Pagi berjalan seperti biasa. Salat subuh, membuat sarapan, mandi lalu istirahat di dalam kamar. Tugas rumah sudah di bagi dengan Rani dan Hanin. Anak-anak juga sudah di antar oleh pengawal mereka. Sebelum mengantar anak-anak ke sekolah, Rani sempat menemuiku.“Kata Tia dia bisa interview kapan saja Mbak. Karena ada kakaknya yang akan menginap untuk menjaga ibu mereka.” “Syukurlah. Tolong beri tahu saudaramu jika kita bisa interview jam empat sore. Agar dia bisa praktik secara langsung bersama denganku malam ini. Aku ingin melihat kemampuannya dalam melayani pelanggan.” “Baik Mbak.” Anak-anak dan Rani pulang jam setengah sepuluh pagi. Kami menghabiskan waktu di ruang tengah untuk menonton TV bersama. Tidak lupa aku menanyakan kegiatan mereka selama di sekolah. Rani juga bercerita jika dia sudah akrab dengan wali murid yang lain. Walaupun harus mengarang alasan saat ada yang menanyakan kenapa bukan aku yang kini mengantar dan menunggu anak-anak di sekolah. “Awalnya aku mau mengarang
Semua orang memandang kami dengan aneh. Ada yang sudah tahu kejadian kemarin, tetapi juga ada yang belum. Aku tidak ingin persepsi orang-orang tentang warung ini buruk. Jadi aku segera membantu Ibu untuk berdiri. Tubuhnya terasa bergetar hebat karena menahan tangis. Belum lagi dengan wajahnya yang sembab karena terus menangis. Mungkin memikirkan nasib Mas Aksa yang kini sedang di penjara. Pandanganku beralih pada Rosi dan Syntia yang diam saja di belakang Ibu mereka. Aku mengira Rosi dan Syntia akan mengarahkan kamera ponsel untuk merekam kami tadi. Namun mereka hanya berdiri mematung tanpa suara. Tidak menggenggam ponsel sama sekali. “Kalian bisa menunggu di lantai dua. Aku akan pergi ke dapur untuk mengambil minuman,” ucapku tenang. “Terima kasih Nia.” Rosi lalu membantu Ibunya menaiki tangga. Tidak mungkin aku meminta mereka ke dapur karena sudah ada Tia yang menunggu disana. Terpaksa aku menunda interview dengan gadis itu. Saat berjalan ke dapur, terlihat Tia tengah mengamati
Meskipun Varo tidak bisa melihatku, tetap saja aku merasa tidak tenang. Dada ini berdetak lebih keras. Hampir saja tubuhku limbung jika tidak bisa menguasai diri. Kuhela nafas berulang kali agar lebih tenang. Pandangan beralih pada Tia yang sedang meminum es tehnya. “Sebentar ya Tia. Aku mau mengirim pesan dulu.” “Iya Mbak.” Kuambil ponsel dari dalam saku gamis lalu membuka kontak Lia. Dia adalah orang terakhir yang ditanya Varo. Aku ingin tahu apa saja yang mereka bicarakan dan memintanya untuk melihat ke depan warung agar bisa memastikan keberadaan Varo. Tidak lama kemudian pesan sudah berubah menjadi centang biru. Artinya Lia sudah membaca pesanku. Dari balik penghalang di antara dapur dan warung, aku bisa melihat Lia yang berjalan keluar. Dia kembali untuk melayani pembeli lalu mengambil ponselnya. Pesanku sudah dibalas. [Tadi Pak Varo menanyakan apakah Mbak Nia selalu masuk kerja setiap siang dan baru pulang pada malam harinya lalu aku jawab jika Mbak Nia tidak pernah masuk
Diam-diam aku segera turun dari tangga lalu masuk ke dalam kamar mandi yang ada di belakang tangga. Dadaku berdegup kencang. Ternyata kehadiran Varo lebih menakutkan dari Mas Aksa. Dia seperti terobsesi padaku. Bukannya memperbaiki hubungan dengan Rosi, Varo justru memilih mengintai istri kakak iparnya sendiri. Tidak ada suara keributan yang terjadi. Semuanya berjalan seperti biasa. Lima belas menit sudah berlalu. Aku takut jika ada orang yang hendak menggunakan kamar mandi perempuan. Mungkin aku harus memeriksa kamera CCTV sekarang. Tanganku mengambil ponsel dari saku gamis. Belum sempat aku membuka HP, terdengar keributan. Varo berteriak marah yang di timpali dengan suara Rina dan Lia. Seketika suasana menjadi bising karena para pembeli tidak terima Varo sudah mengganggu ketenangan mereka. Aku bahkan tidak berani melihat apa yang terjadi di rekaman kamera CCTV. Bagaimana jika Varo menghancurkan image warung yang sudah terbangun selama ini? Mungkin menghadapinya adalah jalan terba
Aku terdiam sejenak. Jadi pria ini datang bukan karena permintaan Mas Aksa, tetapi karena ingin memenjarakan Varo. Danang dengan santai memakan sosis bakar pertamanya hingga habis. Ingatanku kembali ke masa beberapa tahun silam saat mengikuti Mas Aksa menghadiri reuni sekolah. Danang memang sosok yang baik di antara teman-teman Mas Aksa yang sibuk menggoda. Bahkan dulu dia berhasil masuk ke cabang perusahaan ternama di kota ini. Hanya sebatas itu ingatanku tentang Danang. Karena ia juga berpindah tempat untuk menyapa teman-temannya dari kelas lain. Kini pria itu sudah memandangku lalu berkata, “Kamu pasti kaget saya membahas tentang Varo.” Aku menggeleng. Bukan merasa kaget. Hanya merasa penasaran saja apa hubungan Danang dengan Varo. Tunggu dulu. Bukankah Danang bekerja di perusahaan keluarga Varo? Wajar jika mereka saling mengenal dan mungkin saling menjatuhkan. Namun tidak mungkin aku bertanya tentang kemungkinan terakhir. “Tidak. Aku ingat anda bekerja di perusahaan keluarga Va
Istri teman baik ya? Aku hanya bisa menyunggingkan senyum. Justru yang baik adalah Danang. Pekerjaannya mapan dan loyal pada teman-temannya jika ada yang meminjam uang. Karena itulah jika ada kebutuhan mendesak terkadang Mas Aksa juga meminjam uang pada Danang. Walaupun mereka tidak belum pernah bertemu lagi setelah reuni sekolah beberapa tahun lalu.Bagi Danang mungkin Mas Aksa adalah suami yang baik. Mereka hanya saling mengenal karakter masing-masing di bangku SMA. Ia tidak pernah tahu bagaimana sikap Mas Aksa pada istri dan anak sendiri. Selalu memihak pada keluarganya, tidak penah memberi nafkah yang layak, menuntut istri untuk membiayai kebutuhan keluarganya hingga berselingkuh untuk mendapat tambahan uang.Pria ini juga belum tahu jika rumah tanggaku dan Mas Aksa di ambang kehancuran. Kami sudah menjalani sidang pertama hari ini. Walaupun sempat ada tragedy yang terjadi. Dia tidak perlu tahu perpisahan kami dari mulutku. Biarlah Danang tahu dari Mas Aksa atau orang lain.“Terim
“Apa rencanamu Ran?” tanya Hanin penasaran.Rani justru menunjukkan gambar yang sudah ia buat di ponselnya. Rute rumah kami lewat pintu belakang. Ada banyak kelokan jalan yang harus dilalui di gank kecil. Dari rumah, kami harus berjalan satu kilometer lalu berbelok ke kiri. Terus jalan hingga ada pertigaan, jalan lurus melewati empat rumah sampai kami tiba di rumah kosong itu.Menurut papan yang terpasang di depan pagar, rumah dua lantai itu di jual oleh pemiliknya. Rumah yang sudah kusam dengan pelataran penuh daun membuatku yakin jika rumah itu sudah lama kosong. Belum ada yang membelinya sejak dijual. Jika melewati rumah itu pada malam hari suasananya akan terasa sangat aneh.“Kita akan membuat Varo yakin kalau Mbak Nia tinggal di rumah ini,” jawab Rani.“Caranya?” Keningku berkerut tidak mengerti.Tidak mungkin kami masuk ke dalam pagar karena rumah itu milik orang lain. Atau hanya berpura-pura berdiri di depan gerbang. Bisa jadi Varo justru akan semakin curiga. Apalagi aku yakin
Sesuai dengan rencana Rani, aku pergi dengan menaiki motor ke rumahnya lebih dulu. Tidak ada orang yang tahu termasuk Varo bahwa rumah ini sebenarnya milik pengawalku. Mungkin para warga yang sudah lama tinggal disini hanya mengingat jika rumah ini milik Bapaknya Rani yang kemudian diwariskan pada anaknya. Saat kami sampai disana sudah ada seorang perempuan yang tengah menyapu halaman rumah. Wajahnya sangat mirip dengan Tia. Bedanya wanita itu memiliki badan yang lebih berisi dan sedikit lebih tinggi dari Tia. Hijab instan berwarna hitam yang menutup rambut membuat wajahnya terlihat lebih bersahaja.“Assalamualaikum Mbak Nana,” sapa Tia lalu menyalimi tangan wanita itu. Aku mengikuti di belakang Rani dan ikut menyalami wanita yang di panggil Nana. Jika di lihat dari wajah sepertinya kami seumuran.“Waalaikumsalam Ran. Lama nggak bertemu. Apa dia bosmu?” tanya Nana ramah saat menjabat tanganku yang terasa cukup kasar. Bisa di pastikan jika dia adalah orang yang bekerja keras.“Iya Mbak