“Mas, apa yang mas lakukan?” tegurku ketika pria itu mulai memegang berkas yang sangat aku kenali sekali itu berkas apa.“Tidak melakukan apa-apa, Sayang. Mas hanya sedang melihat apa yang dikerjakan wanita yang mas cintai,” jawab Mas Tio yang kini sudah berbalik dengan senyum yang merekah.Senyum yang tidak seperti biasanya dan terlihat dipaksakan. Ada apa denganmu mas? Mengapa kamu berubah?Berbagai pertanyaan mulai berkeliaran di kepalaku tentang Mas Tio, dan apa yang aku pikirkan saat ini jauh lebih buruk dari sebelumnya, dan bila hal itu benar-benar terjadi, maka aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.“Mas ‘kan tahu apa pekerjaanku. Jadi mas tidak perlu melihatnya lagi,” ujarku sambil berjalan ke arahnya.“Iya, Sayang. Mas tahu kok. Oh iya sayang, boleh mas meminta bantuanmu? Sekali ini saja, Sayang. Setelah itu mas tidak akan melakukannya lagi.”“Apa itu, Mas? Kalau Dara b
Mendengar suara pintu ruanganku diketuk, aku lalu menyuruh orang itu masuk. Ternyata orang yang muncul dari balik pintu itu bukan Dita seperti yang aku kira, melainkan Andreas. Entah itu suatu kebetulan atau memang ada hal lainnya. Tapi Andreas masuk langsung menemui Mas Tio dan berbisik kepadanya, kemudian pergi. “Mas seperti harus segera pergi, Dara. Tadi Lira menghubungi Andreas kalau ada meeting dadakan,” ujar Mas Tio setelah Andreas keluar dari ruanganku.“Baik, Mas. Mas hati-hati ya di jalan, jangan lupa hubungi aku bila sudah sampai di kantor.”“Tentu saja, Sayang. Kalau begitu mas pergi dulu, dan masalah uang yang mas pinjam. Tolong segera kabari mas kalau sudah acc,” pamitnya.Aku hanya mengangguk sambil tersenyum menjawab apa yang Mas Tio katakan. Karena aku juga belum tahu, aku akan meminjamkan uang itu atau tidak.…“Dita, minta Laura menemui saya sekarang,” ujarku pada Dita melalui telepon yang ada di ruanganku.Setelah Mas Tio pergi, aku langsung menghubungi orang suruh
“Mas Utomo?” ucapku begitu tahu siapa yang datang ke rumahku.Melihat Mas Utomo datang ke rumahku aku benar-benar terkejut dan juga tidak percaya. Karena sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. Seingatku terakhir kali aku bertemu dengannya ketika aku dan Mas Tio baru saja berpacaran. Tapi karena ada masalah dengan keluarga kami, akhirnya Mas Utomo bekerja dan pindah ke Amerika.“Ternyata kamu masih mengingat mas, Dara.” Ujar Mas Utomo sambil tersenyum.“Tentu saja, Mas. Bagaimana bisa Dara lupa dengan mas. Mas adalah orang yang mendukung Dara selama ini,” jawabku sambil berjalan mendekati pria yang sudah lama aku rindukan.Rasanya sangat rindu sekali lama tidak bertemu dengan kakak lelakiku ini, dan dia sekarang ada di sini dan aku langsung memeluknya untuk meluapkan rasa rinduku selama ini.“Selalu saja cenggeng seperti anak kecil,” bisik Mas Utomo ketika aku masih memeluknya.“Mas ini, siapa yang menangis. Mataku tadi hanya kelilipan saja kok,” elakku sambil berusaha menenang
Melihat Mas Tio muncul dari balik mobil entah mengapa aku merasa khawatir. Karena terlihat sekali dua orang pria yang sedang berada di rumahku saat ini terlihat tidak bersahabat.“Kalau begitu mas pulang dulu, Dara. Jangan lupa dengan yang mas katakan tadi,” pamit Mas Utomo.“Iya, Mas. hati-hati,” jawabku.Mas Utomo lalu pergi menuju mobilnya yang berada di depan mobil Mas Tio. Terlihat sekali dua pria itu tidak saling bertegur sapa. Bahkan Mas Utomo terlihat mengabaikan Mas Tio ketika mereka berdua jalan berpapasan, begitupun dengan Mas Tio. Pria itu juga melakukan hal yang sama dengan Mas Utomo dan berjalan lurus menuju ke arahku.“Mengapa Mas Utomo ada di sini, Dara?” tanya Mas Tio begitu sampai di depanku.Aku yang masih fokus dengan kepergian kakak lelakiku itu mengabaikan apa yang Mas Tio tanyakan kepadaku hingga mobil Mas Utomo menghilang dari pandanganku. Setelah itu aku langsung masuk ke dalam rumah tanpa ingin menanggapi apa yang Mas Tio tanyakan sebelumnya.Bukannya aku tid
“Apapun yang ingin kamu katakan, kita akan membahasnya nanti,” ujar Mas Tio tanpa menatapku dan mengalihkan pandangannya ke arah lain, “Dan, tentang uang yang ingin aku pinjam, lupakan! Karena aku tidak jadi meminjamnya,” lanjutnya dingin.Setelah mengatakan hal itu Mas Tio langsung meninggalkan ruanganku tanpa mau mendengar apa yang akan aku katakan.Melihat sikapnya yang seperti itu, aku tahu sekali pria itu tidak hanya kesal kepadaku, tapi dia juga sangat marah. Sedangkan tentang uang yang akan dia pinjam, mengapa dia tiba-tiba membatalkannya? Apakah dia tahu rencanaku untuk tidak meminjamkan uang itu kepadanyanya? Ataukah?“Bu Andara, Bu Andara,” panggil Dita membubarkan lamunanku.“I –iya, Dita. Ada apa?”“Bu Andara, mengapa Pak Tio pergi secepat itu? Apakah Pak Tio …,” ucap Dita menjeda kalimatnya dan terlihat ragu untuk meneruskannya.“Panggilkan Laura, Dita.” Perintahku mengalihkan pembicaraan.“I –iya, Bu Andara,” jawab Dita dengan raut wajah yang terlihat binggung.Setelah
“Ini berkas perjanjian, Mas. Bukankah mas pinjam uang dari usaha kecilku ini? Jadi mas harus setuju dengan perjanjian yang kami buat,” jelasku.“Andara!” teriak Mas Tio dengan wajah memerah. Bahkan Mas Tio yang tadinya duduk, kini berdiri sambil menatapku tajam.Aku yang sudah menduga hal ini akan terjadi, memilih untuk diam dan berusaha untuk tidak terpancing dengan situasi saat ini. Karena aku yakin sekali, bila Mas Tio memang membutuhkan uang ini, maka pria itu pasti akan menandatangani berkas yang aku minta. Tapi, bila dia meminjam uang ini tidak karena sangat terpaksa dan hanya meminjamnya sebentar, maka dia tidak akan melakukannya. Karena aku hapal sekali bagaimana prinsip pria yang aku cintai itu.Lagi pula uang yang dia pinjam saat ini adalah jumlah yang sangat kecil baginya bila dibanding dengan kekayaan yang dia punya dari istri kayanya itu. Bahkan seujung kukunya saja tidak ada.“Maaf, Andara. Mas hanya … hanya lelah. Tadi mas kelepasan karena kelelahan,” ucap Mas Tio denga
Di dalam kamar, aku langsung melihat sekitar. Tidak ada yang berubah dari kamar yang aku tempati. Bahkan benda-benda di kamar ini juga tidak ada yang bergeser sedikitpun. Hingga pandanganku mengarah pada lemari yang terlihat tidak tertutup rapat, dan itu membuatku teringat akan barang-barang berharga yang aku simpan.“Semoga saja Mas Tio tidak mengambilnya,” gumamku sambil menuju satu-satunya lemari yang ada di kamar ini.Begitu membuka lemari, terlihat sekali ada beberapa pakaian milikku yang tersusun tidak rapi seperti sebelumnya, dan lemari penyimpananku masih tertutup seperti terakhir kali aku lihat. Bedanya kali ini kuncinya menggantung pada lemari penyimpanan itu, dan membuat kecurigaanku semakin kuat.“Apa yang sudah kamu lakukan, Mas!” gumamku tidak percaya begitu melihat isi lemari penyimpanan yang baru saja aku buka.Lemari penyimpanan yang tadinya berisi barang-barang berharga milikku, kini isinya sudah berubah. Atau lebih tepatnya beberapa barang yang aku simpan di sana hi
Buk!Sebuah pukulan dari Mas Tio langsung mendarat di pipi Anton begitu pria itu selesai bicara. Aku tidak menyangka Mas Tio akan melakukan hal gila seperti itu kepada Anton, dan itu membuatku terkejut dan aku langsung berteriak memanggil nama Mas Tio agar pria itu berhenti melakukan apa yang dia lakukan saat ini, dan mereka berdua tidak berkelahi.“Dengar, Anton. Aku bukan kekasihmu! Dan tidak akan pernah menjadi kekasihmu!” tegasku sambil menatap tajam Anton, “Dan untukmu, Mas Tio! Berhenti berpikiran kotor tentangku dan Anton. Karena apa yang kamu pikirkan itu tidak benar, dan aku tidak sepertimu ataupun Clara!” lanjutku.Setelah mengatakan hal itu aku langsung pergi menuju kamarku dan meninggalkan dua pria yang masih berdiri membeku itu.Terserah jika sekarang mereka ingin berkelahi atau saling membunuh, aku sudah tidak peduli lagi. Karena aku benar-benar lelah dan sakit hati dengan apa yang baru saja Mas Tio tuduhkan kepadaku. Karena itu semua tidak benar. Selain itu, apa yang An