Lebih tidak membuka pesan itu sama sekali. Sepertinya Arumi berusaha mengancamku dengan mengirim pesan jika dia sudah berselingkuh dengan Mas Aksa. Cerita klise yang sudah bisa di tebak. Saat ini aku memang memilih diam. Pura-pura tidak tahu tentang perselingkuhan mereka karena tidak ingin ikut campur. Namun membaca dengan mata sendiri saat Mas Aksa memutuskan untuk berpisah dari Arumi hanya melalui pesan membuatku ingin mengatakan yang sebenarnya di saat yang tepat.Aku menatap anak-anak yang masih sibuk bermain. Merasa bersyukur karena akhirnya Mas Aksa mau berubah dan menyayangi anak-anak kami dengan sepenuh hati. Tepukan di bahu membuatku menoleh pada Rani.“Pak RT bisa bertemu dengan notaris hari ini Mbak. Apakah notaris yang ditunjuk Mbak Dania juga bisa datang?” tanya Rani menunjukkan pesan dari Pak RT.“Aku hubungi Pak Syam dulu Ran,” jawabku menyebut nama notaris yang menjadi langganan Hanin.Tidak membutuhkan waktu lama hingga Pak Syam mengirim pesan. Hari ini juga kami dapa
“Bapak setuju. Jujur saja Bapak terpaksa membawa mereka karena Budi mengancam akan menaruh Bapak di pantu jompo yang terbengkalai di desa kami. Panti itu di bangun sepuluh tahun lalu oleh mantan lurah dengan menggunakan uang desa.” Suara Bapak serak saat bercerita. Matanya sudah berkaca-kaca. Mungkin karena mengingat ancaman Budi yang sudah melukai hatinya.“Bukannya Bapak tidak suka tinggal di panti jompo. Jika panti itu adalah tempat yang bagus dan nyaman untuk di tinggali, Bapak akan dengan sukarela tinggal disana. Hidup dengan ibu mereka saja sudah membuat pusing. Jadi lebih baik tinggal di panti. Sayangnya panti jompo di desa kami tidak terawatt dengan baik. Pengurusnya juga kasar hingga pernah di tegur Pak Lurah yang baru. Walaupun para pengurus sudah di tegur, tetapi mereka tidak di penjara karena memang tidak ada kekerasan fisik. Apalagi para pengurus masih kerabat mantan Lurah yang kaya dan punya kekuasaan besar di desa.” Cerita Bapak tentang alasannya datang ke kota ini bers
Syukurlah para warga bisa tepat waktu menangkap pria itu. Mereka langsung membuka masker dan topi yang di pakainya. Menampakan wajah Budi yang ketakutan. Dia masih berushaa melarikan diri. Seketika Budi terdiam saat melihatku berjalan mendekat. Matanya membulat kaget dengan mulut menganga. Mungkin tidak menyangka jika aku akan memergokinya berusaha masuk ke rumah."Tolong bawa dia ke kantor polisi Pak. Dia hampir menerobos rumah saya." Rani sudah menangis sesenggukan. Bertindak seolah dia adalah korban yang hendak di rampok."Bohong. Dia bukan pemi_." Budi tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena salah satu pria berbadan kekar sudah meninju wajahnya."Jangan banyak bicara. Kita bawa saja ke kantor polisi," kata pria itu. Pak RT datang tidak lama kemudian. Beliau sempat kaget saat melihatku. Setelah warga menjelaskan situasinya, Pak RT juga mengira jika Rani adalah pemilik dari rumah yang hendak di terobos Budi. Karena selama ini Rani yang mengurus ijin tinggal kami di lingkungan i
Hanin terdiam sambil mengunyah makanannya. Dia tidak langsung menjawab pertanyaanku. Hanin lebih memilih menyelesaikan makanannya dengan ekspresi wajah yang terlihat berpikir. Aku yang mengenal sifatnya juga memilih diam. Adikku itu akan berpikir sebelum memberikan jawaban. Setelah makanan di piringnya habis, Hanin minum segelas air putih.“Apa Mbak Nia yakin bisa aman di rumah baru itu? Budi dan Ana punya dukungan kuat. Kita tidak tahu siapa orang yang mendukung mereka. Bukannya aku meragukan bantuan para tetangga. Hanya saja apakah mereka memang orang-orang yang baik? Tidak bisa diajak bekerja sama dengan para penjahat itu?” tanya Hanin retoris. Sudah kuduga jika Hanin tidak akan langsung setuju dengan usulku.“Bisa jadi tidak semua tetangga baik pada kita. Seperti yang sudah kubilang sebelumnya, aku ingin bisa hidup dengan bebas. Tidak lagi bersembunyi dengan memakai tameng orang lain. Justru karena kita sudah kenal dengan para tetangga, mudah bagi mereka untuk penasaran pada orang
Aku berdehem untuk mencairkan suasana. Membuat Mawar dan Melati sontak menyalami tangan Mas Aksa. Baru menyalami tangan Bapak yang tampak riang saat mengecup kening kedua cucunya. Bapak sudah lebih dulu duduk di sofa panjang. Mas Aksa meletakan plastik berisi buah naga dan pisang yang ia bawa.“Ayah membawakan makanan untuk kalian. Mau makan sekarang?” tanya Mas Aksa kaku. Wajah Mawar dan Melati tampak bingung melihat kelakuan ayah mereka. karena selama in Mas Aksa selalu bersikap acuh dan marah-marah.“Ayo dicoba. Ayah sudah membelikan untuk kalian.” Aku mendorong tubuh Mawar agar duduk di samping Mas Aksa. Sedangkan Melati memilih duduk di samping Bapak.“Pak, aku tinggal membersihkan dapur dulu ya. Kalau Bapak mau lihat lantai satu, itu ada dua kamar. Kamar depan adalah kamar Bapak. Sedangkan yang belakang adalah kamar Rani.”“Iya Nduk. Kamu lanjutkan saja bersihkan rumah.”Melihat anak-anak yang hanya terdiam, aku hanya bisa tertawa dalam hati. Sikap mereka sangat lucu. Canggung d
Aku sudah memegang ponsel yang memperlihatkan rekaman kamera CCTV di rumah kontrakan. Rani dan Bapak berdiri di belakangku. Mobil berwarna putih berhenti tepat di depan rumah. Ana turun bersama dua wanita paruh baya. Tidak lama kemudian turun dua pria yang memakai jas hitam dan kacamata ala bodyguard.Ana berusaha membuka pintu, tetapi tidak terbuka. Dia terus mengetuk pintu sambil memanggil nama Bapak. Wanita paruh baya yang memakai jas berwarna putih dengan rambut pendek dan makeup natural, duduk menunggu di teras. Kakinya terus bergoyang tidak sabar. Wajahnya cemberut menatap Ana.“Bapak cepat buka pintunya.” Ana masih terus mengetuk pintu.“Sudah jelas bahwa Bapakmu tidak ada di rumah. Lebih baik hubungi dia sekarang agar cepat pulang,” seru wanita itu ketus.“Baik Nyonya,” jawab Ana dengan tubuh gemetar. Dia mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Jadi wanita itu adalah Nyonya yang menyokong kehidupan Budi dan Ana. Aku bisa mengenal sosok wanita itu dengan jelas. Adik Pak Harsono yan
Teringat dengan kejadian sore ini maka aku memutuskan untuk membawa Bapak dan anak-anak ke rumah Hanin. Syukurlah aku memegang kunci serep yang ia serahkan sejak membeli rumah Ibu lagi. Jadi tidak perlu bolak-balik. Sesampainya di rumah Hanin, aku meminta Bapak untuk tidur di kamar yang dulu dijadikan Ibu sebagai gudang untuk peralatan dan perlengkapan menjahit. Dulu kamar itu digunakan sebagai kamar Kakung dan Uti. Rani tidur dikamar yang dulu ditempat Hanin. Sedangkan aku dan anak-anak tidur di kamar yang dulu aku tempati. Semuanya masih sama seperti saat terakhir kali kami menginap disini.Kami hanya tinggal selama sehari di rumah Hanin. Karena jasa bersih rumah yang kupanggil sudah menyelesaikan pekerjaan mereka. Aku dan Rani pergi ke rumah itu sebentar untuk melihatnya lalu segera pulang ke rumah Hanin karena tidak ada yang menjaga Bapak dan anak-anak. Untuk barang-barang kami, Hanin akan mengantarkannya sendiri dengan menggunakan mobil. Dia juga akan pergi ke rumah ini untuk mem
Sejak tingal di rumah ini, aku sering berbaur dengan tetangga sekitar. Masuk ke grup RT dan mendaftar di grup yasinan agar lebih akrab dengan para tetangga. Setiap keluar rumah aku selalu bersama dengan Rani. Hubunganku dengan Mas Aksa masih berada di titik semu. Sudah satu minggu berlalu, ia sering berkunjung ke rumah untuk memberi oleh-oleh pada Salma dan Salwa. Setiap Mas Aksa datang, para tetangga yang melihat akan bertanya kenapa aku dan Mas Aksa tidak tinggal serumah.Karena tidak ingin membuat masalah rumit di saat status kami belum jelas, aku terpaksa berbohong jika Mas Aksa tinggal dengan ibu dan kedua adiknya karena ibunya sakit. Begitu juga denganku yang tinggal bersama Bapak setelah hendak diperas oleh kedua anaknya dari istri kedua. Sayangnya Bapak dan Ibu mertua tidak bisa disatukan dalam satu rumah karena sering bertengkar. Hal ini aku ceritakan pada Mas Aksa. Dia setuju dengan cerita bohong yang aku sampaikan pada para tetangga.“Tidak masalah. Aku tidak ingin kamu mer
Aku masih diam. Kaget karena lamunan yang tiba-tiba buyar. Tubuhku gemetar dengan pikiran kosong. Melihatku yang masih saja, Mas Aksa menuntunku duduk di sofa. Dia membawa teh hangat dan mengambil pisang rebus dari dandang lalu menyajikannya di meja. Wajah Mas Aksa tampak sangat khawatir melihatku yang masih diam sejak tadi. Pikiranku buntu. Aku menghela nafas berulang kali agar lebih tenang. Tanpa sadar tangisku sudah pecah. Mas Aksa membawa tubuh ini dalam pelukan. Harum parfum yang masih menempel di bajunya membuatku tenang. Baru kali ini Mas Aksa memperlakukanku selembut ini. Tidak pernah terbayang akan mendapat pelukannya setelah lima tahun pernikahan yang menyiksa. Keputusan untuk rujuk yang kulakukan demi anak-anak justru membawa hubungan kami menjadi lebih dekat lagi.“Aku minta maaf jika ada salah padamu.” Tangan besarnya mengusap punggungku lembut. Getar suaranya sangat terasa dalam setiap gerakan tangannya. Aku menggeleng. Ini semua bukan salahnya. Berusaha meredam tangisan
Malam semakin larut. Kami sudah selesai makan malam bersama. Setelah bicara dengan Mas Aksa, Ibu akhirnya mau menginap di rumah ini bersama Rosi dan Syntia. Walaupun besok pagi harus bangun pagi sekali untuk pulang agar bisa jualan di rumah. Alhamdulillah dari berjualan Ibu punya uang yang lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Penghasilan Rosi dan Syntia juga membantu. Sehingga uang dari Mas Aksa bisa ditabung untuk biaya persalinan Rosi kelak. Semuanya akan terasa cukup jika tidak berfoya-foya. "Besok libur jualan saja dulu Bu," kata Mas Aksa begitu kami pindah ke ruang tengah. Aku masih sibuk mencuci piring dibantu Rosi dan Syntia. Rani sudah kembali ke rumahnya sebelum adzan maghrib berkumandang. Memastikan jika keluarganya juga aman di rumah. "Kalau libur pelanggan Ibu jadi pergi Sa. Ibu sudah tidak sakit lagi. Saat badan masih sehati, lebih enak dibuat bekerja. Lagipula setelah jualan, badan Ibu jadi lebih segar karena terus bergerak." "Jualan Ibu sudah mulai habis?
Kami turun ke lantai satu bersama setelah mengambil wudhu. Salat berjamaah di musola. Selain Rani, Bapak dan anak-anak, hanya Rosi yang ikut karena Ibu dan Syntia masih tertidur. Kami memutuskan membiarkan mereka tidur sebentar lagi sampai setengah jam ke depan. Setelah salat ashar, anak-anak sudah mengajak Mas Aksa untuk melihat tanaman mereka.“Besok kita jadi beli tanaman baru Yah?” tanya Mawar bersemangat.“Jadi dong.”“Aku dan Mawar juga mau beli pakai uang tabungan kita sendiri Yah.” Melati sudah memekik senang memikirkan ide itu. Aku hanya bisa menggeleng mendengar ocehan anak-anak yang sangat bersemangat setiap kali bermain dengan ayah mereka. Pandanganku sempat teralih sebentar ke teras.Melihat Bapak bersantai di teras samping melihat menantu dan kedua cucunya. Rosi yang kembali masuk kamar, Rani duduk di sofa ruang tengah untuk mengetik novel dengan tangan lain yang kadang memegang ponsel lain yang menampilkan rekaman kamera CCTV di rumahnya. Agar bisa tetap memantau keadaa
Usai cairan infus Ibu sudah habis, kami pulang ke rumah dua lantai untuk sementara waktu agar bisa memantai keadaan Ibu yang belum sepenuhnya pulih. Ibu dan Syntia menatap bingung saat mobil sudah berhenti di depan pagar. Ibu terlihat tidak enak, tetapi tidak bicara apapun. Aku menekan bel agar Rani membukakan pagar. Tidak lama kemudian gadis itu sudah keluar. Saat pagar terbuka, mobil pegawai Hanin masuk. Aku berjalan mengikuti di belakang. “Kamu turun dulu Don. Pasti capek nunggu kita seharian ini,” ucapku pada pegawai Hanin yang siang ini bertugas sebagai sopir dadakan kami. Aku memang sudah mengenal beberapa pegawai Hanin yang sudah lama bekerja dengannya. Salah satunya adalah Doni. Karena Doni sering menemani Hanin jika ada pekerjaan di luar. Dia juga sudah di angkat sebagai manajer toko dan memegang semua pekerjaan saat Hanin sibuk menyelesaikan pekerjaannya sebagai programmer. “Terima kasih Mbak. Maaf merepotkan.” Meski bicara seperti itu, Doni tetap terkekeh pelan. “Nggak
“Apa maksud kalian? Adik saya sudah berpisah dari suaminya sejak sebulan lalu. Dia sudah tidak ada tanggung jawab atas semua hutang yang ditinggalkan Varo. Apa buktinya jika adik saya juga terlibat?” kata Mas Aksa menengahi. Dia berhasil meredam emosi berkat Pak RT yang memanggil Limas agar kedua rentenir itu tidak melanjutkan keributan. Suasana ruang tamu benar-benar kacau. Tidak hanya keluarga dan dua preman itu, banyak tetangga yang melihat dari luar sehingga ruang tamu terasa sesak. Aku tidak lagi mendengar apa saja yang mereka bicarakan karena sudah membawa Ibu ke kamar. Membaringkan beliau di tempat tidur, melepas sandalnya lalu menaikan selimut. Wajah Ibu tampak kesakitan. Ia terus memegang pinggul sebelah kanan sejak tadi. Tubuhnya juga terasa dingin dengan keringat yang tampak di dahi dan seluruh tubuh. Erangan kesakitan Ibu sudah tidak terdengar separah tadi saat aku baru saja datang. Hanya wajahnya yang masih tampak pucat. Aku berjongkok agar bisa sejajar dengan Ibu. “A
Rasanya seperti kembali saat kami masih pacaran. Pergi bedua hanya untuk ke minimarket sambil bergandengan tangan. Melibat banyak orang yang juga datang bersama pasangan masing-masing sambil bergandengan tangan seperti kami. Membuat tidak banyak orang yang mengamati kami. Bedanya dulu aku dan Mas Aksa hanya akan berjalan bersisian karena tidak mau bergandengan tangan dengannya sebelum menikah. Sekarang kami menunjukkan kemesraan di depan umum. Setelah belanja di minimarket aku memesan taksi online lagi. Kami menunggu di parkiran. Mas Aksa menenteng satu kantung plastik besar di tangan kanan dan tangan kiri menggenggam tanganku. Banyak orang yang melihat dengan beragam pandangan. Ada yang tersenyum melihat kemesraan kami. Ada juga yang menggeleng dengan wajah jengah. Seolah sudah sering melihat pemandangan serupa. Ada juga yang merengut sebal."Maaf aku belum bisa menjadi kepala keluarga yang baik. Doakan rejekiku lancar ya agar bisa membelikan barang apapun yang kau mau." Tiba-tiba s
Kami pergi ke rumah Pak RT bersama. Bapak di rumah bersama anak-anak. Aku memastikan Bapak mengunci pagar dari dalam lalu keluar. Tidak lupa kuingatkan Bapak untuk mengunci semua pintu di rumah termasuk menambahkan gembok. Walau dengan perasaan tidak nyam, kami tetap harus pergi ke rumah Pak RT. Di rumah Pak RT, Varo diikat dengan tali tambang dan mulut yang ditutup serbet. Melihat kedatanganku, mata pria itu melotot tajam. Salah satu warga lalu melepas serbet yang menutup mulutnya agar dia bisa bicara saat di interogasi. Setelah penutup mulutnya terlepas, Varo justru terdiam. Dia tidak lagi mengerang seperti tadi.“Kenapa anda berusaha masuk ke rumah Bu Nia dengan membawa pisau kecil? Anda tahu itu termasuk tindak kejahatan yang bisa membuat anda dijebloskan ke penjara?” tanya Pak RT langsung pada intinya. Varo tidak menjawab apapun. Dia hanya menunduk. Entah kenapa sekarang dia justru diam. Padahal sosok Varo yang kukenal tidak seperti ini.“Tindakan anda bisa dikatakan sebagai aksi
Pekerjaan hari ini tidak banyak setelah aku dan Rani pulang dari sekolah bersama anak-anak. Bapak yang tengah menonton TV hanya menyapa kami lalu bermain bersama kedua cucunya seperti biasa. "Bagaimana sekolah hari ini?" tanya Bapak lembut seperti saat aku masih kecil dulu. Kenangan indah yang hampir saja terlupakan setelah puluhan tahun berlalu. "Seru Kung," jawab Mawar dan Melati pendek. Tidak pernah tertarik jika ditanya tentang sekolah. Justru mereka susah meletakan tas di sofa lalu menarik tangan Bapak untuk pergi ke kamar beliau mengambil mainan mereka. Aku membawa tas anak-anak naik ke lantau dua. Membiarkan anak-anak bersama Rani dan Bapak lalu turun ke bawah. Bapak tidak menceritakan masalah apapun. Berarti tidak ada orang yang mencoba bertamu karena tadi pagi aku melihat Ana yang mengintai rumah ini. Aku duduk di sofa ruang tengah untuk menonton TV yang seperti biasa menayangkan kartun kesukaan anak-anak. Walaupun tidak ditonton karena mereka sibuk bermain kartu bergamba
“Ada yang mau aku bicarakan denganmu Mas,” ucapku begitu kami masuk kamar usai melaksanakan salat subuh berjamaah. Waktu kami tidak banyak karena anak-anak sudah mengajak ayah mereka untuk menyiram bunga bersama dengan Bapak. Mungkin kami hanya bisa bicara di kamar untuk beberapa hari ke depan. Selama Mawar dan Melati masih ingin menikmati waktu dengan ayah mereka sepenuhnya, tidak akan ada waktu berdua untuk kami. “Ada apa Nia?” tanya Mas Aksa lembut. Dia mencatolkan kemeja dan sarung lalu meletakan kopiah di dalam nakas. Padahal dulu Mas Aksa adalah tipe orang yang berantakan. Dia akan menyuruhku mencatolkan baju yang diletakan begitu saja di atas tempat tidur. Tidak lupa Mas Aksa berganti baju dengan memakai kaos oblong berwarna hitam dan celana pendek. Pakaian bersantai yang sudah ia pakai sejak lama. Mas Aksa lalu duduk disampingku. Dari jarak sedekat ini aku bisa mencium aroma parfumnya yang tidak berubah. Sungguh wajah Mas Aksa terlihat berkal-kali lipat lebih keren saat dia