Aku sudah memegang ponsel yang memperlihatkan rekaman kamera CCTV di rumah kontrakan. Rani dan Bapak berdiri di belakangku. Mobil berwarna putih berhenti tepat di depan rumah. Ana turun bersama dua wanita paruh baya. Tidak lama kemudian turun dua pria yang memakai jas hitam dan kacamata ala bodyguard.Ana berusaha membuka pintu, tetapi tidak terbuka. Dia terus mengetuk pintu sambil memanggil nama Bapak. Wanita paruh baya yang memakai jas berwarna putih dengan rambut pendek dan makeup natural, duduk menunggu di teras. Kakinya terus bergoyang tidak sabar. Wajahnya cemberut menatap Ana.“Bapak cepat buka pintunya.” Ana masih terus mengetuk pintu.“Sudah jelas bahwa Bapakmu tidak ada di rumah. Lebih baik hubungi dia sekarang agar cepat pulang,” seru wanita itu ketus.“Baik Nyonya,” jawab Ana dengan tubuh gemetar. Dia mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Jadi wanita itu adalah Nyonya yang menyokong kehidupan Budi dan Ana. Aku bisa mengenal sosok wanita itu dengan jelas. Adik Pak Harsono yan
Teringat dengan kejadian sore ini maka aku memutuskan untuk membawa Bapak dan anak-anak ke rumah Hanin. Syukurlah aku memegang kunci serep yang ia serahkan sejak membeli rumah Ibu lagi. Jadi tidak perlu bolak-balik. Sesampainya di rumah Hanin, aku meminta Bapak untuk tidur di kamar yang dulu dijadikan Ibu sebagai gudang untuk peralatan dan perlengkapan menjahit. Dulu kamar itu digunakan sebagai kamar Kakung dan Uti. Rani tidur dikamar yang dulu ditempat Hanin. Sedangkan aku dan anak-anak tidur di kamar yang dulu aku tempati. Semuanya masih sama seperti saat terakhir kali kami menginap disini.Kami hanya tinggal selama sehari di rumah Hanin. Karena jasa bersih rumah yang kupanggil sudah menyelesaikan pekerjaan mereka. Aku dan Rani pergi ke rumah itu sebentar untuk melihatnya lalu segera pulang ke rumah Hanin karena tidak ada yang menjaga Bapak dan anak-anak. Untuk barang-barang kami, Hanin akan mengantarkannya sendiri dengan menggunakan mobil. Dia juga akan pergi ke rumah ini untuk mem
Sejak tingal di rumah ini, aku sering berbaur dengan tetangga sekitar. Masuk ke grup RT dan mendaftar di grup yasinan agar lebih akrab dengan para tetangga. Setiap keluar rumah aku selalu bersama dengan Rani. Hubunganku dengan Mas Aksa masih berada di titik semu. Sudah satu minggu berlalu, ia sering berkunjung ke rumah untuk memberi oleh-oleh pada Salma dan Salwa. Setiap Mas Aksa datang, para tetangga yang melihat akan bertanya kenapa aku dan Mas Aksa tidak tinggal serumah.Karena tidak ingin membuat masalah rumit di saat status kami belum jelas, aku terpaksa berbohong jika Mas Aksa tinggal dengan ibu dan kedua adiknya karena ibunya sakit. Begitu juga denganku yang tinggal bersama Bapak setelah hendak diperas oleh kedua anaknya dari istri kedua. Sayangnya Bapak dan Ibu mertua tidak bisa disatukan dalam satu rumah karena sering bertengkar. Hal ini aku ceritakan pada Mas Aksa. Dia setuju dengan cerita bohong yang aku sampaikan pada para tetangga.“Tidak masalah. Aku tidak ingin kamu mer
Keesokan harinya kami pergi ke rumah Pak RT untuk minta bantuan. Kebetulan sekali ketua RW yang menjabat saat masalah keluarga Rani berlangsung adalah paman beliau. Sehingga Pak RT bisa mendapat berkas yang masih disimpan oleh pamannya selama puluhan tahun. Rani sudah membawa semua persyaratan yang dibutuhkan. Jadi, dia diminta menghubungi Tantenya yang sudah ada di kota ini untuk datang ke rumah Pak RT sesuai dengan alamat yang dikirimkan.“Untuk apa melibatkan orang lain? Kita selesaikan sendiri masalah keluarga. Kau tinggal membatalkan pembelian, mengusir mereka lalu menyerahkan sertifikat rumah itu padaku. Kalau tidak hidupmu dan ibumu akan terancam,” hardik Tante Mega dengan saura menggelegar. Karena Rani menekan mode pengeras suara, aku dan Pak RT bisa mendengar jelas suaranya.“Tidak bisa Tante. Harus ada pihak ketiga yang bisa berlaku adil untuk memutuskan siapa pemilik sah rumah itu. Kita selesaikan di rumah Pak RT atau aku bawa Tante ke kantor yang bersangkutan untuk membukt
“Maaf kalau membuatmu tersinggung Ran.” Sadar bahwa aku sudah salah bicara, segera minta maaf lebih baik. Mungkin harga diri Rani terusik karena aku seolah memberikan rumah gratis untuk ibunya. Ada beberapa orang yang tidak ingin menadahkgan tangan begitu saja dan mungkin Rani adalah salah satunya.Rani justru menggeleng sambil tertawa. Matanya sudah mengembun yang segera diusap dengan jari tangan kanannya. Kami kembali melangkah bersama. Aku mengusap bahu Rani yang hendak menangis. Perlahan ekspresi sedihnha sudah memudar setelah ia menghela nafas berulanb kali. Dia tersenyum haru padaku. “Terima kasih banyak Mbak. Aku juga berpikir untuk mengajak Ibu pindah lagi ke kota ini agar dekat dengan saudara dari pihak Ayah. Karena semua saudara Ibu sudah tidak tinggal lagi di Semarang. Kalau ada waktu luang selesai menulis, aku selalu mencari rumah yang bisa Ibu tinggali. Namun beliau menolak karena tidak ingin tinggal sendiri di kota ini. Trauma dengan kejadian masa lalu. Berulang kali kub
Tidak terasa langit sore sudah berganti lembayung senja. Adzan maghrib sebentar lagi berkumandang. Anak-anak yang sudah mandi segera keluar dari kamar mereka. Menonton TV bersama Bapak dan Mas Aksa di ruang tengah. Sementara aku sibuk menyiapkan makan malam di dapur. Rani ikut membantu agar masakan lebih cepat matang. Teringat kejadian beberapa waktu lalu usai kami berkebun bersama.“Bapak boleh makan malam bersama kita Bu?” tanya Mawar antusias. Tidak butuh waktu lama untuk Mas Aksa mengambil hati anak-anak. Kini mereka sangat dekat dengan sang ayah. Di sisi lain aku juga tidak bisa menanggapi dengan leluasa saat mereka bicara tentang Mas Aksa seperti dulu karena status kami yang belum jelas saat ini. Mawar dan Melati juga paham bahwa orang tua mereka tidak bisa lagi tinggal bersama. Jadi, mereka lebih memilih menghubungi Mas Aksa sendiri saat waktunya bermain ponsel. Baru kali ini Mawar dengan berani meminta ayahnya tinggal lebih lama untuk makan malam bersama kami.“Boleh. Nanti bi
Dengan dada berdebar, kubuka kontak Hanin untuk membaca semua pesannya. [Mungkin proses perceraian Mbak Nia dan Mas Aksa bisa ditunda jika itu adalah jawaban salat istikharah yang menampakan wajah suami dan anak-anak. Gugatan cerai bisa dicabut oleh tergugat. Semua keputusan kembalu pada Mbak Nia sendiri. Apakah ingin memberi kesempatan lagi atau tetap kukuh berpisah.]Membaca pesan Hanin membuatku bingung. Haruskah aku melakukannya. Mas Aksa memang sudah berubah menjadi ayah yang sangat baik untuk anak-anak. Namun bayangan masa lalu masih menghantui. Apalagi bayangannya dengan Arumi saat berhubungan badan di atas ranjang kami. Ada trauma tersendiri yang kupendam dari semua orang dan hanya Hanin yang tahu. Awalnya aku berpikir Hanin akan membalas jika aku harus tetap berpisah dari Mas Aksa. Di luar dugaan dia justru memberi jawaban bijak. Tidak menuntut walaupun sudah tahu kondisiku. Tidak mudah untuk rujuk, tetapi aku juga sedih membayangkan anak-anak yang akan terus terpisah dengan
“Maaf jika saya mengganggu.” Wanita itu langsung masuk ke dalam. Mas Aksa hanya mengangguk tanpa menanggapinya. Ekspresi wajahnya juga dingin. Masih sama sepeti Mas Aksa yang dulu. Sepertinya kami tidak bisa bicara disini jika ada pegawai yang tiba-tiba masuk seperti tadi.“Ada yang mau aku bicarakan denganmu Mas. Salatlah dulu lalu ijin pada pegawai lain untuk makan siang bersamaku di warung dekat sini.” Rasanya tangan sudah keringat dingin karena memberanikan diri mengajak suami sendiri untuk makan siang bersama. Hal yang tidak pernah kulakukan saat kami masih tinggal bersama. Mas Aksa terdiam. Matanya mengerjap, menatapku bingung.“Kalau kamu sibuk kita bisa pergi lain waktu.” Tidak tahan dengan suasana hening, aku kembali bicara.“Tidak.” Sela Mas Aksa cepat. Suaranya juga terdengar gugup.“Aku akan salat dulu setelah ada pegawai yang keluar. Kamu bisa tetap tunggu disini. Oh ya, bagaimana dengan sekolah anak-anak hari ini?” tanya Mas Aksa mengalihkan percakapan.“Seperti biasa.”