Dua hari sudah berlalu sejak aku dan anak-anak keluar dari rumah Mas Aksa. Dia terus datang ke warung menanyakan keberadaanku pada Tika dan pegawai yang lain. Kubiarkan saja dia menunggu disana. Karena aku mengajak anak-anak pergi ke Semarang untuk menyewa bodyguard. Aku ingin memeriksa latar belakangnya secara langsung.Awalnya Hanin tidak setuju karena aku dan anak-anak akan pergi dengan menaiki taksi online. Namun setelah mengatakan jika aku pergi bersama Bu Rindang ke kantor pengacaranya, Hanin baru setuju. Itupun karena ada berkas yang harus aku kumpulkan disana. Setelah dari kantor pengacara baru aku pergi ke tempat yang di beri tahu Hanin agar bisa menyewa bodyguard.,Akhirnya aku menyewa bodyguard perempuan bernama Rani. Perawakannya kecil dengan tubuh yang cukup mungil. Tidak akan ada orang yang menyangka jika Rani bekerja sebagai bodyguard karena ia memakai pakaian tertutup untuk menutupi sedikit otot yang terlihat di lengannya. Rambut ikalnya yang panjang di biarkan tergera
Setelah Mas Aksa pergi, Tika menyerahkan amplop itu padaku. Terdapat logo salah satu rumah sakit terkenal di kota ini. Aku melangkah menaiki tangga. Lebih baik di simpan di lantai dua agar bisa dibaca nanti malam. Setelah meletakan amplop itu di laci yang berada di lantai dua, aku turun ke bawah. Membantu Tika dan pegawai lain yang masih sibuk dengan pekerjaan.Jam lima sore Tika pamit pulang. Meninggalkanku bersama Lia dan Rina yang bekerja shift malam. Kesibukan di warung membuatku baru bisa memegang ponsel setelah menunaikan salat maghrib di lantai dua. Tidak lupa aku juga menghubungi anak-anak yang berada di rumah bersama Rani dan Hanin. Saling bercerita satu sama lain. Aku merasa tenang karena meninggalkan mereka di rumah bersama Rani. Karena Hanin masih sibuk dengan pekerjaannya di dalam kamar. Keputusan untuk mengambil bodyguard memang sangat tepat. Warung ini bukan lagi tempat yang aman untuk anak-anak. Sehingga aku terpaksa meninggalkan mereka di rumah baru kami dengan penjag
Entah jam berapa aku tidur semalam. Mungkin lewat jam satu malam karena aku baru bisa tidur setelah menunaikan salat tahajjud. Setelah bangkit dari tempat tidur, aku melihat cermin yang berada di sebrang. Terlihat mata yang merah dengan rambut yang berantakan. Kedatangan Varo benar-benar membuat pikiran menjadi kacau. Rasa takut yang menghantui membuat susah tidur. Adzan subuh terdengar bergema dari musala dan masjid yang ada di dekat rumah. Segera membangunkan Mawar dan Melati lalu keluar dari kamar. Rupanya Hanin dan Rani juga sudah bangun. Kami memutuskan untuk salat subuh berjamaah di ruang tengah. Setelah selesai salah subuh, kami membagi tugas seperti biasa. Rani menawarkan diri untuk menyapu halaman, aku memasak untuk sarapan serta bekal anak-anak dan Hanin menyapu rumah serta mencuci piring. Saat sedang membuat sarapan, aku menceritakan tentang kejadian semalam pada Hanin. Dia nampak terkejut hingga hampir menjatuhkan panci yang sedang di cucinya. "Ternyata firasat burukku
Tega dia bilang? Sepertinya Mas Aksa sama sekali belum sadar jika perbuatannya selama ini sungguh menyakitkan hati. Dia bertindak seolah-olah menjadi korban dan akulah penjahat. Seperti yang sudah kami duga, Mas Aksa tidak akan terima di gugat cerai. Karena dia akan kehilangan tambang uangnya yaitu aku. Di balik kata penyemangat dan senyum para tetangga, aku tahu jika banyak di antara mereka yang menyebut wanita bodoh dan lemah. Mau saja di peralat keluarga suami untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di jadikan tulang punggung selama bertahun-tahun dengan nafkah yang minim. Menerima kata-kata kasar Mas Aksa dan masih banyak lagi. Mereka tidak tahu aku memilih bertahan karena janjiku pada mendiang Ibu. Sejak kecil Ibu sudah mendidik kami untuk selalu memegang teguh janji yang terucap. Menjadi orang jujur dan mau menolong orang lain. Hal itu jugalah yang membuatku bertahan selama enam tahun pernikahan. Akhirnya aku bisa melanggar janji Ibu setelah Mas Aksa menampar pipi ini. Kekerasan fisik
Selain membuka akun sosial media Rosi, aku juga membuka sosial media Syntia, Ibu dan yang terakhir Mas Aksa. Tidak ada postingan apapun selama beberapa hari terakhir. Padahal dulu Ibu dan Syntia aktif bermain sosial media. Justru aku membaca beberapa komentar dari akun tetangga kami di postingan terakhir Ibu. Dua di antaranya adalah Ibu-ibu yang bergosip di hari pernikahan Rosi.Mereka julid karena Rosi sering mengunggah status yang menyindir sang suami padahal usia pernikahan mereka belum ada satu bulan. Syntia dan Mas Aksa memilih diam. Tidak menanggapi sindiran atau ujaran kebencian dari para tetangga di sosial media. Namun tidak dengan Ibu. Dia menanggapi bahwa postingan Rosi sama sekali tidak terkait dengan masalah rumah tangganya. Saat ada yang membahas tidak pernah melihatku dan Varo pulang ke rumah lagi, Ibu membalas bahwa kami ada urusan pekerjaan yang tidak bisa di tinggalkan.Rupanya para tetangga sudah sadar jika aku pergi dari rumah. Teringat dengan kejadian beberapa hari
Aku sungguh tidak enak pada Bu Rindang karena sikap Mas Aksa yang memalukan. Tidak mungkin aku meminta beliau untuk tetap memajukan mobil dengan dalih mengancam Mas Aksa. Hampir saja tangan ini membuka pintu jika Rani tidak menahanku. Dia menggeleng lalu turun dari mobil. “Siapa kamu? Aku tidak ada urusan denganmu,” bentak Mas Aksa dengan tangan mendorong Rani. Namun dia justru jatuh tersungkur saat Rani lebih dulu menjegal kakinya. “Kamu tidak perlu tahu siapa aku,” kata Rani sambil menotok beberapa bagian di tubuh Mas Aksa. Setelah melakukan hal itu, ia masuk ke mobil. “Kita bisa pergi sekarang Bu.” “Baik. Terima kasih Mbak Rani.” Mobil sudah melaju melewati Mas Aksa yang di kerumuni Ibu, Rosi dan Syntia. Tubuhnya seperti terbujur kaku seolah tidak berdaya. Melihat keherananku, Rani dengan baik hati menjelaskan jika ia menotok beberapa bagian vital di tubuh Mas Aksa agar dia tidak bisa bergerak. Sehingga kita bisa pergi dari sana dengan leluasa. “Memang nggak masalah Ran?” tan
Aku segera berlari keluar dapur. Terdengar teriakan para pembeli dan pegawai yang melihat Mas Aksa mengejar dengan memegang pisau. Dia tidak boleh melukai siapapun di dalam warung. Kakiku terus berlari keluar hingga tiba di tepi jalan raya. Seolah sudah gelap mata, Mas Aksa sama sekali tidak berhenti. Dia berhasil menangkan tanganku dan hendak menusukan pisau itu saat terdengar teriakan Rani yang nyaring. Hampir saja Mas Aksa berhasil menusukku jika Rani tidak datang tepat waktu. Pisau sudah melayang di udara. Rani dengan cekatan menangkap pisau itu lalu memberikannya pada Tika yang ikut keluar dari warung. Tika berlari sambil membawa pisau itu ke masuk. Sementara itu, Rani sudah berhasil melumpuhkan Mas Aksa dengan cara menotok bagian vitalnya agar tidak bisa bergerak. “Lepaskan aku. Kita akan pergi bersama Nia. Kalau kamu tidak mau rujuk maka kita bisa berpisah dengan cara lain. Kamu tidak boleh bahagia di saat aku menderita,” teriak Mas Aksa memberontak. Padahal tubuhnya sudah ka
Pagi berjalan seperti biasa. Salat subuh, membuat sarapan, mandi lalu istirahat di dalam kamar. Tugas rumah sudah di bagi dengan Rani dan Hanin. Anak-anak juga sudah di antar oleh pengawal mereka. Sebelum mengantar anak-anak ke sekolah, Rani sempat menemuiku.“Kata Tia dia bisa interview kapan saja Mbak. Karena ada kakaknya yang akan menginap untuk menjaga ibu mereka.” “Syukurlah. Tolong beri tahu saudaramu jika kita bisa interview jam empat sore. Agar dia bisa praktik secara langsung bersama denganku malam ini. Aku ingin melihat kemampuannya dalam melayani pelanggan.” “Baik Mbak.” Anak-anak dan Rani pulang jam setengah sepuluh pagi. Kami menghabiskan waktu di ruang tengah untuk menonton TV bersama. Tidak lupa aku menanyakan kegiatan mereka selama di sekolah. Rani juga bercerita jika dia sudah akrab dengan wali murid yang lain. Walaupun harus mengarang alasan saat ada yang menanyakan kenapa bukan aku yang kini mengantar dan menunggu anak-anak di sekolah. “Awalnya aku mau mengarang