Aku yang masih duduk di samping Mbak Ayu kemudian memegang tangan Mbak Ayu untuk menguatkannya dan menunggu sampai wanita itu sampai siap untuk mengatakan isi hatinya.
"Bu Andara, sebenarnya saya sudah pernah menikah. Tapi hanya menikah siri dan menjadi istri kedua," ucap Mbak Ayu lirih sambil menunduk, "Kami memiliki seorang anak, tapi anak itu dibawa oleh suami saya. Sejak saat itu saya sudah tidak pernah bertemu atau melihat putra saya lagi," lanjutnya, dan tak lama tangis Mbak Ayu langsung pecah tidak bisa dia bendung lagi.
Aku yang hanya bisa mendengarkan keluh kesah Mbak Ayu hanya bisa memeluknya. Karena apa yang Mbak Ayu alami hampir sama dengan kisahku. Hanya saja aku belum menikah siri dengan Mas Tio, dan kami juga baru kehilangan bayi kami.
Tapi apa yang dirasakan oleh Mbak Ayu aku bisa merasakannya. Karena aku juga wanita dan aku tahu sekali rasanya disakiti oleh seorang pria, apalagi harus jauh anak kami.
Cukup lama Mbak Ayu menangis dalam pelukanku dan aku akhirnya juga merasa sesak melihatnya seperti itu. Air mataku pun ikut turun, tapi langsung aku usap.
"Maaf, Bu Andara." Ucap Mbak Ayu setelah aku melepaskan pelukanku, "Maaf kalau saya berlebihan dan membuat Bu Andara jadi khawatir," imbuhnya.
"Tidak apa-apa, Mbak Ayu. Saya malah senang kalau Mbak Ayu mau berbagi cerita dengan saya. Siapa tahu dengan menceritakan kepada saya apa yang ada di hati mbak, beban di hati mbak bisa berkurang," jawabku berusaha nenenangkan wanita yang duduk di sampingku itu.
"Tapi saya malu, Bu. Ini aib saya, tapi selama ini saya hanya bisa memendamnya sendiri, dan hanya dengan Bu Andara saja saya berani menceritakannya."
"Tidak apa-apa, Mbak. Kalau saya bisa membantu mbak pasti saya akan melakukannya."
Mbak Ayu yang sudah tenang kemudian menceritakan kepadaku apa yang selama ini dia alami dan bagaimana dia bisa mengenal Mas Tio, dan sebagai seorang wanita aku sangat salut sekali dengan Mbak Ayu. Setelah di sakiti seperti itu, dia bisa memaafkan mantan suaminya.
Setelah mendengarkan kisah hidup Mbak Ayu, aku kemudian kembali ke kamarku, dan merenung. Karena bagaimanapun juga aku menjadi wanita kedua dalam hidup Mas Tio setelah istri pertamanya, dan aku sebenarnya juga tidak menginginkan hal seperti ini.
Andai saja waktu bisa diputar dan orang tua Mas Tio dulu merestui kami, maka hal ini pasti tidak akan terjadi.
***
Pagi ini sama seperti pagi sebelumnya, di mana aku bangun tanpa dibangunkan atau mendengar suara Mas Tio.
Sudah seminggu ini Mas Tio benar-benar tidak menghubungiku sama sekali atau mengirimku pesan. Tapi semua yang aku butuhkan selalu dicukupi oleh Mas Tio seperti sebelum-sebelumnya, dan itu lewat Andreas.
Selama seminggu ini Andreas selalu datang ke rumah dengan membawa berbagai macam makanan dan keperluanku. Sedangkan Mbak Ayu, sudah dua hari ini wanita itu tidak tinggal di rumah bersamaku. Karena Mbak Ayu harus pulang ke kampungnya karena ibunya sedang sakit, dan itu juga dengan seizin Mas Tio dan tentu saja lewat Andreas.
Sebelum Mbak Ayu pergi, Andreas memberitahuku bahwa Mas Tio akan memberikan pengganti Mbak Ayu, tapi aku menolaknya karena kondisiku saat ini juga sudah jauh lebih baik, dan aku tidak memerlukan penjagaku lagi. Tapi di balik alasan itu, aku ingin sendiri untuk saat ini.
Hari ini aku berencana untuk ke spa dan berbelanja untuk menghilangkan rasa penatku setelah seminggu lebih beristirahat di rumah, dan tentu saja aku juga akan mampir ke butikku untuk melihat perkembangan usahaku.
Setelah mandi dan bersiap secantik mungkin, aku kemudian mengambil tasku dan melangkah keluar untuk pergi. Tapi ketika aku baru saja akan masuk ke dalam mobilku, terdengar suara deru mobil yang masuk ke dalam halaman rumahku.
"Mas Tio?" ucapku terkejut ketika melihat Mas Tio berada dalam mobil yang baru saja berhenti tepat di depan rumahku.
"Masuk ke dalam mobil, Dara!"
Aku yang masih berdiri di samping mobilku kemudian masuk ke dalam mobil Mas Tio, dan pria itu lalu mengecup keningku setelah aku menutup pintu mobil.
"Mas ke mana saja, kenapa tidak menemui atau menghubungiku?" tanyaku manja.
"Nanti mas ceritakan, Dara. Sekarang mas hanya bisa menemuimu sebentar saja. Karena setelah ini mas harus pergi," jawab Mas Tio sambil memegang tanganku, lalu mengecupnya.
“Tapi, Mas. Kita ‘kan baru saja bertemu, masa mas sudah mau meninggalkan aku lagi?” protesku manja sambil memasang wajah cemberut.
Aku sengaja bersikap seperti itu di hadapan Mas Tio agar dia tidak segera pergi dan bisa menghabiskan waktu lebih lama denganku. Tapi itu semua hanya harapanku saja, dan keputusan ada di tangan pria yang aku cintai itu. Pergi, atau tetap di sini bersamaku.
“Maafkan mas, Dara. Tapi mas sedang sibuk saat ini, dan mas belum bisa menemanimu. Tapi mas janji, setelah semuanya selesai mas pasti akan menemuimu dan bersamamu selama yang kamu inginkan,” jelas Mas Tio.
“Baiklah kalau begitu, tapi mas harus menepati janji mas. Kalau tidak, jangan harap mas bisa melihat Dara lagi,” ancamku sambil memalingkan muka membelakangi pria yang sedang bersamaku saat ini.
“Ok, mas janji sayang. Sekarang mas harus pergi dulu, dan satu lagi. Masalah Mbak Ayu, mas akan mengirim penggantinya bila dalam seminggu dia tidak kembali, dan tidak ada kata ‘tidak’ untuk hal itu!” tegas Mas Tio.
“Tapi, Mas. Mba—.”
“Ingat, Dara! Mas tidak menerima penolakanmu!”
“Baiklah kalau begitu, Mas.” Jawabku pasrah. Karena bila aku terus menolak, pasti aku juga akan tetap kalah.
Pertemuanku dan Mas Tio kali ini hanya terhitung dalam hitungan menit saja, dan itu hanya sekedar untuk melepas rindu di antara kami berdua. Setelah itu dia pergi dalam keadaan tergesa-gesa setelah mendapat telepon dari seseorang.
Setelah Mas Tio pergi aku langsung masuk ke dalam mobilku dan mengendarainya menuju butik milikku.
Butik yang aku dirikan sejak aku menyelesaikan kuliahku, dan sekarang aku sudah memiliki dua cabang di kota yang berbeda.
"Bu Andara," sapa Dita orang kepercayaanku ketika melihatku baru saja masuk ke dalam butik, dan aku langsung menghampiri Dita yang sedang melayani pelanggan.
Pelanggan di butikku memang tidak terlalu ramai hari ini, tapi pelanggan tidak henti-hentinya datang silih berganti hingga membuat pegawaiku harus melayani mereka semua dan aku harus menunggu Dita selesai melakukan pekerjaannya.
"Apa semua baik-baik saja, Dita?" tanyaku setelah Dita selesai melayani pelanggan.
"Semua baik-baik saja dan tidak ada masalah, Bu Andara." Jawab Dita kemudian mengikutiku masuk ke dalam ruangan kerjaku.
"Kalau begitu, bisa saya minta laporan bulan ini dan bulan kemarin, Dita? Saya ingin memeriksanya," ujarku.
Dita yang selama ini bisa aku andalkan, langsung mengambil laporan yang aku minta tanpa banyak bertanya.
Setelah memeriksa semua laporan, dan tidak ada masalah. Aku lalu meninggalkan butik dan langsung menuju mal di mana spa langgananku berada.
"Bu Andara, sudah lama ibu tidak ke sini. Ibu ke mana saja?" tanya Mbak Kanaya pemilik spa.
"Saya habis sakit, Mbak. Jadi baru bisa datang ke sini lagi setelah saya pulih," jawabku berbohong.
"Sakit? Sakit apa, Bu Andara?" tanya Mbak Kanaya yang terlihat terkejut dan ingin tahu seperti biasanya.
"Saya—."
Belum juga aku sempat meneruskan kata-kataku tiba-tiba ponselku berdering. Ketika aku melihat siapa yang menghubungiku, ternyata itu adalah panggilan dari orang yang tidak aku harapkan.
Melihat nama Anton yang sedang menghubungiku, aku tidak tahu harus mengangkat panggilan darinya atau tidak. Karena saat ini aku juga sedang ingin sendiri dan tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Tapi bagaimana bila panggilan ini penting?“Bu Andara,” tegur Mbak Kanaya membubarkan lamunanku.“I –iya, Mbak Kanaya. Ada apa?”“Itu, Bu Andara. Ponsel ibu berbunyi lagi,” jawab Mbak Kanaya sambil menunjuk telepon yang ada di tanganku.Aku hanya tersenyum menjawab apa yang dikatakan Mbak Kanaya, lalu pergi ke ujung ruangan spa ini untuk menjawab panggilan dari Anton.“Iya, Dokter Anton. Ada apa?” jawabku pada Anton di seberang telepon.Anton yang menghubungiku terdengar protes ketika aku memanggilnya dengan panggilan Dokter Anton, dan dia memintaku hanya memanggil namanya saja tanpa embel-embel dokter. Setelah itu dia menanyakan kabarku dan juga kandunganku. Tapi ketika aku akan mengakhiri percakapan kami, Anton malah ingin mengajakku untuk makan siang hari ini namun segera aku tolak.Aku ta
“Bu Maria,” ucap pelayan wanita yang tadi bersamaku sambil menunduk.Melihat Maria ada di tempat ini membuat selera makanku untuk makan di tempat ini tiba-tiba hilang. Wanita itu datang dengan senyum yang mengembang di dibibirnya. Tapi bukan senyum bahagia ataupun senyum menyambut pelanggan di sini. Melainkan senyum mengejek atau bisa di bilang menghina.“Layani pelanggan yang lain. Biar pelanggan yang satu ini saya sendiri yang melayaninya,” perintah Maria kepada pelayan wanita yang bersamaku tadi.Pelayan itu langsung pergi begitu Maria memerintahnya. Hal itu membuatku terkejut sekaligus binggung dengan yang terjadi saat ini. Karena aku tidak menyangka aku akan bertemu dengan wanita itu di sini. Tapi mengapa wanita itu ada di sini? Dan, mengapa pelayan tadi terlihat takut kepadanya? Apakah Sovia memperkerjakannya di sini?“Apa kamu perlu sesuatu?” tanya Maria mampu membubarkan lamunanku.“Aku ingin mencari Sovia, apa dia ada di sini?” jawabku dingin.“Maaf, Sovia siapa ya? Saya sepe
“Apa semua ini! Murahan!” geramku sambil membuang secarik kertas yang baru saja aku baca.Aku mendapatkan kertas itu dari kantong kertas yang Andreas bawa tadi, tapi bukan dari Mas Tio. Melainkan dari pengirim rahasia yang baru saja aku ketahui setelah aku membaca pesan yang baru saja aku buang tadi.Dalam kertas kecil tersebut berisi pesan manis untukku. Pesan manis dari Anton agar aku tidak lupa makan dan dia memberiku makanan dari salah satu restoran yang sangat aku kenal di kota ini. Tapi anehnya ketika aku membaca pesan itu, entah mengapa aku menjadi kesal.Derttt … derttt.Mendengar ponselku berbunyi, aku segera berlari ke dapur untuk mengambil ponselku. Ternyata bukan orang yang aku harapkan yang menghubungiku, melainkan pria yang membuatku kesal. Sehingga aku memilih membiarkannya hingga panggilan itu terputus sendiri.***Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore ketika aku bangun. Entah kapan aku mulai tertidur, t
“Sovia?” ucapku tidak percaya sekaligus terkejut.“Iya, Bu Andara. Wanita yang sedang ibu lihat saat ini di depan warung itu adalah Bu Sovia,” tambah Dini yang kini sudah di sampingku.Tas yang aku pegang langsung jatuh begitu aku mendengar apa yang Dini katakan. Karena aku tidak menyangka akan melihat sahabatku yang biasanya cantik dan modis, kini berubah menjadi upik abu.Aku yang tidak tahan melihat sahabatku seperti itu langsung berlari ke arahnya dan memeluknya. Bahkan air mataku pun ikut turun tanpa aku pinta.“Andara,” ucap Sovia terdengar terkejut.“Iya, Sovia. Aku Andara,” jawabku masih dengan memeluknya.Kami berdua saling berpelukan dan menangis tanpa mempedulikan kerumunan orang yang ada di warung di mana kami berada saat ini. Kerinduan yang cukup lama kami pendam kami luapkan bersama dengan air mata kami.“Aku benar-benar merindukanmu Sovia,” bisikku.Aku
“Hanya saja apa, Sovia? Jangan membuatku penasaran!” cecarku sambil menarik lengan Sovia agar mau menatapku.“Aku dijebak, Dara. Aku dan orang tuaku dijebak!” teriak Sovia sambil menangis.Aku yang tidak tahu harus berbuat apa, hanya bisa memeluk sahabatku itu. Karena mendengarnya berteriak seperti itu membuat hatiku terasa perih.Dulu ketika susah, Sovia dan keluarganya yang selalu menolongku hingga aku bisa seperti saat ini. Sekarang giliranku untuk membantunya dan aku akan melakukan apa aja agar kehidupan sahabatku itu bisa kembali seperti semula.“Sekarang ceritakan kepadaku apa yang terjadi, Sovia. Dan, di mana orang tuamu sekarang? Karena sejak tadi aku tidak melihatnya di sini,” ujarku setelah Sovia melepas pelukan dan menghapus air matanya.“Aku tidak bisa menceritakannya sekarang, Dara. Bagaimana kalau setelah warungku tutup?” jawab Sovia.Ada rasa ragu di hatiku ketika sahabatku itu m
“Ada apa, Dara?” tanya Sovia mengejutkanku.“So –Sovia,” ucapku gugup karena tidak menyadari kehadiran sahabatku itu.“Apa yang kamu lihat, Dara?” tanya Sovia sambil melirik foto yang sedang aku pegang.Sovia yang sepertinya belum menyadari foto apa yang sedang aku pegang segera mengambilnya dari tanganku dan melihatnya.“Dari mana kamu menemukan foto ini, Dara?” tanya Sovia penuh selidik.“Aku … aku menemukannya dibawah lemari itu,” jawabku berbohong sambil menunjukkan satu-satunya lemari yang ada di ruangan ini.Aku tahu, tidak seharusnya aku berbohong. Tapi bila aku mengatakan aku mengambilnya dari bawah foto yang ada di atas lemari plastik itu, Sovia pasti akan marah kepadaku. Sahabatku itu pasti akan menuduhku bahwa aku sedang menyelidikinya, padahal aku tidak melakukannya dan aku juga tidak sengaja menemukan foto itu.“Jangan berbohong, Dara. Tidak mu
“A –apa maksud semua ini, Sovia?” tanyaku penuh selidik.“Bukankah kamu sudah membacanya, Dara? Jadi jangan berpura-pura tidak mengerti!”“Jangan bermian tebak-tebakan, Sovia! Ini tidak lucu, cepat jawab aku. Apa semua ini?” tekanku sedikit frustasi karena sahabatku itu tidak langsung menjawab pertanyaanku.Entah Sovia sedang menutupi sesuatu atau memang dia masih merasa sakit menjelaskan semua ini kepadaku. Tapi apa yang ada di hadapanku saat ini mengingatkanku akan masa lalu.“Kenapa tidak menjawabku, Sovia? Apa hubungannya ini semua denganmu dan Damian?” cecarku tidak sabar menunggu jawaban sahabatku itu.“Baiklah, aku akan menjawabnya. Tapi tenangkan dulu dirimu, Dara. Apa yang ada di hadapanmu itu tidak bisa membuatmu atau membuatku kembali ke masa lalu. Kita hanya bisa memperbaikinya untuk saat ini dan masa depan,” jelas Sovia sok bijak.“Ok. Sekarang jelaskan perl
“Siapa yang menghubungimu, Dara?” tanya Sovia mengejutkanku, “Mengapa kamu tidak mengangkatnya?’” lanjut Sovia yang kini sudah duduk di sampingku.Aku yang binggung harus mengangkatnya atau tidak, hanya membiarkan ponselku itu berdering sampai panggilan itu terputus.“Mengapa kamu tidak mengangkatnya, Dara? Apa itu dari Tio?” tanya Sovia sambil merapikan rambutnya yang berantakan.“Bukan,” jawabku masih sambil menatap ponselku yang kini berbunyi lagi dari orang yang sama.Sovia yang sepertinya tidak sabar, langsung meraih ponsel yang ada di tanganku dan mengangkat panggilan itu. Begitu mendengar suara yang menghubungiku, dia langsung memutuskan panggilan itu.“Siapa dia, Dara? Siapa Dokter Antonius itu? Apa dia pacar barumu?” cecar Sovia sambil menatapku penuh curiga.“Kamu tidak perlu tahu!” ketusku sambil mengambil ponselku kembali.Namun secepat kilat sah