“Mas Utomo?” ucapku begitu tahu siapa yang datang ke rumahku.Melihat Mas Utomo datang ke rumahku aku benar-benar terkejut dan juga tidak percaya. Karena sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. Seingatku terakhir kali aku bertemu dengannya ketika aku dan Mas Tio baru saja berpacaran. Tapi karena ada masalah dengan keluarga kami, akhirnya Mas Utomo bekerja dan pindah ke Amerika.“Ternyata kamu masih mengingat mas, Dara.” Ujar Mas Utomo sambil tersenyum.“Tentu saja, Mas. Bagaimana bisa Dara lupa dengan mas. Mas adalah orang yang mendukung Dara selama ini,” jawabku sambil berjalan mendekati pria yang sudah lama aku rindukan.Rasanya sangat rindu sekali lama tidak bertemu dengan kakak lelakiku ini, dan dia sekarang ada di sini dan aku langsung memeluknya untuk meluapkan rasa rinduku selama ini.“Selalu saja cenggeng seperti anak kecil,” bisik Mas Utomo ketika aku masih memeluknya.“Mas ini, siapa yang menangis. Mataku tadi hanya kelilipan saja kok,” elakku sambil berusaha menenang
Melihat Mas Tio muncul dari balik mobil entah mengapa aku merasa khawatir. Karena terlihat sekali dua orang pria yang sedang berada di rumahku saat ini terlihat tidak bersahabat.“Kalau begitu mas pulang dulu, Dara. Jangan lupa dengan yang mas katakan tadi,” pamit Mas Utomo.“Iya, Mas. hati-hati,” jawabku.Mas Utomo lalu pergi menuju mobilnya yang berada di depan mobil Mas Tio. Terlihat sekali dua pria itu tidak saling bertegur sapa. Bahkan Mas Utomo terlihat mengabaikan Mas Tio ketika mereka berdua jalan berpapasan, begitupun dengan Mas Tio. Pria itu juga melakukan hal yang sama dengan Mas Utomo dan berjalan lurus menuju ke arahku.“Mengapa Mas Utomo ada di sini, Dara?” tanya Mas Tio begitu sampai di depanku.Aku yang masih fokus dengan kepergian kakak lelakiku itu mengabaikan apa yang Mas Tio tanyakan kepadaku hingga mobil Mas Utomo menghilang dari pandanganku. Setelah itu aku langsung masuk ke dalam rumah tanpa ingin menanggapi apa yang Mas Tio tanyakan sebelumnya.Bukannya aku tid
“Apapun yang ingin kamu katakan, kita akan membahasnya nanti,” ujar Mas Tio tanpa menatapku dan mengalihkan pandangannya ke arah lain, “Dan, tentang uang yang ingin aku pinjam, lupakan! Karena aku tidak jadi meminjamnya,” lanjutnya dingin.Setelah mengatakan hal itu Mas Tio langsung meninggalkan ruanganku tanpa mau mendengar apa yang akan aku katakan.Melihat sikapnya yang seperti itu, aku tahu sekali pria itu tidak hanya kesal kepadaku, tapi dia juga sangat marah. Sedangkan tentang uang yang akan dia pinjam, mengapa dia tiba-tiba membatalkannya? Apakah dia tahu rencanaku untuk tidak meminjamkan uang itu kepadanyanya? Ataukah?“Bu Andara, Bu Andara,” panggil Dita membubarkan lamunanku.“I –iya, Dita. Ada apa?”“Bu Andara, mengapa Pak Tio pergi secepat itu? Apakah Pak Tio …,” ucap Dita menjeda kalimatnya dan terlihat ragu untuk meneruskannya.“Panggilkan Laura, Dita.” Perintahku mengalihkan pembicaraan.“I –iya, Bu Andara,” jawab Dita dengan raut wajah yang terlihat binggung.Setelah
“Ini berkas perjanjian, Mas. Bukankah mas pinjam uang dari usaha kecilku ini? Jadi mas harus setuju dengan perjanjian yang kami buat,” jelasku.“Andara!” teriak Mas Tio dengan wajah memerah. Bahkan Mas Tio yang tadinya duduk, kini berdiri sambil menatapku tajam.Aku yang sudah menduga hal ini akan terjadi, memilih untuk diam dan berusaha untuk tidak terpancing dengan situasi saat ini. Karena aku yakin sekali, bila Mas Tio memang membutuhkan uang ini, maka pria itu pasti akan menandatangani berkas yang aku minta. Tapi, bila dia meminjam uang ini tidak karena sangat terpaksa dan hanya meminjamnya sebentar, maka dia tidak akan melakukannya. Karena aku hapal sekali bagaimana prinsip pria yang aku cintai itu.Lagi pula uang yang dia pinjam saat ini adalah jumlah yang sangat kecil baginya bila dibanding dengan kekayaan yang dia punya dari istri kayanya itu. Bahkan seujung kukunya saja tidak ada.“Maaf, Andara. Mas hanya … hanya lelah. Tadi mas kelepasan karena kelelahan,” ucap Mas Tio denga
Di dalam kamar, aku langsung melihat sekitar. Tidak ada yang berubah dari kamar yang aku tempati. Bahkan benda-benda di kamar ini juga tidak ada yang bergeser sedikitpun. Hingga pandanganku mengarah pada lemari yang terlihat tidak tertutup rapat, dan itu membuatku teringat akan barang-barang berharga yang aku simpan.“Semoga saja Mas Tio tidak mengambilnya,” gumamku sambil menuju satu-satunya lemari yang ada di kamar ini.Begitu membuka lemari, terlihat sekali ada beberapa pakaian milikku yang tersusun tidak rapi seperti sebelumnya, dan lemari penyimpananku masih tertutup seperti terakhir kali aku lihat. Bedanya kali ini kuncinya menggantung pada lemari penyimpanan itu, dan membuat kecurigaanku semakin kuat.“Apa yang sudah kamu lakukan, Mas!” gumamku tidak percaya begitu melihat isi lemari penyimpanan yang baru saja aku buka.Lemari penyimpanan yang tadinya berisi barang-barang berharga milikku, kini isinya sudah berubah. Atau lebih tepatnya beberapa barang yang aku simpan di sana hi
Buk!Sebuah pukulan dari Mas Tio langsung mendarat di pipi Anton begitu pria itu selesai bicara. Aku tidak menyangka Mas Tio akan melakukan hal gila seperti itu kepada Anton, dan itu membuatku terkejut dan aku langsung berteriak memanggil nama Mas Tio agar pria itu berhenti melakukan apa yang dia lakukan saat ini, dan mereka berdua tidak berkelahi.“Dengar, Anton. Aku bukan kekasihmu! Dan tidak akan pernah menjadi kekasihmu!” tegasku sambil menatap tajam Anton, “Dan untukmu, Mas Tio! Berhenti berpikiran kotor tentangku dan Anton. Karena apa yang kamu pikirkan itu tidak benar, dan aku tidak sepertimu ataupun Clara!” lanjutku.Setelah mengatakan hal itu aku langsung pergi menuju kamarku dan meninggalkan dua pria yang masih berdiri membeku itu.Terserah jika sekarang mereka ingin berkelahi atau saling membunuh, aku sudah tidak peduli lagi. Karena aku benar-benar lelah dan sakit hati dengan apa yang baru saja Mas Tio tuduhkan kepadaku. Karena itu semua tidak benar. Selain itu, apa yang An
Mendengar namaku dipanggil, aku langsung membeku. Karena suara itu seperti suara orang yang sangat aku kenal.“Andara, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Sovia yang kini sudah berada di depanku.“Sovia?” ucapku terkejut.Aku yang tidak menyangka akan bertemu dengan Sovia di tempat ini hanya bisa menyebut namanya saja. Karena aku tidak tahu harus berkata apa lagi karena terkejut.“Iya. Aku Sovia, Andara. Apa yang kamu lakukan di sini? Mengapa kamu bisa berada di tempat ini?”Karena tidak ingin ketahuan oleh Mas Tio bila aku berada di sini, aku langsung menarik Sovia dan menjauh dari tempat di mana kami berada saat ini.“Aku yang seharusnya bertanya kepadamu, Sovia! Kenapa kamu ada di rumah sakit ini? Apa kamu …?” cecarku sambil menyipitkan mata.“Aku … aku—,” jawab Sovia terlihat seperti menyembunyikan sesuatu.“Aku apa, Sovia? Jangan membuatku penasaran?” selaku.“Aku ke sini untuk menemui seseorang, Dara.”“Seseorang? Siapa orang itu?”Sovia tidak langsung menjawab pertanyaanku, d
Melihat rekasi Mbak Ayu yang seperti itu, aku tahu ada yang tidak beres. Sehingga aku mengajaknya bicara berdua dan sedikit menjauh dari Sovia.“Memangnya siapa pria itu, Mbak? Apa orang yang datang itu Dokter Anton?” tanyaku mengulangi apa yang aku tanyakan sebelumnya“Bukan, Bu Andara. Saya tidak tahu siapa pria itu, dan pria itu juga tidak mau menyebutkan namanya dan hanya mengatakan dia datang ke sini karena disuruh oleh seseorang,” jawab Mbak Ayu.“Disuruh seseorang?” ucapku terkejut.Aku yang masih terkejut dan sedikit takut, kemudian meminta Mbak Ayu untuk mengatakan kepada orang tersebut bahwa aku tidak ada. Karena aku takut itu orang suruhan Mas Tio atau orang yang berhubungan dengan Mas Tio dan Clara yang mungkin saja akan menculikku.“Apa tidak apa-apa, Bu Andara?” tanya Mbak Ayu dengan raut wajah terlihat khawatir.“Saya tidak tahu, Mbak. Tapi daripada saya kenapa-kenapa, lebi