“Ayah,” ucapku begitu melihat ayah duduk di atas kursi roda.
“Ayah,” ucap Mas Utomo terlihat sama terkejutnya denganku.
Ayah yang duduk di atas kursi roda terlihat tersenyum melihat kami berdua. Di belakang ayah berdiri kakak keduaku Mas Yuda.
“Apa boleh ayah duduk di atas kursi roda seperti ini, Mas?” tanyaku pada Mas Yuda yang juga terlihat bahagia.
“Dokter sudah mengizinkan,” jawab Mas Yuda.
Aku dan Mas Utomo saling menatap ketika mendengar apa yang Mas Yuda katakan. Karena aku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar.
“Kapan Dokter Ridwan datang, Yuda?” tanya Mas Utomo.
“Tak lama setelah mas pergi. Tadi Dokter Ridwan juga memberitahu, bahwa dalam dua atau tiga hari lagi, bila kondisi ayah semakin baik. Ayah sudah bisa melanjutkan pengeobatan ke luar negeri seperti yang sudah dijadwalkan,” jelas Mas Yuda.
“Kalau begitu, aku akan men
“Iya, Mbak. Ini ruangan Pak Baskara. Maaf, mbak siapa ya?” jawabku sopan.“Perkenalkan saya Sella, istri Mas Yuda.”Mataku langsung membulat begitu mendengar apa yang dikatakan oleh wanita yang sedang berdiri di depan pintu. Tidak hanya aku, Mas Utomo pun terlihat sama terkejutnya denganku. Bahkan dari ekspresi Mas Utomo terlihat sekali sepertinya pria itu juga tidak tahu akan hal ini.“Istri Yuda? Apa saya tidak salah dengar?” sela ibu mengalihkan perhatian kami, “Istri Yuda itu Indah, bukan Sella,” lanjut ibu membuatku dan Mas Utomo saling menatap dengan raut wajah binggung.Ibu yang tadinya duduk, kini sudah berdiri sambil memandangi wanita yang masih berdiri di depan pintu itu dari atas hingga ke bawah. Terlihat sekali dari sorot mata ibu, dia terlihat tidak suka dengan kehadiran wanita yang ada di hadapan kami saat ini.“Siapa yang menyuruhmu datang kemari dan memintamu mengaku sebagai istri Yuda?” ketus ibu sambil menatap tajam wanita itu.Melihat situasi yang terjadi saat
“Apa kabar, Bu? Mas Utomo?” sapa pria yang sedang berdiri di depan pintu sambil tersenyum dan menatap ibu dan Mas Utomo secara bergantian.Karena tidak mendapat jawaban dari dua orang yang berada di depanku, pria itu kemudian menyapaku. Namun aku hanya bisa terpaku, karena tidak menyangka akan bertemu dengan pria itu di tempat ini.Bagaimana bisa dia sampai di tempat ini, dan menemukanku? Apakah dia mengirim seseorang untuk membuntutiku? Ataukah?Rasanya benar-benar frustasi memikirkan semua itu. Herannya lagi, mengapa Johan tidak memberitahuku tentang hal ini sebelumnya. Apakah telepon dari Johan tadi ingin memberitahuku tentang hal ini?“Sebaiknya kalian bicara di luar,” bisik Mas Utomo membubarkan lamunanku.Aku yang masih membeku kemudian menatap putra sulung keluarga ini dan mengangguk. Tapi baru saja aku akan melangkah, ibu mencegahku dengan menarik lenganku.“Tidak ada yang perlu kalian bicarakan di sini.
“Biarkan saja, Dara. Pria ini pantas menerimanya!” geram Mas Utomo masih sambil mengayunkan tangannya ke tubuh pria yang ada di depannya saat ini.“Tapi dia bisa mati, Mas!” teriakku tak mau kalah sambil berusaha menarik Mas Utomo agar menghentikan apa yang dia lakukan.Tapi pria itu masih saja menyerang lawan yang ada dihadapannya dengan membabi buta hingga semua yang melihat kejadian itu tidak bisa melerai mereka berdua. Bahkan aku sendiri sampai terpental hingga terjatuh karena Mas Utomo menepis tanganku yang memegangnya.“Dara!” teriak ibu sambil berlari ke arahku.Kedua pria yang sedang berkelahi itu sontak langsung berhenti ketika mendengar suara teriakan ibu yang memanggil namaku, dan berlari di belakang ibu menuju ke arahku.“Aku baik-baik saja, Bu.” Ujarku sambil berusaha berdiri sambil dibantu oleh ibu dan kedua kakakku.“Baik-baik saja apanya? Orang kamu tadi jatuh terduduk begitu!” seri Mas Utomo sambil memperhatikanku dari atas hingga ke bawah.“Iya, Dara. Sebaiknya kamu
“Sebenarnya Indah itu bukan istri pertama mas, Dara. Tapi Sella lah istri pertama mas,” ucap Mas Yuda.Apa yang baru saja Mas Yuda katakan benar-benar membuatku terkejut untuk kedua kalinya. Bagaimana tidak, karena aku tidak menyangka ternyata Mbak Indah lah wanita kedua dalam hidup kakak keduaku itu.“Apa aku tidak salah dengar, Mas? Kalau Mbak Indah istri kedua mas, terus kapan mas menikah dengan Mbak Sella?” tanyaku semakin penasaran.“Kapan-kapan mas akan menceritakannya kepadamu, Dara. Sekarang lebih baik kita kembali ke kamar ayah,” jawab Mas Yuda lirih sambil memberiku kode agar aku melihat ke arah samping.Ternyata Mas Utomo tengah berdiri tak jauh dari tempat kami berada saat ini, dan tatapannya mengarah kepada kami berdua seperti elang yang mengintai mangsanya.“Iya, Mas. Ayo kita kembali ke kamar ayah,” jawabku mengalihkan pembicaraan.Aku dan Mas Yuda kemudian berjalan bergandengan
“Tapi, Bu Andara—.” Ucap pria yang aku ketahui bernama Alan.“Saya bilang berhenti, ya berhenti!” bentakku paksa.Mobil yang tadinya masih melaju perlahan, langsung berhenti begitu aku membentak pria yang mengantarku. Tanpa mempedulikannya aku langsung bergegas keluar dari mobil dan menghampiri orang mencuri perhatianku.“Apa yang kalian lakukan! Lepaskan dia!” bentakku pada dua pria yang mengenakan pakaian hitam.“Dara,” ucap wanita yang dipegangi oleh dua pria yang tidak aku kenal itu.“Ini bukan seperti yang anda kira, Nona Dara.” Ucap salah salah satu pria.Bukan main terkejutnya aku ketika pria yang memegangi istri pertama Mas Yuda itu mengetahui namaku. Siapa mereka? Bagaimana mereka tahu namaku, sedangkan aku tidak pernah bertemu dengan mereka sebelumnya? Apakah mereka?“Bu Andara,” panggil Alan mengejutkanku sambil berlari mendekatiku, “Sebaikn
“Bu Andara,” ucap Alan lirih begitu melihatku.“Mas, apa yang terjadi di sini?” tanyaku begitu melihat Mas Tio ada di depan Alan masih dengan tangan yang mengepal ingin memukul Alan, “Mengapa kalian berdua bertengkar?” lanjutku.Mas Tio yang tadinya masih memegang kerah baju Alan dan mengepalkan tangannya langsung melapaskan pria yang ada di hadapannya.Pria itu kemudian berusaha mendekatiku. Namun Alan segera menghentikan jalan pria yang aku cintai itu.“Minggir!” bentak Mas Tio pada pria yang menghadangnya.“Maaf, bukankah sudah saya bilang. Anda tidak bisa menemui Bu Andara!” tegas Alan.Melihat ketegangan antara dua pria yang ada di hadapanku membuatku harus turun tangan. Kalau tidak, maka bisa timbul keributan yang aku sendiri tidak bisa mencegahnya.“Biarkan dia lewat, Alan.” Perintahku.“Tapi, Bu Andara. Saya diberi perintah oleh Pak Utomo untuk menjaga anda dari pria ini,” jelas Alan.“Perintah?” ucapku terkejut.“Perintah! Perintah! Saya tidak peduli! Ini rumah saya dan saya
“Bapak meminta saya untuk segera kembali,” jawab Alan mengulangi apa yang dia katakan.Mendengar jawaban Alan membuatku sedikit lega dan juga was-was. Karena perintah yang diberikan oleh kakak tertuaku itu tiba-tiba sekali. Bukankah sebelumnya Alan mengatakan dia akan berada di sini sampai aku kembali, dan sekarang? Apakah ini ada hubungannya dengan Mas Tio?“Bu Andara, Bu Andara. Apa anda baik-baik saja?” panggil Alan membubarkan lamunanku.“Iya, saya baik-baik saja,” jawabku masih sambil berusaha menguasai diriku yang masih sedikit terkejut, “Jadi, kapan kamu akan pergi?” lanjutku.“Sekarang, Bu Andara.” Jawab Alan tegas.Jawaban Alan benar-benar membuatku ternganga. Bagaimana tidak? Mas Utomo memerintahkan orang kepercayaannya untuk pergi sekarang juga. Apakah itu artinya, Mas Utomo benar-benar marah ketika mendengar suara Mas Tio ada di rumah ini? Ataukah? “Kalau begitu saya pamit dulu, Bu Andara.” Pamit Alan.Aku hanya mengangguk menjawab Alan. Karena pikiranku saat ini masih di
“Johan, bagaimanapun caranya kamu harus menghentikan mereka. Jangan biarkan orang-orang Mas Utomo membawa wanita itu!” perintahku pada orang di seberang telepon.Setelah mendengar jawaban dari Johan, aku segera memikirkan cara agar bisa keluar dari rumah ini tanpa diketahui oleh orang-orang Mas Utomo dan Mas Tio. Tapi semakin aku memikirkannya, otakku terasa buntu dan aku tidak menemukan cara tepat untuk bisa keluar dari rumah ini.“Butik!” gumamku setelah lama merenung.Setelah mendapatkan ide untuk keluar dari rumah ini, aku segera menghubungi Dita untuk menyiapkan apa yang aku butuhkan untuk bertemu dengan Johan, dan orang kepercayaanku itupun menyanggupi apa yang aku minta.“Sayang, kamu mau ke mana?” tanya Mas Tio begitu aku keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah rapi.“Aku akan ke butik, Mas.”“Ke butik? Sekarang?” ujar Mas Tio dengan raut wajah tampak terkejut.“Hmmm,” jawabku malas sambil berjalan melewati Mas Tio tanpa memperhatikan bagaimana reaksinya. Mau dia megizinka
“Dokter Mita,” ujar Anton masih sambil memegang tanganku.Melihat Dokter Mita menatap kami dengan tatapan tidak suka, aku lalu berusaha untuk melepaskan tanganku dari tangan Anton. Namun, pria itu tidak membiarkan tanganku lepas darinya.“Apa yang kamu lakukan di sini, Anton?” tanya wanita itu sambil sesekali menatapku.“Makan malam,” jawab Anton sambil menatapku.Kali ini aku berusaha lagi melepaskan tanganku dari tangan Anton ketika wanita yang bernama Mita itu masih saja menatap tangan kami, dan itu membuatku merasa tidak nyaman. Sehingga aku kemudian memanggil nama Anton dan memberinya kode agar melepaskan tanganku, dan kali ini pria itu mau melakukannya.“Hanya makan malam?”“Hmmm.”“Maaf, saya harus ke belakang sebentar,” selaku agar mereka berdua bisa bicara. Karena situasi saat ini sungguh tidak nyaman dan juga canggung.“Apa kamu ingin aku me
“Ada apa, Bu Andara? Apa ada yang salah?” tanya Johan membubarkan lamunanku.“Tidak ada apa-apa, Johan. Bisa kamu mengantar saya ke tempat lain? Saya lupa kalau hari ini saya ada janji dengan seseorang, dan orang tersebut meminta saya menemuinya di kafe tak jauh dari tempat ini,” jawabku berbohong.“Baik, Bu Andara.”Ketika mobil yang aku tumpangi mulai berjalan, ternyata sosok yang aku lihat tadi tidak berjalan ke arah mobil yang aku tumpangi, melainkan dia menuju mobil yang tak jauh dari tempatku berhenti tadi.“Maaf, Bu Andara. Kafe mana yang anda maksud?” tanya Johan membubarkan lamunanku.Aku yang masih terpaku pada mobil yang menarik perhatianku langsung menoleh begitu Johan bertanya kepadaku. Akhirnya aku memilih salah satu kafe secara acak yang tak jauh dari kami berada saat ini. Aku juga langsung mengirimi Dita pesan agar menemuiku di kafe tersebut dengan membawa mobilku.“Apa kafe ini, Bu Andara?” tanya Johan begitu kami berhenti di salah satu kafe yang aku tunjuk.“Iya, ber
“Saya … saya ingin meminta maaf kepada anda, Bu Andara,” ujar Dokter Ricci.Apa yang baru saja Dokter Ricci katakan sungguh di luar dugaan. Bagaimana mungkin pria dingin seperti dia bisa meminta maaf kepada seseorang? Apakah pria ini sedang mengigau, atau memang aku yang memang dengar?“Saya minta maaf karena saya sudah bertindak keterlaluan kepada anda, Bu Andara.” Ujar Dokter Ricci mengulangi apa yang dia katakan sambil sedikit menundukkan kepala.Aku yang malas menanggapi permintaan maaf pria yang ada di depanku saat ini memilih untuk mengalihkan pandanganku ke arah lain. Karena apa yang sudah dia lakukan benar-benar membuatku kecewa, dan aku tidak ingin berbicara dengannya saat ini.“Apa anda tidak mau memaafkan saya, Bu Andara?” tanya Dokter Ricci ketika aku tetap bungkam menanggapi permintaan maafnya, dan aku tidak menyangka pria itu masih berani bertanya seperti itu kepadaku.“Saya maafkan ata
“Apa yang kamu minta, Andara? Cepat katakan, jangan membuang-buang waktu mas,” protes Mas Utomo ketika aku tidak langsung mengutarakan keinginanku.“Mas harus janji dulu kepada Andara. Kalau mas akan mengabulkan permintaan Andara, baru Andara akan mengatakannya,” tawarku.“Kalau begitu lupakan!” tolak Mas Utomo.Pria itu lalu bergegas akan masuk ke dalam mobilnya setelah menolak permintaanku, tapi aku lalu menahannya dan tidak membiarkannya masuk ke dalam mobil.“Tidak ada permintaan!” tolak Mas Utomo lagi dengan raut wajah lebih serius dari sebelumnya.“Sekali ini saja, Mas.” Tawarku tak mau kalah.Mas Utomo terlihat berpikir sambil memandangku, dan dia akhirnya setuju untuk mengabulkan apa yang aku minta. Walaupun dia belum tahu apa yang akan aku minta darinya.“Cepat katakan,” ujar Mas Utomo.“Tolong jangan cari informasi lagi tentang Sovia. Masala
“Ada apa dengan Mas Tio, Mas? Apa yang mas ketahui tentang Mas Tio?” cecarku.“Dia mengkhianatimu, Dara. Dia …,” jawab Mas Utomo penuh penekanan. Bahkan tangannya pun mengepal ketika mengatakan hal itu.“Dia apa, Mas? Jangan setengah-setengah menjelaskan kepada Dara.”Mas Utomo terlihat beberapa kali menghela napas sebelum mulai berbicara lagi. Seperti ada beban berat yang ada dipundaknya dan dia seperti perlu menenangkan diri dulu sebelum melanjutkan pembicaraan kami.“Dia itu selain tidak setia kepadamu, dia juga mempermainkanmu.”“Mempermainkanku bagaimana, Mas? Apa maksud mas karena dia menikah dengan Clara, jadi dia mempermainkan Dara?”“Kita duduk dulu, Andara. Mas akan menjelaskan semua yang mas ketahui tentang priamu itu,” ajak Mas Utomo dengan suara melemah.Setelah kami berdua duduk bersama, Mas Utomo mulai menjelaskan secara perlahan apa yang dia
“Baiklah, Anton. Saya akan pergi makan malam denganmu,” jawabku berubah pikiran. Sebenarnya aku ingin menolaknya, tapi entah mengapa tiba-tiba keputusanku berubah begitu melihat wajah pria itu.“Yesss!” sela Anton membuatku terkejut. Pria itu bertingkah seperti baru saja memenangkan lomba dan mendapatkan hadiah pertama, “Maaf, Andara. Saya terbawa suasana,” lanjutnya sambil tersenyum malu-malu.Aku hanya bisa tersenyum menanggapi apa yang dikatakan pria itu. Sikapnya benar-benar lucu, dan tidak berubah sejak dulu.“Jadi kita deal ya bertemu jam delapan malam ini, malam ini. Nanti aku akan menjemputmu setelah pulang dari rumah sakit dan kita bisa pergi bersama ke tempat kita makan malam.”“Hmmm … maaf, Anton. Sepertinya kamu tidak perlu menjemputku. Beritahu aku di mana kita akan bertemu. Nanti setelah urusanku selesai, aku akan langsung menuju ke sana.”“Baiklah, nanti aku aka
“Saya …,” jawab Mbak Ayu terlihat gelisah.“Katakan saja, Mbak Ayu. Ada apa? Apa tadi Pak Tio mengancam mbak?” selaku tidak sabar.Wanita yang ada di depanku saat ini terlihat binggung ketika akan menjawabku. Sehingga aku kemudian mengajaknya duduk dan memintanya untuk menjelaskan secara perlahan kepadaku.Tapi sebelum aku mendengarkan cerita dari wanita yang bekerja di rumahku itu, aku teringat tentang Mas Utomo yang berbicara dengan Mas Tio. Sehingga aku segera berlari ke jendela untuk melihat yang terjadi. Namun, sayang sungguh di sayang. Mobil Mas Tio ataupun mobil kakak tetuaku itu sudah pergi, dan hanya tinggal menyisakan satu mobil anak buah Mas Utomo.“Ada apa, Bu Andara? Apa orang-orang tadi belum pergi?” tanya Mbak Ayu membuatku menoleh kepadanya.“Sudah, baru saja.” Jawabku sambil berjalan menghampiri Mbak Ayu yang sudah duduk di atas tempat tidurku.Aku lalu duduk di sampingnya untuk mendengarkan apa yang wanita itu tadi ingin katakan. Raut wajahnya yang tadi terlihat geli
“M‒Mas Tio? Bagaimana mas bisa ada di sini?”“Apa maksudmu, Dara? Apa mas tidak boleh berada di sini?”Aku yang masih terkejut dengan kehadiran Mas Tio hanya bisa membeku. Karena aku tidak menyangka pria itu ada di sini. Tapi bagaimana mungkin? Bukankah dia tadi bersama dengan Clara?Suara langkah Mas Tio yang berjalan menuju ke arahku akhirnya menyadarkanku. Dia berjalan ke arahku dengan tatapan tidak suka, atau lebih tepatnya seperti orang yang sedang menahan emosi.“Bukan begitu maksud Dara, Mas. Dara hanya kaget saja, kenapa mas ke sini tanpa memberitahu Dara?” Ralatku mengalihkan pembicaraan, “Mas ‘kan bisa menelepon Dara dulu. Jadi Dara bisa menyambut mas ketika mas datang,” lanjutku berpura-pura bersikap manis.“Mas tadi kebetulan lewat, Sayang. Jadi mas sekalian mampir untuk memberimu kejutan,” ucap Mas Tio sambil memegang tanganku, “Tapi malah mas yang terkejut.
“Apapun yang terjadi, dia tetap di sini!” perintahku masih sambil menatap lurus ke depan.“Tapi, Bu Andara—.” Protes Dokter Ricci.“Anda sudah mendengar apa yang Bu Andara katakan, Dokter. Jadi sekarang lebih baik anda kembali ke ruangan itu dan merawat Bu Maria,” potong Johan.Dokter Ricci keluar dari ruangan dengan membanting pintu. Tak lama kemudian terlihat dari kaca dia masuk ke dalam ruangan itu dengan tergesa-gesa dan segera melakukan pertolongan pada wanita yang sepertinya sedang kejang di atas tempat tidur.“Bu Andara …,” tegur Johan.Aku meminta Johan untuk tidak meneruskan apa yang akan dia katakan dan melihat apa yang terjadi. Apakah wanita itu akan selamat kali ini, ataukah?“Bu Andara,” ucap Johan sambil memberikan ponselnya kepadaku. Di layar ponsel yang menyala itu terpampang nama Dokter Ricci, dan Johan lalu memasang pengeras suara agar aku bisa mendeng