Tak terasa, satu tahu pun berlalu. Aku sudah seutuhnya meninggalkan kehidupanku di Bandung dan ikut tinggal bersama suamiku di Jakarta. Rumah yang dulu menjadi saksi kisah Kak Anita dan Mas Haikal terajut, kini kulanjutkan.
Malam ini, suara desahan dan erangan terus menggema memenuhi ruangan, saling bersahutan dengan decitan ranjang mengiringi kegiatanku dan Mas Haikal. Kamar mewah minim penerangan milikku sepertinya akan menampilkan siluet tubuh kekar suamiku yang tengah memacu, bergerak liar di atas tubuhku."Mas, sudah!" Aku terus merengek karena sudah tak tahan lagi. Keringatku bercucuran berbarengan dengan air mata yang terus menetes membasahi kedua pipiku."Anita ..., aku mencintaimu!" Lenguhan yang menandakan Mas Haikal telah mencapai puncaknya itu bagai belati yang menancap begitu dalam pada jantung ini.Tubuhku yang dia nikmati, tetapi nama itulah yang selalu suamiku sebutkan. Mas Haikal seolah tak peduli, hentakan terakhirnya adalah bukti bahwa di dalam pikirannya kini hanya terpatri nama Kak Anita seorang.Kupejamkan mata ini erat-erat, merasakan sesak di dada kala hembusan napas kelelahan Mas Haikal begitu hangat di leherku.Mas Haikal menarik diri dari atas tubuhku yang polos tanpa sehelai benang ini, kemudian duduk di tepi ranjang dan memunguti pakaiannya yang teronggok di bawah dekat ranjang. Tidak ada kalimat manis, atau ciuman di kening sebagai apresiasi atas nikmat yang telah kuberi. Laki-laki itu pergi begitu saja keluar kamar setelah kembali mengenakan pakaian tanpa mengatakan apa-apa.Lagi dan lagi aku mulai terisak, tak pernah dihargai sebagai seorang istri sudah biasa bagiku. Namun, tetap saja rasanya sakit hingga tubuh ini remuk redam.Kutatap nanar pada pintu kamar yang sudah tertutup rapat, dengan bodohnya aku kadang berharap Mas Haikal akan kembali ke kamar dan melanjutkan tidur di sampingku hingga pagi menjelang. Namun, harapan tinggalah harapan. Setelah selesai melakukan kewajibannya Mas Haikal selalu meinggalkanku sendiri dan memilih untuk tidur di kamarnya yang berbeda.Hubunganku dan Mas Haikal yang sejak semula memang tidak dilandaskan cinta menjadi alasan di balik dinginnya sikap laki-laki itu dan mengakibatkan rumah tangga kami terasa tidak memiliki jiwa, kosong, dan cenderung penuh tekanan. Terutama bagiku. Sebab, Mas Haikal mau menerima kehadiran diri ini dengan penuh keterpaksaan semata.Akan tetapi, jika dipikir ulang situasi ini bukan hanya Mas Haikal saja yang merasakan keterpaksaan. Aku sendiri pun mengalami hal serupa.Kaki jenjangku melangkah lemah setelah turun dari atas ranjang. Aku menyeret selimut berbulu halus ini untuk menutupi sebagian tubuh polosku.Berdiri di depan cermin, kutatap lekat pantulan diriku yang kini nampak teramat kacau. Rambutku acak-acakan, pipiku tirus dengan lingkaran hitam yang menggelantung di sekitar mata. Tubuhku kurus kering disertai bintik-bintik hitam di beberapa bagian.Menyadari hal itu, isakan kecil lolos dari mulutku, berbarengan dengan selimut yang luruh ke lantai menyusuri kaki.Tak ada lagi yang menarik dari diriku. Padahal, dulu aku tidak seperti ini. Aku adalah gadis yang rajin merawat diri hingga kecantikanku terpancar dari dalam hati.Akan tetapi, setelah aku mendadak jadi seorang istri sekaligus ibu, pancaran itu perlahan meredup diiringi tekanan batin yang selalu menderaku setiap hari.Bagaimana tidak, setelah menikah Sampai saat ini apa yang keluarga Mas Haikal ucapkan sebelumnya tidak ada satu pun yang terealisasi.Jangankan melanjutkan kuliah, merawat diri sendiri saja bisa dikatakan aku tidak sempat. Hari demi hari kuhabiskan untuk mengurus Binar tanpa sedikit pun bantuan langsung dari Bu Sukma, ibu mertuaku. Merawat rumah, memasak menu-menu kesukaan kedua mertuaku dan tentunya melayani suamiku. Semua waktu kuhabiskan hanya untuk menjadi ibu rumah tangga seutuhnya.Tak ada lagi pembahasan yang menyangkut akan diriku, kuliahku, atau bahkan sekadar dimintai pendapat mengenai apa yang kuinginkan."Seorang istri itu kodratnya di rumah, Nak Gita. Ngurusin anak, rumah, sama ngurusin suami. Itu pahalanya besar, lho!" ujar Bu Sukma saat itu ketika aku menyinggung perihal pendidikanku.Akhirnya, sejak saat itu aku sadar. Apa yang disampaikan keluarga Mas Haikal pada saat memintaku untuk menikahi putra mereka tak lain hanyalah iming-iming semata.**"Sebentar, Sayang. Susunya lagi dibikin. Binar uduk dulu, ya!""Tutu, awu tutu!""Iyaaa." Kucubit gemas pipi gembul gadis kecil yang kini menginjak usia satu tahun lebih ini.Pagi-pagi begini aku memang sudah terbiasa disibukkan oleh segudang aktivitas rumah tangga. Dari sejak bangun pagi aku akan langsung memasuki laundry room, mengecek satu per satu kantong baju maupun celana yang akan kumasukkan ke dalam mesin cuci. Setelah itu lanjut ke bagian dapur, membuat sarapan untuk semua orang, serta mengurus si kecil Binar.Kuikat asal rambut panjangku setinggi mungkin, lalu mengocok-ngocok botol susu dan segera memberikannya pada Binar yang duduk di kursi khusus seusianya."Habiskan, ya, Sayang!" kataku lembut seraya mengusap pucuk kepala Binar.Aku kembali menghadap kompor untuk mencicipi nasi goreng yang sudah kubuat beberapa saat lalu. Setelah dirasa pas, segera kumatikan kompor dan menyajikannya di atas meja. Kemudian berbalik ke wastafel untuk mengumpulkan perabotan dapur yang kotor.Sebetulnya, rumah ini dilengkapi tiga pekerja. Satu laki-laki berusia 60 tahun yang dipekerjakan Mas Haikal untuk mengurus halaman, dan satunya lagi seorang wanita paruh baya kisaran usia 40 tahun ditugaskan untuk membersihkan rumah. Terakhir, ialah Mang Jajang bekerja sebagai sopir.Meski rumah ini dilengkapi asisten rumah tangga, tetapi aku sendiri lebih memilih turun tangan langsung dan mengerjakan banyak pekerjaan rumah ketimbang asistenku yang memang hanya dipekerjakan mulai dari jam delapan pagi, hingga waktu petang tiba. Entah apa alasannya, aku terbilang jarang diikutsertakan dalam mengambil keputusan mengenai hal-hal berupa wewenang seperti itu."Waaah, cucu Oma udah minum susu aja."Suara Bu Sukma, ibu mertuaku, terdengar memenuhi ruangan. Lantas aku buru-buru menyelesaikan pekerjaanku dan berniat meninggalkan dapur. Lantaran sudah ada Bu Sukma di sini menemani Binar, maka aku berniat akan memanfaatkan waktu singkat ini untuk naik ke lantai dua, guna menyiapkan setelan kerja suamiku."Lho, kamu mau ke mana?" tanya Bu Sukma padaku sebelum benar-benar pergi. Posisiku saat ini tepat di belakang kursi yang didudukinya."Aku permisi ke kamar dulu, ya, Bu. Mau nyiapin bajunya Mas Haikal. Titip Bin ...." Kuurungkan kalimatku setelah mendengar Bu Sukma membuang napasnya sedikit kasar.Tak lama setelah itu, mataku menangkap gerakan pelan dari tangan Bu Sukma yang melambai memberikan isyarat agar aku mendekat padanya."Ada apa, Bu?" tanyaku dengan sopan.Kulihat Bu Sukma tersenyum kecut mendapat pertanyaan seperti itu, ia lantas menatap diri ini dengan tatapan dingin nan datar."Gita, udah berapa kali Ibu ingatkan sama kamu. Meninggalkan pekerjaan yang belum selesai itu gak baik. Ibu paling tidak suka melihat orang yang kerjanya setengah-setengah!""Maksud Ibu?" Aku bertanya balik setelah beberapa saat sempat terdiam, mencerna perkataan ibu mertuaku yang entah mengapa terdengar kesal."Gita ... Gita. Kamu itu memang sangat jauh berbeda dengan ibunya Binar. Anita itu selain cekatan, dia juga bisa diandalkan. Kamu itu harusnya layani ibu mertuamu dengan baik, masa Ibu datang makanannya belum ada di atas piring. Selesaikan dulu di satu tempat baru ke tempat lain."Dada ini seketika serasa tercubit, sesak mulai menjalar dan memenuhi relung hati. Tak bisakah Bu Sukma meminta langsung saja kalau hanya sekadar minta dilayani? Mengapa harus pula membandingkan diriku dengan mendiang kakakku? Meski hal ini bukan pertama kalinya, tetapi tetap saja aku masih belum terbiasa.Terlepas dari itu semua, aku tetap bergerak menuruti perkataan Bu Sukma. Memaksakan senyum yang kuukir di kedua belah bibir yang mengering. Jelas saja, aku baru ingat jika sejak bangun tadi sama sekali belum sempat mengisi perut dengan apa pun."Nah, gitu, dong!" kata wanita dengan rambut putih disanggul itu tersenyum sembari mulai menyuapkan nasi ke mulutnya."Jadi istri yang baik itu pahalanya banyak, lho, Git. Kamu masih harus banyak belajar lagi, ya. Jadi, lain kali Ibu tidak perlu tegur-tegur terus!" tutur Bu Sukma lagi. Kali ini intonasi bicaranya cukup ramah, namun tetap menyiratkan kritikan untukku."Iya, Bu." Aku menjawab pelan sembari menuangkan segelas air putih untuknya. Setelah itu, aku benar-benar meninggalkan ruang makan dan naik ke lantai dua, tepatnya ke kamar Mas Haikal. Lebih dari satu tahun hidup di bawah atap yang sama, tetapi aku dan Mas Haikal menempati kamar yang berbeda.Sebegitu cintanya ia pada Kak Anita, sampai-sampai tak jua sudi menerima keberadaanku di sisinya.Aku terus berjalan menyusuri lorong menuju kamar Mas Haikal yang berada di ujung kiri, sementara kamar milikku berada di ujung kanan. Jujur saja, aku sebenarnya tidak tahu kedua mertuaku menyadarinya atau tidak dengan keadaan rumah tangga kami yang seperti ini. Tak sekali pun baik Bu Sukma maupun Pak Abigail bertanya padaku, apakah putranya memperlakukanku dengan baik atau tidak.Kupikir, mereka mungkin tak peduli. Entahlah.Mulanya aku sendiri sempat kebingungan dengan keinginan Mas Haikal yang tak ingin satu kamar denganku, tetapi perlahan aku mengerti alasan dia memperlakukanku seperti ini. Mas Haikal terpaksa menikah denganku, dan aku paham bahwa kehadiranku sampai detik ini belum bisa diterimanya.Hal itu memengaruhi cara mereka memperlakukanku di rumah besar ini. Tak sedikit pun posisiku benar-benar dihargai, itu semua bisa kusimpulkan karena foto-foto mendiang Kak Anita saja masih terpampang jelas hampir di setiap sudut ruangan, salah satunya di ruang keluarga yang tengah kulewa
"Hentikan tangismu dan turunlah segera! Binar pasti mencarimu. Aku pun harus pergi bekerja," katanya lagi seraya berbalik badan dan meninggalkan kamar. Kubekap erat mulut ini, sekuat tenaga menghentikan tangis di saat hati ingin menjerit. Aku harus tetap kuat dan tegar, tidak ada waktu untuk meratapi diri. Aku harus membebaskan diri dari ini semua, setidaknya demi si kecil Binar. Aku terus berusaha menguatkan diri. Setelah dirasa cukup tenang, aku pun membersihkan diri secara kilat, lalu turun ke lantai satu. Kulihat, mertuaku sudah berada di sofa ruang keluarga, sedang Mas Haikal terlihat menenteng tas kerjanya. "Ma ... Ma!" panggil si kecil Binar seraya merentangkan tangan ketika melihat kedatanganku. Bocah mungil itu tengah digendong oleh Bi Ratih, asisten rumah tangga kami yang sepertinya datang ketika aku membersihkan diri di kamar tadi. "Sini, Nak!" ucapku meminta Binar. "Makasih, ya, Bi ..., Ma. Maaf aku agak lama." Kuambil alih Binar dari gendongan Bi Ratih, lalu membawa Bi
Semalaman aku kesulitan memejamkan mata, berpikir bagaimana caranya agar bisa keluar dari lingkaran yang seakan mencekik ini. Sampai kapan aku harus bersabar diperlakukan tidak adil begini? Tidak cukupkah mereka merenggut masa depanku? Aku tak minta dipuja, cukup pengorbanan dan kehadiranku di sini dihargai saja.Akibat terjaga hampir sepanjang malam, alhasil pagi ini aku terbangun sedikit terlambat, itu pun karena mendengar tangis si kecil Binar yang melengking. Sontak saja aku terperanjat dengan menahan kepala yang seketika pening bukan main. Kutenangkan Binar sebentar, lalu kusimpan di kereta bayi. Sementara aku mencuci muka dengan kilat dan kembali menghampirinya.Untungnya ini akhir pekan. Jadi, ketika aku memulai pekerjaan rumah, Mas Haikal masih berada di kamarnya. Kedua mertuaku pun belum terlihat kedatangannya ke rumah utama.Seperti biasa aku akan langsung memasuki dapur, menyiapkan sarapan dan membereskan sisanya. Sementara Binar duduk tenang di kursinya, selama aku terlihat
Benar apa yang dikatakan Bi Ratih. Sore harinya, Rania datang ke rumah dan memecahkan suasana dengan suaranya yang nyaring. Di usianya yang menginjak angka 20-an, Rania tampak begitu segar dan cantik, tubuh mungil nan berisinya dibalut gaun mini di atas lutut berwarna pink lembut menunjang penampilannya semakin terlihat memesona. Gadis itu berjalan begitu semangat disertai senyumnya yang cerah, sesekali jemari lentiknya memainkan ikatan rambutnya yang dikuncir quda."Kak Haikaaaal, Rania dataaang!" Rania langsung memeluk suamiku dari arah belakang, tangan Mas Haikal refleks merangkul pinggang Rania dengan posisi yang sama. Mas Haikal sedang duduk di atas karpet bersama Binar."Ya ampun, pelan-pelan, Ran. Nanti kamu kepeleset!" peringatnya pelan, Rania tersenyum lebar sambil menempel sempurna di punggung suamiku."Biarin, kan ada Kakak yang nolongin." Rania menjauhkan diri sebentar, lalu memiringkan kepala dan menatap wajah suamiku dari samping dengan kedua tangan yang masih melingkar
Kubiarkan air mata ini mengalir bebas di pipiku, sementara arah pandangku terus tertuju keluar kaca jendela mobil dengan rinai hujan yang berderai lembut tanpa henti. Perjalanan Jakarta—Bandung kali ini mengingatkanku pada masa lalu. Ketika aku bertolak ke Jakarta dengan perasaan cemas yang serupa. Namun, pedih hatiku saat ini rasanya berkali-kali lipat lebih menyakitkan, hingga membuat kewarasanku hampir hilang karena dihantam kenyataan."Ma ..., huwaaaa!""Huwaaa!"Lamunanku buyar. Rengekan Binar yang tiba-tiba dan sejak tadi tidur pulas di pangkuanku seakan menjadi sebuah peringatan untukku agar berhenti menangis. Kutepuk lembut dada Binar agar kembali terlelap, tetapi sayangnya itu tidak berhasil. Bukannya reda, tangis Binar malah kian menjadi."Ssst ..., Binar Bobo lagi, ya! Perjalanan kita masih jauh, Sayang." Seiring usahaku menenangkan si kecil, sopir travel yang duduk di balik kemudinya sesekali mencuri pandang ke arah kami. Aku yang sadar diperhatikan seperti itu, mulai me
Hari pertama di rumah orang tuaku cukup membuatku sadar akan perbedaan. Perbedaan ketenangan, ketenteraman, serta kenyamanan diri dalam setiap pergerakan. Kupikir, tekanan yang selama ini melingkupiku pasti sirna, kesedihan yang satu tahun ini menderaku akan otomatis tergantikan dengan kebahagiaan kala aku bersama Ayah dan Ibu. Kenyataannya tidak seperti itu. Alasannya tak lain karena bagaimanapun juga segalanya sudah tak lagi sama. Semalaman aku tak bisa tenang, beberapa kali mengecek ponsel, berharap Mas Haikal akan menghubungiku barang sekali saja. Namun, hingga hari kedua aku di Bandung, gawai berbentuk persegi ini tak menunjukkan pergerakan apa pun. "Setidaknya kamu nanyain kabar Binar, Mas," gerutuku kesal sembari mencebikkan bibir. Tidak hanya itu saja, potret mesra yang Rania kirimkan pun turut menghantui pikiranku. Dugaan dan kecurgiaanku pada keduanya kian liar entah ke mana.Aku tertelan oleh kekhawatiran dan asumsi-asumsiku sendiri. Semakin dalam hingga tak tentu arah."K
Tiga puluh menit terasa jauh lebih lama, apalagi ketika diliputi kecanggungan yang tercipta di antara kami bertiga. Diam-daim aku merutuki situasi tak terduga ini di dalam hati. Bukan kerena aku tidak senang dijemput oleh suamiku, atau tidak menerima niat baik dari Mas Azzam. Namun, mengapa mereka harus datang dalam waktu bersamaan? Meskipun raut wajah kedua laki-laki itu tampak biasa saja di mataku, tetapi dari gerak-gerik Mas Haikal yang sejak tadi hanya diam dan tak menyapaku menjadi masalah tersendiri bagiku. Seusai Mas Azzam dan Mas Haikal bergantian menemui ayahku di kamarnya, kini keduanya duduk di kursi teras ditemani oleh Ibu. Sementara aku kembali ke dalam rumah dengan alasan kerepotan oleh BInar yang tidak bisa diam."Silakan diminum teh hangatnya, Nak Azzam, Nak Haikal!" Kulihat, Ibu menyodorkan dua gelas minuman hangat di atas meja yang berada di teras, sedangkan aku berdiri kebingungan tak jauh dari pintu. Harus pulang sekarang, atau menunggu interupsi dari Mas Haikal?
"Jangan pernah kamu bahas soal Rania lagi! Menjaganya adalah kewajibanku. Dia nggak punya saudara laki-laki, atau ayah yang bisa diandalkannya. Jadi, kamu jangan mengarang cerita hanya berdasarkan kecurigaanmu yang tanpa dasar itu!""Aku bisa aja terus ngalah dari kamu atau pun Ibu, Mas. Tapi, jika ada orang lain yang mengusik rumah tanggaku, aku tidak akan tinggal diam!" Aku hanya bisa mengatakannya di dalam hati, membiarkan suamiku beranggapan bahwa aku telah setuju. Lelah yang mebdera, membuatku malas berdebat. Bukan aku tidak percaya padanya, hanya saja apa yang Rania lakukan sebelumnya telah berhasil mengusikku. Photo yang gadis itu kirim tanpa keterangan sungguh memancing rasa penasaranku, dan aku berencana menyinggungnya ketika dia datang ke rumah. Aku yakin tidak lama lagi dia akan datang."Kamu juga tahu, kan, Git. Mas begini karena sedang merin ....""Tahu, kok. Mas gak perlu khawatir, aku nggak akan salah mengartikan. Bahkan kalau iya pun, aku akan tetap beranggapan seprti
Malam kian larut, desiran angin dan detik jarum jam berpadu di tengah kesunyian yang menyapa. Aku meringkuk seorang diri, ditemani kegelisahan dan kepiluan yang membuncah di dada. Sisa isakanku sesekali lolos, menelisik ruang hampa dan keheningan suasana. Sudah pukul 11 malam, tetapi baik Mas Haikal maupun kedua mertuaku belum jua tampak kehadirannya. Sebenarnya, ke mana mereka? Tak biasanya tengah malam seperti ini masih berada di luar rumah. Mungkinkah di tempat Rania sedang ada acara? Kuraih gawai yang semula kusimpan di samping bantal, lalu berselancar di dunia maya. Membuka satu per satu akun anggota keluarga suamiku, berharap bisa menemukan jawaban atas cemasku. Pada zaman serba sharing ini, orang-orang cenderung memiliki kebiasaan membagikan segala jenis kegiatan mereka di sosial media, dan Rania adalah salah satu yang memiliki kebiasaan demikian. Akan tetapi, nyatanya aku tidak menemukan apa pun, hanya foto selfie dirinya yang diposting terakhir kali di suatu toko perhias
"Jangan pernah kamu bahas soal Rania lagi! Menjaganya adalah kewajibanku. Dia nggak punya saudara laki-laki, atau ayah yang bisa diandalkannya. Jadi, kamu jangan mengarang cerita hanya berdasarkan kecurigaanmu yang tanpa dasar itu!""Aku bisa aja terus ngalah dari kamu atau pun Ibu, Mas. Tapi, jika ada orang lain yang mengusik rumah tanggaku, aku tidak akan tinggal diam!" Aku hanya bisa mengatakannya di dalam hati, membiarkan suamiku beranggapan bahwa aku telah setuju. Lelah yang mebdera, membuatku malas berdebat. Bukan aku tidak percaya padanya, hanya saja apa yang Rania lakukan sebelumnya telah berhasil mengusikku. Photo yang gadis itu kirim tanpa keterangan sungguh memancing rasa penasaranku, dan aku berencana menyinggungnya ketika dia datang ke rumah. Aku yakin tidak lama lagi dia akan datang."Kamu juga tahu, kan, Git. Mas begini karena sedang merin ....""Tahu, kok. Mas gak perlu khawatir, aku nggak akan salah mengartikan. Bahkan kalau iya pun, aku akan tetap beranggapan seprti
Tiga puluh menit terasa jauh lebih lama, apalagi ketika diliputi kecanggungan yang tercipta di antara kami bertiga. Diam-daim aku merutuki situasi tak terduga ini di dalam hati. Bukan kerena aku tidak senang dijemput oleh suamiku, atau tidak menerima niat baik dari Mas Azzam. Namun, mengapa mereka harus datang dalam waktu bersamaan? Meskipun raut wajah kedua laki-laki itu tampak biasa saja di mataku, tetapi dari gerak-gerik Mas Haikal yang sejak tadi hanya diam dan tak menyapaku menjadi masalah tersendiri bagiku. Seusai Mas Azzam dan Mas Haikal bergantian menemui ayahku di kamarnya, kini keduanya duduk di kursi teras ditemani oleh Ibu. Sementara aku kembali ke dalam rumah dengan alasan kerepotan oleh BInar yang tidak bisa diam."Silakan diminum teh hangatnya, Nak Azzam, Nak Haikal!" Kulihat, Ibu menyodorkan dua gelas minuman hangat di atas meja yang berada di teras, sedangkan aku berdiri kebingungan tak jauh dari pintu. Harus pulang sekarang, atau menunggu interupsi dari Mas Haikal?
Hari pertama di rumah orang tuaku cukup membuatku sadar akan perbedaan. Perbedaan ketenangan, ketenteraman, serta kenyamanan diri dalam setiap pergerakan. Kupikir, tekanan yang selama ini melingkupiku pasti sirna, kesedihan yang satu tahun ini menderaku akan otomatis tergantikan dengan kebahagiaan kala aku bersama Ayah dan Ibu. Kenyataannya tidak seperti itu. Alasannya tak lain karena bagaimanapun juga segalanya sudah tak lagi sama. Semalaman aku tak bisa tenang, beberapa kali mengecek ponsel, berharap Mas Haikal akan menghubungiku barang sekali saja. Namun, hingga hari kedua aku di Bandung, gawai berbentuk persegi ini tak menunjukkan pergerakan apa pun. "Setidaknya kamu nanyain kabar Binar, Mas," gerutuku kesal sembari mencebikkan bibir. Tidak hanya itu saja, potret mesra yang Rania kirimkan pun turut menghantui pikiranku. Dugaan dan kecurgiaanku pada keduanya kian liar entah ke mana.Aku tertelan oleh kekhawatiran dan asumsi-asumsiku sendiri. Semakin dalam hingga tak tentu arah."K
Kubiarkan air mata ini mengalir bebas di pipiku, sementara arah pandangku terus tertuju keluar kaca jendela mobil dengan rinai hujan yang berderai lembut tanpa henti. Perjalanan Jakarta—Bandung kali ini mengingatkanku pada masa lalu. Ketika aku bertolak ke Jakarta dengan perasaan cemas yang serupa. Namun, pedih hatiku saat ini rasanya berkali-kali lipat lebih menyakitkan, hingga membuat kewarasanku hampir hilang karena dihantam kenyataan."Ma ..., huwaaaa!""Huwaaa!"Lamunanku buyar. Rengekan Binar yang tiba-tiba dan sejak tadi tidur pulas di pangkuanku seakan menjadi sebuah peringatan untukku agar berhenti menangis. Kutepuk lembut dada Binar agar kembali terlelap, tetapi sayangnya itu tidak berhasil. Bukannya reda, tangis Binar malah kian menjadi."Ssst ..., Binar Bobo lagi, ya! Perjalanan kita masih jauh, Sayang." Seiring usahaku menenangkan si kecil, sopir travel yang duduk di balik kemudinya sesekali mencuri pandang ke arah kami. Aku yang sadar diperhatikan seperti itu, mulai me
Benar apa yang dikatakan Bi Ratih. Sore harinya, Rania datang ke rumah dan memecahkan suasana dengan suaranya yang nyaring. Di usianya yang menginjak angka 20-an, Rania tampak begitu segar dan cantik, tubuh mungil nan berisinya dibalut gaun mini di atas lutut berwarna pink lembut menunjang penampilannya semakin terlihat memesona. Gadis itu berjalan begitu semangat disertai senyumnya yang cerah, sesekali jemari lentiknya memainkan ikatan rambutnya yang dikuncir quda."Kak Haikaaaal, Rania dataaang!" Rania langsung memeluk suamiku dari arah belakang, tangan Mas Haikal refleks merangkul pinggang Rania dengan posisi yang sama. Mas Haikal sedang duduk di atas karpet bersama Binar."Ya ampun, pelan-pelan, Ran. Nanti kamu kepeleset!" peringatnya pelan, Rania tersenyum lebar sambil menempel sempurna di punggung suamiku."Biarin, kan ada Kakak yang nolongin." Rania menjauhkan diri sebentar, lalu memiringkan kepala dan menatap wajah suamiku dari samping dengan kedua tangan yang masih melingkar
Semalaman aku kesulitan memejamkan mata, berpikir bagaimana caranya agar bisa keluar dari lingkaran yang seakan mencekik ini. Sampai kapan aku harus bersabar diperlakukan tidak adil begini? Tidak cukupkah mereka merenggut masa depanku? Aku tak minta dipuja, cukup pengorbanan dan kehadiranku di sini dihargai saja.Akibat terjaga hampir sepanjang malam, alhasil pagi ini aku terbangun sedikit terlambat, itu pun karena mendengar tangis si kecil Binar yang melengking. Sontak saja aku terperanjat dengan menahan kepala yang seketika pening bukan main. Kutenangkan Binar sebentar, lalu kusimpan di kereta bayi. Sementara aku mencuci muka dengan kilat dan kembali menghampirinya.Untungnya ini akhir pekan. Jadi, ketika aku memulai pekerjaan rumah, Mas Haikal masih berada di kamarnya. Kedua mertuaku pun belum terlihat kedatangannya ke rumah utama.Seperti biasa aku akan langsung memasuki dapur, menyiapkan sarapan dan membereskan sisanya. Sementara Binar duduk tenang di kursinya, selama aku terlihat
"Hentikan tangismu dan turunlah segera! Binar pasti mencarimu. Aku pun harus pergi bekerja," katanya lagi seraya berbalik badan dan meninggalkan kamar. Kubekap erat mulut ini, sekuat tenaga menghentikan tangis di saat hati ingin menjerit. Aku harus tetap kuat dan tegar, tidak ada waktu untuk meratapi diri. Aku harus membebaskan diri dari ini semua, setidaknya demi si kecil Binar. Aku terus berusaha menguatkan diri. Setelah dirasa cukup tenang, aku pun membersihkan diri secara kilat, lalu turun ke lantai satu. Kulihat, mertuaku sudah berada di sofa ruang keluarga, sedang Mas Haikal terlihat menenteng tas kerjanya. "Ma ... Ma!" panggil si kecil Binar seraya merentangkan tangan ketika melihat kedatanganku. Bocah mungil itu tengah digendong oleh Bi Ratih, asisten rumah tangga kami yang sepertinya datang ketika aku membersihkan diri di kamar tadi. "Sini, Nak!" ucapku meminta Binar. "Makasih, ya, Bi ..., Ma. Maaf aku agak lama." Kuambil alih Binar dari gendongan Bi Ratih, lalu membawa Bi
Aku terus berjalan menyusuri lorong menuju kamar Mas Haikal yang berada di ujung kiri, sementara kamar milikku berada di ujung kanan. Jujur saja, aku sebenarnya tidak tahu kedua mertuaku menyadarinya atau tidak dengan keadaan rumah tangga kami yang seperti ini. Tak sekali pun baik Bu Sukma maupun Pak Abigail bertanya padaku, apakah putranya memperlakukanku dengan baik atau tidak.Kupikir, mereka mungkin tak peduli. Entahlah.Mulanya aku sendiri sempat kebingungan dengan keinginan Mas Haikal yang tak ingin satu kamar denganku, tetapi perlahan aku mengerti alasan dia memperlakukanku seperti ini. Mas Haikal terpaksa menikah denganku, dan aku paham bahwa kehadiranku sampai detik ini belum bisa diterimanya.Hal itu memengaruhi cara mereka memperlakukanku di rumah besar ini. Tak sedikit pun posisiku benar-benar dihargai, itu semua bisa kusimpulkan karena foto-foto mendiang Kak Anita saja masih terpampang jelas hampir di setiap sudut ruangan, salah satunya di ruang keluarga yang tengah kulewa