“Apapun yang ingin kamu katakan, kita akan membahasnya nanti,” ujar Mas Tio tanpa menatapku dan mengalihkan pandangannya ke arah lain, “Dan, tentang uang yang ingin aku pinjam, lupakan! Karena aku tidak jadi meminjamnya,” lanjutnya dingin.Setelah mengatakan hal itu Mas Tio langsung meninggalkan ruanganku tanpa mau mendengar apa yang akan aku katakan.Melihat sikapnya yang seperti itu, aku tahu sekali pria itu tidak hanya kesal kepadaku, tapi dia juga sangat marah. Sedangkan tentang uang yang akan dia pinjam, mengapa dia tiba-tiba membatalkannya? Apakah dia tahu rencanaku untuk tidak meminjamkan uang itu kepadanyanya? Ataukah?“Bu Andara, Bu Andara,” panggil Dita membubarkan lamunanku.“I –iya, Dita. Ada apa?”“Bu Andara, mengapa Pak Tio pergi secepat itu? Apakah Pak Tio …,” ucap Dita menjeda kalimatnya dan terlihat ragu untuk meneruskannya.“Panggilkan Laura, Dita.” Perintahku mengalihkan pembicaraan.“I –iya, Bu Andara,” jawab Dita dengan raut wajah yang terlihat binggung.Setelah
“Ini berkas perjanjian, Mas. Bukankah mas pinjam uang dari usaha kecilku ini? Jadi mas harus setuju dengan perjanjian yang kami buat,” jelasku.“Andara!” teriak Mas Tio dengan wajah memerah. Bahkan Mas Tio yang tadinya duduk, kini berdiri sambil menatapku tajam.Aku yang sudah menduga hal ini akan terjadi, memilih untuk diam dan berusaha untuk tidak terpancing dengan situasi saat ini. Karena aku yakin sekali, bila Mas Tio memang membutuhkan uang ini, maka pria itu pasti akan menandatangani berkas yang aku minta. Tapi, bila dia meminjam uang ini tidak karena sangat terpaksa dan hanya meminjamnya sebentar, maka dia tidak akan melakukannya. Karena aku hapal sekali bagaimana prinsip pria yang aku cintai itu.Lagi pula uang yang dia pinjam saat ini adalah jumlah yang sangat kecil baginya bila dibanding dengan kekayaan yang dia punya dari istri kayanya itu. Bahkan seujung kukunya saja tidak ada.“Maaf, Andara. Mas hanya … hanya lelah. Tadi mas kelepasan karena kelelahan,” ucap Mas Tio denga
Di dalam kamar, aku langsung melihat sekitar. Tidak ada yang berubah dari kamar yang aku tempati. Bahkan benda-benda di kamar ini juga tidak ada yang bergeser sedikitpun. Hingga pandanganku mengarah pada lemari yang terlihat tidak tertutup rapat, dan itu membuatku teringat akan barang-barang berharga yang aku simpan.“Semoga saja Mas Tio tidak mengambilnya,” gumamku sambil menuju satu-satunya lemari yang ada di kamar ini.Begitu membuka lemari, terlihat sekali ada beberapa pakaian milikku yang tersusun tidak rapi seperti sebelumnya, dan lemari penyimpananku masih tertutup seperti terakhir kali aku lihat. Bedanya kali ini kuncinya menggantung pada lemari penyimpanan itu, dan membuat kecurigaanku semakin kuat.“Apa yang sudah kamu lakukan, Mas!” gumamku tidak percaya begitu melihat isi lemari penyimpanan yang baru saja aku buka.Lemari penyimpanan yang tadinya berisi barang-barang berharga milikku, kini isinya sudah berubah. Atau lebih tepatnya beberapa barang yang aku simpan di sana hi
Buk!Sebuah pukulan dari Mas Tio langsung mendarat di pipi Anton begitu pria itu selesai bicara. Aku tidak menyangka Mas Tio akan melakukan hal gila seperti itu kepada Anton, dan itu membuatku terkejut dan aku langsung berteriak memanggil nama Mas Tio agar pria itu berhenti melakukan apa yang dia lakukan saat ini, dan mereka berdua tidak berkelahi.“Dengar, Anton. Aku bukan kekasihmu! Dan tidak akan pernah menjadi kekasihmu!” tegasku sambil menatap tajam Anton, “Dan untukmu, Mas Tio! Berhenti berpikiran kotor tentangku dan Anton. Karena apa yang kamu pikirkan itu tidak benar, dan aku tidak sepertimu ataupun Clara!” lanjutku.Setelah mengatakan hal itu aku langsung pergi menuju kamarku dan meninggalkan dua pria yang masih berdiri membeku itu.Terserah jika sekarang mereka ingin berkelahi atau saling membunuh, aku sudah tidak peduli lagi. Karena aku benar-benar lelah dan sakit hati dengan apa yang baru saja Mas Tio tuduhkan kepadaku. Karena itu semua tidak benar. Selain itu, apa yang An
Mendengar namaku dipanggil, aku langsung membeku. Karena suara itu seperti suara orang yang sangat aku kenal.“Andara, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Sovia yang kini sudah berada di depanku.“Sovia?” ucapku terkejut.Aku yang tidak menyangka akan bertemu dengan Sovia di tempat ini hanya bisa menyebut namanya saja. Karena aku tidak tahu harus berkata apa lagi karena terkejut.“Iya. Aku Sovia, Andara. Apa yang kamu lakukan di sini? Mengapa kamu bisa berada di tempat ini?”Karena tidak ingin ketahuan oleh Mas Tio bila aku berada di sini, aku langsung menarik Sovia dan menjauh dari tempat di mana kami berada saat ini.“Aku yang seharusnya bertanya kepadamu, Sovia! Kenapa kamu ada di rumah sakit ini? Apa kamu …?” cecarku sambil menyipitkan mata.“Aku … aku—,” jawab Sovia terlihat seperti menyembunyikan sesuatu.“Aku apa, Sovia? Jangan membuatku penasaran?” selaku.“Aku ke sini untuk menemui seseorang, Dara.”“Seseorang? Siapa orang itu?”Sovia tidak langsung menjawab pertanyaanku, d
Melihat rekasi Mbak Ayu yang seperti itu, aku tahu ada yang tidak beres. Sehingga aku mengajaknya bicara berdua dan sedikit menjauh dari Sovia.“Memangnya siapa pria itu, Mbak? Apa orang yang datang itu Dokter Anton?” tanyaku mengulangi apa yang aku tanyakan sebelumnya“Bukan, Bu Andara. Saya tidak tahu siapa pria itu, dan pria itu juga tidak mau menyebutkan namanya dan hanya mengatakan dia datang ke sini karena disuruh oleh seseorang,” jawab Mbak Ayu.“Disuruh seseorang?” ucapku terkejut.Aku yang masih terkejut dan sedikit takut, kemudian meminta Mbak Ayu untuk mengatakan kepada orang tersebut bahwa aku tidak ada. Karena aku takut itu orang suruhan Mas Tio atau orang yang berhubungan dengan Mas Tio dan Clara yang mungkin saja akan menculikku.“Apa tidak apa-apa, Bu Andara?” tanya Mbak Ayu dengan raut wajah terlihat khawatir.“Saya tidak tahu, Mbak. Tapi daripada saya kenapa-kenapa, lebi
“Utomo, dengan siapa kamu datang nak?” ucap wanita tua itu lagi.Mendengar suara wanita tua yang baru saja keluar dari rumah yang kami datangi, membuat hatiku bergemuruh. Bahkan mataku terasa panas, dan air mata yang ada di dalam seperti mau keluar. Namun aku berusaha menahannya agar Mas Utomo tidak mengetahui apa yang aku rasakan saat ini.“Utomo, kenapa kamu diam saja? Memangnya kamu datang dengan siapa, Nak?” suara wanita tua itu lagi, dan kali ini suara itu terdengar semakin dekat.“Ayo, Dara.” Ucap Mas Utomo.Namun, aku masih tidak bisa melangkahkan kakiku keluar dari mobil karena terasa berat. Hingga wajah wanita tua itu tiba-tiba sudah ada di depan kami.“Da –Dara?” ucap wanita tua itu dengan raut wajah terlihat terkejut sambil menatapku tanpa berkedip.“Iya, Bu. Itu Dara kita,” jelas Mas Utomo sambil menatap wanita tua yang bergelar ibuku itu, “Dia datang ke sini
“Ayah,” ucapku begitu melihat ayah duduk di atas kursi roda.“Ayah,” ucap Mas Utomo terlihat sama terkejutnya denganku.Ayah yang duduk di atas kursi roda terlihat tersenyum melihat kami berdua. Di belakang ayah berdiri kakak keduaku Mas Yuda.“Apa boleh ayah duduk di atas kursi roda seperti ini, Mas?” tanyaku pada Mas Yuda yang juga terlihat bahagia.“Dokter sudah mengizinkan,” jawab Mas Yuda.Aku dan Mas Utomo saling menatap ketika mendengar apa yang Mas Yuda katakan. Karena aku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar.“Kapan Dokter Ridwan datang, Yuda?” tanya Mas Utomo.“Tak lama setelah mas pergi. Tadi Dokter Ridwan juga memberitahu, bahwa dalam dua atau tiga hari lagi, bila kondisi ayah semakin baik. Ayah sudah bisa melanjutkan pengeobatan ke luar negeri seperti yang sudah dijadwalkan,” jelas Mas Yuda.“Kalau begitu, aku akan men
“Pernah, bahkan sering.” Jawab ibu membuatku terkejut, “Dia juga orang yang merekomendasikan dokter untuk ayahmu ketika berobat keluar negeri kemarin,” lanjut ibu sambil menatap ke arah Anton.Aku yang berdiri di samping ibu hanya bisa membeku mendengar apa yang baru saja ibu katakan. Karena aku tidak menyangka pria yang sedang berbincang dengan ayah saat ini, ternyata sudah sangat dekat dengan keluargaku.“Andara,” panggil Anton membubarkan lamunanku, “Apa kamu mau pergi?” lanjutnya.Aku yang enggan untuk menanggapi pertanyaan Anton memilih mengabaikannya dan segera berpamitan dengan ibu dan ayah. Tapi baru saja aku keluar, wanita yang mengaku kakak iparku tiba-tiba mencegahku dan memintaku untuk menunggunya.“Bawa ini, Andara.” Ucap wanita yang mengaku kakak iparku sambil memberi papar bag kepadaku.“Apa ini, Mbak?”“Bawa saja, nanti kamu juga pasti akan membutuhkannya.”Aku yang terburu-buru akhirnya menerima paper bag yang sudah ada di tanganku. Setelah itu aku pamit, dan segera k
“Tentu saja tidak, Anton. Kamu tidak menganggu sama sekali. Bahkan kami juga sedang membicarakanmu,” ucap Mas Utomo pada pria yang baru saja datang.Semua orang yang ada di ruangan ini langsung tersenyum begitu melihat kehadiran Anton. Hanya satu orang saja yang tidak tersenyum melihat kehadiran pria itu, bahkan dia menunjukkan wajah tidak suka begitu melihatnya, dan orang itu adalah aku.Kehadiran Anton benar-benar merusak moodku. Sebelumnya Mas Utomo yang merusak moodku, kini di tambah lagi dengan Anton, aku benar-benar kehilangan selera untuk sarapan pagi ini.“Anton, duduk saja di samping Andara. Kursi itu kosong dan sepertinya pas untukmu,” ucap Mas Utomo.“Mas,” protesku. Tapi sebanyak apapun aku protes kapada kakak tertuaku itu, dia tidak akan mempedulikannya.“Apa kabar, Andara?” sapa Anton lirih.Aku yang tidak memiliki semangat lagi untuk bergabung dalam sarapan pagi ini memilih pamit
“Ada apa, Andara?” tanya Mas Utomo terlihat heran.Tidak hanya Mas Utomo, tapi dua wanita yang yang bersamanya juga menoleh ke arahku dan memperhatikanku.“Tidak ada apa-apa, Mas.” Jawabku berusaha menutupi rasa maluku.“Cepat masuk! Ini sudah malam,” perintah Mas Utomo.Aku yang masih berdiri sambil memegang ponselku akhirnya mengikuti apa yang dikatakan oleh kakak tertuaku. Selain tidak enak dengan ibu, aku juga merasa sedikit lelah.Derttt … derttt.“Kenapa kamu tidak mengangkatnya, Andara?” tanya wanita yang mengaku Mbak Ayumi.“Tidak apa-apa, Mbak.” Jawabku.Wanita yang bersamaku saat ini hanya tersenyum begitu mendengar jawabanku. Ketika aku masuk ke dalam kamar yang sudah mereka siapkan untukku. Wanita yang mengaku Mbak Ayumi itu ikut masuk dan berkata ingin berbicara denganku.“Mbak tahu kamu masih belum percaya kalau mbak adalah Ayumi. Tapi
“Ada apa, Sayang? Apa yang mau katakan?” tanya Tante Ana terlihat tidak sabar.“Begini, Tante. Sebenarnya saya—.”“Sebenarnya Andara sedang sakit,” sela Anton tiba-tiba sambil menatapku dan sedikit menggeleng, “Jadi untuk saat ini dia ingin fokus dulu pada pengobatannya. Baru memikirkan masalah pernikahan kami,” lanjut Anton.“Apa itu benar, Andara? Memangnya kamu sakit apa, Sayang?” tanya Tante Ana sambil menggenggam tanganku dengan wajah terlihat khawatir.“Sa—.”“Maaf, Tante. Karena ini sudah larut malam. Sebaiknya kami segera kembali,” sela Mas Utomo tiba-tiba mengalihkan perhatian kami semua.“Tapi, Mas. Andara—,” aku mencoba bernegosiasi lagi dengan Mas Utomo.Namun, kakak tertuaku itu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk berbicara. Bahkan dia juga menjadikan ibu sebagai alasan.“Apa yang dikatakan Ma
“Andara,” ucap ibu dengan mata terlihat berkaca-kaca.Wanita yang tadi aku rindukan ternyata sekarang ada di sini, dan semua ini bagai mimpi untukku. Ibu tidak datang sendiri, melainkan dia datang dengan seseorang yang sangat aku kenal, dan orang itu berdiri di sampingnya.Tapi, bagaimana mereka bisa sampai di sini? Apa ini ulah Anton?“Andara,” tegur Anton membubarkan lamunanku.Ketika aku tersadar dari lamunanku, ibu dan Mas Utomo sudah ada di hadapanku. Bahkan Mas Utomo juga sedang bersalaman dengan Tante Ana.Sedangkan ibu, wanita tua itu masih saja menatapku tanpa memalingkan pandangannya sedikitpun ke arah lain, dan itu membuatku semakin ingin memeluknya.“Ibu,” panggilku sambil mendatangi ibu dan langsung memeluknya.Tanpa terasa air mataku turun ketika aku mengeratkan pelukanku pada ibu. Rasanya begitu nyaman hingga aku tidak ingin melepaskannya.“Andara,” panggil Mas Utomo sambil memegang pundakku.“Maaf, Mas.” Jawabku sambil mengusap sisa air mataku dan melepaskan ibu dari p
“Maaf,” ucapku sambil mengingat-ingat apakah aku pernah bertemu dengan wanita yang menegurku saat ini.“Apa kamu lupa dengan tante, Sayang?” sapa wanita anggun yang sepertinya seumuran dengan ibuku.“Maaf, apa anda mengenal saya?” tanyaku sopan sambil masih mencoba mengingat-ingat.“Kamu Andara ‘kan?” tanya wanita itu.“Iya, Tante. Saya Andara,” jawabku.Wanita yang masih berdiri itu lalu duduk di kursi yang berada di sebelahku sambil tersenyum. Dia lalu memegang tanganku dan memperkenalkan dirinya, dan itu membuatku membeku.“Ta –tante Ana?”“Iya, Sayang. Sekarang kamu sudah ingat ‘kan?”“Mama,” sela Anton ketika aku baru saja akan menjawab pertanyaan dari Tante Ana, “Sejak kapan mama ada di sini?” lanjut Anton sambil duduk.“Apa mama tidak boleh menemui calon menantu mama?” jawab Tan
“Oh, jadi ini yang kamu namakan kerja, Andara? Baru saja mas keluar sebentar, tapi kamu sudah bermesraan dengan pria lain di tempat ini,” tuduh Mas Tio yang terlihat marah.“Mas!” bentakku tidak terima.Aku yang tadinya duduk langsung berdiri ketika mendengar Mas Tio menuduhku untuk kesekian kalinya. Tuduhan yang tidak mendasar dan selalu saja menyalahkan aku tanpa mau mendengrkan penjelasanku.“Maaf, Bu Andara. Saya tadi sudah memberitahu Pak Tio kalau anda sedang ada tamu. Tapi Pak Tio terus saja memaksa untuk masuk,” jelas Dita.“Tutup pintunya, Dita.” Perintahku, dan Dita pun melakukan apa yang aku perintahkan. Sekarang tinggal kami bertiga di ruangan ini, “Sekarang jelaskan kepadaku apa mau mas? Dia tamuku, dan kami tidak melakukan apa yang mas tuduhkan itu!” lanjutku geram.“Andara,” ucap Anton.Aku yang sudah naik pitam tidak mengalihkan pandanganku dari pria yang
“Bisa kamu ulangi siapa nama pria tadi, Laura?” aku sengaja bertanya seperti itu untuk memastikan bahwa apa baru saja aku dengar tidak salah.“Tuan Anton, Bu Andara.” Jawab Laura mengulangi apa yang dia katakan.Mendengar nama Anton disebut, aku dan Dita saling menatap untuk beberapa saat. Aku lalu memerintahkan Laura untuk memberitahu pria itu agar menunggu sampai urusanku dengan Dita selesai.“Maaf, Bu Andara. Siapa pria itu? Apa anda mengenalnya? Karena menurut jadwal hari ini, anda tidak memiliki janji dengan klien manapun” tanya Dita terlihat penasaran seperti biasanya.“Dia bukan klien kita,” jawabku malas.“Kalau dia bukan klien kita. Siapa pria itu, Bu Andara? Apa dia teman anda?”“Hmmm.”Dita yang duduk di sampingku segera berdiri begitu aku mengatakan kalau Anton adalah temanku. Wanita itu lalu memberitahuku agar aku segera menemuinya. Menurutnya sangat
“Mas Tio?” ucapku begitu melihat siapa yang baru saja memanggil namaku.Mas Tio keluar dari mobilnya begitu aku menyebut namanya. Pria itu lalu berjalan mendekatiku. Tapi Anton lebih dulu menarikku dan memintaku untuk masuk ke dalam mobilnya kembali.“Lepaskan Andara!” teriak Mas Tio sambil melempar tinju ke arah Anton.“Mas Tio!” teriakku reflek karena terkejut.Aku tidak menyangkan Mas Tio akan melakukan tindakan kasar seperti saat ini. Ketika dia akan mengulangi lagi tindakannya, aku langsung menghentikannya dengan melindungi Anton.“Minggir, Andara! Biar aku memberinya pelajaran karena sudah mengganggu istri orang!” teriak Mas Tio sambil berusaha menarikku menjauh dari Anton.“Mas!” bentakku tak mau kalah.Tapi pria yang sudah terbakar emosi itu malah mendorongku dan kembali melempar tinjunya ke arah Anton. Namun Anton kali ini dapat menangkisnya dan dua orang itu akhirny