Share

Aku Bukan Istri Bayangan
Aku Bukan Istri Bayangan
Penulis: AnnaHN

Bab 01 - Menikahlah!

Penulis: AnnaHN
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-03 12:34:33

"Aku pulang, ya. Kamu baik-baik di rumah. Kunci pintu, jendela, sama hatinya juga!" ujar Mas Azzam sambil menunjukkan senyumnya yang selalu aku sukai.

"Karena hati kamu cuma buat aku!" lanjutnya pelan.

"Iyaa. Udah, pulang sana! Nanti kemaleman, lho." Kedua tanganku sedikit mendorong dada Mas Azzam yang masih berdiri di ambang pintu rumah disertai senyum tertahan.

Aku sangat mencintai laki-laki bermata indah di hadapanku ini. Tubuhnya selalu menguarkan aroma wangi kayu manis yang menenangkan, dan aku menyukainya. Semua yang ada padanya, aku suka.

Dengan senyum Mas Azzam yang masih tercetak jelas, kekasih yang telah menemaniku selama lima tahun ini perlahan mundur dan melambaikan tangannya, kemudian berlalu meninggalkan teras rumah.

Aku sendiri masih berdiri di tempat, memandang punggung kokohnya yang kian jauh hingga menghilang bersama mobil hitam jenis SUV miliknya.

Orang tuaku sedang tidak ada di rumah, keduanya tengah pergi ke Jakarta untuk menjenguk saudariku yang katanya tengah mengalami kontraksi hebat. Ya, kakakku itu tengah berjuang melahirkan buah cintanya ke dunia. Aku sendiri tidak bisa ikut, sebab kesibukanku yang merupakan mahasiswi tingkat akhir jurusan kebidanan ini penuh dengan berbagai kegiatan.

Ayah dan ibuku berangkat sejak tadi siang, perjalanan dari Bandung ke Jakarta hanya memakan waktu sekitar tiga sampai empat jam. Harusnya sekarang mereka sudah sampai di rumah kakakku, bukan?

Kututup pintu utama, lalu menguncinya sesuai permintaan Mas Azzam tadi. Bertahun-tahun bersama, sudah banyak hal yang kami cita-citakan. Mulai dari lulus kuliah bersama, bekerja di satu daerah yang sama dan tentunya menikah menjadi tujuan utama.

Bisa dibilang, kisah cintaku ini cukup beruntung. Sebab, tak ada halangan berarti selama aku dan Mas Azzam menjalaninya. Kedua keluarga sudah saling mengenal dan pastinya restu pun sudah kami kantongi.

Aku berjalan melewati ruang tamu, bermaksud untuk kembali ke kamarku. Namun, sebelum itu aku teringat pada ponselku yang tergeletak di dekat televisi di ruang keluarga. Lekas aku berjalan untuk mengambilnya.

Tepat ketika benda canggih itu hendak kuraih, dering suara nyaring menggema memecahkan keheningan. Bibirku tersenyum saat mengetahui nama kontak yang muncul di layar.

Ibu menelepon, pasti mau mengabari kalau bayi Kak Anita sudah lahir. Pikirku begitu. Ah, hanya sekadar membayangkannya saja aku ikut bahagia.

"Hal ...." Aku urung menyapa setelah samar-samar mendengar tangisan dari seberang sana, berpadu dengan suara riuh dan jeritan.

"Bu, ada apa? Gimana Kak An ...."

"Ini Bibi, Neng."

Sontak aku tertegun, merasa heran mengapa ponsel Ibu ada pada asisten rumah tangganya Kak Anita? Aku hendak membuka mulut niat bertanya, tetapi terlambat karena Bi Ratih kembali bersuara.

"Neng Gita siap-siap, ya! Sekarang Mang Jajang udah di jalan menuju Bandung buat jemput Neng Gita. Jadi, pas nyampe bisa langsung berangkat." Setelah mengatakan hal itu, sambungan telepon pun diputus secara sepihak.

Bukannya paham, aku malah semakin kebingungan. Keningku mengkerut mendengar apa yang Bi Ratih sampaikan.

Mengapa malam-malam seperti ini aku diminta menyusul ke Jakarta?

Jujur saja, hati yang semula tenang perlahan berdebar kencang. Pikiranku menjadi kacau mengingat adanya isak tangis yang mengiringi ucapan Bi Ratih tadi.

Seiring jarum jam yang terus berdetak, aku tak hentinya memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, saat aku larut dalam lamunan, mobil yang dikendarai Mang Jajang telah tiba di depan rumah.

Tanpa banyak bicara, aku langsung berangkat ke Jakarta dengan bekal seadanya. Di tengah pikiran yang berkecamuk, aku semakin terjebak dalam lamunan sepanjang perjalanan. Hingga tanpa sadar mobil yang dikendarai Mang Jajang pun telah memasuki kawasan elit yang ditinggali kakakku.

Hatiku mendadak waswas saat melihat kerumunan orang-orang di depan rumah kakakku dari jarak sekitar 10 meter. Mobil terus melaju pelan, disertai air mataku yang perlahan luruh ketika mendapati bendera kuning bertengger di pojok atas pagar.

"Sudah sampai, Neng." Aku sedikit terperanjat, melirik ke samping kanan yang ternyata pintu mobil telah dibuka lebar oleh Mang Jajang.

"Astaghfirullah! Siapa yang meninggal?" Aku terus beristighfar dan berdoa di dalam hati.

Secara perlahan tubuhku melemas, rasanya berat sekali menggerakkan kaki ini hingga aku hanya bisa berjalan gontai menyeruak kerumunan orang-orang.

Dadaku kian sesak dibuatnya. Apalagi saat netraku menangkap kekacauan di dalam rumah. Ibu tengah menangis histeris di pelukan Ayah, begitu pula dengan kedua mertua kakakku, mereka saling memeluk dan menenangkan satu sama lain. Sementara seseorang tengah terbujur kaku di tengah-tengah keluarga yang mengelilinginya.

"Kak ..., Kak Anita," ucapku tercekat bertepatan dengan kain yang menutupi wajah jenazah tersingkap diterpa angin.

Air mataku mengucur deras, menangis tanpa suara membuat kepala ini pening bukan main. Di saat kekalutan kian mendera, sepasang tangan merangkulku dari arah samping.

"Mari masuk, Neng!" ajak Bi Ratih dengan suaranya yang parau.

Napasku mulai putus-putus. Ingin berteriak, tetapi rasanya mulut ini tak sanggup. Kedua kakiku benar-benar lemas dan tidak sanggup lagi menopang bobot tubuhku sendiri. Bi Ratih pun semakin mengencangkan lingkaran tangannya di lenganku.

"Anitaaa, ya Allah, Nitaaa." Semua orang meratap.

Sambil bercucuran air mata, aku pun tak kuasa menahan keterkejutanku. Apa yang terjadi dengan Kak Anita? Bagaimana bisa semua ini terjadi? Semua orang sibuk mengendalikan kesedihannya, termasuk aku yang kini sudah menangis sejadi-jadinya.

Malam ini, aku dan keluarga dari kedua pihak secara bergantian berjaga untuk menemani jenazah Kak Anita sambil melantunkan ayat-ayat suci al-quran. Sebab, almarhumah akan dimakamkan keesokan paginya sesuai dengan permintaan Mas Haikal, kakak iparku.

Semua orang setuju, begitupun dengan Ibu yang tak ingin putrinya dikebumikan pada tengah malam seperti ini di situasi hujan deras. Sementara para pelayat sudah kembali ke rumahnya masing-masing.

Kini, tinggalah keluarga inti kami saja.

Di tengah keheningangan malam yang berbalutkan duka mendalam. Di sisa isak tangis yang tertelan desiran angin dan kegelapan, aku duduk bersandar dengan tubuh yang tak lagi memiliki tenaga, memandang kosong kepada dua keluarga yang tengah berbincang begitu intim jauh di ujung sana.

Tak berselang lama, semua orang kembali berkumpul, berjalan beriringan menghampiriku. Meski sedikit merasa heran, tetapi aku tak begitu memikirkannya. Fokusku masih pada Kak Anita yang dengan setianya memejamkan mata dalam kedamaian tepat di hadapanku. Namun, suara parau ayahku tiba-tiba saja memecah keheningan malam ini dengan ucapannya yang seperti petir menyambar di siang bolong.

"Neng, menikahlah dengan masmu sekarang juga! Semua sudah setuju dan sekarang tinggal ijab qabul saja."

Aku tak lantas menjawab, lidahku terasa kelu, otakku belum mampu mencerna apa yang baru saja Ayah katakan.

"Iya, Neng. Sebelum meninggal ..., kakakmu sempat berpesan agar kamu mau menikah dengan Nak Haikal langsung di hadapannya, menggantikan posisinya sebagai istri sekaligus menjadi ibu dari Binar, keponakanmu," sambung Ibu menjelaskan.

"Tap-tapi ..., bagaimana dengan kuliahku, Bu? Tahun ini baru masuk semester empat, fokusku pasti terbagi." Aku menunduk dalam-dalam di hadapan kedua orang tuaku.

"Kamu tidak perlu khawatir soal itu, Bapak yakin Nak Haikal akan mengizinkan kamu lanjut kuliah setelah Binar sudah sedikit lebih besar. Setidaknya sampai bisa berjalan."

Ingin rasanya aku menolak, tetapi hatiku tak tega kala menangkap gurat kesedihan dan kehilangan akan kepergian Kak Anita masih tercetak jelas di wajah seluruh keluarga, termasuk kedua pasangan baya di hadapanku kini. Bu Sukma dan Pak Abigail, orang tua Mas Haikal.

"Itu benar, Nak Anggita. Kamu tidak perlu khawatir! Kita akan bergantian menjaga Binar. Jadi, kamu nanti masih bisa melanjutkan kuliahmu. Bahkan Ibu rasa kamu tidak harus ambil-ambil cuti lagi."

"Percayalah, Nak! Pernikahan ini tidak akan merenggut masa depanmu. Bapak mohon terimalah tawaran kami. Haikal juga sudah setuju," ujar Pak Abigail menambahkan.

Malam ini seakan menjadi titik-balik bagi hidupku, masa depanku ditentukan pada keputusan besar yang harus kuambil saat ini juga. Namun, jika aku menerimanya ... kemungkinan harus mengorbankan cita-cita setinggi langit yang sempat memenuhi dadaku, serta Mas Azzam yang sangat kucintai.

Seolah perasaanku tak ada artinya, mereka langsung mempersiapkan proses ijab qabul saat ini juga. Seorang penghulu yang kebetulan salah satu tamu pun segera dimintai tolong untuk menikahkanku dan Mas Haikal.

Di tengah kesedihan yang membelenggu, di ruangan yang hanya dipenuhi isak tangis, sebuah janji suci akan diikat. Suasana duka menggelayut di setiap sudut ruangan, tetapi di tengah itu semua, lantunan ijab qabul menggema memenuhi ruangan. Aku bahkan sempat menahan napas, berharap apa yang terjadi hari ini hanya mimpi belaka. Namun, sayangnya semua ini benar adanya. Aku dipersunting oleh kakak iparku sendiri, di hadapan jasad kakakku.

"Maafkan aku, Mas Azzam. Kuharap kamu mau memaafkanku," monologku dalam hati.

Bab terkait

  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 02 - Iming-Iming Semata

    Tak terasa, satu tahu pun berlalu. Aku sudah seutuhnya meninggalkan kehidupanku di Bandung dan ikut tinggal bersama suamiku di Jakarta. Rumah yang dulu menjadi saksi kisah Kak Anita dan Mas Haikal terajut, kini kulanjutkan.Malam ini, suara desahan dan erangan terus menggema memenuhi ruangan, saling bersahutan dengan decitan ranjang mengiringi kegiatanku dan Mas Haikal. Kamar mewah minim penerangan milikku sepertinya akan menampilkan siluet tubuh kekar suamiku yang tengah memacu, bergerak liar di atas tubuhku."Mas, sudah!" Aku terus merengek karena sudah tak tahan lagi. Keringatku bercucuran berbarengan dengan air mata yang terus menetes membasahi kedua pipiku."Anita ..., aku mencintaimu!" Lenguhan yang menandakan Mas Haikal telah mencapai puncaknya itu bagai belati yang menancap begitu dalam pada jantung ini.Tubuhku yang dia nikmati, tetapi nama itulah yang selalu suamiku sebutkan. Mas Haikal seolah tak peduli, hentakan terakhirnya adalah bukti bahwa di dalam pikirannya kini hanya

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-03
  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 03 - Jangan Salah Paham!

    Aku terus berjalan menyusuri lorong menuju kamar Mas Haikal yang berada di ujung kiri, sementara kamar milikku berada di ujung kanan. Jujur saja, aku sebenarnya tidak tahu kedua mertuaku menyadarinya atau tidak dengan keadaan rumah tangga kami yang seperti ini. Tak sekali pun baik Bu Sukma maupun Pak Abigail bertanya padaku, apakah putranya memperlakukanku dengan baik atau tidak.Kupikir, mereka mungkin tak peduli. Entahlah.Mulanya aku sendiri sempat kebingungan dengan keinginan Mas Haikal yang tak ingin satu kamar denganku, tetapi perlahan aku mengerti alasan dia memperlakukanku seperti ini. Mas Haikal terpaksa menikah denganku, dan aku paham bahwa kehadiranku sampai detik ini belum bisa diterimanya.Hal itu memengaruhi cara mereka memperlakukanku di rumah besar ini. Tak sedikit pun posisiku benar-benar dihargai, itu semua bisa kusimpulkan karena foto-foto mendiang Kak Anita saja masih terpampang jelas hampir di setiap sudut ruangan, salah satunya di ruang keluarga yang tengah kulewa

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-03
  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 04 - Milik Anita

    "Hentikan tangismu dan turunlah segera! Binar pasti mencarimu. Aku pun harus pergi bekerja," katanya lagi seraya berbalik badan dan meninggalkan kamar. Kubekap erat mulut ini, sekuat tenaga menghentikan tangis di saat hati ingin menjerit. Aku harus tetap kuat dan tegar, tidak ada waktu untuk meratapi diri. Aku harus membebaskan diri dari ini semua, setidaknya demi si kecil Binar. Aku terus berusaha menguatkan diri. Setelah dirasa cukup tenang, aku pun membersihkan diri secara kilat, lalu turun ke lantai satu. Kulihat, mertuaku sudah berada di sofa ruang keluarga, sedang Mas Haikal terlihat menenteng tas kerjanya. "Ma ... Ma!" panggil si kecil Binar seraya merentangkan tangan ketika melihat kedatanganku. Bocah mungil itu tengah digendong oleh Bi Ratih, asisten rumah tangga kami yang sepertinya datang ketika aku membersihkan diri di kamar tadi. "Sini, Nak!" ucapku meminta Binar. "Makasih, ya, Bi ..., Ma. Maaf aku agak lama." Kuambil alih Binar dari gendongan Bi Ratih, lalu membawa Bi

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-03
  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 05 - Menemukan Benda Asing

    Semalaman aku kesulitan memejamkan mata, berpikir bagaimana caranya agar bisa keluar dari lingkaran yang seakan mencekik ini. Sampai kapan aku harus bersabar diperlakukan tidak adil begini? Tidak cukupkah mereka merenggut masa depanku? Aku tak minta dipuja, cukup pengorbanan dan kehadiranku di sini dihargai saja.Akibat terjaga hampir sepanjang malam, alhasil pagi ini aku terbangun sedikit terlambat, itu pun karena mendengar tangis si kecil Binar yang melengking. Sontak saja aku terperanjat dengan menahan kepala yang seketika pening bukan main. Kutenangkan Binar sebentar, lalu kusimpan di kereta bayi. Sementara aku mencuci muka dengan kilat dan kembali menghampirinya.Untungnya ini akhir pekan. Jadi, ketika aku memulai pekerjaan rumah, Mas Haikal masih berada di kamarnya. Kedua mertuaku pun belum terlihat kedatangannya ke rumah utama.Seperti biasa aku akan langsung memasuki dapur, menyiapkan sarapan dan membereskan sisanya. Sementara Binar duduk tenang di kursinya, selama aku terlihat

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-03
  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 06 - Pingsan

    Benar apa yang dikatakan Bi Ratih. Sore harinya, Rania datang ke rumah dan memecahkan suasana dengan suaranya yang nyaring. Di usianya yang menginjak angka 20-an, Rania tampak begitu segar dan cantik, tubuh mungil nan berisinya dibalut gaun mini di atas lutut berwarna pink lembut menunjang penampilannya semakin terlihat memesona. Gadis itu berjalan begitu semangat disertai senyumnya yang cerah, sesekali jemari lentiknya memainkan ikatan rambutnya yang dikuncir quda."Kak Haikaaaal, Rania dataaang!" Rania langsung memeluk suamiku dari arah belakang, tangan Mas Haikal refleks merangkul pinggang Rania dengan posisi yang sama. Mas Haikal sedang duduk di atas karpet bersama Binar."Ya ampun, pelan-pelan, Ran. Nanti kamu kepeleset!" peringatnya pelan, Rania tersenyum lebar sambil menempel sempurna di punggung suamiku."Biarin, kan ada Kakak yang nolongin." Rania menjauhkan diri sebentar, lalu memiringkan kepala dan menatap wajah suamiku dari samping dengan kedua tangan yang masih melingkar

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-01
  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 07 - Curiga

    Kubiarkan air mata ini mengalir bebas di pipiku, sementara arah pandangku terus tertuju keluar kaca jendela mobil dengan rinai hujan yang berderai lembut tanpa henti. Perjalanan Jakarta—Bandung kali ini mengingatkanku pada masa lalu. Ketika aku bertolak ke Jakarta dengan perasaan cemas yang serupa. Namun, pedih hatiku saat ini rasanya berkali-kali lipat lebih menyakitkan, hingga membuat kewarasanku hampir hilang karena dihantam kenyataan."Ma ..., huwaaaa!""Huwaaa!"Lamunanku buyar. Rengekan Binar yang tiba-tiba dan sejak tadi tidur pulas di pangkuanku seakan menjadi sebuah peringatan untukku agar berhenti menangis. Kutepuk lembut dada Binar agar kembali terlelap, tetapi sayangnya itu tidak berhasil. Bukannya reda, tangis Binar malah kian menjadi."Ssst ..., Binar Bobo lagi, ya! Perjalanan kita masih jauh, Sayang." Seiring usahaku menenangkan si kecil, sopir travel yang duduk di balik kemudinya sesekali mencuri pandang ke arah kami. Aku yang sadar diperhatikan seperti itu, mulai me

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-06
  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 8 - Pertemuan Mendebarkan

    Hari pertama di rumah orang tuaku cukup membuatku sadar akan perbedaan. Perbedaan ketenangan, ketenteraman, serta kenyamanan diri dalam setiap pergerakan. Kupikir, tekanan yang selama ini melingkupiku pasti sirna, kesedihan yang satu tahun ini menderaku akan otomatis tergantikan dengan kebahagiaan kala aku bersama Ayah dan Ibu. Kenyataannya tidak seperti itu. Alasannya tak lain karena bagaimanapun juga segalanya sudah tak lagi sama. Semalaman aku tak bisa tenang, beberapa kali mengecek ponsel, berharap Mas Haikal akan menghubungiku barang sekali saja. Namun, hingga hari kedua aku di Bandung, gawai berbentuk persegi ini tak menunjukkan pergerakan apa pun. "Setidaknya kamu nanyain kabar Binar, Mas," gerutuku kesal sembari mencebikkan bibir. Tidak hanya itu saja, potret mesra yang Rania kirimkan pun turut menghantui pikiranku. Dugaan dan kecurgiaanku pada keduanya kian liar entah ke mana.Aku tertelan oleh kekhawatiran dan asumsi-asumsiku sendiri. Semakin dalam hingga tak tentu arah."K

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-07
  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 09 - Amarah Berujung Pasrah

    Tiga puluh menit terasa jauh lebih lama, apalagi ketika diliputi kecanggungan yang tercipta di antara kami bertiga. Diam-daim aku merutuki situasi tak terduga ini di dalam hati. Bukan kerena aku tidak senang dijemput oleh suamiku, atau tidak menerima niat baik dari Mas Azzam. Namun, mengapa mereka harus datang dalam waktu bersamaan? Meskipun raut wajah kedua laki-laki itu tampak biasa saja di mataku, tetapi dari gerak-gerik Mas Haikal yang sejak tadi hanya diam dan tak menyapaku menjadi masalah tersendiri bagiku. Seusai Mas Azzam dan Mas Haikal bergantian menemui ayahku di kamarnya, kini keduanya duduk di kursi teras ditemani oleh Ibu. Sementara aku kembali ke dalam rumah dengan alasan kerepotan oleh BInar yang tidak bisa diam."Silakan diminum teh hangatnya, Nak Azzam, Nak Haikal!" Kulihat, Ibu menyodorkan dua gelas minuman hangat di atas meja yang berada di teras, sedangkan aku berdiri kebingungan tak jauh dari pintu. Harus pulang sekarang, atau menunggu interupsi dari Mas Haikal?

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-08

Bab terbaru

  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 11 - Ketahuan

    Malam kian larut, desiran angin dan detik jarum jam berpadu di tengah kesunyian yang menyapa. Aku meringkuk seorang diri, ditemani kegelisahan dan kepiluan yang membuncah di dada. Sisa isakanku sesekali lolos, menelisik ruang hampa dan keheningan suasana. Sudah pukul 11 malam, tetapi baik Mas Haikal maupun kedua mertuaku belum jua tampak kehadirannya. Sebenarnya, ke mana mereka? Tak biasanya tengah malam seperti ini masih berada di luar rumah. Mungkinkah di tempat Rania sedang ada acara? Kuraih gawai yang semula kusimpan di samping bantal, lalu berselancar di dunia maya. Membuka satu per satu akun anggota keluarga suamiku, berharap bisa menemukan jawaban atas cemasku. Pada zaman serba sharing ini, orang-orang cenderung memiliki kebiasaan membagikan segala jenis kegiatan mereka di sosial media, dan Rania adalah salah satu yang memiliki kebiasaan demikian. Akan tetapi, nyatanya aku tidak menemukan apa pun, hanya foto selfie dirinya yang diposting terakhir kali di suatu toko perhias

  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 10 - Ternyata Kalian ....

    "Jangan pernah kamu bahas soal Rania lagi! Menjaganya adalah kewajibanku. Dia nggak punya saudara laki-laki, atau ayah yang bisa diandalkannya. Jadi, kamu jangan mengarang cerita hanya berdasarkan kecurigaanmu yang tanpa dasar itu!""Aku bisa aja terus ngalah dari kamu atau pun Ibu, Mas. Tapi, jika ada orang lain yang mengusik rumah tanggaku, aku tidak akan tinggal diam!" Aku hanya bisa mengatakannya di dalam hati, membiarkan suamiku beranggapan bahwa aku telah setuju. Lelah yang mebdera, membuatku malas berdebat. Bukan aku tidak percaya padanya, hanya saja apa yang Rania lakukan sebelumnya telah berhasil mengusikku. Photo yang gadis itu kirim tanpa keterangan sungguh memancing rasa penasaranku, dan aku berencana menyinggungnya ketika dia datang ke rumah. Aku yakin tidak lama lagi dia akan datang."Kamu juga tahu, kan, Git. Mas begini karena sedang merin ....""Tahu, kok. Mas gak perlu khawatir, aku nggak akan salah mengartikan. Bahkan kalau iya pun, aku akan tetap beranggapan seprti

  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 09 - Amarah Berujung Pasrah

    Tiga puluh menit terasa jauh lebih lama, apalagi ketika diliputi kecanggungan yang tercipta di antara kami bertiga. Diam-daim aku merutuki situasi tak terduga ini di dalam hati. Bukan kerena aku tidak senang dijemput oleh suamiku, atau tidak menerima niat baik dari Mas Azzam. Namun, mengapa mereka harus datang dalam waktu bersamaan? Meskipun raut wajah kedua laki-laki itu tampak biasa saja di mataku, tetapi dari gerak-gerik Mas Haikal yang sejak tadi hanya diam dan tak menyapaku menjadi masalah tersendiri bagiku. Seusai Mas Azzam dan Mas Haikal bergantian menemui ayahku di kamarnya, kini keduanya duduk di kursi teras ditemani oleh Ibu. Sementara aku kembali ke dalam rumah dengan alasan kerepotan oleh BInar yang tidak bisa diam."Silakan diminum teh hangatnya, Nak Azzam, Nak Haikal!" Kulihat, Ibu menyodorkan dua gelas minuman hangat di atas meja yang berada di teras, sedangkan aku berdiri kebingungan tak jauh dari pintu. Harus pulang sekarang, atau menunggu interupsi dari Mas Haikal?

  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 8 - Pertemuan Mendebarkan

    Hari pertama di rumah orang tuaku cukup membuatku sadar akan perbedaan. Perbedaan ketenangan, ketenteraman, serta kenyamanan diri dalam setiap pergerakan. Kupikir, tekanan yang selama ini melingkupiku pasti sirna, kesedihan yang satu tahun ini menderaku akan otomatis tergantikan dengan kebahagiaan kala aku bersama Ayah dan Ibu. Kenyataannya tidak seperti itu. Alasannya tak lain karena bagaimanapun juga segalanya sudah tak lagi sama. Semalaman aku tak bisa tenang, beberapa kali mengecek ponsel, berharap Mas Haikal akan menghubungiku barang sekali saja. Namun, hingga hari kedua aku di Bandung, gawai berbentuk persegi ini tak menunjukkan pergerakan apa pun. "Setidaknya kamu nanyain kabar Binar, Mas," gerutuku kesal sembari mencebikkan bibir. Tidak hanya itu saja, potret mesra yang Rania kirimkan pun turut menghantui pikiranku. Dugaan dan kecurgiaanku pada keduanya kian liar entah ke mana.Aku tertelan oleh kekhawatiran dan asumsi-asumsiku sendiri. Semakin dalam hingga tak tentu arah."K

  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 07 - Curiga

    Kubiarkan air mata ini mengalir bebas di pipiku, sementara arah pandangku terus tertuju keluar kaca jendela mobil dengan rinai hujan yang berderai lembut tanpa henti. Perjalanan Jakarta—Bandung kali ini mengingatkanku pada masa lalu. Ketika aku bertolak ke Jakarta dengan perasaan cemas yang serupa. Namun, pedih hatiku saat ini rasanya berkali-kali lipat lebih menyakitkan, hingga membuat kewarasanku hampir hilang karena dihantam kenyataan."Ma ..., huwaaaa!""Huwaaa!"Lamunanku buyar. Rengekan Binar yang tiba-tiba dan sejak tadi tidur pulas di pangkuanku seakan menjadi sebuah peringatan untukku agar berhenti menangis. Kutepuk lembut dada Binar agar kembali terlelap, tetapi sayangnya itu tidak berhasil. Bukannya reda, tangis Binar malah kian menjadi."Ssst ..., Binar Bobo lagi, ya! Perjalanan kita masih jauh, Sayang." Seiring usahaku menenangkan si kecil, sopir travel yang duduk di balik kemudinya sesekali mencuri pandang ke arah kami. Aku yang sadar diperhatikan seperti itu, mulai me

  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 06 - Pingsan

    Benar apa yang dikatakan Bi Ratih. Sore harinya, Rania datang ke rumah dan memecahkan suasana dengan suaranya yang nyaring. Di usianya yang menginjak angka 20-an, Rania tampak begitu segar dan cantik, tubuh mungil nan berisinya dibalut gaun mini di atas lutut berwarna pink lembut menunjang penampilannya semakin terlihat memesona. Gadis itu berjalan begitu semangat disertai senyumnya yang cerah, sesekali jemari lentiknya memainkan ikatan rambutnya yang dikuncir quda."Kak Haikaaaal, Rania dataaang!" Rania langsung memeluk suamiku dari arah belakang, tangan Mas Haikal refleks merangkul pinggang Rania dengan posisi yang sama. Mas Haikal sedang duduk di atas karpet bersama Binar."Ya ampun, pelan-pelan, Ran. Nanti kamu kepeleset!" peringatnya pelan, Rania tersenyum lebar sambil menempel sempurna di punggung suamiku."Biarin, kan ada Kakak yang nolongin." Rania menjauhkan diri sebentar, lalu memiringkan kepala dan menatap wajah suamiku dari samping dengan kedua tangan yang masih melingkar

  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 05 - Menemukan Benda Asing

    Semalaman aku kesulitan memejamkan mata, berpikir bagaimana caranya agar bisa keluar dari lingkaran yang seakan mencekik ini. Sampai kapan aku harus bersabar diperlakukan tidak adil begini? Tidak cukupkah mereka merenggut masa depanku? Aku tak minta dipuja, cukup pengorbanan dan kehadiranku di sini dihargai saja.Akibat terjaga hampir sepanjang malam, alhasil pagi ini aku terbangun sedikit terlambat, itu pun karena mendengar tangis si kecil Binar yang melengking. Sontak saja aku terperanjat dengan menahan kepala yang seketika pening bukan main. Kutenangkan Binar sebentar, lalu kusimpan di kereta bayi. Sementara aku mencuci muka dengan kilat dan kembali menghampirinya.Untungnya ini akhir pekan. Jadi, ketika aku memulai pekerjaan rumah, Mas Haikal masih berada di kamarnya. Kedua mertuaku pun belum terlihat kedatangannya ke rumah utama.Seperti biasa aku akan langsung memasuki dapur, menyiapkan sarapan dan membereskan sisanya. Sementara Binar duduk tenang di kursinya, selama aku terlihat

  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 04 - Milik Anita

    "Hentikan tangismu dan turunlah segera! Binar pasti mencarimu. Aku pun harus pergi bekerja," katanya lagi seraya berbalik badan dan meninggalkan kamar. Kubekap erat mulut ini, sekuat tenaga menghentikan tangis di saat hati ingin menjerit. Aku harus tetap kuat dan tegar, tidak ada waktu untuk meratapi diri. Aku harus membebaskan diri dari ini semua, setidaknya demi si kecil Binar. Aku terus berusaha menguatkan diri. Setelah dirasa cukup tenang, aku pun membersihkan diri secara kilat, lalu turun ke lantai satu. Kulihat, mertuaku sudah berada di sofa ruang keluarga, sedang Mas Haikal terlihat menenteng tas kerjanya. "Ma ... Ma!" panggil si kecil Binar seraya merentangkan tangan ketika melihat kedatanganku. Bocah mungil itu tengah digendong oleh Bi Ratih, asisten rumah tangga kami yang sepertinya datang ketika aku membersihkan diri di kamar tadi. "Sini, Nak!" ucapku meminta Binar. "Makasih, ya, Bi ..., Ma. Maaf aku agak lama." Kuambil alih Binar dari gendongan Bi Ratih, lalu membawa Bi

  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 03 - Jangan Salah Paham!

    Aku terus berjalan menyusuri lorong menuju kamar Mas Haikal yang berada di ujung kiri, sementara kamar milikku berada di ujung kanan. Jujur saja, aku sebenarnya tidak tahu kedua mertuaku menyadarinya atau tidak dengan keadaan rumah tangga kami yang seperti ini. Tak sekali pun baik Bu Sukma maupun Pak Abigail bertanya padaku, apakah putranya memperlakukanku dengan baik atau tidak.Kupikir, mereka mungkin tak peduli. Entahlah.Mulanya aku sendiri sempat kebingungan dengan keinginan Mas Haikal yang tak ingin satu kamar denganku, tetapi perlahan aku mengerti alasan dia memperlakukanku seperti ini. Mas Haikal terpaksa menikah denganku, dan aku paham bahwa kehadiranku sampai detik ini belum bisa diterimanya.Hal itu memengaruhi cara mereka memperlakukanku di rumah besar ini. Tak sedikit pun posisiku benar-benar dihargai, itu semua bisa kusimpulkan karena foto-foto mendiang Kak Anita saja masih terpampang jelas hampir di setiap sudut ruangan, salah satunya di ruang keluarga yang tengah kulewa

DMCA.com Protection Status