“Hmmm,” gumam Mas Aksa yang ternyata hanya mengigau. Aku menghela nafas lega. Segera meletakan H lalu memejamkan mata. Besok saja aku bicara pada Hanin.Keesokan harinya, aktivitasku berjalan seperti biasa. Hari ini aku juga sudah memberi tahu Tika jika tidak akan bisa ke warung. Membuatnya harus mengambil shift sampai malam. Anak-anak tetap ke sekolah seperti biasa. Aku mengantar mereka tepat pada waktunya. Begitu pulang ke rumah, sudah ada mobil Hanin yang terparkir di halaman.Aku segera turun lalu masuk ke dalam. Melihat Hanin yang menunggu di ruang tamu. Wajahnya terlihat senang saat melihatku masuk. Aneh sekali.“Kok kamu nunggu disini Nin? Biasanya juga nunggu aku di ruang tengah?” tanyaku heran.Aku hendak berjalan saat Hanin sudah mencekal tangan ini. Dia memaksa agar aku duduk di sampingnya. Ekspresi Hanin sangat kesal sekaligus malu. Terbukti dari wajahnya yang berubah jadi merah.“Kenapa sih Nin?” tanyaku heran. Bukannya menjawab pertanyaanku, kepala Hanin justru mendekat
Beruntung kemarin Hanin memintaku untuk memindahkan brankas ke rumah ini. Jadi, Mas Aksa dan keluarganya tidak akan menemukan sertifikat ruko atau barang berharga yang lain. Hanya ada tempat tidur, lemari kecil, TV dan rak piring berisi peralatan makan di lantai dua. Biarkan saja mereka menunggu lama disana. Karena ada banyak hal yang harus aku lakukan dengan Hanin hari ini. Kemungkinan aku tidak bisa datang ke warung. Namun, jika masih ada waktu aku bisa mampir sebentar pada malam hari. “Siapa yang telpon Mbak?” tanya Hanin setelah aku meletakan hp di atas meja. “Tika. Dia bilang Mas Aksa dan Ibu datang ke warung. Mereka memaksa masuk ke lantai dua untuk menungguku disana. Mungkin untuk menemukan barang-barang berharga.. Aku katakan pada Tika untuk membiarkan mereka menunggu di lantai dua.” “Bagus sih, tetapi bagaimana kalau mereka bertanya pada pegawai yang lain tentang usaha warungmu Mbak. Aku takut jika ada pegawai yang bocor?” Aku menggeleng tenang. Kelima pegawaiku sekarang
Aku termenung di ruang tamu rumah ini sendirian. Tidak ada teman mengobrol karena Hanin juga istirahat di dalam kamarnya. Tidak ada suara TV yang akan mengisi suasana rumah. Hanya hening yang menemani. Dengan jarum jam yang terus bergerak membuat suara yang nyaman di telinga. Memikirkan nasibku ke depannya setelah menyandang status baru sebagai janda dengan dua anak kembar yang masih kecil.Di saat seorang wanita memilih untuk berpisah dari suami dengan membawa anak, maka wanita itu juga harus siap menyandang peran ganda sebagai Ayah dan Ibu. Itulah yang mendiang Ibu katakan padaku dan Hanin dulu. Beban untuk membesarkan anak seorang diri tanpa bantuan mantan suami, membuat seorang janda jadi bekerja keras untuk menghidup anak-anaknya. Banyak yang memilih untuk tidak menikah lagi karena takut jika suami barunya akan menyakiti anak-anak.Dulu Bapak menikah lagi dengan wanita lain saat usiaku baru menginjak sepuluh tahun dan usia Hanin baru menginjak delapan tahun. Aku yang masih kecil
Cklek“Apa yang kamu lakukan mas?” Teriakku kaget melihat kamar yang sudah seperti kapal pecah.Baju sudah berhamburan di atas tempat tidur. Bahkan di lantai. Make up yang seharusnya tertata rapi di atas meja rias sudah berantakan. Sementara suamiku, Mas Aksa masih sibuk mengobrak-abrik lemari. Seperti kesetanan saja.“Dimana kamu menyimpan uang tabunganmu itu Nia?” Mas Aksa justru balik bertanya padaku. Wajahnya terlihat sangat khawatir. Seolah dia sedang mencari hartanya yang sudah di curi. Padahal tabungan yang ia maksud berasal dari pendapatanku mengelola warung.“Kenapa kamu pakai menanyakan uang tabungan yang kusimpan di lemari? Tidak seperti biasanya saja,” jawabku kesal karena harus merapikan baju yang di keluarkan olehnya. Menumpuk semua baju itu di atas tempat tidur lebih dulu sebelum di lipat kembali.“Untuk dp jasa tukang rias pengantin dan gedung untuk acara pernikahan adikku.”“Apa?” Gerakan tanganku seketika terhenti. Kutatap manik matanya yang serius. Untuk yang ke sek
“Jangan Bu. Ada kamera CCTV di rumah ini,” ucap Mas Aksa yang membuat Ibu menghentikan gerakan tangannya. Tidak jadi menamparku membuatnya mendesah kesal.Aku membuka mata sembari menatap mereka datar. Rupanya Mas Aksa bisa membaca rencanaku. Aku memang sudah berulang kali mengatakan jika ia atau keluarganya main tangan maka aku tidak akan segan untuk melaporkan ke polisi. Belum lagi dengan fakta jika aku yang sudah menjadi tulang punggung keluarga maka akan membuat posisi Mas Aksa semakin berat di mata hukum. Karena ia tidak pernah memberikan nafkah yang layak untukku.Dengan santai kakiku melangkah menuju sofa lalu duduk disana. Di ikuti dengan Mas Aksa dan Ibu yang sudah duduk di hadapanku. Rupanya mereka masih mau marah hanya karena aku menggunakan uang untuk kebutuhan pokok dalam menghidupi keluarga ini.“Apa kamu nggak punya tabungan lain Nia? Gimana sama penghasilan hari ini? Pasti cukup untuk bayar sebagian dp yang sudah kami janjikan pada MUA.” Ibu kembali mencecarku. Seharus
Tubuhku rasanya sudah sangat lemas. Tidak ada tenaga lagi yang tersisa. Kutekuk kedua kaki untuk tempat bersembunyi saat menangis. Ya Allah. Sudah dapat di pastikan jika Mas Aksa yang mengambil semua perhiasanku tadi. Saat dia mengacak-acak lemari karena mengira aku menyembunyikan uang tabungan di bawah baju. Dia melihat kotak perhiasan yang sudah aku beli sejak tahun lalu tanpa sepengetahuan Mas Aksa dan Ibu mertua. Teganya dia melakukan ini padaku. Perhiasan emas yang ia serahkan sebagai mahar sudah aku jual sebagai tambahan modal untuk membuka warung. Seharusnya dia tahu jika semua perhiasan di dalam kotak itu adalah milikku karena bentuknya berbeda dengan perhiasan yang di berikan olehnya dulu.Nyatanya aku memang sudah teledor dalam hal ini. Dengan yakin menyimpan kotak perhiasan di bawah tumpukan baju. Merasa Mas Aksa atau ibu tidak akan pernah mengetahuinya karena Mas Aksa tidak pernah mau mengambil pakaian sendirinya. Padahal perhiasan yang aku simpan tergolong mahal. Jika di
Pandanganku sempat berkunang-kunang sejenak. Rasa pusing yang menyergap membuatku tidak merespon ucapan Mas Aksa yang sudah memapah tubuhku untuk duduk di sisi tempat tidur. Aku bisa melihat ia bicara memalui mulutnya yang bergerak. Tapi, tidak ada suara yang masuk ke gendang telinga. Aku tidak bisa mendengar Mas Aksa bicara.Anehnya aku sama sekali tidak merasa sedih dengan tamparan yang di berikan Mas Aksa. Justru aku merasa sangat senang. Teringat dengan janji pada Ibu yang tidak akan pernah menggugat cerai jika Mas Aksa tidak melakukan KDRT atau perselingkuhan. Kini dia sudah melakukan salah satu pantangan dalam janji kami. Membuatku bisa mengajukan gugatan cerai kapanpun aku mau.“Dania aku minta maaf. Aku benar-benar tidak sengaja sudah menamparmu. Dania apa kamu mendengarku?” tanya Mas Aksa panik karena sejak tadi aku sama sekali tidak merespon ucapannya. Walaupun pendengarkanku sudah kembali seperti semula. Aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Mas Aksa.Diam saja sepert
Kedua orang itu terus menggedor pintu rumah Ibu mertua. Hingga membuat para tetangga juga keluar dari rumah mereka. Aku kembali masuk ke dalam untuk mencari Mas Aksa. Tapi, tidak bisa menemukan keberadaannya di rumah ini. Mungkinkah dia sudah berada di rumah Ibunya sejak tadi? Kakiku kembali melangkah menuju pintu depan. Sudah ada Pak RT yang bertanya alasan kedua orang itu menggedor rumah mertuaku sepagi ini. Sampai mengganggu ketenangan warga sekitar.Dapat aku dengar salah satu pria itu sudah bicara jika Ibu punya hutang dua puluh juta pada rentenir. Dengan bunga yang sudah berlipat ganda karena jarang di bayar. Pak RT kemudian memanggil nama Ibu agar membuka pintu. Tidak lama kemudian wajah Mas Aksa sudah muncul dari rumah itu. Ternyata benar jika dia sudah lebih dulu datang ke rumah Ibunya. Mungkin masuk lewat pintu belakang karena kedatangan dua rentenir itu.Tanpa mempedulikan keributan yang terjadi, aku masuk ke dalam rumah. Membangunkan anak-anak untuk sholat subuh. Memandika