"Mas Tio," ucapku lirih sambil menatap pria yang sedang berjalan dengan seorang wanita yang sepertinya putrinya.
Mas Tio dan wanita itu, terlihat seperti terburu-buru masuk ke dalam rumah sakit, dan aku tidak tahu apa yang sedang terjadi kepadanya. Tapi dari raut wajah Mas Tio, terlihat sekali dia terlihat panik dan khawatir. "Andara, kamu kenapa?" tegur Anton mengejutkanku."A –aku tidak apa-apa, Dokter Anton. Aku tadi hanya melihat seseorang yang sepertinya aku kenal," jawabku masih menatap ke arah Mas Tio berada tadi, tapi kemudian aku menoleh ke arah pria yang sudah menegurku. Anton yang berada di sampingku terlihat kesal ketika aku menatapnya, dan dia kemudian mendekatkan kepalanya lebih dekat ke arahku. "Panggil aku Anton saja, Andara. Apa kamu lupa," protes Anton dengan suara sedikit berbisik. "Iya Dok ... Anton maksudku. Baiklah kalau begitu aku pergi dulu. Karena masih ada yang harus aku kerjakan," pamitku, dan aku pun langsung masuk ke dalam mobil tanpa menunggu jawaban dari Anton. Sebenarnya aku masih ingin berbicara dengan Anton dan mengetahui apa yang terjadi pada Mas Tio, tapi karena aku tidak ingin Mas Tio mendapat masalah. Jadi aku memilih untuk pergi, dan akan menanyakan apa yang terjadi tadi setelah Mas Tio pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku hanya menatap ke luar jendela sambil mengusap perutku yang kini kosong. Andai saja aku tidak keguguran, pasti bayiku masih bersamaku. "Bu Andara, kita sudah sampai," tegur Mbak Ayu membubarkan lamunanku. Aku yang masih merasakan sedikit nyeri setelah kuret, kemudian turun perlahan dari mobil dibantu oleh Mbak Ayu. Begitu sampai di kamar, aku langsung merebahkan tubuhku di atas kasur di mana aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk tidur sendiri dibanding dengan Mas Tio. "Andai kamu ada di sini mas, pasti aku tidak akan merasa kesepian seperti ini," ucapku sambil menatap bantal yang kosong di sampingku. Berulang kali aku berusaha memejamkan mata untuk beristirahat dan menenangkan pikiranku, namun semua sia-sia. Sehingga aku memutuskan mengambil ponselku dan menghubungi Mas Tio. Namun pria itu tidak menjawab panggilanku setelah beberapa kali aku menghubunginya, dan itu membuatku khawatir dan juga kesal."Bu Andara, Bu Andara," panggil Mbak Ayu membangunkanku.Aku yang tidak tahu sejak kapan aku tertidur, kemudian membuka mataku yang masih terasa berat, dan Mbak Ayu sudah berdiri di samping tempat tidurku sambil menunduk. "Ada apa, Mbak?" tanyaku sambil sesekali mengusap mataku yang masih mengantuk. "Maaf, Bu Andara. Tapi Pak Tio menghubungi ibu," ujar Mbak Ayu sambil menunjuk ponselku yang menyala di atas meja di samping tempat tidurku. Setelah Mbak Ayu pergi, aku yang masih setengah sadar kemudian mengambil ponsel tersebut. Tapi baru saja aku akan mengangkatnya, panggilan dari pria yang aku cintai itu mati. Sehingga aku kemudian mencoba untuk menghubunginya. Namun, panggilan dariku malah langsung terputus. "Sebenarnya ada apa denganmu, Mas?" ucapku bimbang, "Mbak Ayu," panggilku, dan tak lama wanita yang aku panggil itu datang. "Iya, Bu Andara. Apa ada yang ibu perlukan?""Mbak Ayu, tolong panggilkan Andreas dan minta dia menemui saya sekarang!" perintahku.Mbak Ayu yang berdiri di sampingku tidak langsung menjawabku, tapi dia terlihat seperti orang binggung. "Hmmm ... maaf, Bu Andara. Tapi Pak Andreas sudah pergi setelah mengantar Bu Andara pulang tadi.""Pergi? Pergi ke mana dia, Mbak?""Saya juga tidak tahu, Bu Andara. Tadi setelah saya mengantar ibu ke kamar dan kembali untuk memberinya minum, pria itu sudah tidak ada," jelas Mbak Ayu.Aku yang merasa aneh dengan sikap Andreas kemudian mencoba menghubunginya dengan meminta nomor teleponnya kepada Mbak Ayu. Ternyata nomor Andreas tidak bisa dihubungi. "Jadi sekarang bagaimana, Bu Andara? Apa perlu saya mencoba mengubunginya lagi?""Tidak usah, Mbak Ayu. Biarkan saja, tapi nanti kalau dia datang suruh dia menemui saya. Sekarang Mbak siapkan saja makan malam hari ini, dan masak makanan kesukaan bapak saja ya, Mbak." Jawabku, dan Mbak Ayu mengangguk kemudian pergi. Aku yang masih merasa lemah setelah bangun tidur, segera bergegas pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri. Karena aku berharap ketika Mas Tio datang nanti, aku sudah cantik seperti biasanya. Namun, apa yang aku harapkan tidak menjadi kenyataan. Karena sampai lewat jam makan siang Mas Tio tidak kunjung datang, dan itu membuatku kesal. "Mbak Ayu, tolong bereskan semua makanan ini," perintahku sambil bangkit dari kursi. "Tapi, Bu Andara. Ibu 'kan belum makan apa-apa sejak datang tadi? Apa ibu ingin saya membuatkan yang lain untuk ibu?"Apa yang Mbak Ayu katakan memang benar. Aku belum menelan satu pun makanan sejak aku pulang dari rumah sakit. Tapi karena Mas Tio tidak datang atau menghubungiku, selera makanku hilang bersama dengan tidak datangnya pria yang aku cintai itu. "Tidak perlu, Mbak. Tapi kalau boleh, tolong mbak buatkan saya susu saja.""Tapi, Bu Andara. Kalau anda tidak makan, nanti ibu akan sakit lagi dan Pak Tio akan marah pada saya.""Tenang saja, Mbak Ayu. Hal itu tidak akan terjadi. Jadi, sekarang tolong buatkan saya susu dan bawakan obat saya," ujarku berusaha menenangkan wanita yang sedang bersamaku saat ini. Setelah mengatakan hal itu, aku lalu melangkah meninggalkan wanita itu dan menuju ke ruang keluarga untuk menunggu Mas Tio. "Bu Andara, ini susu dan obat ibu. Apa ada yang ibu butuhkan lagi?" ucap Mbak Ayu sambil meletakkan susu dan obat di atas meja di depanku. "Tidak ada, Mbak. Ini saja sudah cukup, sekarang mbak bisa istirahat dan melanjutkan pekerjaan yang lain."Mbak Ayu bukannya langsung pergi setelah aku mengatakan hal itu. Dia masih saja berdiri di depanku dengan wajah khawatir, sehingga aku kemudian menyakinkannya bahwa aku baik-baik saja dan dia bisa meninggalkanku sendiri. Setelah meneguk habis susu yang Mbak Ayu buatkan untukku dan meminum obat, aku kemudian mencoba menghubungi Mas Tio lagi, ternyata nomornya tidak aktip. Ada rasa kecewa dan marah ketika aku tidak bisa menghubungi Mas Tio. Tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa, karena pria itu bukan hanya milikku tapi juga milik wanita lain. "Dara, bangun. Ini mas sudah pulang," panggil seseorang membangunkanku. "Mas Tio," ucapku setelah membuka mataku yang masih mengantuk, "Kapan mas datang?" lanjutku. "Baru saja, Dara. Tapi kenapa kamu tidur di sini bukannya di kamar?"Aku yang sudah sangat merindukan Mas Tio dan menunggunya sejak tadi, bukannya menjawab pertanyaan pria itu, tapi aku lebih memilih untuk langsung memeluknya. Tapi anehnya, Mas Tio malah langsung melepas pelukanku. "Mas, ada apa? Kenapa mas bersikap seperti ini? Bukannya biasanya mas suka sekali aku peluk, dan sekarang?" tanyaku heran. "Mas ingin kita berpisah, Dara."Bak disambar petir di siang bolong, itulah yang aku rasakan saat ini. Karena aku tidak menyangka pria yang ada di hadapanku saat ini mengatakan kata berpisah. "Mas!" bentakku tidak terima, "Kenapa mas berkata seperti itu? Bukankah mas mencintaiku? Kenapa sekarang mas ingin meninggalkanku?" imbuhku. "Karena mas tidak bisa meninggalkan istri mas, Dara. Dia sangat membutuhkan mas, dan dia meminta mas untuk meninggalkanmu."Mendengar alasan Mas Tio, kakiku rasanya langsung lemas. Bahkan aku hampir aja terjatuh, tapi Mas Tio segera menangkapku. Namun, aku langsung mendorongnya. "Tapi mengapa, Mas. Bukankah mas sudah tidak mencintai istri mas lagi, dan sekarang mengapa mas ingin bersamanya? Apa karena aku tidak bisa memberi mas keturunan? Atau memang selama ini mas menganggapku mainan mas saja?" tanyaku, dan tak terasa air mataku pun tumpah bersama rasa sesak yang menyeruak di dadaku. "Bukan itu alasannya, Dara. Tapi mas ter—."Belum juga Mas Tio menyelesaikan apa yang ingin dia katakan, tiba-tiba terdengar suara pintu digedor dari luar. Sehingga aku dan Mas Tio langsung menoleh ke arah sumber suara itu. "Buka pintunya pelakor! Cepat buka! Aku tahu kamu ada di dalam!" teriak seorang wanita sambil mengedor pintu. Aku yang tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya memegang tangan Mas Tio yang akan membuka pintu. Tapi belum juga Mas Tio sempat membuka pintu, pintu rumahku itu sudah roboh dan terlihat dua anak Mas Tio berdiri di depan pintu dengan wajah memerah bersama beberapa orang warga. "Putri, Putra, kenapa kalian di sini? Apa yang kalian lakukan?" teriak Mas Tio. "Seharusnya kami yang bertanya, Yah! Untuk apa ayah menemui wanita hina itu!" teriak Putra, anak sulung Mas Tio. "Sudah, arak saja mereka! Mereka sudah membuat malu komplek kita ini!" teriak seorang pria yang berdiri di belakang kedua anak Mas Tio. Aku dan Mas Tio yang sudah seperti maling yang tertangkap basah akhirnya diseret paksa oleh warga untuk keluar dari rumahku. Tapi kemudian anak sulung Mas Tio meminta agar ayahnya dilepaskan, dan mereka sendiri yang akan menghukumnya. Sedangkan aku, mereka serahkan kepada warga untuk diarak. "Dasar pelakor tidak tahu diri, bisanya cuma merebut suami orang! Dasar wanita gatal!" hina Putri, anak bungsu Mas Tio. "Cukup, Putri! Lepaskan Dara, dan ayah akan ikut dengan kalian!" cegah Mas Tio dengan wajah memerah. "Apa kata ayah? Kami harus melepaskan wanita itu? Apa ayah sadar, ayah dan wanita itu sudah menyakiti ibu?" geram Putri. Tidak terima dengan apa yang ayah mereka lakukan untuk menyelamatkanku, Putra tiba-tiba maju dan langsung menyeret Mas Tio untuk ikut dengan mereka dan meninggalkan aku sendiri. "Mas Tio, jangan pergi mas. Jangan tinggalkan aku!" teriakku sambil berusaha menggapai tangan Mas Tio yang ditarik paksa oleh Putra."Mas Tio!" teriakku.Aku langsung membuka mataku dengan napas terengah-engah dan menatap sekitar."Bu Andara, ibu kenapa?" tanya Mbak Ayu yang tiba-tiba muncul sambil berlari kecil."Mbak Ayu," panggilku sambil menatap wanita yang sudah berdiri di depanku dengan wajah terlihat khawatir."Bu Andara, ada apa? Apa terjadi sesuatu pada ibu?" tanya Mbak Ayu sambil memperhatikanku dari atas hingga bawah.Aku yang masih bingung dan ketakutan akan kehilangan Mas Tio kemudian bertanya kepada Mbak Ayu tentang keberadaan pria yang sudah aku tunggu sejak tadi. Tapi jawaban dari wanita itu membuatku tidak bisa berkata apa-apa.Karena sejak aku pulang hingga detik ini, pria itu belum menunjukkan batang hidungnya sama sekali, dan semua yang aku alami tadi ternyata hanya mimpi.Mimpi buruk yang tampak nyata sekali dan itu membuatku takut. Takut mimpi itu terjadi, dan aku akan benar-benar kehilangan Mas Tio."Bu Andara, apa ibu baik-baik saja?" tanya Mbak Ayu membubarkan lamunanku.Aku yang masih hany
Aku yang masih duduk di samping Mbak Ayu kemudian memegang tangan Mbak Ayu untuk menguatkannya dan menunggu sampai wanita itu sampai siap untuk mengatakan isi hatinya."Bu Andara, sebenarnya saya sudah pernah menikah. Tapi hanya menikah siri dan menjadi istri kedua," ucap Mbak Ayu lirih sambil menunduk, "Kami memiliki seorang anak, tapi anak itu dibawa oleh suami saya. Sejak saat itu saya sudah tidak pernah bertemu atau melihat putra saya lagi," lanjutnya, dan tak lama tangis Mbak Ayu langsung pecah tidak bisa dia bendung lagi.Aku yang hanya bisa mendengarkan keluh kesah Mbak Ayu hanya bisa memeluknya. Karena apa yang Mbak Ayu alami hampir sama dengan kisahku. Hanya saja aku belum menikah siri dengan Mas Tio, dan kami juga baru kehilangan bayi kami.Tapi apa yang dirasakan oleh Mbak Ayu aku bisa merasakannya. Karena aku juga wanita dan aku tahu sekali rasanya disakiti oleh seorang pria, apalagi harus jauh anak kami.Cukup lama Mbak Ayu menangis dalam pelukanku dan aku akhirnya juga m
Melihat nama Anton yang sedang menghubungiku, aku tidak tahu harus mengangkat panggilan darinya atau tidak. Karena saat ini aku juga sedang ingin sendiri dan tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Tapi bagaimana bila panggilan ini penting?“Bu Andara,” tegur Mbak Kanaya membubarkan lamunanku.“I –iya, Mbak Kanaya. Ada apa?”“Itu, Bu Andara. Ponsel ibu berbunyi lagi,” jawab Mbak Kanaya sambil menunjuk telepon yang ada di tanganku.Aku hanya tersenyum menjawab apa yang dikatakan Mbak Kanaya, lalu pergi ke ujung ruangan spa ini untuk menjawab panggilan dari Anton.“Iya, Dokter Anton. Ada apa?” jawabku pada Anton di seberang telepon.Anton yang menghubungiku terdengar protes ketika aku memanggilnya dengan panggilan Dokter Anton, dan dia memintaku hanya memanggil namanya saja tanpa embel-embel dokter. Setelah itu dia menanyakan kabarku dan juga kandunganku. Tapi ketika aku akan mengakhiri percakapan kami, Anton malah ingin mengajakku untuk makan siang hari ini namun segera aku tolak.Aku ta
“Bu Maria,” ucap pelayan wanita yang tadi bersamaku sambil menunduk.Melihat Maria ada di tempat ini membuat selera makanku untuk makan di tempat ini tiba-tiba hilang. Wanita itu datang dengan senyum yang mengembang di dibibirnya. Tapi bukan senyum bahagia ataupun senyum menyambut pelanggan di sini. Melainkan senyum mengejek atau bisa di bilang menghina.“Layani pelanggan yang lain. Biar pelanggan yang satu ini saya sendiri yang melayaninya,” perintah Maria kepada pelayan wanita yang bersamaku tadi.Pelayan itu langsung pergi begitu Maria memerintahnya. Hal itu membuatku terkejut sekaligus binggung dengan yang terjadi saat ini. Karena aku tidak menyangka aku akan bertemu dengan wanita itu di sini. Tapi mengapa wanita itu ada di sini? Dan, mengapa pelayan tadi terlihat takut kepadanya? Apakah Sovia memperkerjakannya di sini?“Apa kamu perlu sesuatu?” tanya Maria mampu membubarkan lamunanku.“Aku ingin mencari Sovia, apa dia ada di sini?” jawabku dingin.“Maaf, Sovia siapa ya? Saya sepe
“Apa semua ini! Murahan!” geramku sambil membuang secarik kertas yang baru saja aku baca.Aku mendapatkan kertas itu dari kantong kertas yang Andreas bawa tadi, tapi bukan dari Mas Tio. Melainkan dari pengirim rahasia yang baru saja aku ketahui setelah aku membaca pesan yang baru saja aku buang tadi.Dalam kertas kecil tersebut berisi pesan manis untukku. Pesan manis dari Anton agar aku tidak lupa makan dan dia memberiku makanan dari salah satu restoran yang sangat aku kenal di kota ini. Tapi anehnya ketika aku membaca pesan itu, entah mengapa aku menjadi kesal.Derttt … derttt.Mendengar ponselku berbunyi, aku segera berlari ke dapur untuk mengambil ponselku. Ternyata bukan orang yang aku harapkan yang menghubungiku, melainkan pria yang membuatku kesal. Sehingga aku memilih membiarkannya hingga panggilan itu terputus sendiri.***Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore ketika aku bangun. Entah kapan aku mulai tertidur, t
“Sovia?” ucapku tidak percaya sekaligus terkejut.“Iya, Bu Andara. Wanita yang sedang ibu lihat saat ini di depan warung itu adalah Bu Sovia,” tambah Dini yang kini sudah di sampingku.Tas yang aku pegang langsung jatuh begitu aku mendengar apa yang Dini katakan. Karena aku tidak menyangka akan melihat sahabatku yang biasanya cantik dan modis, kini berubah menjadi upik abu.Aku yang tidak tahan melihat sahabatku seperti itu langsung berlari ke arahnya dan memeluknya. Bahkan air mataku pun ikut turun tanpa aku pinta.“Andara,” ucap Sovia terdengar terkejut.“Iya, Sovia. Aku Andara,” jawabku masih dengan memeluknya.Kami berdua saling berpelukan dan menangis tanpa mempedulikan kerumunan orang yang ada di warung di mana kami berada saat ini. Kerinduan yang cukup lama kami pendam kami luapkan bersama dengan air mata kami.“Aku benar-benar merindukanmu Sovia,” bisikku.Aku
“Hanya saja apa, Sovia? Jangan membuatku penasaran!” cecarku sambil menarik lengan Sovia agar mau menatapku.“Aku dijebak, Dara. Aku dan orang tuaku dijebak!” teriak Sovia sambil menangis.Aku yang tidak tahu harus berbuat apa, hanya bisa memeluk sahabatku itu. Karena mendengarnya berteriak seperti itu membuat hatiku terasa perih.Dulu ketika susah, Sovia dan keluarganya yang selalu menolongku hingga aku bisa seperti saat ini. Sekarang giliranku untuk membantunya dan aku akan melakukan apa aja agar kehidupan sahabatku itu bisa kembali seperti semula.“Sekarang ceritakan kepadaku apa yang terjadi, Sovia. Dan, di mana orang tuamu sekarang? Karena sejak tadi aku tidak melihatnya di sini,” ujarku setelah Sovia melepas pelukan dan menghapus air matanya.“Aku tidak bisa menceritakannya sekarang, Dara. Bagaimana kalau setelah warungku tutup?” jawab Sovia.Ada rasa ragu di hatiku ketika sahabatku itu m
“Ada apa, Dara?” tanya Sovia mengejutkanku.“So –Sovia,” ucapku gugup karena tidak menyadari kehadiran sahabatku itu.“Apa yang kamu lihat, Dara?” tanya Sovia sambil melirik foto yang sedang aku pegang.Sovia yang sepertinya belum menyadari foto apa yang sedang aku pegang segera mengambilnya dari tanganku dan melihatnya.“Dari mana kamu menemukan foto ini, Dara?” tanya Sovia penuh selidik.“Aku … aku menemukannya dibawah lemari itu,” jawabku berbohong sambil menunjukkan satu-satunya lemari yang ada di ruangan ini.Aku tahu, tidak seharusnya aku berbohong. Tapi bila aku mengatakan aku mengambilnya dari bawah foto yang ada di atas lemari plastik itu, Sovia pasti akan marah kepadaku. Sahabatku itu pasti akan menuduhku bahwa aku sedang menyelidikinya, padahal aku tidak melakukannya dan aku juga tidak sengaja menemukan foto itu.“Jangan berbohong, Dara. Tidak mu