"Mas, aku hamil."
Kata yang akhirnya meluncur dari mulutku setelah sekian lama berpikir akan memberitahu tentang kabar bahagia ini kepada pria yang aku cintai atau tidak.
"Apa kamu bilang, Dara. Kamu hamil?" ucap Mas Tio dengan mata terbelalak. "Iya, Mas. Aku hamil buah cinta kita," jelasku sambil melangkah menuju tempat di mana pria yang bergelar kekasihku ini duduk. "Tapi bagaimana bisa, Dara? Bukankah mas sudah memintamu untuk KB? Mengapa kamu masih juga bisa hamil!"Rasanya bak di sambar petir ketika Mas Tio mengatakan hal itu. Bagaimana bisa dia bicara seperti itu kepadaku?"Mas Tio!" bentakku tidak terima disalahkan. "Jangan membentakku, Dara! Mas 'kan sudah bilang kepadamu agar tidak hamil dulu, tapi mengapa kamu masih saja hamil!"Aku yang tidak menyangka dengan reaksi Mas Tio, hanya bisa terduduk lemas. Karena bukan reaksi ini yang aku harapkan dari Mas Tio. Aku kira Mas Tio akan bahagia mendengar berita aku sedang mengandung buah cinta kami, tapi nyatanya tidak. Mas Tio malah menyalahkanku, dan lebih buruknya lagi dia mengatakan bahwa dia tidak menginginkan anak kami dan memintaku untuk menggugurkannya. "Apapun yang terjadi aku tidak akan menggugurkan bayi ini, Mas. Mau mas suka atau tidak, aku akan tetap mempertahankannya," ucapku sambil terisak dan menahan sesak di dada. "Dengar, Dara. Bukannya mas tidak menginginkan anak kita, tapi kamu tahu sendiri 'kan mas ini siapa? Mas tidak mungkin bisa menikahimu, Sayang. Apa kata istri mas nanti!""Kenapa kita tidak bisa menikah, Mas? Bukankah mas bilang mencintaku dan tidak mencintai istri mas lagi dan rumah tangga mas juga sudah hancur?"Mas Tio yang awalnya terlihat marah dan menjauh dariku, kini menghampiriku dan memegang tanganku. "Dengar, Sayang. Ini tidak semudah yang kamu pikirkan. Memang benar mas sudah tidak mencintai Ratih lagi, tapi mas tidak bisa menceraikannya.""Mas!" bentakku, "Aku tidak meminta mas untuk menceraikan istri mas, tapi aku meminta mas untuk menikahiku!" tegasku sambil menarik tanganku dari genggaman Mas Tio. "Itu sama saja, Sayang. Bukankah untuk menikahimu mas harus meminta persetujuan istri pertama mas dulu.""Sekarang terserah, Mas. Kalau mas masih menginginkan aku, maka nikahi aku. Kalau tidak, lebih baik kita berpisah saja!" tekanku, kemudian melangkah pergi masuk ke dalam kamar dan menguncinya. "Dara, dengarkan mas dulu!" teriak Mas Tio dari balik pintu. Aku yang masih marah dengan mas Tio karena dia tidak mau menikahiku hanya membiarkan pria itu berteriak. Karena bila aku terus meladeni pria itu, maka dia pasti tidak akan menikahiku. Aku tahu aku salah karena tidak seharusnya aku hamil seperti apa yang dikatakan Mas Tio, tapi aku juga tidak bisa menolak kehendak Tuhan. Lagi pula ini adalah buah cinta kami, dan aku tidak ingin mengugurkannya. Walaupun anak ini berasal dari hubungan yang salah antara aku dan Mas Tio, tapi aku tetap akan mempertahankannya. ***Satu minggu setelah aku memberitahu Mas Tio tentang kabar kehamilanku. Mas Tio tidak datang lagi ke rumah untuk mengunjungiku seperti biasanya. Tapi walaupun begitu dia masih mengirimiku pesan atau mencoba meneleponku, tapi aku tidak membalas atau mengangkatnya. "Andai saja reaksimu tidak begitu setelah aku hamil, Mas. Pasti aku akan sangat bahagia," ucapku sambil mengusap perutku dan memandangi ponselku. Hal itu aku lakukan karena aku masih marah pada Mas Tio karena tidak mau menikahiku. Biasanya bila dengan ngambek seperti sekarang ini, Mas Tio akan mati-matian merayuku agar aku tidak marah lagi kepadanya. Siang ini aku berencana akan menemui dokter kandungan untuk memeriksakan kandunganku. Walaupun aku harus pergi sendiri, hal itu tidak menjadi masalah untukku. Karena mempertahankan bayiku adalah keinginan terbesarku, walau ayah dari bayiku ini menolaknya. "Sabar ya, Sayang. Mau ayahmu mengakuimu atau tidak, ibu pasti akan selalu menjagamu dan selalu bersamamu," ucapku berbicara dengan si kecil yang ada di dalam perutku. Pagi ini setelah sarapan, aku berencana untuk ke taman terlebih dahulu untuk berolahraga dan menghirup udara segar. Tapi ketika aku sampai di taman dan baru saja keluar dari mobil, aku langsung mengurungkan niatku. Karena ternyata putri dari ayah bayiku ada di taman itu bersama dengan ibunya, atau lebih tepatnnya istri Mas Tio. "Andara? Kamu Andara 'kan?" tegur seorang pria."Maaf, kamu ini siapa?"Melihat pria yang berdiri di hadapanku, aku berusaha mengingat-ingat siapa dan di mana aku pernah bertemu dengan pria yang menegurku saat ini. Tapi sayangnya pikiranku buntu dan aku tidak ingat apapun tentang pria itu. "Aku Anton, Dara. Apa kamu masih ingat?""Anton?" jawabku sambil berusaha mengingat apakah aku pernah mengenal pria yang bernama Anton apa tidak. Tapi sekeras apapun aku mengingatnya, aku tidak mengingat memiliki teman dengan nama itu atau mungkin saja aku yang memang lupa, "Anton, siapa? Maaf, Anton. Aku tidak ingat sama sekali siapa kamu," imbuhku. "Tentu saja kamu tidak akan mengingatku, Dara. Karena kita sudah lama tidak bertemu. Tapi apa kamu ingat dengan nama Antonius Pale?"Antonius Pale? Sebuah nama yang sangat aku kenal. Tapi bagaimana pria di depanku ini tahu nama itu, apakah dia? "Antonius Pale? Iya, aku ingat. Dia teman SMP aku dulu, tapi bagaimana bisa kamu mengenalnya?" jawabku, dan pria yang ada di hadapanku ini mengangguk."Jadi sekarang kamu sudah ingat siapa aku, Dara?" tanya pria itu sambil tersenyum dan menatapku. Melihat dia tersenyum dan cara dia menatapku, aku awalnya risih. Tapi setelah aku perhatikan baik-baik, aku jadi ingat siapa yang biasa menatapku dengan tatapan seperti saat ini. "Jangan bilang kamu ...?" jawabku sambil menatap pria di hadapanku itu dari atas ke bawah dan dia mengangguk, "Ini tidak mungkin, bukannya dia—," lanjutku. "Dulu dia jelek, hitam dan dekil. Bahkan bisa di bilang tidak menarik. Bukan begitu yang ingin kamu katakan, Dara? Sedangkan pria yang berdiri di hadapanmu saat ini sangat tampan. Berbeda sekali dengan temammu itu," sela Anton. Setelah mengatakan hal itu tawa Anton langsung pecah dan itu membuatku binggung sekaligus kesal. Tapi tak berapa lama seorang wanita menghampiri kami berdua, dan membuat pandangan kami teralihkan. "Siapa dia, Sayang. Apa kamu mengenalnya?" tanya wanita yang baru saja datang. "Dia sahabatku Dara, Mila." jelas Anton kepada wanita yang ada di sampingnya, "Dara, perkenalkan ini Mila, pacarku."Wanita yang berstatus pacar Anton itu bukannya menjabat tanganku ketika aku mengulurkan tanganku ketika memperkenalkan diri, tapi dia malah membuang muka dan menatapku tidak suka. Sehingga aku langsung menarik tanganku lagi dan tersenyum pada Anton. Aku tahu dia lebih cantik dan terlihat lebih berkelas dari aku tapi sikapnya yang sombong membuatku muak. Andai saja aku tidak sedang mengandung, pasti aku akan memberi pelajaran pada wanita seperti itu. Walaupun derajatnya lebih tinggi dari aku. "Mila," panggil Anton sambil menyenggol pinggang pacarnya itu dan menatapnya tajam. "Sudah, Anton. Tidak apa-apa."Wanita yang bernama Mila itu yang awalnya membuang muka, langsung menoleh ke arahku begitu aku mengatakan hal itu, tapi tak lama dia kemudian pergi tanpa berkata apa-apa lagi. "Maafkan Mila, Dara. Dia memang seperti itu bila belum mengenal teman-temanku. Tapi kalau sudah mengenal kamu lebih jauh dia pasti tidak akan bersikap seperti itu lagi," jelas Anton. "Tidak apa-apa, Anton. Aku tidak marah kok, aku mengerti.""Anton, ayo kita pergi! Ana sudah menunggu kita," teriak Mila. Mendengar teriakan Mila, aku dan Anton lalu menoleh ke arah wanita itu dan dia dengan sombongnya lalu membuang muka setelah menatapku. "Kalau begitu aku akan pergi dulu, Dara." Pamit Anton, "Oh iya, Dara. Boleh aku meminta nomor teleponmu? Kalau aku ada waktu nanti, aku ingin bertemu denganmu lagi dan mengajakmu bertemu dengan teman-teman sekolah kita dulu," imbuh Anton sambil menyodorkan ponselnya. "Tentu saja, Anton." Jawabku kemudian mengambil ponsel Anton dan memberikan nomor ponselku. Setelah Anton pergi aku kemudian masuk ke dalam mobilku untuk menuju ke rumah sakit di mana aku sudah membuat janji akan memeriksakan kandunganku, tapi baru saja aku akan meninggalkan taman, tiba-tiba mataku menangkap pemandangan yang tidak aku harapkan. "Bukankah itu Anton dan Mila? Terus mereka? Bukankah itu?"Aku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku lihat akhirnya menghentikan mobilku dan menatap ke arah empat orang yang sedang berdiri yang menjadi pusat perhatianku. Ternyata benar apa yang aku lihat, Anton dan Mila bersama dengan putri Mas Tio dan juga ibunya. "Apakah yang di maksud Ana oleh Mila tadi adalah putri Mas Tio?"Aku yang masih menatap ke arah kempat orang itu terus saja mengawasinya, dan tak lama seseorang yang sangat aku kenal muncul.Mas Tio, dia orang yang muncul. Itu artinya apa yang dikatakan melalu pesan yang dia kirimkan kepadaku itu bohong. Tinnn!!! Karena kesal dan sangat marah ketika aku tahu aku telah dibohongi oleh Mas Tio, tanpa sadar aku memukul klakson mobilku. Sehingga semua orang yang ada di taman menatap ke arah mobilku, termasuk Mas Tio dan empat orang yang bersamanya. "Awas saja kamu, Mas. Kali ini kamu akan kehilanganku!" geramku, kemudian pergi. Aku tidak tahu, apakah Mas Tio mengenali mobil yang aku kemudikan atau tidak tapi yang pasti mulai dari hari ini aku akan kelur dari rumahyang dia berikan dan pergi jauh dari hidupnya. Sampai di rumah sakit di mana aku akan memeriksa kandunganku, suasana masih sepi. Hanya beberapa petugas saja yang baru datang dan beberapa pasien yang akan periksa. Jadi aku memutuskan untuk menunggu dan mengubah jadwal periksaku. "Ibu Andar
"Mas Tio, ini 'kan."Melihat darah yang mengalir di kakiku, aku dan Mas Tio langsung panik.Sehingga Mas Tio kemudian membopongku masuk ke dalam mobil dan membawaku ke rumah sakit. Aku yang takut melihat darah akhirnya merasa lemas dan tak lama pandanganku pun kabur lalu semua terlihat gelap. ***"Dara, apa kamu mendengar mas? Dara," panggil Mas Tio terdengar samar-samar. Aku yang masih merasa pusing, akhirnya membuka mataku yang masih terasa berat, dan aku lihat Mas Tio berada di sampingku sambil menggenggam tanganku. "Ma –Mas Tio, aku di mana?" tanyaku pada pria yang saat ini terlihat sedih. "Kita di rumah sakit, Sayang. Kamu perdarahan," jelas Mas Tio. Mendengar kata pendarahan pikiranku langsung mengarah pada bayiku, dan aku langsung menatap dan mengusap perutku. "Terus bayi kita bagaimana, Mas?"Mas Tio bukannya langsung menjawab pertanyaanku tapi bungkam dan itu membuatku takut. "Mas, bayiku bagaimana? Apa bayiku baik-baik saja?" bentakku khawatir, "Mas, jawab aku!" teri
"Mas Tio," ucapku lirih sambil menatap pria yang sedang berjalan dengan seorang wanita yang sepertinya putrinya. Mas Tio dan wanita itu, terlihat seperti terburu-buru masuk ke dalam rumah sakit, dan aku tidak tahu apa yang sedang terjadi kepadanya. Tapi dari raut wajah Mas Tio, terlihat sekali dia terlihat panik dan khawatir. "Andara, kamu kenapa?" tegur Anton mengejutkanku."A –aku tidak apa-apa, Dokter Anton. Aku tadi hanya melihat seseorang yang sepertinya aku kenal," jawabku masih menatap ke arah Mas Tio berada tadi, tapi kemudian aku menoleh ke arah pria yang sudah menegurku. Anton yang berada di sampingku terlihat kesal ketika aku menatapnya, dan dia kemudian mendekatkan kepalanya lebih dekat ke arahku. "Panggil aku Anton saja, Andara. Apa kamu lupa," protes Anton dengan suara sedikit berbisik. "Iya Dok ... Anton maksudku. Baiklah kalau begitu aku pergi dulu. Karena masih ada yang harus aku kerjakan," pamitku, dan aku pun langsung masuk ke dalam mobil tanpa menunggu jawaban
"Mas Tio!" teriakku.Aku langsung membuka mataku dengan napas terengah-engah dan menatap sekitar."Bu Andara, ibu kenapa?" tanya Mbak Ayu yang tiba-tiba muncul sambil berlari kecil."Mbak Ayu," panggilku sambil menatap wanita yang sudah berdiri di depanku dengan wajah terlihat khawatir."Bu Andara, ada apa? Apa terjadi sesuatu pada ibu?" tanya Mbak Ayu sambil memperhatikanku dari atas hingga bawah.Aku yang masih bingung dan ketakutan akan kehilangan Mas Tio kemudian bertanya kepada Mbak Ayu tentang keberadaan pria yang sudah aku tunggu sejak tadi. Tapi jawaban dari wanita itu membuatku tidak bisa berkata apa-apa.Karena sejak aku pulang hingga detik ini, pria itu belum menunjukkan batang hidungnya sama sekali, dan semua yang aku alami tadi ternyata hanya mimpi.Mimpi buruk yang tampak nyata sekali dan itu membuatku takut. Takut mimpi itu terjadi, dan aku akan benar-benar kehilangan Mas Tio."Bu Andara, apa ibu baik-baik saja?" tanya Mbak Ayu membubarkan lamunanku.Aku yang masih hany
Aku yang masih duduk di samping Mbak Ayu kemudian memegang tangan Mbak Ayu untuk menguatkannya dan menunggu sampai wanita itu sampai siap untuk mengatakan isi hatinya."Bu Andara, sebenarnya saya sudah pernah menikah. Tapi hanya menikah siri dan menjadi istri kedua," ucap Mbak Ayu lirih sambil menunduk, "Kami memiliki seorang anak, tapi anak itu dibawa oleh suami saya. Sejak saat itu saya sudah tidak pernah bertemu atau melihat putra saya lagi," lanjutnya, dan tak lama tangis Mbak Ayu langsung pecah tidak bisa dia bendung lagi.Aku yang hanya bisa mendengarkan keluh kesah Mbak Ayu hanya bisa memeluknya. Karena apa yang Mbak Ayu alami hampir sama dengan kisahku. Hanya saja aku belum menikah siri dengan Mas Tio, dan kami juga baru kehilangan bayi kami.Tapi apa yang dirasakan oleh Mbak Ayu aku bisa merasakannya. Karena aku juga wanita dan aku tahu sekali rasanya disakiti oleh seorang pria, apalagi harus jauh anak kami.Cukup lama Mbak Ayu menangis dalam pelukanku dan aku akhirnya juga m
Melihat nama Anton yang sedang menghubungiku, aku tidak tahu harus mengangkat panggilan darinya atau tidak. Karena saat ini aku juga sedang ingin sendiri dan tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Tapi bagaimana bila panggilan ini penting?“Bu Andara,” tegur Mbak Kanaya membubarkan lamunanku.“I –iya, Mbak Kanaya. Ada apa?”“Itu, Bu Andara. Ponsel ibu berbunyi lagi,” jawab Mbak Kanaya sambil menunjuk telepon yang ada di tanganku.Aku hanya tersenyum menjawab apa yang dikatakan Mbak Kanaya, lalu pergi ke ujung ruangan spa ini untuk menjawab panggilan dari Anton.“Iya, Dokter Anton. Ada apa?” jawabku pada Anton di seberang telepon.Anton yang menghubungiku terdengar protes ketika aku memanggilnya dengan panggilan Dokter Anton, dan dia memintaku hanya memanggil namanya saja tanpa embel-embel dokter. Setelah itu dia menanyakan kabarku dan juga kandunganku. Tapi ketika aku akan mengakhiri percakapan kami, Anton malah ingin mengajakku untuk makan siang hari ini namun segera aku tolak.Aku ta
“Bu Maria,” ucap pelayan wanita yang tadi bersamaku sambil menunduk.Melihat Maria ada di tempat ini membuat selera makanku untuk makan di tempat ini tiba-tiba hilang. Wanita itu datang dengan senyum yang mengembang di dibibirnya. Tapi bukan senyum bahagia ataupun senyum menyambut pelanggan di sini. Melainkan senyum mengejek atau bisa di bilang menghina.“Layani pelanggan yang lain. Biar pelanggan yang satu ini saya sendiri yang melayaninya,” perintah Maria kepada pelayan wanita yang bersamaku tadi.Pelayan itu langsung pergi begitu Maria memerintahnya. Hal itu membuatku terkejut sekaligus binggung dengan yang terjadi saat ini. Karena aku tidak menyangka aku akan bertemu dengan wanita itu di sini. Tapi mengapa wanita itu ada di sini? Dan, mengapa pelayan tadi terlihat takut kepadanya? Apakah Sovia memperkerjakannya di sini?“Apa kamu perlu sesuatu?” tanya Maria mampu membubarkan lamunanku.“Aku ingin mencari Sovia, apa dia ada di sini?” jawabku dingin.“Maaf, Sovia siapa ya? Saya sepe
“Apa semua ini! Murahan!” geramku sambil membuang secarik kertas yang baru saja aku baca.Aku mendapatkan kertas itu dari kantong kertas yang Andreas bawa tadi, tapi bukan dari Mas Tio. Melainkan dari pengirim rahasia yang baru saja aku ketahui setelah aku membaca pesan yang baru saja aku buang tadi.Dalam kertas kecil tersebut berisi pesan manis untukku. Pesan manis dari Anton agar aku tidak lupa makan dan dia memberiku makanan dari salah satu restoran yang sangat aku kenal di kota ini. Tapi anehnya ketika aku membaca pesan itu, entah mengapa aku menjadi kesal.Derttt … derttt.Mendengar ponselku berbunyi, aku segera berlari ke dapur untuk mengambil ponselku. Ternyata bukan orang yang aku harapkan yang menghubungiku, melainkan pria yang membuatku kesal. Sehingga aku memilih membiarkannya hingga panggilan itu terputus sendiri.***Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore ketika aku bangun. Entah kapan aku mulai tertidur, t