai balas jasa padaku. Mana yang benar, Mas?” tanyaku heran.M
“Motif Budi dan Ana sama persis dengan Varo. Bedanya mereka lelah menjadi penghibur untuk orang-orang kaya karena itulah ingin mengambil harta kita. Kali ini tidak hanya Mbak Nia yang di incar, tetapi juga aku. Jika mendengar percakapan Ana dan Budi, sepertinyai nyonya yang dimaksud bisa membantu untuk mengakses data pribadi secara illegal seperti yang kulakukan.” Hanin menjelaskan di dalam kamarnya saat sedang istirahat.Setelah makan siang, aku meminta Rani untuk menemani anak-anak di ruang tengah agar aku bisa membicarakan masalah ini dengan Hanin. Dia langsung memeriksa latar belakang Budi dan Ana begitu mendapat kiriman pesan dari Rani. Tidak lupa menyembunyikan pesan terakhirku dengan Mas Aksa. Walaupun tidak ada yang aneh karena Mas Aksa meminta maaf secara langsung. Bukan lewat pesan atau telepon.Satu-satunya hal yang belum diketahui Hanin adalah siapa nyonya yang di maksud Budi dan apakah nyonya ini terlibat dengan pria kaya yang memeluk Ana di mobil. Hanin tidak bisa memeca
Lebih tidak membuka pesan itu sama sekali. Sepertinya Arumi berusaha mengancamku dengan mengirim pesan jika dia sudah berselingkuh dengan Mas Aksa. Cerita klise yang sudah bisa di tebak. Saat ini aku memang memilih diam. Pura-pura tidak tahu tentang perselingkuhan mereka karena tidak ingin ikut campur. Namun membaca dengan mata sendiri saat Mas Aksa memutuskan untuk berpisah dari Arumi hanya melalui pesan membuatku ingin mengatakan yang sebenarnya di saat yang tepat.Aku menatap anak-anak yang masih sibuk bermain. Merasa bersyukur karena akhirnya Mas Aksa mau berubah dan menyayangi anak-anak kami dengan sepenuh hati. Tepukan di bahu membuatku menoleh pada Rani.“Pak RT bisa bertemu dengan notaris hari ini Mbak. Apakah notaris yang ditunjuk Mbak Dania juga bisa datang?” tanya Rani menunjukkan pesan dari Pak RT.“Aku hubungi Pak Syam dulu Ran,” jawabku menyebut nama notaris yang menjadi langganan Hanin.Tidak membutuhkan waktu lama hingga Pak Syam mengirim pesan. Hari ini juga kami dapa
“Bapak setuju. Jujur saja Bapak terpaksa membawa mereka karena Budi mengancam akan menaruh Bapak di pantu jompo yang terbengkalai di desa kami. Panti itu di bangun sepuluh tahun lalu oleh mantan lurah dengan menggunakan uang desa.” Suara Bapak serak saat bercerita. Matanya sudah berkaca-kaca. Mungkin karena mengingat ancaman Budi yang sudah melukai hatinya.“Bukannya Bapak tidak suka tinggal di panti jompo. Jika panti itu adalah tempat yang bagus dan nyaman untuk di tinggali, Bapak akan dengan sukarela tinggal disana. Hidup dengan ibu mereka saja sudah membuat pusing. Jadi lebih baik tinggal di panti. Sayangnya panti jompo di desa kami tidak terawatt dengan baik. Pengurusnya juga kasar hingga pernah di tegur Pak Lurah yang baru. Walaupun para pengurus sudah di tegur, tetapi mereka tidak di penjara karena memang tidak ada kekerasan fisik. Apalagi para pengurus masih kerabat mantan Lurah yang kaya dan punya kekuasaan besar di desa.” Cerita Bapak tentang alasannya datang ke kota ini bers