“Mas Tio?” ucapku begitu melihat siapa yang baru saja memanggil namaku.
Mas Tio keluar dari mobilnya begitu aku menyebut namanya. Pria itu lalu berjalan mendekatiku. Tapi Anton lebih dulu menarikku dan memintaku untuk masuk ke dalam mobilnya kembali.
“Lepaskan Andara!” teriak Mas Tio sambil melempar tinju ke arah Anton.
“Mas Tio!” teriakku reflek karena terkejut.
Aku tidak menyangkan Mas Tio akan melakukan tindakan kasar seperti saat ini. Ketika dia akan mengulangi lagi tindakannya, aku langsung menghentikannya dengan melindungi Anton.
“Minggir, Andara! Biar aku memberinya pelajaran karena sudah mengganggu istri orang!” teriak Mas Tio sambil berusaha menarikku menjauh dari Anton.
“Mas!” bentakku tak mau kalah.
Tapi pria yang sudah terbakar emosi itu malah mendorongku dan kembali melempar tinjunya ke arah Anton. Namun Anton kali ini dapat menangkisnya dan dua orang itu akhirny
“Bisa kamu ulangi siapa nama pria tadi, Laura?” aku sengaja bertanya seperti itu untuk memastikan bahwa apa baru saja aku dengar tidak salah.“Tuan Anton, Bu Andara.” Jawab Laura mengulangi apa yang dia katakan.Mendengar nama Anton disebut, aku dan Dita saling menatap untuk beberapa saat. Aku lalu memerintahkan Laura untuk memberitahu pria itu agar menunggu sampai urusanku dengan Dita selesai.“Maaf, Bu Andara. Siapa pria itu? Apa anda mengenalnya? Karena menurut jadwal hari ini, anda tidak memiliki janji dengan klien manapun” tanya Dita terlihat penasaran seperti biasanya.“Dia bukan klien kita,” jawabku malas.“Kalau dia bukan klien kita. Siapa pria itu, Bu Andara? Apa dia teman anda?”“Hmmm.”Dita yang duduk di sampingku segera berdiri begitu aku mengatakan kalau Anton adalah temanku. Wanita itu lalu memberitahuku agar aku segera menemuinya. Menurutnya sangat
“Oh, jadi ini yang kamu namakan kerja, Andara? Baru saja mas keluar sebentar, tapi kamu sudah bermesraan dengan pria lain di tempat ini,” tuduh Mas Tio yang terlihat marah.“Mas!” bentakku tidak terima.Aku yang tadinya duduk langsung berdiri ketika mendengar Mas Tio menuduhku untuk kesekian kalinya. Tuduhan yang tidak mendasar dan selalu saja menyalahkan aku tanpa mau mendengrkan penjelasanku.“Maaf, Bu Andara. Saya tadi sudah memberitahu Pak Tio kalau anda sedang ada tamu. Tapi Pak Tio terus saja memaksa untuk masuk,” jelas Dita.“Tutup pintunya, Dita.” Perintahku, dan Dita pun melakukan apa yang aku perintahkan. Sekarang tinggal kami bertiga di ruangan ini, “Sekarang jelaskan kepadaku apa mau mas? Dia tamuku, dan kami tidak melakukan apa yang mas tuduhkan itu!” lanjutku geram.“Andara,” ucap Anton.Aku yang sudah naik pitam tidak mengalihkan pandanganku dari pria yang
"Mas, aku hamil."Kata yang akhirnya meluncur dari mulutku setelah sekian lama berpikir akan memberitahu tentang kabar bahagia ini kepada pria yang aku cintai atau tidak. "Apa kamu bilang, Dara. Kamu hamil?" ucap Mas Tio dengan mata terbelalak. "Iya, Mas. Aku hamil buah cinta kita," jelasku sambil melangkah menuju tempat di mana pria yang bergelar kekasihku ini duduk. "Tapi bagaimana bisa, Dara? Bukankah mas sudah memintamu untuk KB? Mengapa kamu masih juga bisa hamil!"Rasanya bak di sambar petir ketika Mas Tio mengatakan hal itu. Bagaimana bisa dia bicara seperti itu kepadaku?"Mas Tio!" bentakku tidak terima disalahkan. "Jangan membentakku, Dara! Mas 'kan sudah bilang kepadamu agar tidak hamil dulu, tapi mengapa kamu masih saja hamil!"Aku yang tidak menyangka dengan reaksi Mas Tio, hanya bisa terduduk lemas. Karena bukan reaksi ini yang aku harapkan dari Mas Tio. Aku kira Mas Tio akan bahagia mendengar berita aku sedang mengandung buah cinta kami, tapi nyatanya tidak. Mas Ti
Aku yang masih menatap ke arah kempat orang itu terus saja mengawasinya, dan tak lama seseorang yang sangat aku kenal muncul.Mas Tio, dia orang yang muncul. Itu artinya apa yang dikatakan melalu pesan yang dia kirimkan kepadaku itu bohong. Tinnn!!! Karena kesal dan sangat marah ketika aku tahu aku telah dibohongi oleh Mas Tio, tanpa sadar aku memukul klakson mobilku. Sehingga semua orang yang ada di taman menatap ke arah mobilku, termasuk Mas Tio dan empat orang yang bersamanya. "Awas saja kamu, Mas. Kali ini kamu akan kehilanganku!" geramku, kemudian pergi. Aku tidak tahu, apakah Mas Tio mengenali mobil yang aku kemudikan atau tidak tapi yang pasti mulai dari hari ini aku akan kelur dari rumahyang dia berikan dan pergi jauh dari hidupnya. Sampai di rumah sakit di mana aku akan memeriksa kandunganku, suasana masih sepi. Hanya beberapa petugas saja yang baru datang dan beberapa pasien yang akan periksa. Jadi aku memutuskan untuk menunggu dan mengubah jadwal periksaku. "Ibu Andar
"Mas Tio, ini 'kan."Melihat darah yang mengalir di kakiku, aku dan Mas Tio langsung panik.Sehingga Mas Tio kemudian membopongku masuk ke dalam mobil dan membawaku ke rumah sakit. Aku yang takut melihat darah akhirnya merasa lemas dan tak lama pandanganku pun kabur lalu semua terlihat gelap. ***"Dara, apa kamu mendengar mas? Dara," panggil Mas Tio terdengar samar-samar. Aku yang masih merasa pusing, akhirnya membuka mataku yang masih terasa berat, dan aku lihat Mas Tio berada di sampingku sambil menggenggam tanganku. "Ma –Mas Tio, aku di mana?" tanyaku pada pria yang saat ini terlihat sedih. "Kita di rumah sakit, Sayang. Kamu perdarahan," jelas Mas Tio. Mendengar kata pendarahan pikiranku langsung mengarah pada bayiku, dan aku langsung menatap dan mengusap perutku. "Terus bayi kita bagaimana, Mas?"Mas Tio bukannya langsung menjawab pertanyaanku tapi bungkam dan itu membuatku takut. "Mas, bayiku bagaimana? Apa bayiku baik-baik saja?" bentakku khawatir, "Mas, jawab aku!" teri
"Mas Tio," ucapku lirih sambil menatap pria yang sedang berjalan dengan seorang wanita yang sepertinya putrinya. Mas Tio dan wanita itu, terlihat seperti terburu-buru masuk ke dalam rumah sakit, dan aku tidak tahu apa yang sedang terjadi kepadanya. Tapi dari raut wajah Mas Tio, terlihat sekali dia terlihat panik dan khawatir. "Andara, kamu kenapa?" tegur Anton mengejutkanku."A –aku tidak apa-apa, Dokter Anton. Aku tadi hanya melihat seseorang yang sepertinya aku kenal," jawabku masih menatap ke arah Mas Tio berada tadi, tapi kemudian aku menoleh ke arah pria yang sudah menegurku. Anton yang berada di sampingku terlihat kesal ketika aku menatapnya, dan dia kemudian mendekatkan kepalanya lebih dekat ke arahku. "Panggil aku Anton saja, Andara. Apa kamu lupa," protes Anton dengan suara sedikit berbisik. "Iya Dok ... Anton maksudku. Baiklah kalau begitu aku pergi dulu. Karena masih ada yang harus aku kerjakan," pamitku, dan aku pun langsung masuk ke dalam mobil tanpa menunggu jawaban
"Mas Tio!" teriakku.Aku langsung membuka mataku dengan napas terengah-engah dan menatap sekitar."Bu Andara, ibu kenapa?" tanya Mbak Ayu yang tiba-tiba muncul sambil berlari kecil."Mbak Ayu," panggilku sambil menatap wanita yang sudah berdiri di depanku dengan wajah terlihat khawatir."Bu Andara, ada apa? Apa terjadi sesuatu pada ibu?" tanya Mbak Ayu sambil memperhatikanku dari atas hingga bawah.Aku yang masih bingung dan ketakutan akan kehilangan Mas Tio kemudian bertanya kepada Mbak Ayu tentang keberadaan pria yang sudah aku tunggu sejak tadi. Tapi jawaban dari wanita itu membuatku tidak bisa berkata apa-apa.Karena sejak aku pulang hingga detik ini, pria itu belum menunjukkan batang hidungnya sama sekali, dan semua yang aku alami tadi ternyata hanya mimpi.Mimpi buruk yang tampak nyata sekali dan itu membuatku takut. Takut mimpi itu terjadi, dan aku akan benar-benar kehilangan Mas Tio."Bu Andara, apa ibu baik-baik saja?" tanya Mbak Ayu membubarkan lamunanku.Aku yang masih hany
Aku yang masih duduk di samping Mbak Ayu kemudian memegang tangan Mbak Ayu untuk menguatkannya dan menunggu sampai wanita itu sampai siap untuk mengatakan isi hatinya."Bu Andara, sebenarnya saya sudah pernah menikah. Tapi hanya menikah siri dan menjadi istri kedua," ucap Mbak Ayu lirih sambil menunduk, "Kami memiliki seorang anak, tapi anak itu dibawa oleh suami saya. Sejak saat itu saya sudah tidak pernah bertemu atau melihat putra saya lagi," lanjutnya, dan tak lama tangis Mbak Ayu langsung pecah tidak bisa dia bendung lagi.Aku yang hanya bisa mendengarkan keluh kesah Mbak Ayu hanya bisa memeluknya. Karena apa yang Mbak Ayu alami hampir sama dengan kisahku. Hanya saja aku belum menikah siri dengan Mas Tio, dan kami juga baru kehilangan bayi kami.Tapi apa yang dirasakan oleh Mbak Ayu aku bisa merasakannya. Karena aku juga wanita dan aku tahu sekali rasanya disakiti oleh seorang pria, apalagi harus jauh anak kami.Cukup lama Mbak Ayu menangis dalam pelukanku dan aku akhirnya juga m
“Oh, jadi ini yang kamu namakan kerja, Andara? Baru saja mas keluar sebentar, tapi kamu sudah bermesraan dengan pria lain di tempat ini,” tuduh Mas Tio yang terlihat marah.“Mas!” bentakku tidak terima.Aku yang tadinya duduk langsung berdiri ketika mendengar Mas Tio menuduhku untuk kesekian kalinya. Tuduhan yang tidak mendasar dan selalu saja menyalahkan aku tanpa mau mendengrkan penjelasanku.“Maaf, Bu Andara. Saya tadi sudah memberitahu Pak Tio kalau anda sedang ada tamu. Tapi Pak Tio terus saja memaksa untuk masuk,” jelas Dita.“Tutup pintunya, Dita.” Perintahku, dan Dita pun melakukan apa yang aku perintahkan. Sekarang tinggal kami bertiga di ruangan ini, “Sekarang jelaskan kepadaku apa mau mas? Dia tamuku, dan kami tidak melakukan apa yang mas tuduhkan itu!” lanjutku geram.“Andara,” ucap Anton.Aku yang sudah naik pitam tidak mengalihkan pandanganku dari pria yang
“Bisa kamu ulangi siapa nama pria tadi, Laura?” aku sengaja bertanya seperti itu untuk memastikan bahwa apa baru saja aku dengar tidak salah.“Tuan Anton, Bu Andara.” Jawab Laura mengulangi apa yang dia katakan.Mendengar nama Anton disebut, aku dan Dita saling menatap untuk beberapa saat. Aku lalu memerintahkan Laura untuk memberitahu pria itu agar menunggu sampai urusanku dengan Dita selesai.“Maaf, Bu Andara. Siapa pria itu? Apa anda mengenalnya? Karena menurut jadwal hari ini, anda tidak memiliki janji dengan klien manapun” tanya Dita terlihat penasaran seperti biasanya.“Dia bukan klien kita,” jawabku malas.“Kalau dia bukan klien kita. Siapa pria itu, Bu Andara? Apa dia teman anda?”“Hmmm.”Dita yang duduk di sampingku segera berdiri begitu aku mengatakan kalau Anton adalah temanku. Wanita itu lalu memberitahuku agar aku segera menemuinya. Menurutnya sangat
“Mas Tio?” ucapku begitu melihat siapa yang baru saja memanggil namaku.Mas Tio keluar dari mobilnya begitu aku menyebut namanya. Pria itu lalu berjalan mendekatiku. Tapi Anton lebih dulu menarikku dan memintaku untuk masuk ke dalam mobilnya kembali.“Lepaskan Andara!” teriak Mas Tio sambil melempar tinju ke arah Anton.“Mas Tio!” teriakku reflek karena terkejut.Aku tidak menyangkan Mas Tio akan melakukan tindakan kasar seperti saat ini. Ketika dia akan mengulangi lagi tindakannya, aku langsung menghentikannya dengan melindungi Anton.“Minggir, Andara! Biar aku memberinya pelajaran karena sudah mengganggu istri orang!” teriak Mas Tio sambil berusaha menarikku menjauh dari Anton.“Mas!” bentakku tak mau kalah.Tapi pria yang sudah terbakar emosi itu malah mendorongku dan kembali melempar tinjunya ke arah Anton. Namun Anton kali ini dapat menangkisnya dan dua orang itu akhirny
“Ada apa, Andara? Apa ada yang tertinggal?” tanya Anton setelah mobil kami berhenti mendadak.“Tidak, Anton.” Jawabku masih sambil tetap fokus pada mobil yang menarik perhatianku, “Bisa kamu mundur sebentar, Anton?” lanjutku.“Mundur?” ucap Anton terlihat binggung.“Iya, mundur.”Anton yang masih terlihat binggung akhirnya mengikuti apa yang aku katakan. Anehnya, mobil yang aku lihat sudah tidak ada.“Ada apa, Andara? Apa kamu melihat seseorang yang kamu kenal?”Pertanyaan Anton seperti angin yang melewati telingaku. Walau aku mendengarnya, tapi aku memilih mengabaikannya dan mencari mobil yang menjadi pusat perhatianku tadi.“Anton, apa kamu lihat mobil merah yang tadi terparkir di tempat itu?” tanyaku sambil menunjuk ke arah tempat mobil merah tadi berada.“Mobil merah? Mobil merah apa maksudmu, Andara?”“Mobil merah y
“Dokter Mita,” ujar Anton masih sambil memegang tanganku.Melihat Dokter Mita menatap kami dengan tatapan tidak suka, aku lalu berusaha untuk melepaskan tanganku dari tangan Anton. Namun, pria itu tidak membiarkan tanganku lepas darinya.“Apa yang kamu lakukan di sini, Anton?” tanya wanita itu sambil sesekali menatapku.“Makan malam,” jawab Anton sambil menatapku.Kali ini aku berusaha lagi melepaskan tanganku dari tangan Anton ketika wanita yang bernama Mita itu masih saja menatap tangan kami, dan itu membuatku merasa tidak nyaman. Sehingga aku kemudian memanggil nama Anton dan memberinya kode agar melepaskan tanganku, dan kali ini pria itu mau melakukannya.“Hanya makan malam?”“Hmmm.”“Maaf, saya harus ke belakang sebentar,” selaku agar mereka berdua bisa bicara. Karena situasi saat ini sungguh tidak nyaman dan juga canggung.“Apa kamu ingin aku me
“Ada apa, Bu Andara? Apa ada yang salah?” tanya Johan membubarkan lamunanku.“Tidak ada apa-apa, Johan. Bisa kamu mengantar saya ke tempat lain? Saya lupa kalau hari ini saya ada janji dengan seseorang, dan orang tersebut meminta saya menemuinya di kafe tak jauh dari tempat ini,” jawabku berbohong.“Baik, Bu Andara.”Ketika mobil yang aku tumpangi mulai berjalan, ternyata sosok yang aku lihat tadi tidak berjalan ke arah mobil yang aku tumpangi, melainkan dia menuju mobil yang tak jauh dari tempatku berhenti tadi.“Maaf, Bu Andara. Kafe mana yang anda maksud?” tanya Johan membubarkan lamunanku.Aku yang masih terpaku pada mobil yang menarik perhatianku langsung menoleh begitu Johan bertanya kepadaku. Akhirnya aku memilih salah satu kafe secara acak yang tak jauh dari kami berada saat ini. Aku juga langsung mengirimi Dita pesan agar menemuiku di kafe tersebut dengan membawa mobilku.“Apa kafe ini, Bu Andara?” tanya Johan begitu kami berhenti di salah satu kafe yang aku tunjuk.“Iya, ber
“Saya … saya ingin meminta maaf kepada anda, Bu Andara,” ujar Dokter Ricci.Apa yang baru saja Dokter Ricci katakan sungguh di luar dugaan. Bagaimana mungkin pria dingin seperti dia bisa meminta maaf kepada seseorang? Apakah pria ini sedang mengigau, atau memang aku yang memang dengar?“Saya minta maaf karena saya sudah bertindak keterlaluan kepada anda, Bu Andara.” Ujar Dokter Ricci mengulangi apa yang dia katakan sambil sedikit menundukkan kepala.Aku yang malas menanggapi permintaan maaf pria yang ada di depanku saat ini memilih untuk mengalihkan pandanganku ke arah lain. Karena apa yang sudah dia lakukan benar-benar membuatku kecewa, dan aku tidak ingin berbicara dengannya saat ini.“Apa anda tidak mau memaafkan saya, Bu Andara?” tanya Dokter Ricci ketika aku tetap bungkam menanggapi permintaan maafnya, dan aku tidak menyangka pria itu masih berani bertanya seperti itu kepadaku.“Saya maafkan ata
“Apa yang kamu minta, Andara? Cepat katakan, jangan membuang-buang waktu mas,” protes Mas Utomo ketika aku tidak langsung mengutarakan keinginanku.“Mas harus janji dulu kepada Andara. Kalau mas akan mengabulkan permintaan Andara, baru Andara akan mengatakannya,” tawarku.“Kalau begitu lupakan!” tolak Mas Utomo.Pria itu lalu bergegas akan masuk ke dalam mobilnya setelah menolak permintaanku, tapi aku lalu menahannya dan tidak membiarkannya masuk ke dalam mobil.“Tidak ada permintaan!” tolak Mas Utomo lagi dengan raut wajah lebih serius dari sebelumnya.“Sekali ini saja, Mas.” Tawarku tak mau kalah.Mas Utomo terlihat berpikir sambil memandangku, dan dia akhirnya setuju untuk mengabulkan apa yang aku minta. Walaupun dia belum tahu apa yang akan aku minta darinya.“Cepat katakan,” ujar Mas Utomo.“Tolong jangan cari informasi lagi tentang Sovia. Masala
“Ada apa dengan Mas Tio, Mas? Apa yang mas ketahui tentang Mas Tio?” cecarku.“Dia mengkhianatimu, Dara. Dia …,” jawab Mas Utomo penuh penekanan. Bahkan tangannya pun mengepal ketika mengatakan hal itu.“Dia apa, Mas? Jangan setengah-setengah menjelaskan kepada Dara.”Mas Utomo terlihat beberapa kali menghela napas sebelum mulai berbicara lagi. Seperti ada beban berat yang ada dipundaknya dan dia seperti perlu menenangkan diri dulu sebelum melanjutkan pembicaraan kami.“Dia itu selain tidak setia kepadamu, dia juga mempermainkanmu.”“Mempermainkanku bagaimana, Mas? Apa maksud mas karena dia menikah dengan Clara, jadi dia mempermainkan Dara?”“Kita duduk dulu, Andara. Mas akan menjelaskan semua yang mas ketahui tentang priamu itu,” ajak Mas Utomo dengan suara melemah.Setelah kami berdua duduk bersama, Mas Utomo mulai menjelaskan secara perlahan apa yang dia