“Siapa yang menghubungimu, Dara?” tanya Sovia mengejutkanku, “Mengapa kamu tidak mengangkatnya?’” lanjut Sovia yang kini sudah duduk di sampingku.
Aku yang binggung harus mengangkatnya atau tidak, hanya membiarkan ponselku itu berdering sampai panggilan itu terputus.
“Mengapa kamu tidak mengangkatnya, Dara? Apa itu dari Tio?” tanya Sovia sambil merapikan rambutnya yang berantakan.
“Bukan,” jawabku masih sambil menatap ponselku yang kini berbunyi lagi dari orang yang sama.
Sovia yang sepertinya tidak sabar, langsung meraih ponsel yang ada di tanganku dan mengangkat panggilan itu. Begitu mendengar suara yang menghubungiku, dia langsung memutuskan panggilan itu.
“Siapa dia, Dara? Siapa Dokter Antonius itu? Apa dia pacar barumu?” cecar Sovia sambil menatapku penuh curiga.
“Kamu tidak perlu tahu!” ketusku sambil mengambil ponselku kembali.
Namun secepat kilat sah
“Tio?” ucap Sovia begitu melihat siapa yang sedang menghubungiku saat ini.Aku yang masih bimbang, hanya menatap sahabatku itu datar. Karena untuk mengangkat panggilan itu entah mengapa aku sangat malas sekali, tapi bila aku tidak mengangkatnya maka Mas Tio pasti akan marah. Apalagi bila pria yang aku cintai itu tahu aku tidak sedang di rumah saat ini, pasti dia akan sangat curiga dan berpikir macam-macam.“Jangan diam saja, Dara. Cepat angkat! Kalau tidak, dia pasti akan menuduhmu selingkuh atau yang lainnya. Kamu tahu sendiri ‘kan Tio itu cemburuan bila sudah menyangkut dirimu,” ujar Sovia sambil menyadarkanku.Apa yang sahabatku itu katakan memang ada benarnya, dan tanpa berpikir lagi aku kemudian menjauh dari Sovia dan segera mengangkat panggilan dari pria yang aku cintai itu.Mas Tio menghubungiku untuk menanyakan keadaanku dan apakah aku sudah menerima apa yang Andreas bawakan untukku, dan itu membuatku binggung harus m
“Ma –Mas Tio,” ucapku gugup ketika tahu orang yang mengawasiku ternyata adalah orang yang sedang menungguku saat ini, Mas Tio.Mas Tio menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan. Pria itu kemudian masuk kembali ketika Anton mendekatiku dan menegurku.“Siapa pria itu, Andara? Apa dia kakakmu?” tanya Anton sambil sesekali melirik pintu yang masih terbuka.“Hmmm, dia … abaikan saja. Ada apa ya dokter ke sini?” jawabku mengalihkan pembicaraan.“Bukankah sudah aku bilang, jangan bicara formal seperti itu kepadaku, Andara. Satu lagi, jangan memanggilku dokter karena kita bukan di rumah sakit,” protes Anton seperti biasanya.Aku sengaja berbicara formal seperti itu agar Mas Tio tidak mencurigaiku yang macam-macam ketika aku berbicara dengan Anton seperti saat ini. Tapi pria yang sedang bersamaku saat ini sepertinya tidak mengerti dengan apa yang aku lakukan, dan dia masih saja bersikap
“Apa kamu dengar, Dara. Mas cemburu bukan tanpa alasan. Mas tahu siapa pria itu dan untuk apa dia kemari,” ucap Mas Tio mengulangi kalimatnya.Deg!“Apa maksud, Mas?” tanyaku datar tanpa menoleh ke arah pria yang sudah mengejutkanku itu.“Pria yang menemuimu tadi, bukankah dia teman sekolahmu? Dan, dia menemuimu bukan untuk menyapamu tapi sengaja menemuimu,” jawab Mas Tio membuatku berbalik menatapnya.Rasanya tidak percaya pria yang sedang berbicara denganku saat ini tahu tentang Anton. Apakah yang Sovia katakan waktu itu … benar?Cukup lama aku menatap Mas Tio tanpa mengatakan apapun. Bukannya aku tidak bisa mengelak atau membenarkan apa yang dia katakan. Namun setelah memikirkan baik-baik, aku memilih untuk tidak membahasnya, dan kembali ke kamarku tanpa mengatakan apapun kepada Mas Tio. Namun pria itu sepertinya tidak menerima apa yang aku lakukan, dan mengikutiku.“Mengapa kamu tidak menjawab apa yang mas tanyakan, Dara?” ucap Mas Tio ketika aku akan membuka pintu kamar, dan itu
“Iya, istri Pak Tio.” Jelasku ragu.“Bukankah Bu Andara adalah istri Pak Tio?” jawab Andreas dengan wajah yang terlihat binggung.Mendengar penjelasan Andreas aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Menjelaskannya juga bukan sesuatu yang benar, tapi melihatnya bersikap seperti itu juga sangat aneh.Karena tidak mungkin pria itu tidak tahu tentang istri Mas Tio yang sebenarnya. Mungkinkah Andreas?Berbagai dugaan mulai memenuhi isi kepalaku, dan aku tidak tahu harus bertanya kepada siapa tentang apa yang aku pikirkan saat ini. Jadi menghentikan pertanyaanku dan segera meminta Andreas pergi adalah pilihan terbaik saat ini.“Andreas, lupakan pertanyaan saya tadi. Dan satu lagi, anggap saja apa yang saya tanyakan tadi tidak pernah saya katakan,” pesanku.Andreas mengganguk menjawabku dengan wajah yang tak bisa aku artikan. Setelah itu dia pamit lagi dan pergi.Setelah memastikan Andreas pergi dari jendel
“Pak Anton, Bu Andara.” Jawab Mbak Ayu mengulangi perkataannya.Mendengar Anton ada di sini membuatku gelisah. Karena aku tidak menyangka pria itu akan datang lagi ke rumahku.“Bu Andara!” tegur Mbak Ayu membubarkan lamunanku.“Iya, Mbak Ayu. Ada apa?” jawabku gugup seperti orang bodoh.“Pria yang baru datang tadi …,” jawab Mbak Ayu menjeda kalimatnya dengan wajah binggung sambil menunjuk ke arah pintu.“Bilang kepadanya saya tidak di rumah, dan kalau dia tanya kapan saya kembali bilang saja tidak tahu,” tegasku.Wanita yang berdiri menunggu perintahku itu pun mengangguk dan segera pergi memberitahu pria yang sedang menunggu di depan pintu rumahku. Namun tak selang berapa lama, terdengar suara berisik yang membuatku beranjak dari tempat dudukku dan mengintip dari balik tembok yang terjadi.Ternyata Anton tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Mbak Ayu. Dia
Aku yang penasaran dengan jawaban Sovia membuka telingaku lebar-lebar agar tidak melewatkan sesuatu ketika sahabatku itu berbicara. Karena bila benar Mas Tio ikut andil dalam pengambil restoran milik Sovia, maka aku tidak akan memaafkannya.“Cepat katakan kepadaku, Sovia! Jangan membuatku penasaran,” seruku tidak sabar.“Sebenarnya aku ingin meminta bantuanmu untuk mencari informasi dari Tio tentang Clara dan Maria,” jawab Sovia dengan raut wajah yang terlihat serius.“Informasi? Informasi apa, Sovia?”Sahabatku itu kemudian menjelaskan kepadaku bahwa dia membutuhkan informasi itu karena Dini memberitahunya bahwa saat ini Clara dan Maria sedang terlibat masalah dan mereka berdua sempat bertengkar hebat di restoran. Sayangnya, Dini tidak mendapatkan informasi tentang masalah itu, dia hanya mendengar ketika mereka sedang bertengkar, Maria menyebut nama Tio.Ketika Sovia mengatakan Maria menyebut nama Mas Tio, entah mengapa pikiranku mengembara tak tentu arah. Bahkan aku juga sempat berp
“Apa kamu ada janji dengan orang lain, Dara?” tanya Sovia mengalihkan perhatianku, dan aku menggeleng.“Siapa nama pria itu, Dita?” tanyaku penasaran dengan sosok pria yang sedang berbohong itu.“Andreas, Bu Andara.”Mataku langsung melebar begitu mendengar nama pria disebutkan Dita. Karena aku tidak menyangka Andreas ada di tempat ini, dan mengetahui bila aku berada di sini. Apakah tadi pria itu mengikutiku sejak aku keluar dari rumah? Ataukah?“Andara, siapa Andreas? Apa dia—,” tegur Sovia menyadarkanku.“Dita, katakan kepadanya saya sedang sibuk hari ini dan tidak bisa diganggu, dan bila dia ingin menemui saya. Minta dia untuk menemui saya di rumah saja, tidak di tempat kerja saya!” selaku penuh penekanan.Orang kepercayaanku itupun mengangguk mengerti setelah mendengar perintah yang aku berikan, dan dia lalu keluar dari ruanganku.“Mengapa kamu menyelaku, Dara? Bukankah itu tidak sopan?” protes Sovia begitu tinggal kami berdua di ruangan ini.“Sopan bila orang yang aku sela itu ka
“Ma –Mas Tio?” ucapku terkejut ketika melihat pria aneh yang baru masuk bersama dengan Andreas membuka kacamata dan juga topi yang dia pakai. Bahkan kumis yang tadinya melekat juga dia lepas.“Apa aku harus menunggu selama itu untuk menemuimu, Dara?” ujar Mas Tio terdengar marah.Aku yang masih terkejut dengan kedatangan pria yang aku cintai itu hanya berdiri mematung. Karena aku tidak pernah melihat Mas Tio melakukan hal itu sebelumnya, dan kali ini?“Bu Andara,” tegur Andreas menyadarkanku.Setelah menegurku, Andreas keluar dan meninggalkan aku bersama dengan Mas Tio yang kini sudah duduk di kursi santai yang ada di ruanganku. Terlihat sekali dari raut wajahnya dia terlihat kesal, hingga aku merasa takut untuk mendekatinya.“Apa akmu akan tetap berdiri di sana?” ketus Mas Tio.Akhirnya dengan langkah berat aku menuju di mana Mas Tio berada, dan kami duduk seperti dua orang yang sedang bertengkar.“Mangapa Sovia ada di sini? Apa kamu menemuinya tanpa meminta izin terlebih dahulu kepa
“Maaf,” ucapku sambil mengingat-ingat apakah aku pernah bertemu dengan wanita yang menegurku saat ini.“Apa kamu lupa dengan tante, Sayang?” sapa wanita anggun yang sepertinya seumuran dengan ibuku.“Maaf, apa anda mengenal saya?” tanyaku sopan sambil masih mencoba mengingat-ingat.“Kamu Andara ‘kan?” tanya wanita itu.“Iya, Tante. Saya Andara,” jawabku.Wanita yang masih berdiri itu lalu duduk di kursi yang berada di sebelahku sambil tersenyum. Dia lalu memegang tanganku dan memperkenalkan dirinya, dan itu membuatku membeku.“Ta –tante Ana?”“Iya, Sayang. Sekarang kamu sudah ingat ‘kan?”“Mama,” sela Anton ketika aku baru saja akan menjawab pertanyaan dari Tante Ana, “Sejak kapan mama ada di sini?” lanjut Anton sambil duduk.“Apa mama tidak boleh menemui calon menantu mama?” jawab Tan
“Oh, jadi ini yang kamu namakan kerja, Andara? Baru saja mas keluar sebentar, tapi kamu sudah bermesraan dengan pria lain di tempat ini,” tuduh Mas Tio yang terlihat marah.“Mas!” bentakku tidak terima.Aku yang tadinya duduk langsung berdiri ketika mendengar Mas Tio menuduhku untuk kesekian kalinya. Tuduhan yang tidak mendasar dan selalu saja menyalahkan aku tanpa mau mendengrkan penjelasanku.“Maaf, Bu Andara. Saya tadi sudah memberitahu Pak Tio kalau anda sedang ada tamu. Tapi Pak Tio terus saja memaksa untuk masuk,” jelas Dita.“Tutup pintunya, Dita.” Perintahku, dan Dita pun melakukan apa yang aku perintahkan. Sekarang tinggal kami bertiga di ruangan ini, “Sekarang jelaskan kepadaku apa mau mas? Dia tamuku, dan kami tidak melakukan apa yang mas tuduhkan itu!” lanjutku geram.“Andara,” ucap Anton.Aku yang sudah naik pitam tidak mengalihkan pandanganku dari pria yang
“Bisa kamu ulangi siapa nama pria tadi, Laura?” aku sengaja bertanya seperti itu untuk memastikan bahwa apa baru saja aku dengar tidak salah.“Tuan Anton, Bu Andara.” Jawab Laura mengulangi apa yang dia katakan.Mendengar nama Anton disebut, aku dan Dita saling menatap untuk beberapa saat. Aku lalu memerintahkan Laura untuk memberitahu pria itu agar menunggu sampai urusanku dengan Dita selesai.“Maaf, Bu Andara. Siapa pria itu? Apa anda mengenalnya? Karena menurut jadwal hari ini, anda tidak memiliki janji dengan klien manapun” tanya Dita terlihat penasaran seperti biasanya.“Dia bukan klien kita,” jawabku malas.“Kalau dia bukan klien kita. Siapa pria itu, Bu Andara? Apa dia teman anda?”“Hmmm.”Dita yang duduk di sampingku segera berdiri begitu aku mengatakan kalau Anton adalah temanku. Wanita itu lalu memberitahuku agar aku segera menemuinya. Menurutnya sangat
“Mas Tio?” ucapku begitu melihat siapa yang baru saja memanggil namaku.Mas Tio keluar dari mobilnya begitu aku menyebut namanya. Pria itu lalu berjalan mendekatiku. Tapi Anton lebih dulu menarikku dan memintaku untuk masuk ke dalam mobilnya kembali.“Lepaskan Andara!” teriak Mas Tio sambil melempar tinju ke arah Anton.“Mas Tio!” teriakku reflek karena terkejut.Aku tidak menyangkan Mas Tio akan melakukan tindakan kasar seperti saat ini. Ketika dia akan mengulangi lagi tindakannya, aku langsung menghentikannya dengan melindungi Anton.“Minggir, Andara! Biar aku memberinya pelajaran karena sudah mengganggu istri orang!” teriak Mas Tio sambil berusaha menarikku menjauh dari Anton.“Mas!” bentakku tak mau kalah.Tapi pria yang sudah terbakar emosi itu malah mendorongku dan kembali melempar tinjunya ke arah Anton. Namun Anton kali ini dapat menangkisnya dan dua orang itu akhirny
“Ada apa, Andara? Apa ada yang tertinggal?” tanya Anton setelah mobil kami berhenti mendadak.“Tidak, Anton.” Jawabku masih sambil tetap fokus pada mobil yang menarik perhatianku, “Bisa kamu mundur sebentar, Anton?” lanjutku.“Mundur?” ucap Anton terlihat binggung.“Iya, mundur.”Anton yang masih terlihat binggung akhirnya mengikuti apa yang aku katakan. Anehnya, mobil yang aku lihat sudah tidak ada.“Ada apa, Andara? Apa kamu melihat seseorang yang kamu kenal?”Pertanyaan Anton seperti angin yang melewati telingaku. Walau aku mendengarnya, tapi aku memilih mengabaikannya dan mencari mobil yang menjadi pusat perhatianku tadi.“Anton, apa kamu lihat mobil merah yang tadi terparkir di tempat itu?” tanyaku sambil menunjuk ke arah tempat mobil merah tadi berada.“Mobil merah? Mobil merah apa maksudmu, Andara?”“Mobil merah y
“Dokter Mita,” ujar Anton masih sambil memegang tanganku.Melihat Dokter Mita menatap kami dengan tatapan tidak suka, aku lalu berusaha untuk melepaskan tanganku dari tangan Anton. Namun, pria itu tidak membiarkan tanganku lepas darinya.“Apa yang kamu lakukan di sini, Anton?” tanya wanita itu sambil sesekali menatapku.“Makan malam,” jawab Anton sambil menatapku.Kali ini aku berusaha lagi melepaskan tanganku dari tangan Anton ketika wanita yang bernama Mita itu masih saja menatap tangan kami, dan itu membuatku merasa tidak nyaman. Sehingga aku kemudian memanggil nama Anton dan memberinya kode agar melepaskan tanganku, dan kali ini pria itu mau melakukannya.“Hanya makan malam?”“Hmmm.”“Maaf, saya harus ke belakang sebentar,” selaku agar mereka berdua bisa bicara. Karena situasi saat ini sungguh tidak nyaman dan juga canggung.“Apa kamu ingin aku me
“Ada apa, Bu Andara? Apa ada yang salah?” tanya Johan membubarkan lamunanku.“Tidak ada apa-apa, Johan. Bisa kamu mengantar saya ke tempat lain? Saya lupa kalau hari ini saya ada janji dengan seseorang, dan orang tersebut meminta saya menemuinya di kafe tak jauh dari tempat ini,” jawabku berbohong.“Baik, Bu Andara.”Ketika mobil yang aku tumpangi mulai berjalan, ternyata sosok yang aku lihat tadi tidak berjalan ke arah mobil yang aku tumpangi, melainkan dia menuju mobil yang tak jauh dari tempatku berhenti tadi.“Maaf, Bu Andara. Kafe mana yang anda maksud?” tanya Johan membubarkan lamunanku.Aku yang masih terpaku pada mobil yang menarik perhatianku langsung menoleh begitu Johan bertanya kepadaku. Akhirnya aku memilih salah satu kafe secara acak yang tak jauh dari kami berada saat ini. Aku juga langsung mengirimi Dita pesan agar menemuiku di kafe tersebut dengan membawa mobilku.“Apa kafe ini, Bu Andara?” tanya Johan begitu kami berhenti di salah satu kafe yang aku tunjuk.“Iya, ber
“Saya … saya ingin meminta maaf kepada anda, Bu Andara,” ujar Dokter Ricci.Apa yang baru saja Dokter Ricci katakan sungguh di luar dugaan. Bagaimana mungkin pria dingin seperti dia bisa meminta maaf kepada seseorang? Apakah pria ini sedang mengigau, atau memang aku yang memang dengar?“Saya minta maaf karena saya sudah bertindak keterlaluan kepada anda, Bu Andara.” Ujar Dokter Ricci mengulangi apa yang dia katakan sambil sedikit menundukkan kepala.Aku yang malas menanggapi permintaan maaf pria yang ada di depanku saat ini memilih untuk mengalihkan pandanganku ke arah lain. Karena apa yang sudah dia lakukan benar-benar membuatku kecewa, dan aku tidak ingin berbicara dengannya saat ini.“Apa anda tidak mau memaafkan saya, Bu Andara?” tanya Dokter Ricci ketika aku tetap bungkam menanggapi permintaan maafnya, dan aku tidak menyangka pria itu masih berani bertanya seperti itu kepadaku.“Saya maafkan ata
“Apa yang kamu minta, Andara? Cepat katakan, jangan membuang-buang waktu mas,” protes Mas Utomo ketika aku tidak langsung mengutarakan keinginanku.“Mas harus janji dulu kepada Andara. Kalau mas akan mengabulkan permintaan Andara, baru Andara akan mengatakannya,” tawarku.“Kalau begitu lupakan!” tolak Mas Utomo.Pria itu lalu bergegas akan masuk ke dalam mobilnya setelah menolak permintaanku, tapi aku lalu menahannya dan tidak membiarkannya masuk ke dalam mobil.“Tidak ada permintaan!” tolak Mas Utomo lagi dengan raut wajah lebih serius dari sebelumnya.“Sekali ini saja, Mas.” Tawarku tak mau kalah.Mas Utomo terlihat berpikir sambil memandangku, dan dia akhirnya setuju untuk mengabulkan apa yang aku minta. Walaupun dia belum tahu apa yang akan aku minta darinya.“Cepat katakan,” ujar Mas Utomo.“Tolong jangan cari informasi lagi tentang Sovia. Masala