“Tio?” ucap Sovia begitu melihat siapa yang sedang menghubungiku saat ini.
Aku yang masih bimbang, hanya menatap sahabatku itu datar. Karena untuk mengangkat panggilan itu entah mengapa aku sangat malas sekali, tapi bila aku tidak mengangkatnya maka Mas Tio pasti akan marah. Apalagi bila pria yang aku cintai itu tahu aku tidak sedang di rumah saat ini, pasti dia akan sangat curiga dan berpikir macam-macam.
“Jangan diam saja, Dara. Cepat angkat! Kalau tidak, dia pasti akan menuduhmu selingkuh atau yang lainnya. Kamu tahu sendiri ‘kan Tio itu cemburuan bila sudah menyangkut dirimu,” ujar Sovia sambil menyadarkanku.
Apa yang sahabatku itu katakan memang ada benarnya, dan tanpa berpikir lagi aku kemudian menjauh dari Sovia dan segera mengangkat panggilan dari pria yang aku cintai itu.
Mas Tio menghubungiku untuk menanyakan keadaanku dan apakah aku sudah menerima apa yang Andreas bawakan untukku, dan itu membuatku binggung harus m
“Ma –Mas Tio,” ucapku gugup ketika tahu orang yang mengawasiku ternyata adalah orang yang sedang menungguku saat ini, Mas Tio.Mas Tio menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan. Pria itu kemudian masuk kembali ketika Anton mendekatiku dan menegurku.“Siapa pria itu, Andara? Apa dia kakakmu?” tanya Anton sambil sesekali melirik pintu yang masih terbuka.“Hmmm, dia … abaikan saja. Ada apa ya dokter ke sini?” jawabku mengalihkan pembicaraan.“Bukankah sudah aku bilang, jangan bicara formal seperti itu kepadaku, Andara. Satu lagi, jangan memanggilku dokter karena kita bukan di rumah sakit,” protes Anton seperti biasanya.Aku sengaja berbicara formal seperti itu agar Mas Tio tidak mencurigaiku yang macam-macam ketika aku berbicara dengan Anton seperti saat ini. Tapi pria yang sedang bersamaku saat ini sepertinya tidak mengerti dengan apa yang aku lakukan, dan dia masih saja bersikap
“Apa kamu dengar, Dara. Mas cemburu bukan tanpa alasan. Mas tahu siapa pria itu dan untuk apa dia kemari,” ucap Mas Tio mengulangi kalimatnya.Deg!“Apa maksud, Mas?” tanyaku datar tanpa menoleh ke arah pria yang sudah mengejutkanku itu.“Pria yang menemuimu tadi, bukankah dia teman sekolahmu? Dan, dia menemuimu bukan untuk menyapamu tapi sengaja menemuimu,” jawab Mas Tio membuatku berbalik menatapnya.Rasanya tidak percaya pria yang sedang berbicara denganku saat ini tahu tentang Anton. Apakah yang Sovia katakan waktu itu … benar?Cukup lama aku menatap Mas Tio tanpa mengatakan apapun. Bukannya aku tidak bisa mengelak atau membenarkan apa yang dia katakan. Namun setelah memikirkan baik-baik, aku memilih untuk tidak membahasnya, dan kembali ke kamarku tanpa mengatakan apapun kepada Mas Tio. Namun pria itu sepertinya tidak menerima apa yang aku lakukan, dan mengikutiku.“Mengapa kamu tidak menjawab apa yang mas tanyakan, Dara?” ucap Mas Tio ketika aku akan membuka pintu kamar, dan itu
“Iya, istri Pak Tio.” Jelasku ragu.“Bukankah Bu Andara adalah istri Pak Tio?” jawab Andreas dengan wajah yang terlihat binggung.Mendengar penjelasan Andreas aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Menjelaskannya juga bukan sesuatu yang benar, tapi melihatnya bersikap seperti itu juga sangat aneh.Karena tidak mungkin pria itu tidak tahu tentang istri Mas Tio yang sebenarnya. Mungkinkah Andreas?Berbagai dugaan mulai memenuhi isi kepalaku, dan aku tidak tahu harus bertanya kepada siapa tentang apa yang aku pikirkan saat ini. Jadi menghentikan pertanyaanku dan segera meminta Andreas pergi adalah pilihan terbaik saat ini.“Andreas, lupakan pertanyaan saya tadi. Dan satu lagi, anggap saja apa yang saya tanyakan tadi tidak pernah saya katakan,” pesanku.Andreas mengganguk menjawabku dengan wajah yang tak bisa aku artikan. Setelah itu dia pamit lagi dan pergi.Setelah memastikan Andreas pergi dari jendel
“Pak Anton, Bu Andara.” Jawab Mbak Ayu mengulangi perkataannya.Mendengar Anton ada di sini membuatku gelisah. Karena aku tidak menyangka pria itu akan datang lagi ke rumahku.“Bu Andara!” tegur Mbak Ayu membubarkan lamunanku.“Iya, Mbak Ayu. Ada apa?” jawabku gugup seperti orang bodoh.“Pria yang baru datang tadi …,” jawab Mbak Ayu menjeda kalimatnya dengan wajah binggung sambil menunjuk ke arah pintu.“Bilang kepadanya saya tidak di rumah, dan kalau dia tanya kapan saya kembali bilang saja tidak tahu,” tegasku.Wanita yang berdiri menunggu perintahku itu pun mengangguk dan segera pergi memberitahu pria yang sedang menunggu di depan pintu rumahku. Namun tak selang berapa lama, terdengar suara berisik yang membuatku beranjak dari tempat dudukku dan mengintip dari balik tembok yang terjadi.Ternyata Anton tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Mbak Ayu. Dia
Aku yang penasaran dengan jawaban Sovia membuka telingaku lebar-lebar agar tidak melewatkan sesuatu ketika sahabatku itu berbicara. Karena bila benar Mas Tio ikut andil dalam pengambil restoran milik Sovia, maka aku tidak akan memaafkannya.“Cepat katakan kepadaku, Sovia! Jangan membuatku penasaran,” seruku tidak sabar.“Sebenarnya aku ingin meminta bantuanmu untuk mencari informasi dari Tio tentang Clara dan Maria,” jawab Sovia dengan raut wajah yang terlihat serius.“Informasi? Informasi apa, Sovia?”Sahabatku itu kemudian menjelaskan kepadaku bahwa dia membutuhkan informasi itu karena Dini memberitahunya bahwa saat ini Clara dan Maria sedang terlibat masalah dan mereka berdua sempat bertengkar hebat di restoran. Sayangnya, Dini tidak mendapatkan informasi tentang masalah itu, dia hanya mendengar ketika mereka sedang bertengkar, Maria menyebut nama Tio.Ketika Sovia mengatakan Maria menyebut nama Mas Tio, entah mengapa pikiranku mengembara tak tentu arah. Bahkan aku juga sempat berp
“Apa kamu ada janji dengan orang lain, Dara?” tanya Sovia mengalihkan perhatianku, dan aku menggeleng.“Siapa nama pria itu, Dita?” tanyaku penasaran dengan sosok pria yang sedang berbohong itu.“Andreas, Bu Andara.”Mataku langsung melebar begitu mendengar nama pria disebutkan Dita. Karena aku tidak menyangka Andreas ada di tempat ini, dan mengetahui bila aku berada di sini. Apakah tadi pria itu mengikutiku sejak aku keluar dari rumah? Ataukah?“Andara, siapa Andreas? Apa dia—,” tegur Sovia menyadarkanku.“Dita, katakan kepadanya saya sedang sibuk hari ini dan tidak bisa diganggu, dan bila dia ingin menemui saya. Minta dia untuk menemui saya di rumah saja, tidak di tempat kerja saya!” selaku penuh penekanan.Orang kepercayaanku itupun mengangguk mengerti setelah mendengar perintah yang aku berikan, dan dia lalu keluar dari ruanganku.“Mengapa kamu menyelaku, Dara? Bukankah itu tidak sopan?” protes Sovia begitu tinggal kami berdua di ruangan ini.“Sopan bila orang yang aku sela itu ka
“Ma –Mas Tio?” ucapku terkejut ketika melihat pria aneh yang baru masuk bersama dengan Andreas membuka kacamata dan juga topi yang dia pakai. Bahkan kumis yang tadinya melekat juga dia lepas.“Apa aku harus menunggu selama itu untuk menemuimu, Dara?” ujar Mas Tio terdengar marah.Aku yang masih terkejut dengan kedatangan pria yang aku cintai itu hanya berdiri mematung. Karena aku tidak pernah melihat Mas Tio melakukan hal itu sebelumnya, dan kali ini?“Bu Andara,” tegur Andreas menyadarkanku.Setelah menegurku, Andreas keluar dan meninggalkan aku bersama dengan Mas Tio yang kini sudah duduk di kursi santai yang ada di ruanganku. Terlihat sekali dari raut wajahnya dia terlihat kesal, hingga aku merasa takut untuk mendekatinya.“Apa akmu akan tetap berdiri di sana?” ketus Mas Tio.Akhirnya dengan langkah berat aku menuju di mana Mas Tio berada, dan kami duduk seperti dua orang yang sedang bertengkar.“Mangapa Sovia ada di sini? Apa kamu menemuinya tanpa meminta izin terlebih dahulu kepa
“Mas, apa yang mas lakukan?” tegurku ketika pria itu mulai memegang berkas yang sangat aku kenali sekali itu berkas apa.“Tidak melakukan apa-apa, Sayang. Mas hanya sedang melihat apa yang dikerjakan wanita yang mas cintai,” jawab Mas Tio yang kini sudah berbalik dengan senyum yang merekah.Senyum yang tidak seperti biasanya dan terlihat dipaksakan. Ada apa denganmu mas? Mengapa kamu berubah?Berbagai pertanyaan mulai berkeliaran di kepalaku tentang Mas Tio, dan apa yang aku pikirkan saat ini jauh lebih buruk dari sebelumnya, dan bila hal itu benar-benar terjadi, maka aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.“Mas ‘kan tahu apa pekerjaanku. Jadi mas tidak perlu melihatnya lagi,” ujarku sambil berjalan ke arahnya.“Iya, Sayang. Mas tahu kok. Oh iya sayang, boleh mas meminta bantuanmu? Sekali ini saja, Sayang. Setelah itu mas tidak akan melakukannya lagi.”“Apa itu, Mas? Kalau Dara b