"Mas Tio, ini 'kan."
Melihat darah yang mengalir di kakiku, aku dan Mas Tio langsung panik.Sehingga Mas Tio kemudian membopongku masuk ke dalam mobil dan membawaku ke rumah sakit. Aku yang takut melihat darah akhirnya merasa lemas dan tak lama pandanganku pun kabur lalu semua terlihat gelap. ***"Dara, apa kamu mendengar mas? Dara," panggil Mas Tio terdengar samar-samar. Aku yang masih merasa pusing, akhirnya membuka mataku yang masih terasa berat, dan aku lihat Mas Tio berada di sampingku sambil menggenggam tanganku. "Ma –Mas Tio, aku di mana?" tanyaku pada pria yang saat ini terlihat sedih. "Kita di rumah sakit, Sayang. Kamu perdarahan," jelas Mas Tio. Mendengar kata pendarahan pikiranku langsung mengarah pada bayiku, dan aku langsung menatap dan mengusap perutku. "Terus bayi kita bagaimana, Mas?"Mas Tio bukannya langsung menjawab pertanyaanku tapi bungkam dan itu membuatku takut. "Mas, bayiku bagaimana? Apa bayiku baik-baik saja?" bentakku khawatir, "Mas, jawab aku!" teriakku sambil menatap Mas Tio. Mas Tio yang awalnya terlihat sedih kini menunduk, dan itu membuat pikiranku semakin kacau dan tubuhku terasa lemas. Apakah bayiku? Itu tidak mungkin. Aku berusaha mengelak pikiran buruk tentang bayiku. "Ba –bayi kita, dia."Mas Tio bukannya melanjutkan kata-katanya tapi dia malah menangis. "Mas, apa yang terjadi dengan bayi kita?" tanyaku panik. Tangis Mas Tio yang pecah saat ini membuatku semakin gila dengan pikiranku sendiri. Tapi aku tetap berusaha berpikir positip tentang bayiku. Walaupun dari tangis yang ditunjukkan pria yang kini bersamaku menunjukkan hal yang berbeda. "Bayi kita sudah tidak ada, Dara. Kamu keguguran."Mendengar apa yang Mas Tio katakan aku hanya bisa terdiam karena terkejut, dan tak lama air mataku langsung tumpah begitu saja. Aku tidak percaya bayiku akan pergi secepat ini, padahal aku sangat mengharapkannya. Bukan karena aku mengharapkannya untuk mempertahankan Mas Tio. Tapi karena aku memang mengharapkannya karena itu adalah buah cinta kami yang sudah lama aku tunggu. Tapi sekarang dia sudah tidak ada, dan semua harapanku runtuh bersama dengan berita itu. "Sudah, Sayang. Kamu harus ikhlas. Sekarang anak kita sudah bahagia di surga.""Tapi, Mas. Aku sudah lama menunggunya, dan kamu tahu sendiri 'kan aku sangat menginginkan bayi kita ini," ujarku masih sambil terisak."Mas tahu, Sayang. Tapi Tuhan lebih sayang sama anak kita."Aku yang masih bersedih, masih saja terisak sambil memegang perutku dan Mas Tio lalu memelukku. ***Tiga hari aku di rawat di rumah sakit setelah aku mengalami keguguran, dan selama itu pula Mas Tio selalu menemaniku. Walaupun terkadang dia harus pergi karena pekerjaannya, tapi dia menyuruh seorang wanita untuk menjagaku dan merawatku selama dia pergi. Hari ini aku sudah diperbolehkan dokter pulang, dan aku dibantu oleh Mbak Ayu yang menjagaku membereskan semua barang-barang yang akan aku bawa pulang, walau itu tidak banyak. Derttt ... derttt. "Siapa yang menghubungiku, Mbak Ayu?" tanyaku pada wanita yang sedang membereskan baju-bajuku. "Dari Pak Tio, Bu Dara." Jawab Mbak Ayu sambil mengambil ponselku di atas meja dan memberikannya kepadaku. Aku yang masih sarapan pagi, akhirnya tidak melanjutkan sarapanku dan menjawab panggilan dari pria yang sangat aku cintai itu. "Jadi mas tidak akan datang? Mas tega!" ucapku, lalu menutup panggilan telepon dan meletakkan ponselku di atas meja. Aku yang kesal karena Mas Tio tidak akan datang hari ini ketika aku pulang, hanya bisa pasrah. Karena kalaupun aku memaksanya, dia juga tidak akan bisa datang karena pekerjaannya lebih penting dari aku, dan aku harus memaklumi hal itu. Tanpa pekerjaannya yang sekarang, Mas Tio tidak mungkin bisa menghidupiku seperti sekarang. Walaupun aku juga nemiliki butik sebagai mata pencaharianku, tapi selama aku bersama Mas Tio dia yang selama ini membiayai hidupku. Walaupun aku sudah mengatakan kepadanya itu tidqk perlu, tapi Mas Tio memaksa dan memintaku menurutinya bila aku memang cinta kepadanya, dan aku pun akhirnya mengikuti permintaan Mas Tio. "Selamat pagi, Bu Andara. Bagaimana kabar anda, apa sudah siap untuk pulang?" ucap seorang dokter yang bernama Tri kepadaku. "Selamat pagi, Dokter. Saya sudah merasa lebih baik, Dok.""Kalau begitu, biar saya periksa dulu sebelum anda pulang, Bu Andara" ucap Dokter Tri. Aku yang masih duduk di sofa akhirnya kembali ke tempat tidur untuk di periksa, dan dokter mengatakan semua baik-baik saja. Setelah dokter dan perawat pergi, tiba-tiba seorang pria datang menemuiku. "Permisi, Bu Andara. Perkenalkan saya Andreas. Saya diminta Pak Tio untuk menemui ibu dan mengantar ibu untuk pulang ke rumah," sapa pria yang bernama Andreas. Aku tidak tahu siapa Andreas, tapi ketika Mas Tio tadi menghubungiku, dia mengatakan ada orang yang akan datang menjemputku dan mengantarku pulang. Mungkin orang ini yang di maksud oleh Mas Tio tadi. Pria yang bernama Andreas ini sepertinya seumuran denganku, selain memiliki badan yang tegap dan berwajah tampan dia juga bisa aku bilang cukup sopan. Walaupun harus aku akui dibanding dengan Mas Tio, Andreas lebih tampan. Setelah Andreas menyapaku, dia kemudian pamit kepadaku untuk menyelesaikan administrasi rumah sakit, dan tak lama dia kemudian kembali dengan membawa sebuah amplop yang sepertinya berisi kuitansi. "Apa anda ingin pulang sekarang, Bu Andara?" tanya Andreas yang baru saja tiba, dan aku mengangguk. Setelah Mbak Ayu selesai membereskan semuanya, aku, Mbak Ayu dan Andreas kemudian keluar dari ruangan setelah perawat memberiku obat n menjelaskan kapan aku harus kontrol kembali. Tapi pada saat aku baru saja keluar dari ruanganku, aku melihat seseorang yang sangat aku kenal. Sehingga aku lalu berbalik agar orang itu tidak melihatku. "Ada apa, Bu Andara? Apa ada yang sakit?" tanya Mbak Ayu dengan wajah khawatir. "Tidak ada, Mbak Ayu. Saya hanya melupakan sesuatu," jawabku berbohong sambil melirik orang yang melangkah menuju ke arahku. Aku yang tidak ingin orang itu tahu keadaanku. Akhirnya aku memilih untuk masuk kembali ke dalam ruanganku ketika orang itu semakin dekat lagi. Setelah melihat orang itu jauh dari ruanganku, aku baru bisa bernapas lega, dan aku kemudian mengajak Mbak Ayu dan Andreas untuk pergi. Sampai di lobi rumah sakit, Andreas memintaku dan Mbak Ayu untuk menunggunya. Sedangkan dia mengambil mobil di parkiran. Selama menunggu Andreas aku membuka ponselku dan berharap Mas Tio akan menghubungiku, tapi aku harus kecewa. Karena Mas Tio tidak mengirimi aku pesan ataupun menghubungiku. "Bu Andara," panggil Mbak Ayu menyadarkanku. "Iya, Mbak Ayu ada apa?""Itu, Bu. Mobilnya sudah siap," jawab Mbak Ayu sambil menunjuk mobil yang tidak jauh dari tempatku berada saat ini. Aku yang masih duduk menunggu Andreas akhirnya berdiri dan melangkah untuk masuk ke dalam mobil. Tapi tiba-tiba terdengar seseorang memanggil namaku dan itu membuatku terkejut. "Andara, apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu sedang memeriksakan kandunganmu?" tanya Anton yang sudah ada di sampingku. Aku benar-benar tidak percaya yang memanggil aku itu adalah Anton, padahal sejak tadi aku sudah menghindarinya tapi ternyata Tuhan menginginkan yang lain. Orang yang aku hindari ketika akan pulang tadi adalah dia, dan ternyata dia masih saja melihatku. "A –Anton kamu di sini?""Iya, Andara. Aku bekerja di rumah sakit ini. Kamu sendiri sedang apa? Apa kamu memeriksakan kandunganmu?" tanya Anton yang membuatku binggung untuk menjawabnya. Aku hanya tersenyum menjawab pertanyaan dari Anton. Setelah itu aku kemudian pamit kepadanya, tapi ketika aku akan masuk ke dalam mobil tiba-tiba pandanganku teralihkan pada seseorang yang sedang panik masuk ke dalam rumah sakit ini bersama seorang wanita muda."Mas Tio," ucapku lirih sambil menatap pria yang sedang berjalan dengan seorang wanita yang sepertinya putrinya. Mas Tio dan wanita itu, terlihat seperti terburu-buru masuk ke dalam rumah sakit, dan aku tidak tahu apa yang sedang terjadi kepadanya. Tapi dari raut wajah Mas Tio, terlihat sekali dia terlihat panik dan khawatir. "Andara, kamu kenapa?" tegur Anton mengejutkanku."A –aku tidak apa-apa, Dokter Anton. Aku tadi hanya melihat seseorang yang sepertinya aku kenal," jawabku masih menatap ke arah Mas Tio berada tadi, tapi kemudian aku menoleh ke arah pria yang sudah menegurku. Anton yang berada di sampingku terlihat kesal ketika aku menatapnya, dan dia kemudian mendekatkan kepalanya lebih dekat ke arahku. "Panggil aku Anton saja, Andara. Apa kamu lupa," protes Anton dengan suara sedikit berbisik. "Iya Dok ... Anton maksudku. Baiklah kalau begitu aku pergi dulu. Karena masih ada yang harus aku kerjakan," pamitku, dan aku pun langsung masuk ke dalam mobil tanpa menunggu jawaban
"Mas Tio!" teriakku.Aku langsung membuka mataku dengan napas terengah-engah dan menatap sekitar."Bu Andara, ibu kenapa?" tanya Mbak Ayu yang tiba-tiba muncul sambil berlari kecil."Mbak Ayu," panggilku sambil menatap wanita yang sudah berdiri di depanku dengan wajah terlihat khawatir."Bu Andara, ada apa? Apa terjadi sesuatu pada ibu?" tanya Mbak Ayu sambil memperhatikanku dari atas hingga bawah.Aku yang masih bingung dan ketakutan akan kehilangan Mas Tio kemudian bertanya kepada Mbak Ayu tentang keberadaan pria yang sudah aku tunggu sejak tadi. Tapi jawaban dari wanita itu membuatku tidak bisa berkata apa-apa.Karena sejak aku pulang hingga detik ini, pria itu belum menunjukkan batang hidungnya sama sekali, dan semua yang aku alami tadi ternyata hanya mimpi.Mimpi buruk yang tampak nyata sekali dan itu membuatku takut. Takut mimpi itu terjadi, dan aku akan benar-benar kehilangan Mas Tio."Bu Andara, apa ibu baik-baik saja?" tanya Mbak Ayu membubarkan lamunanku.Aku yang masih hany
Aku yang masih duduk di samping Mbak Ayu kemudian memegang tangan Mbak Ayu untuk menguatkannya dan menunggu sampai wanita itu sampai siap untuk mengatakan isi hatinya."Bu Andara, sebenarnya saya sudah pernah menikah. Tapi hanya menikah siri dan menjadi istri kedua," ucap Mbak Ayu lirih sambil menunduk, "Kami memiliki seorang anak, tapi anak itu dibawa oleh suami saya. Sejak saat itu saya sudah tidak pernah bertemu atau melihat putra saya lagi," lanjutnya, dan tak lama tangis Mbak Ayu langsung pecah tidak bisa dia bendung lagi.Aku yang hanya bisa mendengarkan keluh kesah Mbak Ayu hanya bisa memeluknya. Karena apa yang Mbak Ayu alami hampir sama dengan kisahku. Hanya saja aku belum menikah siri dengan Mas Tio, dan kami juga baru kehilangan bayi kami.Tapi apa yang dirasakan oleh Mbak Ayu aku bisa merasakannya. Karena aku juga wanita dan aku tahu sekali rasanya disakiti oleh seorang pria, apalagi harus jauh anak kami.Cukup lama Mbak Ayu menangis dalam pelukanku dan aku akhirnya juga m
Melihat nama Anton yang sedang menghubungiku, aku tidak tahu harus mengangkat panggilan darinya atau tidak. Karena saat ini aku juga sedang ingin sendiri dan tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Tapi bagaimana bila panggilan ini penting?“Bu Andara,” tegur Mbak Kanaya membubarkan lamunanku.“I –iya, Mbak Kanaya. Ada apa?”“Itu, Bu Andara. Ponsel ibu berbunyi lagi,” jawab Mbak Kanaya sambil menunjuk telepon yang ada di tanganku.Aku hanya tersenyum menjawab apa yang dikatakan Mbak Kanaya, lalu pergi ke ujung ruangan spa ini untuk menjawab panggilan dari Anton.“Iya, Dokter Anton. Ada apa?” jawabku pada Anton di seberang telepon.Anton yang menghubungiku terdengar protes ketika aku memanggilnya dengan panggilan Dokter Anton, dan dia memintaku hanya memanggil namanya saja tanpa embel-embel dokter. Setelah itu dia menanyakan kabarku dan juga kandunganku. Tapi ketika aku akan mengakhiri percakapan kami, Anton malah ingin mengajakku untuk makan siang hari ini namun segera aku tolak.Aku ta
“Bu Maria,” ucap pelayan wanita yang tadi bersamaku sambil menunduk.Melihat Maria ada di tempat ini membuat selera makanku untuk makan di tempat ini tiba-tiba hilang. Wanita itu datang dengan senyum yang mengembang di dibibirnya. Tapi bukan senyum bahagia ataupun senyum menyambut pelanggan di sini. Melainkan senyum mengejek atau bisa di bilang menghina.“Layani pelanggan yang lain. Biar pelanggan yang satu ini saya sendiri yang melayaninya,” perintah Maria kepada pelayan wanita yang bersamaku tadi.Pelayan itu langsung pergi begitu Maria memerintahnya. Hal itu membuatku terkejut sekaligus binggung dengan yang terjadi saat ini. Karena aku tidak menyangka aku akan bertemu dengan wanita itu di sini. Tapi mengapa wanita itu ada di sini? Dan, mengapa pelayan tadi terlihat takut kepadanya? Apakah Sovia memperkerjakannya di sini?“Apa kamu perlu sesuatu?” tanya Maria mampu membubarkan lamunanku.“Aku ingin mencari Sovia, apa dia ada di sini?” jawabku dingin.“Maaf, Sovia siapa ya? Saya sepe
“Apa semua ini! Murahan!” geramku sambil membuang secarik kertas yang baru saja aku baca.Aku mendapatkan kertas itu dari kantong kertas yang Andreas bawa tadi, tapi bukan dari Mas Tio. Melainkan dari pengirim rahasia yang baru saja aku ketahui setelah aku membaca pesan yang baru saja aku buang tadi.Dalam kertas kecil tersebut berisi pesan manis untukku. Pesan manis dari Anton agar aku tidak lupa makan dan dia memberiku makanan dari salah satu restoran yang sangat aku kenal di kota ini. Tapi anehnya ketika aku membaca pesan itu, entah mengapa aku menjadi kesal.Derttt … derttt.Mendengar ponselku berbunyi, aku segera berlari ke dapur untuk mengambil ponselku. Ternyata bukan orang yang aku harapkan yang menghubungiku, melainkan pria yang membuatku kesal. Sehingga aku memilih membiarkannya hingga panggilan itu terputus sendiri.***Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore ketika aku bangun. Entah kapan aku mulai tertidur, t
“Sovia?” ucapku tidak percaya sekaligus terkejut.“Iya, Bu Andara. Wanita yang sedang ibu lihat saat ini di depan warung itu adalah Bu Sovia,” tambah Dini yang kini sudah di sampingku.Tas yang aku pegang langsung jatuh begitu aku mendengar apa yang Dini katakan. Karena aku tidak menyangka akan melihat sahabatku yang biasanya cantik dan modis, kini berubah menjadi upik abu.Aku yang tidak tahan melihat sahabatku seperti itu langsung berlari ke arahnya dan memeluknya. Bahkan air mataku pun ikut turun tanpa aku pinta.“Andara,” ucap Sovia terdengar terkejut.“Iya, Sovia. Aku Andara,” jawabku masih dengan memeluknya.Kami berdua saling berpelukan dan menangis tanpa mempedulikan kerumunan orang yang ada di warung di mana kami berada saat ini. Kerinduan yang cukup lama kami pendam kami luapkan bersama dengan air mata kami.“Aku benar-benar merindukanmu Sovia,” bisikku.Aku
“Hanya saja apa, Sovia? Jangan membuatku penasaran!” cecarku sambil menarik lengan Sovia agar mau menatapku.“Aku dijebak, Dara. Aku dan orang tuaku dijebak!” teriak Sovia sambil menangis.Aku yang tidak tahu harus berbuat apa, hanya bisa memeluk sahabatku itu. Karena mendengarnya berteriak seperti itu membuat hatiku terasa perih.Dulu ketika susah, Sovia dan keluarganya yang selalu menolongku hingga aku bisa seperti saat ini. Sekarang giliranku untuk membantunya dan aku akan melakukan apa aja agar kehidupan sahabatku itu bisa kembali seperti semula.“Sekarang ceritakan kepadaku apa yang terjadi, Sovia. Dan, di mana orang tuamu sekarang? Karena sejak tadi aku tidak melihatnya di sini,” ujarku setelah Sovia melepas pelukan dan menghapus air matanya.“Aku tidak bisa menceritakannya sekarang, Dara. Bagaimana kalau setelah warungku tutup?” jawab Sovia.Ada rasa ragu di hatiku ketika sahabatku itu m
“Dokter Mita,” ujar Anton masih sambil memegang tanganku.Melihat Dokter Mita menatap kami dengan tatapan tidak suka, aku lalu berusaha untuk melepaskan tanganku dari tangan Anton. Namun, pria itu tidak membiarkan tanganku lepas darinya.“Apa yang kamu lakukan di sini, Anton?” tanya wanita itu sambil sesekali menatapku.“Makan malam,” jawab Anton sambil menatapku.Kali ini aku berusaha lagi melepaskan tanganku dari tangan Anton ketika wanita yang bernama Mita itu masih saja menatap tangan kami, dan itu membuatku merasa tidak nyaman. Sehingga aku kemudian memanggil nama Anton dan memberinya kode agar melepaskan tanganku, dan kali ini pria itu mau melakukannya.“Hanya makan malam?”“Hmmm.”“Maaf, saya harus ke belakang sebentar,” selaku agar mereka berdua bisa bicara. Karena situasi saat ini sungguh tidak nyaman dan juga canggung.“Apa kamu ingin aku me
“Ada apa, Bu Andara? Apa ada yang salah?” tanya Johan membubarkan lamunanku.“Tidak ada apa-apa, Johan. Bisa kamu mengantar saya ke tempat lain? Saya lupa kalau hari ini saya ada janji dengan seseorang, dan orang tersebut meminta saya menemuinya di kafe tak jauh dari tempat ini,” jawabku berbohong.“Baik, Bu Andara.”Ketika mobil yang aku tumpangi mulai berjalan, ternyata sosok yang aku lihat tadi tidak berjalan ke arah mobil yang aku tumpangi, melainkan dia menuju mobil yang tak jauh dari tempatku berhenti tadi.“Maaf, Bu Andara. Kafe mana yang anda maksud?” tanya Johan membubarkan lamunanku.Aku yang masih terpaku pada mobil yang menarik perhatianku langsung menoleh begitu Johan bertanya kepadaku. Akhirnya aku memilih salah satu kafe secara acak yang tak jauh dari kami berada saat ini. Aku juga langsung mengirimi Dita pesan agar menemuiku di kafe tersebut dengan membawa mobilku.“Apa kafe ini, Bu Andara?” tanya Johan begitu kami berhenti di salah satu kafe yang aku tunjuk.“Iya, ber
“Saya … saya ingin meminta maaf kepada anda, Bu Andara,” ujar Dokter Ricci.Apa yang baru saja Dokter Ricci katakan sungguh di luar dugaan. Bagaimana mungkin pria dingin seperti dia bisa meminta maaf kepada seseorang? Apakah pria ini sedang mengigau, atau memang aku yang memang dengar?“Saya minta maaf karena saya sudah bertindak keterlaluan kepada anda, Bu Andara.” Ujar Dokter Ricci mengulangi apa yang dia katakan sambil sedikit menundukkan kepala.Aku yang malas menanggapi permintaan maaf pria yang ada di depanku saat ini memilih untuk mengalihkan pandanganku ke arah lain. Karena apa yang sudah dia lakukan benar-benar membuatku kecewa, dan aku tidak ingin berbicara dengannya saat ini.“Apa anda tidak mau memaafkan saya, Bu Andara?” tanya Dokter Ricci ketika aku tetap bungkam menanggapi permintaan maafnya, dan aku tidak menyangka pria itu masih berani bertanya seperti itu kepadaku.“Saya maafkan ata
“Apa yang kamu minta, Andara? Cepat katakan, jangan membuang-buang waktu mas,” protes Mas Utomo ketika aku tidak langsung mengutarakan keinginanku.“Mas harus janji dulu kepada Andara. Kalau mas akan mengabulkan permintaan Andara, baru Andara akan mengatakannya,” tawarku.“Kalau begitu lupakan!” tolak Mas Utomo.Pria itu lalu bergegas akan masuk ke dalam mobilnya setelah menolak permintaanku, tapi aku lalu menahannya dan tidak membiarkannya masuk ke dalam mobil.“Tidak ada permintaan!” tolak Mas Utomo lagi dengan raut wajah lebih serius dari sebelumnya.“Sekali ini saja, Mas.” Tawarku tak mau kalah.Mas Utomo terlihat berpikir sambil memandangku, dan dia akhirnya setuju untuk mengabulkan apa yang aku minta. Walaupun dia belum tahu apa yang akan aku minta darinya.“Cepat katakan,” ujar Mas Utomo.“Tolong jangan cari informasi lagi tentang Sovia. Masala
“Ada apa dengan Mas Tio, Mas? Apa yang mas ketahui tentang Mas Tio?” cecarku.“Dia mengkhianatimu, Dara. Dia …,” jawab Mas Utomo penuh penekanan. Bahkan tangannya pun mengepal ketika mengatakan hal itu.“Dia apa, Mas? Jangan setengah-setengah menjelaskan kepada Dara.”Mas Utomo terlihat beberapa kali menghela napas sebelum mulai berbicara lagi. Seperti ada beban berat yang ada dipundaknya dan dia seperti perlu menenangkan diri dulu sebelum melanjutkan pembicaraan kami.“Dia itu selain tidak setia kepadamu, dia juga mempermainkanmu.”“Mempermainkanku bagaimana, Mas? Apa maksud mas karena dia menikah dengan Clara, jadi dia mempermainkan Dara?”“Kita duduk dulu, Andara. Mas akan menjelaskan semua yang mas ketahui tentang priamu itu,” ajak Mas Utomo dengan suara melemah.Setelah kami berdua duduk bersama, Mas Utomo mulai menjelaskan secara perlahan apa yang dia
“Baiklah, Anton. Saya akan pergi makan malam denganmu,” jawabku berubah pikiran. Sebenarnya aku ingin menolaknya, tapi entah mengapa tiba-tiba keputusanku berubah begitu melihat wajah pria itu.“Yesss!” sela Anton membuatku terkejut. Pria itu bertingkah seperti baru saja memenangkan lomba dan mendapatkan hadiah pertama, “Maaf, Andara. Saya terbawa suasana,” lanjutnya sambil tersenyum malu-malu.Aku hanya bisa tersenyum menanggapi apa yang dikatakan pria itu. Sikapnya benar-benar lucu, dan tidak berubah sejak dulu.“Jadi kita deal ya bertemu jam delapan malam ini, malam ini. Nanti aku akan menjemputmu setelah pulang dari rumah sakit dan kita bisa pergi bersama ke tempat kita makan malam.”“Hmmm … maaf, Anton. Sepertinya kamu tidak perlu menjemputku. Beritahu aku di mana kita akan bertemu. Nanti setelah urusanku selesai, aku akan langsung menuju ke sana.”“Baiklah, nanti aku aka
“Saya …,” jawab Mbak Ayu terlihat gelisah.“Katakan saja, Mbak Ayu. Ada apa? Apa tadi Pak Tio mengancam mbak?” selaku tidak sabar.Wanita yang ada di depanku saat ini terlihat binggung ketika akan menjawabku. Sehingga aku kemudian mengajaknya duduk dan memintanya untuk menjelaskan secara perlahan kepadaku.Tapi sebelum aku mendengarkan cerita dari wanita yang bekerja di rumahku itu, aku teringat tentang Mas Utomo yang berbicara dengan Mas Tio. Sehingga aku segera berlari ke jendela untuk melihat yang terjadi. Namun, sayang sungguh di sayang. Mobil Mas Tio ataupun mobil kakak tetuaku itu sudah pergi, dan hanya tinggal menyisakan satu mobil anak buah Mas Utomo.“Ada apa, Bu Andara? Apa orang-orang tadi belum pergi?” tanya Mbak Ayu membuatku menoleh kepadanya.“Sudah, baru saja.” Jawabku sambil berjalan menghampiri Mbak Ayu yang sudah duduk di atas tempat tidurku.Aku lalu duduk di sampingnya untuk mendengarkan apa yang wanita itu tadi ingin katakan. Raut wajahnya yang tadi terlihat geli
“M‒Mas Tio? Bagaimana mas bisa ada di sini?”“Apa maksudmu, Dara? Apa mas tidak boleh berada di sini?”Aku yang masih terkejut dengan kehadiran Mas Tio hanya bisa membeku. Karena aku tidak menyangka pria itu ada di sini. Tapi bagaimana mungkin? Bukankah dia tadi bersama dengan Clara?Suara langkah Mas Tio yang berjalan menuju ke arahku akhirnya menyadarkanku. Dia berjalan ke arahku dengan tatapan tidak suka, atau lebih tepatnya seperti orang yang sedang menahan emosi.“Bukan begitu maksud Dara, Mas. Dara hanya kaget saja, kenapa mas ke sini tanpa memberitahu Dara?” Ralatku mengalihkan pembicaraan, “Mas ‘kan bisa menelepon Dara dulu. Jadi Dara bisa menyambut mas ketika mas datang,” lanjutku berpura-pura bersikap manis.“Mas tadi kebetulan lewat, Sayang. Jadi mas sekalian mampir untuk memberimu kejutan,” ucap Mas Tio sambil memegang tanganku, “Tapi malah mas yang terkejut.
“Apapun yang terjadi, dia tetap di sini!” perintahku masih sambil menatap lurus ke depan.“Tapi, Bu Andara—.” Protes Dokter Ricci.“Anda sudah mendengar apa yang Bu Andara katakan, Dokter. Jadi sekarang lebih baik anda kembali ke ruangan itu dan merawat Bu Maria,” potong Johan.Dokter Ricci keluar dari ruangan dengan membanting pintu. Tak lama kemudian terlihat dari kaca dia masuk ke dalam ruangan itu dengan tergesa-gesa dan segera melakukan pertolongan pada wanita yang sepertinya sedang kejang di atas tempat tidur.“Bu Andara …,” tegur Johan.Aku meminta Johan untuk tidak meneruskan apa yang akan dia katakan dan melihat apa yang terjadi. Apakah wanita itu akan selamat kali ini, ataukah?“Bu Andara,” ucap Johan sambil memberikan ponselnya kepadaku. Di layar ponsel yang menyala itu terpampang nama Dokter Ricci, dan Johan lalu memasang pengeras suara agar aku bisa mendeng