“Apa semua ini! Murahan!” geramku sambil membuang secarik kertas yang baru saja aku baca.Aku mendapatkan kertas itu dari kantong kertas yang Andreas bawa tadi, tapi bukan dari Mas Tio. Melainkan dari pengirim rahasia yang baru saja aku ketahui setelah aku membaca pesan yang baru saja aku buang tadi.Dalam kertas kecil tersebut berisi pesan manis untukku. Pesan manis dari Anton agar aku tidak lupa makan dan dia memberiku makanan dari salah satu restoran yang sangat aku kenal di kota ini. Tapi anehnya ketika aku membaca pesan itu, entah mengapa aku menjadi kesal.Derttt … derttt.Mendengar ponselku berbunyi, aku segera berlari ke dapur untuk mengambil ponselku. Ternyata bukan orang yang aku harapkan yang menghubungiku, melainkan pria yang membuatku kesal. Sehingga aku memilih membiarkannya hingga panggilan itu terputus sendiri.***Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore ketika aku bangun. Entah kapan aku mulai tertidur, t
“Sovia?” ucapku tidak percaya sekaligus terkejut.“Iya, Bu Andara. Wanita yang sedang ibu lihat saat ini di depan warung itu adalah Bu Sovia,” tambah Dini yang kini sudah di sampingku.Tas yang aku pegang langsung jatuh begitu aku mendengar apa yang Dini katakan. Karena aku tidak menyangka akan melihat sahabatku yang biasanya cantik dan modis, kini berubah menjadi upik abu.Aku yang tidak tahan melihat sahabatku seperti itu langsung berlari ke arahnya dan memeluknya. Bahkan air mataku pun ikut turun tanpa aku pinta.“Andara,” ucap Sovia terdengar terkejut.“Iya, Sovia. Aku Andara,” jawabku masih dengan memeluknya.Kami berdua saling berpelukan dan menangis tanpa mempedulikan kerumunan orang yang ada di warung di mana kami berada saat ini. Kerinduan yang cukup lama kami pendam kami luapkan bersama dengan air mata kami.“Aku benar-benar merindukanmu Sovia,” bisikku.Aku
“Hanya saja apa, Sovia? Jangan membuatku penasaran!” cecarku sambil menarik lengan Sovia agar mau menatapku.“Aku dijebak, Dara. Aku dan orang tuaku dijebak!” teriak Sovia sambil menangis.Aku yang tidak tahu harus berbuat apa, hanya bisa memeluk sahabatku itu. Karena mendengarnya berteriak seperti itu membuat hatiku terasa perih.Dulu ketika susah, Sovia dan keluarganya yang selalu menolongku hingga aku bisa seperti saat ini. Sekarang giliranku untuk membantunya dan aku akan melakukan apa aja agar kehidupan sahabatku itu bisa kembali seperti semula.“Sekarang ceritakan kepadaku apa yang terjadi, Sovia. Dan, di mana orang tuamu sekarang? Karena sejak tadi aku tidak melihatnya di sini,” ujarku setelah Sovia melepas pelukan dan menghapus air matanya.“Aku tidak bisa menceritakannya sekarang, Dara. Bagaimana kalau setelah warungku tutup?” jawab Sovia.Ada rasa ragu di hatiku ketika sahabatku itu m
“Ada apa, Dara?” tanya Sovia mengejutkanku.“So –Sovia,” ucapku gugup karena tidak menyadari kehadiran sahabatku itu.“Apa yang kamu lihat, Dara?” tanya Sovia sambil melirik foto yang sedang aku pegang.Sovia yang sepertinya belum menyadari foto apa yang sedang aku pegang segera mengambilnya dari tanganku dan melihatnya.“Dari mana kamu menemukan foto ini, Dara?” tanya Sovia penuh selidik.“Aku … aku menemukannya dibawah lemari itu,” jawabku berbohong sambil menunjukkan satu-satunya lemari yang ada di ruangan ini.Aku tahu, tidak seharusnya aku berbohong. Tapi bila aku mengatakan aku mengambilnya dari bawah foto yang ada di atas lemari plastik itu, Sovia pasti akan marah kepadaku. Sahabatku itu pasti akan menuduhku bahwa aku sedang menyelidikinya, padahal aku tidak melakukannya dan aku juga tidak sengaja menemukan foto itu.“Jangan berbohong, Dara. Tidak mu
“A –apa maksud semua ini, Sovia?” tanyaku penuh selidik.“Bukankah kamu sudah membacanya, Dara? Jadi jangan berpura-pura tidak mengerti!”“Jangan bermian tebak-tebakan, Sovia! Ini tidak lucu, cepat jawab aku. Apa semua ini?” tekanku sedikit frustasi karena sahabatku itu tidak langsung menjawab pertanyaanku.Entah Sovia sedang menutupi sesuatu atau memang dia masih merasa sakit menjelaskan semua ini kepadaku. Tapi apa yang ada di hadapanku saat ini mengingatkanku akan masa lalu.“Kenapa tidak menjawabku, Sovia? Apa hubungannya ini semua denganmu dan Damian?” cecarku tidak sabar menunggu jawaban sahabatku itu.“Baiklah, aku akan menjawabnya. Tapi tenangkan dulu dirimu, Dara. Apa yang ada di hadapanmu itu tidak bisa membuatmu atau membuatku kembali ke masa lalu. Kita hanya bisa memperbaikinya untuk saat ini dan masa depan,” jelas Sovia sok bijak.“Ok. Sekarang jelaskan perl
“Siapa yang menghubungimu, Dara?” tanya Sovia mengejutkanku, “Mengapa kamu tidak mengangkatnya?’” lanjut Sovia yang kini sudah duduk di sampingku.Aku yang binggung harus mengangkatnya atau tidak, hanya membiarkan ponselku itu berdering sampai panggilan itu terputus.“Mengapa kamu tidak mengangkatnya, Dara? Apa itu dari Tio?” tanya Sovia sambil merapikan rambutnya yang berantakan.“Bukan,” jawabku masih sambil menatap ponselku yang kini berbunyi lagi dari orang yang sama.Sovia yang sepertinya tidak sabar, langsung meraih ponsel yang ada di tanganku dan mengangkat panggilan itu. Begitu mendengar suara yang menghubungiku, dia langsung memutuskan panggilan itu.“Siapa dia, Dara? Siapa Dokter Antonius itu? Apa dia pacar barumu?” cecar Sovia sambil menatapku penuh curiga.“Kamu tidak perlu tahu!” ketusku sambil mengambil ponselku kembali.Namun secepat kilat sah
“Tio?” ucap Sovia begitu melihat siapa yang sedang menghubungiku saat ini.Aku yang masih bimbang, hanya menatap sahabatku itu datar. Karena untuk mengangkat panggilan itu entah mengapa aku sangat malas sekali, tapi bila aku tidak mengangkatnya maka Mas Tio pasti akan marah. Apalagi bila pria yang aku cintai itu tahu aku tidak sedang di rumah saat ini, pasti dia akan sangat curiga dan berpikir macam-macam.“Jangan diam saja, Dara. Cepat angkat! Kalau tidak, dia pasti akan menuduhmu selingkuh atau yang lainnya. Kamu tahu sendiri ‘kan Tio itu cemburuan bila sudah menyangkut dirimu,” ujar Sovia sambil menyadarkanku.Apa yang sahabatku itu katakan memang ada benarnya, dan tanpa berpikir lagi aku kemudian menjauh dari Sovia dan segera mengangkat panggilan dari pria yang aku cintai itu.Mas Tio menghubungiku untuk menanyakan keadaanku dan apakah aku sudah menerima apa yang Andreas bawakan untukku, dan itu membuatku binggung harus m
“Ma –Mas Tio,” ucapku gugup ketika tahu orang yang mengawasiku ternyata adalah orang yang sedang menungguku saat ini, Mas Tio.Mas Tio menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan. Pria itu kemudian masuk kembali ketika Anton mendekatiku dan menegurku.“Siapa pria itu, Andara? Apa dia kakakmu?” tanya Anton sambil sesekali melirik pintu yang masih terbuka.“Hmmm, dia … abaikan saja. Ada apa ya dokter ke sini?” jawabku mengalihkan pembicaraan.“Bukankah sudah aku bilang, jangan bicara formal seperti itu kepadaku, Andara. Satu lagi, jangan memanggilku dokter karena kita bukan di rumah sakit,” protes Anton seperti biasanya.Aku sengaja berbicara formal seperti itu agar Mas Tio tidak mencurigaiku yang macam-macam ketika aku berbicara dengan Anton seperti saat ini. Tapi pria yang sedang bersamaku saat ini sepertinya tidak mengerti dengan apa yang aku lakukan, dan dia masih saja bersikap