Aku berusaha menahan getar tubuh saat memasukan ponsel ke dalam tas. Bertindak sealami mungkin agar tidak terlihat ketakutan. Jaraknya denganku hanya tinggal sejengkal. Varo sudah bersiap duduk di kursi sebrang meja. Degup jantung terus bertalu tidak bisa diam karena aku merasa sangat ketakutan. Bagaimana jika dia mengetahui penyamaranku? Semua rencana yang sudah kami susun akan gagal seketika.“Mbak Nia.” Rani berjalan ke arahku sambil melambaikan tangan. Membuat Varo yang sudah bersiap duduk beranjak pergi. Mereka saling berpapasan seolah tidak ada yang akan terjadi.Rani memeluk tubuhku erat. Ternyata dia juga gemetar karena rencana kami hampir saja gagal. Aku menghela nafas dalam. Meredakan rasa tegang yang sempat melanda. Begitu juga dengan Rani. Varo berjalan menjauh lalu duduk di meja yang ada di samping kami. Rani melepaskan pelukannya lalu duduk di tempat yang akan di jangkau Varo sebelumnya.“Padahal kita hanya beberapa hari tidak bertemu, tetapi seperti sudah lama saja. Kam
Saat menoleh ke belakang terlihat Rani sudah berdiri di belakangku dengan wajah sembap. Dia pasti baru saja menangis hingga suaranya serak. Hampir saja aku ketakutan karena mengira jika Rani bukan manusia. Aku menggeleng sambil menunjuk keluar. Tampak pemandangan dari balik pagar. Ada juga rumah kos dengan lalu lalang mahasiswa yang akan berangkat kuliah atau sudah selesai mengikuti kelas.“Hanya ingin mengamati Varo. Ternyata dia masih menunggu di luar. Seharusnya Varo cukup tahu kalau aku tinggal di rumah ini lalu pergi. Kenapa dia masih menunggu disana?” Aku mengungkapkan keheranan. Rani juga menatap ke tempat Varo berdiri. Pria itu duduk di atas motor dengan memakai masker dan topi.“Mungkin dia menunggu aku keluar dari rumah ini agar bisa masuk ke dalam. Varo masih ingin menjalankan rencananya saat Mbak Nia sendiri. Selain itu, bisa jadi Varo berpikir jika Mbak Nia hanya tinggal bersama anak-anak. Jadi dia bisa lebih leluasa untuk masuk,” kata Rani masuk akal.“Apakah rumah ini r
“Nggak masalah Pak.” Aku menyalami tangannya yang terasa kasar dan kapalan. Gurat wajah tuanya menandakan kerja keras. Berbeda dengan terakhir kali kami bertemu enam tahun lalu. Saat aku meminta Bapak untuk menjadi wali nikah. Bapak masih terlihat bugar. Wajahnya juga tidak selelah ini.Anak-anak dengan anteng bermain mainan baru yang dibawakan Bapak. Dua boneka dengan warna yang berbeda. Boneka pertama berwarna merah dan muda boneka kedua berwarna ungu. Mereka lalu membawanya masuk ke kamar utama. Meninggalkan kami bertiga di ruangan ini. Rani duduk di sampingku tanpa bertanya apapun.“Perkenalkan Ran, dia Bapakku dan Hanin..” Aku memperkenalkan mereka setelah beberapa detik hening.Rani bangkit sejenak lalu menyalkami tangan Bapak. Pandangannya lalu beralih padaku. “Kalau begitu aku ijin masuk kamar ya Mbak.”“Iya.” Aku mengangguk. Menatapn punggung Rani yang hilang di balik pintu menuju ruang tengah.Suasana terasa hening sesaat setelah kepergian Rani. Bapak menyesap teh hangat yan
Menghadapi manusia kurang ajar sepertinya tidak perlu pakai emosi. Semua tenaga akan terkuras habis seperti saat aku bertengkar dengan Mas Aksa. Aku melipat tangan di depan dada. Menatapnya sambil tersenyum sinis. “Sayangnya aku tidak mau. Kalian beruntung karena ikut Bapak sehingga bisa dapat tempat tinggal gratis. Namun aku tidak mau membiayai anak pelakor yang sudah menghancurkan keluargaku agar bisa hidup enak. Cukup Bapak saja yang menjadi tanggung jawabku.”Mulut Ana ternganga. Mata Budi melotot tajam menatapku. Akhirnya dia menampakan kemarahan setelah sejak tadi masih terlihat santai di tengah kondisi yang masih luntang-lantung mencari tempat tinggal. Mulutnya sudah terbuka hendak bicara, tetapi kembali tertutup. Budi mengepalkan tangannya semakin erat karena tahu tidak bisa melawan perkataanku. Aku lalu berbalik untuk masuk ke dalam. Bapak yang ketahuan memperhatikan kami langsung menoleh. Beliau duduk tegak seperti tadi.“Aku sudah menghubungi pemilik kontrakan Mbak. Katanya
Seperti yang sudah kunjanjikan pada Ibu, hari ini aku dan Rani pergi ke kantor polisi untuk membebaskan Mas Aksa. Hati terasa lebih tenang karena Varo sudah di jebloskan dalam penjara. Membuatku merasa bebas pergi kemanapun. Walaupun masih harus dikawal oleh Rani sampai tugasnya habis. Karena aku mengontrak jasa Rani selama enam bulan. Itu semua sudah kuperhitungkan termasuk proses perceraian dengan Mas Aksa.Mobil sudah tiba di depan kantor polisi. Tidak ada motor Rosi di parkiran. Apakah mereka belum datang? Namun rasa penasaranku sirna saat kami sudah masuk kantor polisi. Ibu menunggu bersama Rosi dan Syntia. Saat melihat kedatangan kami dia langsung berdiri. Begitu juga dengan kedua adik iparku.“Assalamualaikum Bu.” Aku menyalami tangan beliau seperti yang selama ini kulakukan. Tetap menunjukkan baktiku sebagai menantu karena setelah aku berpisah dari Mas Aksa, ibunya akan tetap jadi ibu mertua dan aku akan tetap jadi menantunya.“Waalaukumsalam Nia,” jawab Ibu ramah. Tidak seper
Langkah apa yang harus kuambil untuk memberi mereka pelajaran? Aku tidak bisa berdiam diri terus seperti ini. Pikirkanlah Nia. Tiba-tiba sebuah ide melintas. Setelah mendapat sebuah ide, aku mengetik pesan balasan pada Rani lalu mengirimkannya. Mereka harus diberi pelajaran karena sudah berani mengancam. Akan kutunjukkan bahwa aku tidak takut sama sekali. Baru saja hendak keluar dari aplikasi WA, pesan Ana sudah terhapus. Rupanya dia takut dengan ancaman yang diberikan Rani.[Sudah beres Mbak. Aku baru saja mengantarkan bapaknya Mbak Nia pulang lalu menunjukkan pesan itu pada mereka. Hasilnya mereka langsung takut.][Kerja bagus Ran.]Kututup ponsel lalu meletakannya di atas meja. Fokus bermain bersama anak-anak untuk mengganti waktu kami yang sempat hilang selama bertahun-tahun. Akhirnya aku bisa bersantai dari padatnya pekerjaan rumah dan warung. Walaupun semua ini kulakukan untuk menghindari Varo yang akhirnya ditangkap polisi.“Kita main leggo sekarang Bu,” seru Melati yang sudah
Mas Aksa masih terdiam setelah turun dari motor. Dia belum menyadari bahwa mobil yang berhenti di sampingnya adalah mobil Hanin. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Bingung dengan bangunan TK yang terdiri dari empat kelas. Di pojok kanan bangunan adalah ruang guru. Berderet kelas A, B dan C. Lalu di pojok kiri adalah kamar mandi. Tidak ada kantin atau pedagang yang berjualan karen peraturan sekolah mewajibkan setiap murid untuk membawa bekal.Aku turun dari mobil bersama Rani. Menghampiri Mas Aksa yang masih berdiri bingung. Dia sampai tidak menyadari kehadiranku. Tangannya merogoh saku lalu mengeluarkan ponsel. “Mungkin aku memang harus menghubungi Nia dulu. Salahku tidak meminta ijin dan bertanya,” gumam Mas Aksa pelan yang masih bisa kudengar dengan jelas karena suasana sekolah yang masih sepi.Para wali murid yang menunggu sibuk melihat anak-anak mereka dari balik jendela. Mengawasi karena sebentar lagi bel pulang sekolah akan berbunyi. Sebelum Mas Aksa menghubungi, aku segera
Hidayah memang bisa datang darimana saja. Aku sama sekali tidak menyangka jika Mas Aksa dan keluarganya bisa berubah sedrastis itu hanya karena bantuan Danang. Enam tahun aku berusaha mengubah mereka, selalu berdoa agar Mas Aksa mau berubah, tetapi tidak ada perubahan. Justru berujung pada pertengkaran kami hingga berakhir pada perpisahan. Siapa sangka pertemuannya dengan Danang di penjara bisa mengubah semuanya.Terlintas salah satu alasanku mantap untuk berpisah. Arumi. Apakah Mas Aksa masih rajin berhubungan dengan Arumi? Karena aku tidak lagi memantau pesan WA dari ponselnya yang sudah kusadap. Dari luar ia memang benar-benar taubat. Namun aku ingin mengetahui hal ini untuk memantapkan hati. Apakah dia layak diberikan kesempatan kedua untuk memperbaiki diri sebagai ayah untuk anak-anak kami?“Tadi kamu bilang Danang meminjamkan uang yang akan dipotong dari gaji. Lalu sekarang kamu mengatakan jika ia memberikan uang sebagai balas jasa padaku. Mana yang benar, Mas?” tanyaku heran.M
Aku masih diam. Kaget karena lamunan yang tiba-tiba buyar. Tubuhku gemetar dengan pikiran kosong. Melihatku yang masih saja, Mas Aksa menuntunku duduk di sofa. Dia membawa teh hangat dan mengambil pisang rebus dari dandang lalu menyajikannya di meja. Wajah Mas Aksa tampak sangat khawatir melihatku yang masih diam sejak tadi. Pikiranku buntu. Aku menghela nafas berulang kali agar lebih tenang. Tanpa sadar tangisku sudah pecah. Mas Aksa membawa tubuh ini dalam pelukan. Harum parfum yang masih menempel di bajunya membuatku tenang. Baru kali ini Mas Aksa memperlakukanku selembut ini. Tidak pernah terbayang akan mendapat pelukannya setelah lima tahun pernikahan yang menyiksa. Keputusan untuk rujuk yang kulakukan demi anak-anak justru membawa hubungan kami menjadi lebih dekat lagi.“Aku minta maaf jika ada salah padamu.” Tangan besarnya mengusap punggungku lembut. Getar suaranya sangat terasa dalam setiap gerakan tangannya. Aku menggeleng. Ini semua bukan salahnya. Berusaha meredam tangisan
Malam semakin larut. Kami sudah selesai makan malam bersama. Setelah bicara dengan Mas Aksa, Ibu akhirnya mau menginap di rumah ini bersama Rosi dan Syntia. Walaupun besok pagi harus bangun pagi sekali untuk pulang agar bisa jualan di rumah. Alhamdulillah dari berjualan Ibu punya uang yang lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Penghasilan Rosi dan Syntia juga membantu. Sehingga uang dari Mas Aksa bisa ditabung untuk biaya persalinan Rosi kelak. Semuanya akan terasa cukup jika tidak berfoya-foya. "Besok libur jualan saja dulu Bu," kata Mas Aksa begitu kami pindah ke ruang tengah. Aku masih sibuk mencuci piring dibantu Rosi dan Syntia. Rani sudah kembali ke rumahnya sebelum adzan maghrib berkumandang. Memastikan jika keluarganya juga aman di rumah. "Kalau libur pelanggan Ibu jadi pergi Sa. Ibu sudah tidak sakit lagi. Saat badan masih sehati, lebih enak dibuat bekerja. Lagipula setelah jualan, badan Ibu jadi lebih segar karena terus bergerak." "Jualan Ibu sudah mulai habis?
Kami turun ke lantai satu bersama setelah mengambil wudhu. Salat berjamaah di musola. Selain Rani, Bapak dan anak-anak, hanya Rosi yang ikut karena Ibu dan Syntia masih tertidur. Kami memutuskan membiarkan mereka tidur sebentar lagi sampai setengah jam ke depan. Setelah salat ashar, anak-anak sudah mengajak Mas Aksa untuk melihat tanaman mereka.“Besok kita jadi beli tanaman baru Yah?” tanya Mawar bersemangat.“Jadi dong.”“Aku dan Mawar juga mau beli pakai uang tabungan kita sendiri Yah.” Melati sudah memekik senang memikirkan ide itu. Aku hanya bisa menggeleng mendengar ocehan anak-anak yang sangat bersemangat setiap kali bermain dengan ayah mereka. Pandanganku sempat teralih sebentar ke teras.Melihat Bapak bersantai di teras samping melihat menantu dan kedua cucunya. Rosi yang kembali masuk kamar, Rani duduk di sofa ruang tengah untuk mengetik novel dengan tangan lain yang kadang memegang ponsel lain yang menampilkan rekaman kamera CCTV di rumahnya. Agar bisa tetap memantau keadaa
Usai cairan infus Ibu sudah habis, kami pulang ke rumah dua lantai untuk sementara waktu agar bisa memantai keadaan Ibu yang belum sepenuhnya pulih. Ibu dan Syntia menatap bingung saat mobil sudah berhenti di depan pagar. Ibu terlihat tidak enak, tetapi tidak bicara apapun. Aku menekan bel agar Rani membukakan pagar. Tidak lama kemudian gadis itu sudah keluar. Saat pagar terbuka, mobil pegawai Hanin masuk. Aku berjalan mengikuti di belakang. “Kamu turun dulu Don. Pasti capek nunggu kita seharian ini,” ucapku pada pegawai Hanin yang siang ini bertugas sebagai sopir dadakan kami. Aku memang sudah mengenal beberapa pegawai Hanin yang sudah lama bekerja dengannya. Salah satunya adalah Doni. Karena Doni sering menemani Hanin jika ada pekerjaan di luar. Dia juga sudah di angkat sebagai manajer toko dan memegang semua pekerjaan saat Hanin sibuk menyelesaikan pekerjaannya sebagai programmer. “Terima kasih Mbak. Maaf merepotkan.” Meski bicara seperti itu, Doni tetap terkekeh pelan. “Nggak
“Apa maksud kalian? Adik saya sudah berpisah dari suaminya sejak sebulan lalu. Dia sudah tidak ada tanggung jawab atas semua hutang yang ditinggalkan Varo. Apa buktinya jika adik saya juga terlibat?” kata Mas Aksa menengahi. Dia berhasil meredam emosi berkat Pak RT yang memanggil Limas agar kedua rentenir itu tidak melanjutkan keributan. Suasana ruang tamu benar-benar kacau. Tidak hanya keluarga dan dua preman itu, banyak tetangga yang melihat dari luar sehingga ruang tamu terasa sesak. Aku tidak lagi mendengar apa saja yang mereka bicarakan karena sudah membawa Ibu ke kamar. Membaringkan beliau di tempat tidur, melepas sandalnya lalu menaikan selimut. Wajah Ibu tampak kesakitan. Ia terus memegang pinggul sebelah kanan sejak tadi. Tubuhnya juga terasa dingin dengan keringat yang tampak di dahi dan seluruh tubuh. Erangan kesakitan Ibu sudah tidak terdengar separah tadi saat aku baru saja datang. Hanya wajahnya yang masih tampak pucat. Aku berjongkok agar bisa sejajar dengan Ibu. “A
Rasanya seperti kembali saat kami masih pacaran. Pergi bedua hanya untuk ke minimarket sambil bergandengan tangan. Melibat banyak orang yang juga datang bersama pasangan masing-masing sambil bergandengan tangan seperti kami. Membuat tidak banyak orang yang mengamati kami. Bedanya dulu aku dan Mas Aksa hanya akan berjalan bersisian karena tidak mau bergandengan tangan dengannya sebelum menikah. Sekarang kami menunjukkan kemesraan di depan umum. Setelah belanja di minimarket aku memesan taksi online lagi. Kami menunggu di parkiran. Mas Aksa menenteng satu kantung plastik besar di tangan kanan dan tangan kiri menggenggam tanganku. Banyak orang yang melihat dengan beragam pandangan. Ada yang tersenyum melihat kemesraan kami. Ada juga yang menggeleng dengan wajah jengah. Seolah sudah sering melihat pemandangan serupa. Ada juga yang merengut sebal."Maaf aku belum bisa menjadi kepala keluarga yang baik. Doakan rejekiku lancar ya agar bisa membelikan barang apapun yang kau mau." Tiba-tiba s
Kami pergi ke rumah Pak RT bersama. Bapak di rumah bersama anak-anak. Aku memastikan Bapak mengunci pagar dari dalam lalu keluar. Tidak lupa kuingatkan Bapak untuk mengunci semua pintu di rumah termasuk menambahkan gembok. Walau dengan perasaan tidak nyam, kami tetap harus pergi ke rumah Pak RT. Di rumah Pak RT, Varo diikat dengan tali tambang dan mulut yang ditutup serbet. Melihat kedatanganku, mata pria itu melotot tajam. Salah satu warga lalu melepas serbet yang menutup mulutnya agar dia bisa bicara saat di interogasi. Setelah penutup mulutnya terlepas, Varo justru terdiam. Dia tidak lagi mengerang seperti tadi.“Kenapa anda berusaha masuk ke rumah Bu Nia dengan membawa pisau kecil? Anda tahu itu termasuk tindak kejahatan yang bisa membuat anda dijebloskan ke penjara?” tanya Pak RT langsung pada intinya. Varo tidak menjawab apapun. Dia hanya menunduk. Entah kenapa sekarang dia justru diam. Padahal sosok Varo yang kukenal tidak seperti ini.“Tindakan anda bisa dikatakan sebagai aksi
Pekerjaan hari ini tidak banyak setelah aku dan Rani pulang dari sekolah bersama anak-anak. Bapak yang tengah menonton TV hanya menyapa kami lalu bermain bersama kedua cucunya seperti biasa. "Bagaimana sekolah hari ini?" tanya Bapak lembut seperti saat aku masih kecil dulu. Kenangan indah yang hampir saja terlupakan setelah puluhan tahun berlalu. "Seru Kung," jawab Mawar dan Melati pendek. Tidak pernah tertarik jika ditanya tentang sekolah. Justru mereka susah meletakan tas di sofa lalu menarik tangan Bapak untuk pergi ke kamar beliau mengambil mainan mereka. Aku membawa tas anak-anak naik ke lantau dua. Membiarkan anak-anak bersama Rani dan Bapak lalu turun ke bawah. Bapak tidak menceritakan masalah apapun. Berarti tidak ada orang yang mencoba bertamu karena tadi pagi aku melihat Ana yang mengintai rumah ini. Aku duduk di sofa ruang tengah untuk menonton TV yang seperti biasa menayangkan kartun kesukaan anak-anak. Walaupun tidak ditonton karena mereka sibuk bermain kartu bergamba
“Ada yang mau aku bicarakan denganmu Mas,” ucapku begitu kami masuk kamar usai melaksanakan salat subuh berjamaah. Waktu kami tidak banyak karena anak-anak sudah mengajak ayah mereka untuk menyiram bunga bersama dengan Bapak. Mungkin kami hanya bisa bicara di kamar untuk beberapa hari ke depan. Selama Mawar dan Melati masih ingin menikmati waktu dengan ayah mereka sepenuhnya, tidak akan ada waktu berdua untuk kami. “Ada apa Nia?” tanya Mas Aksa lembut. Dia mencatolkan kemeja dan sarung lalu meletakan kopiah di dalam nakas. Padahal dulu Mas Aksa adalah tipe orang yang berantakan. Dia akan menyuruhku mencatolkan baju yang diletakan begitu saja di atas tempat tidur. Tidak lupa Mas Aksa berganti baju dengan memakai kaos oblong berwarna hitam dan celana pendek. Pakaian bersantai yang sudah ia pakai sejak lama. Mas Aksa lalu duduk disampingku. Dari jarak sedekat ini aku bisa mencium aroma parfumnya yang tidak berubah. Sungguh wajah Mas Aksa terlihat berkal-kali lipat lebih keren saat dia