“Maaf kalau membuatmu tersinggung Ran.” Sadar bahwa aku sudah salah bicara, segera minta maaf lebih baik. Mungkin harga diri Rani terusik karena aku seolah memberikan rumah gratis untuk ibunya. Ada beberapa orang yang tidak ingin menadahkgan tangan begitu saja dan mungkin Rani adalah salah satunya.Rani justru menggeleng sambil tertawa. Matanya sudah mengembun yang segera diusap dengan jari tangan kanannya. Kami kembali melangkah bersama. Aku mengusap bahu Rani yang hendak menangis. Perlahan ekspresi sedihnha sudah memudar setelah ia menghela nafas berulanb kali. Dia tersenyum haru padaku. “Terima kasih banyak Mbak. Aku juga berpikir untuk mengajak Ibu pindah lagi ke kota ini agar dekat dengan saudara dari pihak Ayah. Karena semua saudara Ibu sudah tidak tinggal lagi di Semarang. Kalau ada waktu luang selesai menulis, aku selalu mencari rumah yang bisa Ibu tinggali. Namun beliau menolak karena tidak ingin tinggal sendiri di kota ini. Trauma dengan kejadian masa lalu. Berulang kali kub
Tidak terasa langit sore sudah berganti lembayung senja. Adzan maghrib sebentar lagi berkumandang. Anak-anak yang sudah mandi segera keluar dari kamar mereka. Menonton TV bersama Bapak dan Mas Aksa di ruang tengah. Sementara aku sibuk menyiapkan makan malam di dapur. Rani ikut membantu agar masakan lebih cepat matang. Teringat kejadian beberapa waktu lalu usai kami berkebun bersama.“Bapak boleh makan malam bersama kita Bu?” tanya Mawar antusias. Tidak butuh waktu lama untuk Mas Aksa mengambil hati anak-anak. Kini mereka sangat dekat dengan sang ayah. Di sisi lain aku juga tidak bisa menanggapi dengan leluasa saat mereka bicara tentang Mas Aksa seperti dulu karena status kami yang belum jelas saat ini. Mawar dan Melati juga paham bahwa orang tua mereka tidak bisa lagi tinggal bersama. Jadi, mereka lebih memilih menghubungi Mas Aksa sendiri saat waktunya bermain ponsel. Baru kali ini Mawar dengan berani meminta ayahnya tinggal lebih lama untuk makan malam bersama kami.“Boleh. Nanti bi
Dengan dada berdebar, kubuka kontak Hanin untuk membaca semua pesannya. [Mungkin proses perceraian Mbak Nia dan Mas Aksa bisa ditunda jika itu adalah jawaban salat istikharah yang menampakan wajah suami dan anak-anak. Gugatan cerai bisa dicabut oleh tergugat. Semua keputusan kembalu pada Mbak Nia sendiri. Apakah ingin memberi kesempatan lagi atau tetap kukuh berpisah.]Membaca pesan Hanin membuatku bingung. Haruskah aku melakukannya. Mas Aksa memang sudah berubah menjadi ayah yang sangat baik untuk anak-anak. Namun bayangan masa lalu masih menghantui. Apalagi bayangannya dengan Arumi saat berhubungan badan di atas ranjang kami. Ada trauma tersendiri yang kupendam dari semua orang dan hanya Hanin yang tahu. Awalnya aku berpikir Hanin akan membalas jika aku harus tetap berpisah dari Mas Aksa. Di luar dugaan dia justru memberi jawaban bijak. Tidak menuntut walaupun sudah tahu kondisiku. Tidak mudah untuk rujuk, tetapi aku juga sedih membayangkan anak-anak yang akan terus terpisah dengan
“Maaf jika saya mengganggu.” Wanita itu langsung masuk ke dalam. Mas Aksa hanya mengangguk tanpa menanggapinya. Ekspresi wajahnya juga dingin. Masih sama sepeti Mas Aksa yang dulu. Sepertinya kami tidak bisa bicara disini jika ada pegawai yang tiba-tiba masuk seperti tadi.“Ada yang mau aku bicarakan denganmu Mas. Salatlah dulu lalu ijin pada pegawai lain untuk makan siang bersamaku di warung dekat sini.” Rasanya tangan sudah keringat dingin karena memberanikan diri mengajak suami sendiri untuk makan siang bersama. Hal yang tidak pernah kulakukan saat kami masih tinggal bersama. Mas Aksa terdiam. Matanya mengerjap, menatapku bingung.“Kalau kamu sibuk kita bisa pergi lain waktu.” Tidak tahan dengan suasana hening, aku kembali bicara.“Tidak.” Sela Mas Aksa cepat. Suaranya juga terdengar gugup.“Aku akan salat dulu setelah ada pegawai yang keluar. Kamu bisa tetap tunggu disini. Oh ya, bagaimana dengan sekolah anak-anak hari ini?” tanya Mas Aksa mengalihkan percakapan.“Seperti biasa.”
Mas Aksa mengangguk. Perlahan dia menggenggam tanganku erat. Tidak ada pelukan karena kami sedang berada di tempat umum. Namun dari matanya aku bisa melihat kebahagiaan yang terpancar. Saat mengambil keputusan ini, alasannya hanya anak-anak agar mereka bisa memiliki keluarga utuh yang bahagia. Untuk hubunganku dan Mas Aksa, kami bisa memulai semuanya dari awal.Dulu dia menikah denganku hanya karena wajah dan sifat penurut. Kali ini aku berharap jika Mas Aksa belajar untuk mencintaiku apa adanya. Terlepas dari masa lalu kami. Masih ada banyak hal yang perlu kami ketahui satu sama lain."Kenapa kamu tidak pernah menanggapi godaan wanita lain Mas? Kamu juga berselingkuh dengan Arumi hanya karena uangnya." Ini adalah pertanyaan yang sudah kupendam.sejak lama. Sejak mengetahui bahwa Mas Aksa sudah punya selingkuhan lain.Mereka punya tujuan yang berbeda satu sama lain. Arumi yang dibutakan cintanya pada Mas Aksa. Sedangkan pria itu hanya menerima uang yang selalu diberikan selingkuhannya.
Rani dan Hanin menyambut baik keputusanku untuk rujuk saat kami bertemu di rumahku. Aku ingin mereka bisa bicara secara langsung. Mas Aksa sempat menyapa Hanin sejenak sebelum anak-anak menguasai ayah mereka. Bapak tidak hentinya tersenyum sejak tadi sambil menatap Mas Aksa yang tengah berada di teras samping bersama anak-anak. Duduk sambil menatap kebun yang sudah kami tanami bunga. Malam ini kami kembali makan malam bersama. Lengkap bersama Hanin.“Berarti ibumu sudah setuju untuk pindah ke kota ini lagi Ran? Kemarin Mbak Nia berkata kamu masih harus bertanya pada ibumu.” tanya Hanin mengalihkan percakapan setelah pembahasan sebelumnya sudah selesai. Rani mengangguk dengan senyum penuh kelegaan.“Ibu setuju setelah aku menjelaskan semuanya Mbak. Apalagi kami juga akan tinggal bersama Tia dan ibunya. Insyaallah uang dari novel online akan cukup tahun depan untuk membeli rumah itu. Aku juga sudah bicara pada pemiliknya akan membeli jika masa kontrak habis.” Rani memberi penjelasan den
Pagi ini aku sibuk menyiapkan sarapan spesial untuk menyambut kedatangan Mas Aksa dan keluarganya. Hanya Hanin yang membantu karena Rani akan pergi tepat setelah salat subuh ke Semarang dengan naik travel yang sudah dipesan. Dia mengatakan akan menjemput ibunya dan pulang dengan mobil pick up yang sudah di sewa. Setelah itu, Rani dan keluarganya akan langsung menempati rumah kontrakan. Menata barang-barang mereka. Termasuk Tia yang baru akan bekerja nanti sore.Tidak lama kemudian terdengar suara derit pintu yang terbuka dan tertutup. Disusul dengan langkah kaki yang mendekat. Rani sudah keluar dengan penampilan yang sama seperti saat pertama kali dia datang kesini. Tidak lupa dengan tas selempang yang tersampir di pundak. Dia sempat sibuk dengan ponselnya lalu menatap kami.“Mbak Nia, Mbak Hanin aku pergi dulu ya. Sopir travelnya sudah datang,” pamit Rani menyalami kami bergantian sambil mencium pipi kanan dan kiri seperti layaknya salaman seorang wanita.“Hati-hati di jalan Ran.” Ak
Hanin masih menginap di rumah sampai besok karena Rani masih dalam perjalanan pulang dari Semarang. Kemarin Rani bercerita bahwa ibunya sempat menelepon dan sudah mengemasi semua barang yang diperlukan. Begitu juga pagi ini, Rani sudah mengabariku tadi bahwa dia dan ibunya naik mobil pick up yang tertutup untuk mengangkut barang mereka. Karena aku belum di ijinkan keluar sendiri, Hanin yang menjemput anak-anak. Kegiatan di rumah hanya bersih-bersih lalu memeriksa laporan keuangan yang di kirim Tia.Di waktu luang seperti ini, aku menonton TV dengan Bapak di ruang tengah. Terdengar suara mobil yang berhenti. Aku segera bangkit karena mungkin saja Hanin sudah datang bersama anak-anak. Dengan cepat aku berlari lalu melihat dari lingkaran kecil di gerbang untuk memastikan jika Hanin yang datang. Lingkaran ini juga bisa digunakan oleh orang di luar untuk melihat keadaan dibalik pagar. Rani sengaja membukanya kemarin agar memudahkan tetangga kami yang datang berkunjung.Aneh sekali. Ada dua
Aku masih diam. Kaget karena lamunan yang tiba-tiba buyar. Tubuhku gemetar dengan pikiran kosong. Melihatku yang masih saja, Mas Aksa menuntunku duduk di sofa. Dia membawa teh hangat dan mengambil pisang rebus dari dandang lalu menyajikannya di meja. Wajah Mas Aksa tampak sangat khawatir melihatku yang masih diam sejak tadi. Pikiranku buntu. Aku menghela nafas berulang kali agar lebih tenang. Tanpa sadar tangisku sudah pecah. Mas Aksa membawa tubuh ini dalam pelukan. Harum parfum yang masih menempel di bajunya membuatku tenang. Baru kali ini Mas Aksa memperlakukanku selembut ini. Tidak pernah terbayang akan mendapat pelukannya setelah lima tahun pernikahan yang menyiksa. Keputusan untuk rujuk yang kulakukan demi anak-anak justru membawa hubungan kami menjadi lebih dekat lagi.“Aku minta maaf jika ada salah padamu.” Tangan besarnya mengusap punggungku lembut. Getar suaranya sangat terasa dalam setiap gerakan tangannya. Aku menggeleng. Ini semua bukan salahnya. Berusaha meredam tangisan
Malam semakin larut. Kami sudah selesai makan malam bersama. Setelah bicara dengan Mas Aksa, Ibu akhirnya mau menginap di rumah ini bersama Rosi dan Syntia. Walaupun besok pagi harus bangun pagi sekali untuk pulang agar bisa jualan di rumah. Alhamdulillah dari berjualan Ibu punya uang yang lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Penghasilan Rosi dan Syntia juga membantu. Sehingga uang dari Mas Aksa bisa ditabung untuk biaya persalinan Rosi kelak. Semuanya akan terasa cukup jika tidak berfoya-foya. "Besok libur jualan saja dulu Bu," kata Mas Aksa begitu kami pindah ke ruang tengah. Aku masih sibuk mencuci piring dibantu Rosi dan Syntia. Rani sudah kembali ke rumahnya sebelum adzan maghrib berkumandang. Memastikan jika keluarganya juga aman di rumah. "Kalau libur pelanggan Ibu jadi pergi Sa. Ibu sudah tidak sakit lagi. Saat badan masih sehati, lebih enak dibuat bekerja. Lagipula setelah jualan, badan Ibu jadi lebih segar karena terus bergerak." "Jualan Ibu sudah mulai habis?
Kami turun ke lantai satu bersama setelah mengambil wudhu. Salat berjamaah di musola. Selain Rani, Bapak dan anak-anak, hanya Rosi yang ikut karena Ibu dan Syntia masih tertidur. Kami memutuskan membiarkan mereka tidur sebentar lagi sampai setengah jam ke depan. Setelah salat ashar, anak-anak sudah mengajak Mas Aksa untuk melihat tanaman mereka.“Besok kita jadi beli tanaman baru Yah?” tanya Mawar bersemangat.“Jadi dong.”“Aku dan Mawar juga mau beli pakai uang tabungan kita sendiri Yah.” Melati sudah memekik senang memikirkan ide itu. Aku hanya bisa menggeleng mendengar ocehan anak-anak yang sangat bersemangat setiap kali bermain dengan ayah mereka. Pandanganku sempat teralih sebentar ke teras.Melihat Bapak bersantai di teras samping melihat menantu dan kedua cucunya. Rosi yang kembali masuk kamar, Rani duduk di sofa ruang tengah untuk mengetik novel dengan tangan lain yang kadang memegang ponsel lain yang menampilkan rekaman kamera CCTV di rumahnya. Agar bisa tetap memantau keadaa
Usai cairan infus Ibu sudah habis, kami pulang ke rumah dua lantai untuk sementara waktu agar bisa memantai keadaan Ibu yang belum sepenuhnya pulih. Ibu dan Syntia menatap bingung saat mobil sudah berhenti di depan pagar. Ibu terlihat tidak enak, tetapi tidak bicara apapun. Aku menekan bel agar Rani membukakan pagar. Tidak lama kemudian gadis itu sudah keluar. Saat pagar terbuka, mobil pegawai Hanin masuk. Aku berjalan mengikuti di belakang. “Kamu turun dulu Don. Pasti capek nunggu kita seharian ini,” ucapku pada pegawai Hanin yang siang ini bertugas sebagai sopir dadakan kami. Aku memang sudah mengenal beberapa pegawai Hanin yang sudah lama bekerja dengannya. Salah satunya adalah Doni. Karena Doni sering menemani Hanin jika ada pekerjaan di luar. Dia juga sudah di angkat sebagai manajer toko dan memegang semua pekerjaan saat Hanin sibuk menyelesaikan pekerjaannya sebagai programmer. “Terima kasih Mbak. Maaf merepotkan.” Meski bicara seperti itu, Doni tetap terkekeh pelan. “Nggak
“Apa maksud kalian? Adik saya sudah berpisah dari suaminya sejak sebulan lalu. Dia sudah tidak ada tanggung jawab atas semua hutang yang ditinggalkan Varo. Apa buktinya jika adik saya juga terlibat?” kata Mas Aksa menengahi. Dia berhasil meredam emosi berkat Pak RT yang memanggil Limas agar kedua rentenir itu tidak melanjutkan keributan. Suasana ruang tamu benar-benar kacau. Tidak hanya keluarga dan dua preman itu, banyak tetangga yang melihat dari luar sehingga ruang tamu terasa sesak. Aku tidak lagi mendengar apa saja yang mereka bicarakan karena sudah membawa Ibu ke kamar. Membaringkan beliau di tempat tidur, melepas sandalnya lalu menaikan selimut. Wajah Ibu tampak kesakitan. Ia terus memegang pinggul sebelah kanan sejak tadi. Tubuhnya juga terasa dingin dengan keringat yang tampak di dahi dan seluruh tubuh. Erangan kesakitan Ibu sudah tidak terdengar separah tadi saat aku baru saja datang. Hanya wajahnya yang masih tampak pucat. Aku berjongkok agar bisa sejajar dengan Ibu. “A
Rasanya seperti kembali saat kami masih pacaran. Pergi bedua hanya untuk ke minimarket sambil bergandengan tangan. Melibat banyak orang yang juga datang bersama pasangan masing-masing sambil bergandengan tangan seperti kami. Membuat tidak banyak orang yang mengamati kami. Bedanya dulu aku dan Mas Aksa hanya akan berjalan bersisian karena tidak mau bergandengan tangan dengannya sebelum menikah. Sekarang kami menunjukkan kemesraan di depan umum. Setelah belanja di minimarket aku memesan taksi online lagi. Kami menunggu di parkiran. Mas Aksa menenteng satu kantung plastik besar di tangan kanan dan tangan kiri menggenggam tanganku. Banyak orang yang melihat dengan beragam pandangan. Ada yang tersenyum melihat kemesraan kami. Ada juga yang menggeleng dengan wajah jengah. Seolah sudah sering melihat pemandangan serupa. Ada juga yang merengut sebal."Maaf aku belum bisa menjadi kepala keluarga yang baik. Doakan rejekiku lancar ya agar bisa membelikan barang apapun yang kau mau." Tiba-tiba s
Kami pergi ke rumah Pak RT bersama. Bapak di rumah bersama anak-anak. Aku memastikan Bapak mengunci pagar dari dalam lalu keluar. Tidak lupa kuingatkan Bapak untuk mengunci semua pintu di rumah termasuk menambahkan gembok. Walau dengan perasaan tidak nyam, kami tetap harus pergi ke rumah Pak RT. Di rumah Pak RT, Varo diikat dengan tali tambang dan mulut yang ditutup serbet. Melihat kedatanganku, mata pria itu melotot tajam. Salah satu warga lalu melepas serbet yang menutup mulutnya agar dia bisa bicara saat di interogasi. Setelah penutup mulutnya terlepas, Varo justru terdiam. Dia tidak lagi mengerang seperti tadi.“Kenapa anda berusaha masuk ke rumah Bu Nia dengan membawa pisau kecil? Anda tahu itu termasuk tindak kejahatan yang bisa membuat anda dijebloskan ke penjara?” tanya Pak RT langsung pada intinya. Varo tidak menjawab apapun. Dia hanya menunduk. Entah kenapa sekarang dia justru diam. Padahal sosok Varo yang kukenal tidak seperti ini.“Tindakan anda bisa dikatakan sebagai aksi
Pekerjaan hari ini tidak banyak setelah aku dan Rani pulang dari sekolah bersama anak-anak. Bapak yang tengah menonton TV hanya menyapa kami lalu bermain bersama kedua cucunya seperti biasa. "Bagaimana sekolah hari ini?" tanya Bapak lembut seperti saat aku masih kecil dulu. Kenangan indah yang hampir saja terlupakan setelah puluhan tahun berlalu. "Seru Kung," jawab Mawar dan Melati pendek. Tidak pernah tertarik jika ditanya tentang sekolah. Justru mereka susah meletakan tas di sofa lalu menarik tangan Bapak untuk pergi ke kamar beliau mengambil mainan mereka. Aku membawa tas anak-anak naik ke lantau dua. Membiarkan anak-anak bersama Rani dan Bapak lalu turun ke bawah. Bapak tidak menceritakan masalah apapun. Berarti tidak ada orang yang mencoba bertamu karena tadi pagi aku melihat Ana yang mengintai rumah ini. Aku duduk di sofa ruang tengah untuk menonton TV yang seperti biasa menayangkan kartun kesukaan anak-anak. Walaupun tidak ditonton karena mereka sibuk bermain kartu bergamba
“Ada yang mau aku bicarakan denganmu Mas,” ucapku begitu kami masuk kamar usai melaksanakan salat subuh berjamaah. Waktu kami tidak banyak karena anak-anak sudah mengajak ayah mereka untuk menyiram bunga bersama dengan Bapak. Mungkin kami hanya bisa bicara di kamar untuk beberapa hari ke depan. Selama Mawar dan Melati masih ingin menikmati waktu dengan ayah mereka sepenuhnya, tidak akan ada waktu berdua untuk kami. “Ada apa Nia?” tanya Mas Aksa lembut. Dia mencatolkan kemeja dan sarung lalu meletakan kopiah di dalam nakas. Padahal dulu Mas Aksa adalah tipe orang yang berantakan. Dia akan menyuruhku mencatolkan baju yang diletakan begitu saja di atas tempat tidur. Tidak lupa Mas Aksa berganti baju dengan memakai kaos oblong berwarna hitam dan celana pendek. Pakaian bersantai yang sudah ia pakai sejak lama. Mas Aksa lalu duduk disampingku. Dari jarak sedekat ini aku bisa mencium aroma parfumnya yang tidak berubah. Sungguh wajah Mas Aksa terlihat berkal-kali lipat lebih keren saat dia