Di dalam kamar, aku langsung melihat sekitar. Tidak ada yang berubah dari kamar yang aku tempati. Bahkan benda-benda di kamar ini juga tidak ada yang bergeser sedikitpun. Hingga pandanganku mengarah pada lemari yang terlihat tidak tertutup rapat, dan itu membuatku teringat akan barang-barang berharga yang aku simpan.“Semoga saja Mas Tio tidak mengambilnya,” gumamku sambil menuju satu-satunya lemari yang ada di kamar ini.Begitu membuka lemari, terlihat sekali ada beberapa pakaian milikku yang tersusun tidak rapi seperti sebelumnya, dan lemari penyimpananku masih tertutup seperti terakhir kali aku lihat. Bedanya kali ini kuncinya menggantung pada lemari penyimpanan itu, dan membuat kecurigaanku semakin kuat.“Apa yang sudah kamu lakukan, Mas!” gumamku tidak percaya begitu melihat isi lemari penyimpanan yang baru saja aku buka.Lemari penyimpanan yang tadinya berisi barang-barang berharga milikku, kini isinya sudah berubah. Atau lebih tepatnya beberapa barang yang aku simpan di sana hi
Buk!Sebuah pukulan dari Mas Tio langsung mendarat di pipi Anton begitu pria itu selesai bicara. Aku tidak menyangka Mas Tio akan melakukan hal gila seperti itu kepada Anton, dan itu membuatku terkejut dan aku langsung berteriak memanggil nama Mas Tio agar pria itu berhenti melakukan apa yang dia lakukan saat ini, dan mereka berdua tidak berkelahi.“Dengar, Anton. Aku bukan kekasihmu! Dan tidak akan pernah menjadi kekasihmu!” tegasku sambil menatap tajam Anton, “Dan untukmu, Mas Tio! Berhenti berpikiran kotor tentangku dan Anton. Karena apa yang kamu pikirkan itu tidak benar, dan aku tidak sepertimu ataupun Clara!” lanjutku.Setelah mengatakan hal itu aku langsung pergi menuju kamarku dan meninggalkan dua pria yang masih berdiri membeku itu.Terserah jika sekarang mereka ingin berkelahi atau saling membunuh, aku sudah tidak peduli lagi. Karena aku benar-benar lelah dan sakit hati dengan apa yang baru saja Mas Tio tuduhkan kepadaku. Karena itu semua tidak benar. Selain itu, apa yang An
Mendengar namaku dipanggil, aku langsung membeku. Karena suara itu seperti suara orang yang sangat aku kenal.“Andara, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Sovia yang kini sudah berada di depanku.“Sovia?” ucapku terkejut.Aku yang tidak menyangka akan bertemu dengan Sovia di tempat ini hanya bisa menyebut namanya saja. Karena aku tidak tahu harus berkata apa lagi karena terkejut.“Iya. Aku Sovia, Andara. Apa yang kamu lakukan di sini? Mengapa kamu bisa berada di tempat ini?”Karena tidak ingin ketahuan oleh Mas Tio bila aku berada di sini, aku langsung menarik Sovia dan menjauh dari tempat di mana kami berada saat ini.“Aku yang seharusnya bertanya kepadamu, Sovia! Kenapa kamu ada di rumah sakit ini? Apa kamu …?” cecarku sambil menyipitkan mata.“Aku … aku—,” jawab Sovia terlihat seperti menyembunyikan sesuatu.“Aku apa, Sovia? Jangan membuatku penasaran?” selaku.“Aku ke sini untuk menemui seseorang, Dara.”“Seseorang? Siapa orang itu?”Sovia tidak langsung menjawab pertanyaanku, d
Melihat rekasi Mbak Ayu yang seperti itu, aku tahu ada yang tidak beres. Sehingga aku mengajaknya bicara berdua dan sedikit menjauh dari Sovia.“Memangnya siapa pria itu, Mbak? Apa orang yang datang itu Dokter Anton?” tanyaku mengulangi apa yang aku tanyakan sebelumnya“Bukan, Bu Andara. Saya tidak tahu siapa pria itu, dan pria itu juga tidak mau menyebutkan namanya dan hanya mengatakan dia datang ke sini karena disuruh oleh seseorang,” jawab Mbak Ayu.“Disuruh seseorang?” ucapku terkejut.Aku yang masih terkejut dan sedikit takut, kemudian meminta Mbak Ayu untuk mengatakan kepada orang tersebut bahwa aku tidak ada. Karena aku takut itu orang suruhan Mas Tio atau orang yang berhubungan dengan Mas Tio dan Clara yang mungkin saja akan menculikku.“Apa tidak apa-apa, Bu Andara?” tanya Mbak Ayu dengan raut wajah terlihat khawatir.“Saya tidak tahu, Mbak. Tapi daripada saya kenapa-kenapa, lebi
“Utomo, dengan siapa kamu datang nak?” ucap wanita tua itu lagi.Mendengar suara wanita tua yang baru saja keluar dari rumah yang kami datangi, membuat hatiku bergemuruh. Bahkan mataku terasa panas, dan air mata yang ada di dalam seperti mau keluar. Namun aku berusaha menahannya agar Mas Utomo tidak mengetahui apa yang aku rasakan saat ini.“Utomo, kenapa kamu diam saja? Memangnya kamu datang dengan siapa, Nak?” suara wanita tua itu lagi, dan kali ini suara itu terdengar semakin dekat.“Ayo, Dara.” Ucap Mas Utomo.Namun, aku masih tidak bisa melangkahkan kakiku keluar dari mobil karena terasa berat. Hingga wajah wanita tua itu tiba-tiba sudah ada di depan kami.“Da –Dara?” ucap wanita tua itu dengan raut wajah terlihat terkejut sambil menatapku tanpa berkedip.“Iya, Bu. Itu Dara kita,” jelas Mas Utomo sambil menatap wanita tua yang bergelar ibuku itu, “Dia datang ke sini
“Ayah,” ucapku begitu melihat ayah duduk di atas kursi roda.“Ayah,” ucap Mas Utomo terlihat sama terkejutnya denganku.Ayah yang duduk di atas kursi roda terlihat tersenyum melihat kami berdua. Di belakang ayah berdiri kakak keduaku Mas Yuda.“Apa boleh ayah duduk di atas kursi roda seperti ini, Mas?” tanyaku pada Mas Yuda yang juga terlihat bahagia.“Dokter sudah mengizinkan,” jawab Mas Yuda.Aku dan Mas Utomo saling menatap ketika mendengar apa yang Mas Yuda katakan. Karena aku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar.“Kapan Dokter Ridwan datang, Yuda?” tanya Mas Utomo.“Tak lama setelah mas pergi. Tadi Dokter Ridwan juga memberitahu, bahwa dalam dua atau tiga hari lagi, bila kondisi ayah semakin baik. Ayah sudah bisa melanjutkan pengeobatan ke luar negeri seperti yang sudah dijadwalkan,” jelas Mas Yuda.“Kalau begitu, aku akan men
“Iya, Mbak. Ini ruangan Pak Baskara. Maaf, mbak siapa ya?” jawabku sopan.“Perkenalkan saya Sella, istri Mas Yuda.”Mataku langsung membulat begitu mendengar apa yang dikatakan oleh wanita yang sedang berdiri di depan pintu. Tidak hanya aku, Mas Utomo pun terlihat sama terkejutnya denganku. Bahkan dari ekspresi Mas Utomo terlihat sekali sepertinya pria itu juga tidak tahu akan hal ini.“Istri Yuda? Apa saya tidak salah dengar?” sela ibu mengalihkan perhatian kami, “Istri Yuda itu Indah, bukan Sella,” lanjut ibu membuatku dan Mas Utomo saling menatap dengan raut wajah binggung.Ibu yang tadinya duduk, kini sudah berdiri sambil memandangi wanita yang masih berdiri di depan pintu itu dari atas hingga ke bawah. Terlihat sekali dari sorot mata ibu, dia terlihat tidak suka dengan kehadiran wanita yang ada di hadapan kami saat ini.“Siapa yang menyuruhmu datang kemari dan memintamu mengaku sebagai istri Yuda?” ketus ibu sambil menatap tajam wanita itu.Melihat situasi yang terjadi saat
“Apa kabar, Bu? Mas Utomo?” sapa pria yang sedang berdiri di depan pintu sambil tersenyum dan menatap ibu dan Mas Utomo secara bergantian.Karena tidak mendapat jawaban dari dua orang yang berada di depanku, pria itu kemudian menyapaku. Namun aku hanya bisa terpaku, karena tidak menyangka akan bertemu dengan pria itu di tempat ini.Bagaimana bisa dia sampai di tempat ini, dan menemukanku? Apakah dia mengirim seseorang untuk membuntutiku? Ataukah?Rasanya benar-benar frustasi memikirkan semua itu. Herannya lagi, mengapa Johan tidak memberitahuku tentang hal ini sebelumnya. Apakah telepon dari Johan tadi ingin memberitahuku tentang hal ini?“Sebaiknya kalian bicara di luar,” bisik Mas Utomo membubarkan lamunanku.Aku yang masih membeku kemudian menatap putra sulung keluarga ini dan mengangguk. Tapi baru saja aku akan melangkah, ibu mencegahku dengan menarik lenganku.“Tidak ada yang perlu kalian bicarakan di sini.
“Maaf,” ucapku sambil mengingat-ingat apakah aku pernah bertemu dengan wanita yang menegurku saat ini.“Apa kamu lupa dengan tante, Sayang?” sapa wanita anggun yang sepertinya seumuran dengan ibuku.“Maaf, apa anda mengenal saya?” tanyaku sopan sambil masih mencoba mengingat-ingat.“Kamu Andara ‘kan?” tanya wanita itu.“Iya, Tante. Saya Andara,” jawabku.Wanita yang masih berdiri itu lalu duduk di kursi yang berada di sebelahku sambil tersenyum. Dia lalu memegang tanganku dan memperkenalkan dirinya, dan itu membuatku membeku.“Ta –tante Ana?”“Iya, Sayang. Sekarang kamu sudah ingat ‘kan?”“Mama,” sela Anton ketika aku baru saja akan menjawab pertanyaan dari Tante Ana, “Sejak kapan mama ada di sini?” lanjut Anton sambil duduk.“Apa mama tidak boleh menemui calon menantu mama?” jawab Tan
“Oh, jadi ini yang kamu namakan kerja, Andara? Baru saja mas keluar sebentar, tapi kamu sudah bermesraan dengan pria lain di tempat ini,” tuduh Mas Tio yang terlihat marah.“Mas!” bentakku tidak terima.Aku yang tadinya duduk langsung berdiri ketika mendengar Mas Tio menuduhku untuk kesekian kalinya. Tuduhan yang tidak mendasar dan selalu saja menyalahkan aku tanpa mau mendengrkan penjelasanku.“Maaf, Bu Andara. Saya tadi sudah memberitahu Pak Tio kalau anda sedang ada tamu. Tapi Pak Tio terus saja memaksa untuk masuk,” jelas Dita.“Tutup pintunya, Dita.” Perintahku, dan Dita pun melakukan apa yang aku perintahkan. Sekarang tinggal kami bertiga di ruangan ini, “Sekarang jelaskan kepadaku apa mau mas? Dia tamuku, dan kami tidak melakukan apa yang mas tuduhkan itu!” lanjutku geram.“Andara,” ucap Anton.Aku yang sudah naik pitam tidak mengalihkan pandanganku dari pria yang
“Bisa kamu ulangi siapa nama pria tadi, Laura?” aku sengaja bertanya seperti itu untuk memastikan bahwa apa baru saja aku dengar tidak salah.“Tuan Anton, Bu Andara.” Jawab Laura mengulangi apa yang dia katakan.Mendengar nama Anton disebut, aku dan Dita saling menatap untuk beberapa saat. Aku lalu memerintahkan Laura untuk memberitahu pria itu agar menunggu sampai urusanku dengan Dita selesai.“Maaf, Bu Andara. Siapa pria itu? Apa anda mengenalnya? Karena menurut jadwal hari ini, anda tidak memiliki janji dengan klien manapun” tanya Dita terlihat penasaran seperti biasanya.“Dia bukan klien kita,” jawabku malas.“Kalau dia bukan klien kita. Siapa pria itu, Bu Andara? Apa dia teman anda?”“Hmmm.”Dita yang duduk di sampingku segera berdiri begitu aku mengatakan kalau Anton adalah temanku. Wanita itu lalu memberitahuku agar aku segera menemuinya. Menurutnya sangat
“Mas Tio?” ucapku begitu melihat siapa yang baru saja memanggil namaku.Mas Tio keluar dari mobilnya begitu aku menyebut namanya. Pria itu lalu berjalan mendekatiku. Tapi Anton lebih dulu menarikku dan memintaku untuk masuk ke dalam mobilnya kembali.“Lepaskan Andara!” teriak Mas Tio sambil melempar tinju ke arah Anton.“Mas Tio!” teriakku reflek karena terkejut.Aku tidak menyangkan Mas Tio akan melakukan tindakan kasar seperti saat ini. Ketika dia akan mengulangi lagi tindakannya, aku langsung menghentikannya dengan melindungi Anton.“Minggir, Andara! Biar aku memberinya pelajaran karena sudah mengganggu istri orang!” teriak Mas Tio sambil berusaha menarikku menjauh dari Anton.“Mas!” bentakku tak mau kalah.Tapi pria yang sudah terbakar emosi itu malah mendorongku dan kembali melempar tinjunya ke arah Anton. Namun Anton kali ini dapat menangkisnya dan dua orang itu akhirny
“Ada apa, Andara? Apa ada yang tertinggal?” tanya Anton setelah mobil kami berhenti mendadak.“Tidak, Anton.” Jawabku masih sambil tetap fokus pada mobil yang menarik perhatianku, “Bisa kamu mundur sebentar, Anton?” lanjutku.“Mundur?” ucap Anton terlihat binggung.“Iya, mundur.”Anton yang masih terlihat binggung akhirnya mengikuti apa yang aku katakan. Anehnya, mobil yang aku lihat sudah tidak ada.“Ada apa, Andara? Apa kamu melihat seseorang yang kamu kenal?”Pertanyaan Anton seperti angin yang melewati telingaku. Walau aku mendengarnya, tapi aku memilih mengabaikannya dan mencari mobil yang menjadi pusat perhatianku tadi.“Anton, apa kamu lihat mobil merah yang tadi terparkir di tempat itu?” tanyaku sambil menunjuk ke arah tempat mobil merah tadi berada.“Mobil merah? Mobil merah apa maksudmu, Andara?”“Mobil merah y
“Dokter Mita,” ujar Anton masih sambil memegang tanganku.Melihat Dokter Mita menatap kami dengan tatapan tidak suka, aku lalu berusaha untuk melepaskan tanganku dari tangan Anton. Namun, pria itu tidak membiarkan tanganku lepas darinya.“Apa yang kamu lakukan di sini, Anton?” tanya wanita itu sambil sesekali menatapku.“Makan malam,” jawab Anton sambil menatapku.Kali ini aku berusaha lagi melepaskan tanganku dari tangan Anton ketika wanita yang bernama Mita itu masih saja menatap tangan kami, dan itu membuatku merasa tidak nyaman. Sehingga aku kemudian memanggil nama Anton dan memberinya kode agar melepaskan tanganku, dan kali ini pria itu mau melakukannya.“Hanya makan malam?”“Hmmm.”“Maaf, saya harus ke belakang sebentar,” selaku agar mereka berdua bisa bicara. Karena situasi saat ini sungguh tidak nyaman dan juga canggung.“Apa kamu ingin aku me
“Ada apa, Bu Andara? Apa ada yang salah?” tanya Johan membubarkan lamunanku.“Tidak ada apa-apa, Johan. Bisa kamu mengantar saya ke tempat lain? Saya lupa kalau hari ini saya ada janji dengan seseorang, dan orang tersebut meminta saya menemuinya di kafe tak jauh dari tempat ini,” jawabku berbohong.“Baik, Bu Andara.”Ketika mobil yang aku tumpangi mulai berjalan, ternyata sosok yang aku lihat tadi tidak berjalan ke arah mobil yang aku tumpangi, melainkan dia menuju mobil yang tak jauh dari tempatku berhenti tadi.“Maaf, Bu Andara. Kafe mana yang anda maksud?” tanya Johan membubarkan lamunanku.Aku yang masih terpaku pada mobil yang menarik perhatianku langsung menoleh begitu Johan bertanya kepadaku. Akhirnya aku memilih salah satu kafe secara acak yang tak jauh dari kami berada saat ini. Aku juga langsung mengirimi Dita pesan agar menemuiku di kafe tersebut dengan membawa mobilku.“Apa kafe ini, Bu Andara?” tanya Johan begitu kami berhenti di salah satu kafe yang aku tunjuk.“Iya, ber
“Saya … saya ingin meminta maaf kepada anda, Bu Andara,” ujar Dokter Ricci.Apa yang baru saja Dokter Ricci katakan sungguh di luar dugaan. Bagaimana mungkin pria dingin seperti dia bisa meminta maaf kepada seseorang? Apakah pria ini sedang mengigau, atau memang aku yang memang dengar?“Saya minta maaf karena saya sudah bertindak keterlaluan kepada anda, Bu Andara.” Ujar Dokter Ricci mengulangi apa yang dia katakan sambil sedikit menundukkan kepala.Aku yang malas menanggapi permintaan maaf pria yang ada di depanku saat ini memilih untuk mengalihkan pandanganku ke arah lain. Karena apa yang sudah dia lakukan benar-benar membuatku kecewa, dan aku tidak ingin berbicara dengannya saat ini.“Apa anda tidak mau memaafkan saya, Bu Andara?” tanya Dokter Ricci ketika aku tetap bungkam menanggapi permintaan maafnya, dan aku tidak menyangka pria itu masih berani bertanya seperti itu kepadaku.“Saya maafkan ata
“Apa yang kamu minta, Andara? Cepat katakan, jangan membuang-buang waktu mas,” protes Mas Utomo ketika aku tidak langsung mengutarakan keinginanku.“Mas harus janji dulu kepada Andara. Kalau mas akan mengabulkan permintaan Andara, baru Andara akan mengatakannya,” tawarku.“Kalau begitu lupakan!” tolak Mas Utomo.Pria itu lalu bergegas akan masuk ke dalam mobilnya setelah menolak permintaanku, tapi aku lalu menahannya dan tidak membiarkannya masuk ke dalam mobil.“Tidak ada permintaan!” tolak Mas Utomo lagi dengan raut wajah lebih serius dari sebelumnya.“Sekali ini saja, Mas.” Tawarku tak mau kalah.Mas Utomo terlihat berpikir sambil memandangku, dan dia akhirnya setuju untuk mengabulkan apa yang aku minta. Walaupun dia belum tahu apa yang akan aku minta darinya.“Cepat katakan,” ujar Mas Utomo.“Tolong jangan cari informasi lagi tentang Sovia. Masala