“Ada apa, Dara?” tanya Sovia mengejutkanku.
“So –Sovia,” ucapku gugup karena tidak menyadari kehadiran sahabatku itu.
“Apa yang kamu lihat, Dara?” tanya Sovia sambil melirik foto yang sedang aku pegang.
Sovia yang sepertinya belum menyadari foto apa yang sedang aku pegang segera mengambilnya dari tanganku dan melihatnya.
“Dari mana kamu menemukan foto ini, Dara?” tanya Sovia penuh selidik.
“Aku … aku menemukannya dibawah lemari itu,” jawabku berbohong sambil menunjukkan satu-satunya lemari yang ada di ruangan ini.
Aku tahu, tidak seharusnya aku berbohong. Tapi bila aku mengatakan aku mengambilnya dari bawah foto yang ada di atas lemari plastik itu, Sovia pasti akan marah kepadaku. Sahabatku itu pasti akan menuduhku bahwa aku sedang menyelidikinya, padahal aku tidak melakukannya dan aku juga tidak sengaja menemukan foto itu.
“Jangan berbohong, Dara. Tidak mu
“A –apa maksud semua ini, Sovia?” tanyaku penuh selidik.“Bukankah kamu sudah membacanya, Dara? Jadi jangan berpura-pura tidak mengerti!”“Jangan bermian tebak-tebakan, Sovia! Ini tidak lucu, cepat jawab aku. Apa semua ini?” tekanku sedikit frustasi karena sahabatku itu tidak langsung menjawab pertanyaanku.Entah Sovia sedang menutupi sesuatu atau memang dia masih merasa sakit menjelaskan semua ini kepadaku. Tapi apa yang ada di hadapanku saat ini mengingatkanku akan masa lalu.“Kenapa tidak menjawabku, Sovia? Apa hubungannya ini semua denganmu dan Damian?” cecarku tidak sabar menunggu jawaban sahabatku itu.“Baiklah, aku akan menjawabnya. Tapi tenangkan dulu dirimu, Dara. Apa yang ada di hadapanmu itu tidak bisa membuatmu atau membuatku kembali ke masa lalu. Kita hanya bisa memperbaikinya untuk saat ini dan masa depan,” jelas Sovia sok bijak.“Ok. Sekarang jelaskan perl
“Siapa yang menghubungimu, Dara?” tanya Sovia mengejutkanku, “Mengapa kamu tidak mengangkatnya?’” lanjut Sovia yang kini sudah duduk di sampingku.Aku yang binggung harus mengangkatnya atau tidak, hanya membiarkan ponselku itu berdering sampai panggilan itu terputus.“Mengapa kamu tidak mengangkatnya, Dara? Apa itu dari Tio?” tanya Sovia sambil merapikan rambutnya yang berantakan.“Bukan,” jawabku masih sambil menatap ponselku yang kini berbunyi lagi dari orang yang sama.Sovia yang sepertinya tidak sabar, langsung meraih ponsel yang ada di tanganku dan mengangkat panggilan itu. Begitu mendengar suara yang menghubungiku, dia langsung memutuskan panggilan itu.“Siapa dia, Dara? Siapa Dokter Antonius itu? Apa dia pacar barumu?” cecar Sovia sambil menatapku penuh curiga.“Kamu tidak perlu tahu!” ketusku sambil mengambil ponselku kembali.Namun secepat kilat sah
“Tio?” ucap Sovia begitu melihat siapa yang sedang menghubungiku saat ini.Aku yang masih bimbang, hanya menatap sahabatku itu datar. Karena untuk mengangkat panggilan itu entah mengapa aku sangat malas sekali, tapi bila aku tidak mengangkatnya maka Mas Tio pasti akan marah. Apalagi bila pria yang aku cintai itu tahu aku tidak sedang di rumah saat ini, pasti dia akan sangat curiga dan berpikir macam-macam.“Jangan diam saja, Dara. Cepat angkat! Kalau tidak, dia pasti akan menuduhmu selingkuh atau yang lainnya. Kamu tahu sendiri ‘kan Tio itu cemburuan bila sudah menyangkut dirimu,” ujar Sovia sambil menyadarkanku.Apa yang sahabatku itu katakan memang ada benarnya, dan tanpa berpikir lagi aku kemudian menjauh dari Sovia dan segera mengangkat panggilan dari pria yang aku cintai itu.Mas Tio menghubungiku untuk menanyakan keadaanku dan apakah aku sudah menerima apa yang Andreas bawakan untukku, dan itu membuatku binggung harus m
“Ma –Mas Tio,” ucapku gugup ketika tahu orang yang mengawasiku ternyata adalah orang yang sedang menungguku saat ini, Mas Tio.Mas Tio menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan. Pria itu kemudian masuk kembali ketika Anton mendekatiku dan menegurku.“Siapa pria itu, Andara? Apa dia kakakmu?” tanya Anton sambil sesekali melirik pintu yang masih terbuka.“Hmmm, dia … abaikan saja. Ada apa ya dokter ke sini?” jawabku mengalihkan pembicaraan.“Bukankah sudah aku bilang, jangan bicara formal seperti itu kepadaku, Andara. Satu lagi, jangan memanggilku dokter karena kita bukan di rumah sakit,” protes Anton seperti biasanya.Aku sengaja berbicara formal seperti itu agar Mas Tio tidak mencurigaiku yang macam-macam ketika aku berbicara dengan Anton seperti saat ini. Tapi pria yang sedang bersamaku saat ini sepertinya tidak mengerti dengan apa yang aku lakukan, dan dia masih saja bersikap
“Apa kamu dengar, Dara. Mas cemburu bukan tanpa alasan. Mas tahu siapa pria itu dan untuk apa dia kemari,” ucap Mas Tio mengulangi kalimatnya.Deg!“Apa maksud, Mas?” tanyaku datar tanpa menoleh ke arah pria yang sudah mengejutkanku itu.“Pria yang menemuimu tadi, bukankah dia teman sekolahmu? Dan, dia menemuimu bukan untuk menyapamu tapi sengaja menemuimu,” jawab Mas Tio membuatku berbalik menatapnya.Rasanya tidak percaya pria yang sedang berbicara denganku saat ini tahu tentang Anton. Apakah yang Sovia katakan waktu itu … benar?Cukup lama aku menatap Mas Tio tanpa mengatakan apapun. Bukannya aku tidak bisa mengelak atau membenarkan apa yang dia katakan. Namun setelah memikirkan baik-baik, aku memilih untuk tidak membahasnya, dan kembali ke kamarku tanpa mengatakan apapun kepada Mas Tio. Namun pria itu sepertinya tidak menerima apa yang aku lakukan, dan mengikutiku.“Mengapa kamu tidak menjawab apa yang mas tanyakan, Dara?” ucap Mas Tio ketika aku akan membuka pintu kamar, dan itu
“Iya, istri Pak Tio.” Jelasku ragu.“Bukankah Bu Andara adalah istri Pak Tio?” jawab Andreas dengan wajah yang terlihat binggung.Mendengar penjelasan Andreas aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Menjelaskannya juga bukan sesuatu yang benar, tapi melihatnya bersikap seperti itu juga sangat aneh.Karena tidak mungkin pria itu tidak tahu tentang istri Mas Tio yang sebenarnya. Mungkinkah Andreas?Berbagai dugaan mulai memenuhi isi kepalaku, dan aku tidak tahu harus bertanya kepada siapa tentang apa yang aku pikirkan saat ini. Jadi menghentikan pertanyaanku dan segera meminta Andreas pergi adalah pilihan terbaik saat ini.“Andreas, lupakan pertanyaan saya tadi. Dan satu lagi, anggap saja apa yang saya tanyakan tadi tidak pernah saya katakan,” pesanku.Andreas mengganguk menjawabku dengan wajah yang tak bisa aku artikan. Setelah itu dia pamit lagi dan pergi.Setelah memastikan Andreas pergi dari jendel
“Pak Anton, Bu Andara.” Jawab Mbak Ayu mengulangi perkataannya.Mendengar Anton ada di sini membuatku gelisah. Karena aku tidak menyangka pria itu akan datang lagi ke rumahku.“Bu Andara!” tegur Mbak Ayu membubarkan lamunanku.“Iya, Mbak Ayu. Ada apa?” jawabku gugup seperti orang bodoh.“Pria yang baru datang tadi …,” jawab Mbak Ayu menjeda kalimatnya dengan wajah binggung sambil menunjuk ke arah pintu.“Bilang kepadanya saya tidak di rumah, dan kalau dia tanya kapan saya kembali bilang saja tidak tahu,” tegasku.Wanita yang berdiri menunggu perintahku itu pun mengangguk dan segera pergi memberitahu pria yang sedang menunggu di depan pintu rumahku. Namun tak selang berapa lama, terdengar suara berisik yang membuatku beranjak dari tempat dudukku dan mengintip dari balik tembok yang terjadi.Ternyata Anton tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Mbak Ayu. Dia
Aku yang penasaran dengan jawaban Sovia membuka telingaku lebar-lebar agar tidak melewatkan sesuatu ketika sahabatku itu berbicara. Karena bila benar Mas Tio ikut andil dalam pengambil restoran milik Sovia, maka aku tidak akan memaafkannya.“Cepat katakan kepadaku, Sovia! Jangan membuatku penasaran,” seruku tidak sabar.“Sebenarnya aku ingin meminta bantuanmu untuk mencari informasi dari Tio tentang Clara dan Maria,” jawab Sovia dengan raut wajah yang terlihat serius.“Informasi? Informasi apa, Sovia?”Sahabatku itu kemudian menjelaskan kepadaku bahwa dia membutuhkan informasi itu karena Dini memberitahunya bahwa saat ini Clara dan Maria sedang terlibat masalah dan mereka berdua sempat bertengkar hebat di restoran. Sayangnya, Dini tidak mendapatkan informasi tentang masalah itu, dia hanya mendengar ketika mereka sedang bertengkar, Maria menyebut nama Tio.Ketika Sovia mengatakan Maria menyebut nama Mas Tio, entah mengapa pikiranku mengembara tak tentu arah. Bahkan aku juga sempat berp
“Dokter Mita,” ujar Anton masih sambil memegang tanganku.Melihat Dokter Mita menatap kami dengan tatapan tidak suka, aku lalu berusaha untuk melepaskan tanganku dari tangan Anton. Namun, pria itu tidak membiarkan tanganku lepas darinya.“Apa yang kamu lakukan di sini, Anton?” tanya wanita itu sambil sesekali menatapku.“Makan malam,” jawab Anton sambil menatapku.Kali ini aku berusaha lagi melepaskan tanganku dari tangan Anton ketika wanita yang bernama Mita itu masih saja menatap tangan kami, dan itu membuatku merasa tidak nyaman. Sehingga aku kemudian memanggil nama Anton dan memberinya kode agar melepaskan tanganku, dan kali ini pria itu mau melakukannya.“Hanya makan malam?”“Hmmm.”“Maaf, saya harus ke belakang sebentar,” selaku agar mereka berdua bisa bicara. Karena situasi saat ini sungguh tidak nyaman dan juga canggung.“Apa kamu ingin aku me
“Ada apa, Bu Andara? Apa ada yang salah?” tanya Johan membubarkan lamunanku.“Tidak ada apa-apa, Johan. Bisa kamu mengantar saya ke tempat lain? Saya lupa kalau hari ini saya ada janji dengan seseorang, dan orang tersebut meminta saya menemuinya di kafe tak jauh dari tempat ini,” jawabku berbohong.“Baik, Bu Andara.”Ketika mobil yang aku tumpangi mulai berjalan, ternyata sosok yang aku lihat tadi tidak berjalan ke arah mobil yang aku tumpangi, melainkan dia menuju mobil yang tak jauh dari tempatku berhenti tadi.“Maaf, Bu Andara. Kafe mana yang anda maksud?” tanya Johan membubarkan lamunanku.Aku yang masih terpaku pada mobil yang menarik perhatianku langsung menoleh begitu Johan bertanya kepadaku. Akhirnya aku memilih salah satu kafe secara acak yang tak jauh dari kami berada saat ini. Aku juga langsung mengirimi Dita pesan agar menemuiku di kafe tersebut dengan membawa mobilku.“Apa kafe ini, Bu Andara?” tanya Johan begitu kami berhenti di salah satu kafe yang aku tunjuk.“Iya, ber
“Saya … saya ingin meminta maaf kepada anda, Bu Andara,” ujar Dokter Ricci.Apa yang baru saja Dokter Ricci katakan sungguh di luar dugaan. Bagaimana mungkin pria dingin seperti dia bisa meminta maaf kepada seseorang? Apakah pria ini sedang mengigau, atau memang aku yang memang dengar?“Saya minta maaf karena saya sudah bertindak keterlaluan kepada anda, Bu Andara.” Ujar Dokter Ricci mengulangi apa yang dia katakan sambil sedikit menundukkan kepala.Aku yang malas menanggapi permintaan maaf pria yang ada di depanku saat ini memilih untuk mengalihkan pandanganku ke arah lain. Karena apa yang sudah dia lakukan benar-benar membuatku kecewa, dan aku tidak ingin berbicara dengannya saat ini.“Apa anda tidak mau memaafkan saya, Bu Andara?” tanya Dokter Ricci ketika aku tetap bungkam menanggapi permintaan maafnya, dan aku tidak menyangka pria itu masih berani bertanya seperti itu kepadaku.“Saya maafkan ata
“Apa yang kamu minta, Andara? Cepat katakan, jangan membuang-buang waktu mas,” protes Mas Utomo ketika aku tidak langsung mengutarakan keinginanku.“Mas harus janji dulu kepada Andara. Kalau mas akan mengabulkan permintaan Andara, baru Andara akan mengatakannya,” tawarku.“Kalau begitu lupakan!” tolak Mas Utomo.Pria itu lalu bergegas akan masuk ke dalam mobilnya setelah menolak permintaanku, tapi aku lalu menahannya dan tidak membiarkannya masuk ke dalam mobil.“Tidak ada permintaan!” tolak Mas Utomo lagi dengan raut wajah lebih serius dari sebelumnya.“Sekali ini saja, Mas.” Tawarku tak mau kalah.Mas Utomo terlihat berpikir sambil memandangku, dan dia akhirnya setuju untuk mengabulkan apa yang aku minta. Walaupun dia belum tahu apa yang akan aku minta darinya.“Cepat katakan,” ujar Mas Utomo.“Tolong jangan cari informasi lagi tentang Sovia. Masala
“Ada apa dengan Mas Tio, Mas? Apa yang mas ketahui tentang Mas Tio?” cecarku.“Dia mengkhianatimu, Dara. Dia …,” jawab Mas Utomo penuh penekanan. Bahkan tangannya pun mengepal ketika mengatakan hal itu.“Dia apa, Mas? Jangan setengah-setengah menjelaskan kepada Dara.”Mas Utomo terlihat beberapa kali menghela napas sebelum mulai berbicara lagi. Seperti ada beban berat yang ada dipundaknya dan dia seperti perlu menenangkan diri dulu sebelum melanjutkan pembicaraan kami.“Dia itu selain tidak setia kepadamu, dia juga mempermainkanmu.”“Mempermainkanku bagaimana, Mas? Apa maksud mas karena dia menikah dengan Clara, jadi dia mempermainkan Dara?”“Kita duduk dulu, Andara. Mas akan menjelaskan semua yang mas ketahui tentang priamu itu,” ajak Mas Utomo dengan suara melemah.Setelah kami berdua duduk bersama, Mas Utomo mulai menjelaskan secara perlahan apa yang dia
“Baiklah, Anton. Saya akan pergi makan malam denganmu,” jawabku berubah pikiran. Sebenarnya aku ingin menolaknya, tapi entah mengapa tiba-tiba keputusanku berubah begitu melihat wajah pria itu.“Yesss!” sela Anton membuatku terkejut. Pria itu bertingkah seperti baru saja memenangkan lomba dan mendapatkan hadiah pertama, “Maaf, Andara. Saya terbawa suasana,” lanjutnya sambil tersenyum malu-malu.Aku hanya bisa tersenyum menanggapi apa yang dikatakan pria itu. Sikapnya benar-benar lucu, dan tidak berubah sejak dulu.“Jadi kita deal ya bertemu jam delapan malam ini, malam ini. Nanti aku akan menjemputmu setelah pulang dari rumah sakit dan kita bisa pergi bersama ke tempat kita makan malam.”“Hmmm … maaf, Anton. Sepertinya kamu tidak perlu menjemputku. Beritahu aku di mana kita akan bertemu. Nanti setelah urusanku selesai, aku akan langsung menuju ke sana.”“Baiklah, nanti aku aka
“Saya …,” jawab Mbak Ayu terlihat gelisah.“Katakan saja, Mbak Ayu. Ada apa? Apa tadi Pak Tio mengancam mbak?” selaku tidak sabar.Wanita yang ada di depanku saat ini terlihat binggung ketika akan menjawabku. Sehingga aku kemudian mengajaknya duduk dan memintanya untuk menjelaskan secara perlahan kepadaku.Tapi sebelum aku mendengarkan cerita dari wanita yang bekerja di rumahku itu, aku teringat tentang Mas Utomo yang berbicara dengan Mas Tio. Sehingga aku segera berlari ke jendela untuk melihat yang terjadi. Namun, sayang sungguh di sayang. Mobil Mas Tio ataupun mobil kakak tetuaku itu sudah pergi, dan hanya tinggal menyisakan satu mobil anak buah Mas Utomo.“Ada apa, Bu Andara? Apa orang-orang tadi belum pergi?” tanya Mbak Ayu membuatku menoleh kepadanya.“Sudah, baru saja.” Jawabku sambil berjalan menghampiri Mbak Ayu yang sudah duduk di atas tempat tidurku.Aku lalu duduk di sampingnya untuk mendengarkan apa yang wanita itu tadi ingin katakan. Raut wajahnya yang tadi terlihat geli
“M‒Mas Tio? Bagaimana mas bisa ada di sini?”“Apa maksudmu, Dara? Apa mas tidak boleh berada di sini?”Aku yang masih terkejut dengan kehadiran Mas Tio hanya bisa membeku. Karena aku tidak menyangka pria itu ada di sini. Tapi bagaimana mungkin? Bukankah dia tadi bersama dengan Clara?Suara langkah Mas Tio yang berjalan menuju ke arahku akhirnya menyadarkanku. Dia berjalan ke arahku dengan tatapan tidak suka, atau lebih tepatnya seperti orang yang sedang menahan emosi.“Bukan begitu maksud Dara, Mas. Dara hanya kaget saja, kenapa mas ke sini tanpa memberitahu Dara?” Ralatku mengalihkan pembicaraan, “Mas ‘kan bisa menelepon Dara dulu. Jadi Dara bisa menyambut mas ketika mas datang,” lanjutku berpura-pura bersikap manis.“Mas tadi kebetulan lewat, Sayang. Jadi mas sekalian mampir untuk memberimu kejutan,” ucap Mas Tio sambil memegang tanganku, “Tapi malah mas yang terkejut.
“Apapun yang terjadi, dia tetap di sini!” perintahku masih sambil menatap lurus ke depan.“Tapi, Bu Andara—.” Protes Dokter Ricci.“Anda sudah mendengar apa yang Bu Andara katakan, Dokter. Jadi sekarang lebih baik anda kembali ke ruangan itu dan merawat Bu Maria,” potong Johan.Dokter Ricci keluar dari ruangan dengan membanting pintu. Tak lama kemudian terlihat dari kaca dia masuk ke dalam ruangan itu dengan tergesa-gesa dan segera melakukan pertolongan pada wanita yang sepertinya sedang kejang di atas tempat tidur.“Bu Andara …,” tegur Johan.Aku meminta Johan untuk tidak meneruskan apa yang akan dia katakan dan melihat apa yang terjadi. Apakah wanita itu akan selamat kali ini, ataukah?“Bu Andara,” ucap Johan sambil memberikan ponselnya kepadaku. Di layar ponsel yang menyala itu terpampang nama Dokter Ricci, dan Johan lalu memasang pengeras suara agar aku bisa mendeng