“A –apa maksud semua ini, Sovia?” tanyaku penuh selidik.
“Bukankah kamu sudah membacanya, Dara? Jadi jangan berpura-pura tidak mengerti!”
“Jangan bermian tebak-tebakan, Sovia! Ini tidak lucu, cepat jawab aku. Apa semua ini?” tekanku sedikit frustasi karena sahabatku itu tidak langsung menjawab pertanyaanku.
Entah Sovia sedang menutupi sesuatu atau memang dia masih merasa sakit menjelaskan semua ini kepadaku. Tapi apa yang ada di hadapanku saat ini mengingatkanku akan masa lalu.
“Kenapa tidak menjawabku, Sovia? Apa hubungannya ini semua denganmu dan Damian?” cecarku tidak sabar menunggu jawaban sahabatku itu.
“Baiklah, aku akan menjawabnya. Tapi tenangkan dulu dirimu, Dara. Apa yang ada di hadapanmu itu tidak bisa membuatmu atau membuatku kembali ke masa lalu. Kita hanya bisa memperbaikinya untuk saat ini dan masa depan,” jelas Sovia sok bijak.
“Ok. Sekarang jelaskan perl
“Siapa yang menghubungimu, Dara?” tanya Sovia mengejutkanku, “Mengapa kamu tidak mengangkatnya?’” lanjut Sovia yang kini sudah duduk di sampingku.Aku yang binggung harus mengangkatnya atau tidak, hanya membiarkan ponselku itu berdering sampai panggilan itu terputus.“Mengapa kamu tidak mengangkatnya, Dara? Apa itu dari Tio?” tanya Sovia sambil merapikan rambutnya yang berantakan.“Bukan,” jawabku masih sambil menatap ponselku yang kini berbunyi lagi dari orang yang sama.Sovia yang sepertinya tidak sabar, langsung meraih ponsel yang ada di tanganku dan mengangkat panggilan itu. Begitu mendengar suara yang menghubungiku, dia langsung memutuskan panggilan itu.“Siapa dia, Dara? Siapa Dokter Antonius itu? Apa dia pacar barumu?” cecar Sovia sambil menatapku penuh curiga.“Kamu tidak perlu tahu!” ketusku sambil mengambil ponselku kembali.Namun secepat kilat sah
“Tio?” ucap Sovia begitu melihat siapa yang sedang menghubungiku saat ini.Aku yang masih bimbang, hanya menatap sahabatku itu datar. Karena untuk mengangkat panggilan itu entah mengapa aku sangat malas sekali, tapi bila aku tidak mengangkatnya maka Mas Tio pasti akan marah. Apalagi bila pria yang aku cintai itu tahu aku tidak sedang di rumah saat ini, pasti dia akan sangat curiga dan berpikir macam-macam.“Jangan diam saja, Dara. Cepat angkat! Kalau tidak, dia pasti akan menuduhmu selingkuh atau yang lainnya. Kamu tahu sendiri ‘kan Tio itu cemburuan bila sudah menyangkut dirimu,” ujar Sovia sambil menyadarkanku.Apa yang sahabatku itu katakan memang ada benarnya, dan tanpa berpikir lagi aku kemudian menjauh dari Sovia dan segera mengangkat panggilan dari pria yang aku cintai itu.Mas Tio menghubungiku untuk menanyakan keadaanku dan apakah aku sudah menerima apa yang Andreas bawakan untukku, dan itu membuatku binggung harus m
“Ma –Mas Tio,” ucapku gugup ketika tahu orang yang mengawasiku ternyata adalah orang yang sedang menungguku saat ini, Mas Tio.Mas Tio menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan. Pria itu kemudian masuk kembali ketika Anton mendekatiku dan menegurku.“Siapa pria itu, Andara? Apa dia kakakmu?” tanya Anton sambil sesekali melirik pintu yang masih terbuka.“Hmmm, dia … abaikan saja. Ada apa ya dokter ke sini?” jawabku mengalihkan pembicaraan.“Bukankah sudah aku bilang, jangan bicara formal seperti itu kepadaku, Andara. Satu lagi, jangan memanggilku dokter karena kita bukan di rumah sakit,” protes Anton seperti biasanya.Aku sengaja berbicara formal seperti itu agar Mas Tio tidak mencurigaiku yang macam-macam ketika aku berbicara dengan Anton seperti saat ini. Tapi pria yang sedang bersamaku saat ini sepertinya tidak mengerti dengan apa yang aku lakukan, dan dia masih saja bersikap
“Apa kamu dengar, Dara. Mas cemburu bukan tanpa alasan. Mas tahu siapa pria itu dan untuk apa dia kemari,” ucap Mas Tio mengulangi kalimatnya.Deg!“Apa maksud, Mas?” tanyaku datar tanpa menoleh ke arah pria yang sudah mengejutkanku itu.“Pria yang menemuimu tadi, bukankah dia teman sekolahmu? Dan, dia menemuimu bukan untuk menyapamu tapi sengaja menemuimu,” jawab Mas Tio membuatku berbalik menatapnya.Rasanya tidak percaya pria yang sedang berbicara denganku saat ini tahu tentang Anton. Apakah yang Sovia katakan waktu itu … benar?Cukup lama aku menatap Mas Tio tanpa mengatakan apapun. Bukannya aku tidak bisa mengelak atau membenarkan apa yang dia katakan. Namun setelah memikirkan baik-baik, aku memilih untuk tidak membahasnya, dan kembali ke kamarku tanpa mengatakan apapun kepada Mas Tio. Namun pria itu sepertinya tidak menerima apa yang aku lakukan, dan mengikutiku.“Mengapa kamu tidak menjawab apa yang mas tanyakan, Dara?” ucap Mas Tio ketika aku akan membuka pintu kamar, dan itu
“Iya, istri Pak Tio.” Jelasku ragu.“Bukankah Bu Andara adalah istri Pak Tio?” jawab Andreas dengan wajah yang terlihat binggung.Mendengar penjelasan Andreas aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Menjelaskannya juga bukan sesuatu yang benar, tapi melihatnya bersikap seperti itu juga sangat aneh.Karena tidak mungkin pria itu tidak tahu tentang istri Mas Tio yang sebenarnya. Mungkinkah Andreas?Berbagai dugaan mulai memenuhi isi kepalaku, dan aku tidak tahu harus bertanya kepada siapa tentang apa yang aku pikirkan saat ini. Jadi menghentikan pertanyaanku dan segera meminta Andreas pergi adalah pilihan terbaik saat ini.“Andreas, lupakan pertanyaan saya tadi. Dan satu lagi, anggap saja apa yang saya tanyakan tadi tidak pernah saya katakan,” pesanku.Andreas mengganguk menjawabku dengan wajah yang tak bisa aku artikan. Setelah itu dia pamit lagi dan pergi.Setelah memastikan Andreas pergi dari jendel
“Pak Anton, Bu Andara.” Jawab Mbak Ayu mengulangi perkataannya.Mendengar Anton ada di sini membuatku gelisah. Karena aku tidak menyangka pria itu akan datang lagi ke rumahku.“Bu Andara!” tegur Mbak Ayu membubarkan lamunanku.“Iya, Mbak Ayu. Ada apa?” jawabku gugup seperti orang bodoh.“Pria yang baru datang tadi …,” jawab Mbak Ayu menjeda kalimatnya dengan wajah binggung sambil menunjuk ke arah pintu.“Bilang kepadanya saya tidak di rumah, dan kalau dia tanya kapan saya kembali bilang saja tidak tahu,” tegasku.Wanita yang berdiri menunggu perintahku itu pun mengangguk dan segera pergi memberitahu pria yang sedang menunggu di depan pintu rumahku. Namun tak selang berapa lama, terdengar suara berisik yang membuatku beranjak dari tempat dudukku dan mengintip dari balik tembok yang terjadi.Ternyata Anton tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Mbak Ayu. Dia
Aku yang penasaran dengan jawaban Sovia membuka telingaku lebar-lebar agar tidak melewatkan sesuatu ketika sahabatku itu berbicara. Karena bila benar Mas Tio ikut andil dalam pengambil restoran milik Sovia, maka aku tidak akan memaafkannya.“Cepat katakan kepadaku, Sovia! Jangan membuatku penasaran,” seruku tidak sabar.“Sebenarnya aku ingin meminta bantuanmu untuk mencari informasi dari Tio tentang Clara dan Maria,” jawab Sovia dengan raut wajah yang terlihat serius.“Informasi? Informasi apa, Sovia?”Sahabatku itu kemudian menjelaskan kepadaku bahwa dia membutuhkan informasi itu karena Dini memberitahunya bahwa saat ini Clara dan Maria sedang terlibat masalah dan mereka berdua sempat bertengkar hebat di restoran. Sayangnya, Dini tidak mendapatkan informasi tentang masalah itu, dia hanya mendengar ketika mereka sedang bertengkar, Maria menyebut nama Tio.Ketika Sovia mengatakan Maria menyebut nama Mas Tio, entah mengapa pikiranku mengembara tak tentu arah. Bahkan aku juga sempat berp
“Apa kamu ada janji dengan orang lain, Dara?” tanya Sovia mengalihkan perhatianku, dan aku menggeleng.“Siapa nama pria itu, Dita?” tanyaku penasaran dengan sosok pria yang sedang berbohong itu.“Andreas, Bu Andara.”Mataku langsung melebar begitu mendengar nama pria disebutkan Dita. Karena aku tidak menyangka Andreas ada di tempat ini, dan mengetahui bila aku berada di sini. Apakah tadi pria itu mengikutiku sejak aku keluar dari rumah? Ataukah?“Andara, siapa Andreas? Apa dia—,” tegur Sovia menyadarkanku.“Dita, katakan kepadanya saya sedang sibuk hari ini dan tidak bisa diganggu, dan bila dia ingin menemui saya. Minta dia untuk menemui saya di rumah saja, tidak di tempat kerja saya!” selaku penuh penekanan.Orang kepercayaanku itupun mengangguk mengerti setelah mendengar perintah yang aku berikan, dan dia lalu keluar dari ruanganku.“Mengapa kamu menyelaku, Dara? Bukankah itu tidak sopan?” protes Sovia begitu tinggal kami berdua di ruangan ini.“Sopan bila orang yang aku sela itu ka