Kubiarkan air mata ini mengalir bebas di pipiku, sementara arah pandangku terus tertuju keluar kaca jendela mobil dengan rinai hujan yang berderai lembut tanpa henti.
Perjalanan Jakarta—Bandung kali ini mengingatkanku pada masa lalu. Ketika aku bertolak ke Jakarta dengan perasaan cemas yang serupa. Namun, pedih hatiku saat ini rasanya berkali-kali lipat lebih menyakitkan, hingga membuat kewarasanku hampir hilang karena dihantam kenyataan."Ma ..., huwaaaa!""Huwaaa!"Lamunanku buyar. Rengekan Binar yang tiba-tiba dan sejak tadi tidur pulas di pangkuanku seakan menjadi sebuah peringatan untukku agar berhenti menangis.Kutepuk lembut dada Binar agar kembali terlelap, tetapi sayangnya itu tidak berhasil. Bukannya reda, tangis Binar malah kian menjadi."Ssst ..., Binar Bobo lagi, ya! Perjalanan kita masih jauh, Sayang." Seiring usahaku menenangkan si kecil, sopir travel yang duduk di balik kemudinya sesekali mencuri pandang ke arah kami.Aku yang sadar diperhatikan seperti itu, mulai merasa tidak enak hati. Dia pasti terganggu dengan situasi ini, bukan? Maka aku kian berusaha keras meredakan pekikan Binar yang melengking dengan tubuh mungilnya terus memberontak."Mau menepi sebentar, Bu?" tawar Pak Sopir dengan ujung mata yang melirik ke arahku melalui kaca sepion.Aku sempat termenung sejenak mendengar usulannya. Semakin merasa tak enak hati karena laki-laki yang tak kukenal bersikap pengertian dengan keadaanku saat ini. Berbeda dengan Mas Haikal yang malah dengan teganya membiarkan anak dan istrinya malam-malam begini keluar kota hanya dengan menyewa kendaraan.Kuhembuskan napas pelan, lalu beristighfar karena telah lancang membandingkan suamiku sendiri dengan laki-laki lain.Mungkin karena didorong rasa prihatin, si Pak Sopir tadi segera menepikan mobilnya tanpa menunggu persetujuanku. Semilir angin malam dari hawa pegunungan di Puncak yang dingin seketika menusuk tulang ketika pintu dibuka. Kakiku melangkah sedikit terburu-buru karena melindungi tubuh si kecil yang hanya mengenakan pakaian berlengan pendek saja.Ajaibnya, tangis Binar berangsur-angsur reda seiring ayunan kakiku menuju sebuah warung pinggir jalan yang menjual berbagai mie instant dan minuman hangat."Ibu gak bawa selimut?" tegur Pak Sopir menghampiri kami berdua. "Maksud saya ..., selimutnya si Adek Bayi." Aku menggeleng pelan dengan posisi duduk di atas kursi kayu yang tersedia, mengarah ke hamparan perkebunan teh diwarnai kelap-kelip lampu jalan di ujung sana, serta dari kendaraan yang berlalu lalang."Ah, benar ..., saya lupa bawa, Pak." Lantaran dikuasai rasa panik, aku melupakan hal penting yang seharusnya kubawa. Sesal kini menyerang dadaku, tetapi hal itu tak berlangsung lama. Sebab, tiba-tiba saja Pak Sopir tadi menawarkan jaketnya untuk menutupi tubuh mungil Binar."Tidak usah, Pak, terima kasih," tolakku halus karena merasa tak enak hati. Namun, dengan suaranya yang lembut dan sopan, laki-laki yang usianya nampak seusiaku itu bersikukuh menyerahkan jaketnya padaku. Akhirnya, mau tak mau aku pun menerima niat baiknya."Terima kasih banyak, Pak. Nanti kalau sudah sampai akan saya kembalikan." Dia tak menjawab, hanya tersenyum kemudian berjalan memasuki warung. Mungkin ia hendak memesan sesuatu. Di tengah usahaku menidurkan kembali Binar, sejenak aku coba menikmati suasana malam yang terasa menenangkan hatiku. Seiring angin malam yang menerpa, kegundahan yang semula memenuhi dada ini pun berangsur-angsur mereda.Untung saja, aku tetap memutuskan pulang ke Bandung meski sebelumnya Ibu kembali mengabari bahwa Ayah sudah sadar dan dalam kondisi yang cukup baik. Namun, aku tak cukup tenang hanya sekadar mengetahui melalui saluran telepon setelah dikagetkan oleh kondisi Ayah yang sempat drop. Aku ingin memastikannya langsung. Biarlah, kuanggap ini kesempatanku untuk mengobati kerinduan setelah setahun penuh tak bertemu dengan mereka.Mas Haikal selalu beralasan sibuk ketika aku memintanya untuk menemaniku menjenguk Ayah dan Ibu, termasuk ketika tadi dalam keadaan darurat sekalipun, ia tetap menolak dan malah memilih menemani Rania."Rania masih kecil, dia butuh pengawasan lebih dan gak boleh dibiarkan pergi gitu aja." Begitu katanya. Aku tak bisa membalas perkataannya karena rasanya percuma. Maka di sinilah aku berada, memilih pergi menggunakan travel dan menikmati kesendirian. Di tengah lamunanku, sesaat kuedarkan pandangan ke sebarang jalan yang bercabang, di atasnya terdapat sebuah bangunan megah yang dipenuhi lampu gantung. Aku sempat tertegun, menikmati indahnya bangunan megah tersebut."Hotel Kanyaah." Aku membaca pelan nama hotel yang terpampang di atas sana dengan tulisan cukup besar. Tepat di saat itu, sebuah mobil berwarna silver memasuki kawasan hotel dengan flat nomor polisi yang rasanya tak asing bagiku."Itu ..., bukankah itu mobilnya Mas Haikal?" tanyaku pada diri sendiri. Lantaran sempat terbawa suasana, aku bahkan tanpa sadar sudah maju beberapa langkah sebelum akhirnya sebuah suara menghentikan pergerakanku."Awas, Mbak, hati-hati." Sepasang tangan menahan kedua bahuku. "Maaf, barusan Mbak jalan sambil bengong. Saya khawatir Mbak tiba-tiba nyeberang dan ....""Oh, iya. Terima kasih, Pak. Saya tadi memang agak bengong. Soalnya tadi ada lihat mobil suami say ...." Hilang, mobil berwarna silver yang kuduga milik Mas Haikal sudah tidak ada di sana."Mobil? ..., mobil siapa, Mbak?" tanya Pak Sopir dengan nada heran."Ah, tidak, Pak. Mungkin saya salah lihat." Iya, bisa saja tadi aku salah lihat, bukan? Mana mungkin Mas Haikal jauh-jauh mendatangi hotel tanpa tujuan yang jelas. Malam-malam pula. Sepertinya ini semua karena aku terlalu banyak memikirkan suamiku, sehingga aku pun berhalusinasi."Ya sudah, kalau begitu mari kita lanjutkan, Mbak, sebelum malam semakin larut." Pak Sopir berjalan lebih dulu, kemudian membukakan pintu untukku.Perjalanan pun kembali dilanjutkan. Jika dulu aku memiliki kebiasaan tertidur sepanjang perjalanan. Kali ini aku benar-benar tak bisa memejamkan mata barang sekejap saja. Bayang-bayang mobil berwarna silver memasuki hotel tadi terus berputar di kepalaku. Kalaupun benar Mas Haikal mendatangi hotel tadi, apakah itu berarti di sanalah tempat Rania dan teman-temannya mengadakan acara?Ya Tuhan, mengapa perasaanku tidak menentu seperti ini? Meski suamiku belum bisa membuka hatinya untukku, tetapi aku sangat berharap ia tetap dapat menjaga dirinya dari segala sesuatu yang Engkau larang.Sesampainya di rumah, aku dan Binar langsung mendapat sambutan hangat dari Ibu. Wajah teduhnya yang bercampur letih mewarnai pemandanganmu saat pertama kali aku turun dari mobil. Air mataku mengalir tanpa bisa dicegah. Sungguh, aku sangat merindukan pelukan hangat Ibu, juga tepukan menenangkan yang telah lama tak kudapatkan."Sini, biar Binar Ibu yang gendong," katanya dengan suara yang bergetar. Ah, rupanya Ibu sedang menahan tangis harunya."Kamu sehat, kan, Neng? Kok rasanya kurusan begini. Pasti sering begadang, ya, ngurusin Binar." Ibu terus berbicara, menebak setiap kesibukan yang kukerjakan sehari-hari sambil mengayun-ayunkan cucunya.Aku biarkan Ibu mengutarkaan semua yang ingin disampaikannya tanpa sekalipun kusela, tetapi aku tetap mendengarkan sembari memasukkan beberapa tas yang kubawa dari Jakarta. Pak Sopir tadi lantas berpamitan tanpa suara, laki-laki itu seolah mengerti akan situasi yang ada.Lekas aku berjalan memasuki rumah lebih dalam. Bau khas yang sejak dulu terbiasa kucium seketika memasuki indera penciumanku, perasaan tenang, bahagia dan haru bercampur jadi satu. Namun, kesedihan lebih mendominasi saat mataku menangkap keberadaan Ayah tengah berbaring lemah di atas kasur kapuk zaman dulu di ruang tengah."Dokter bilang tensi darah Ayah lagi tinggi, karena Ayah gak kuat makanya sampe pingsan," ujar Ibu menjelaskan.Seiring sesak yang menghimpit dada, aku menghampiri Ayah dan menggenggam tangannya."Ayah gak apa-apa, Neng. Kamu jangan khawatir!" Meski cara berbicara belum busa normal, tetapi aku cukup memahami maksudnya. Ia mengatakannya dengan sangat pelan sambil tersenyum kepadaku. Aku berusaha membalas senyum Ayah, berharap bisa memberi kekuatan dan semangat untuknya."Sudah sana istirahat, Neng, Ngobrolnya besok lagi aja! Binar udah Ibu antar ke kamarmu. Dia kayaknya juga kecapean."Sebetulnya, aku masih rindu, kegiatan mengobrol sebelum tidur seperti ini merupakan kebiasaan kami dahulu. Namun, aku mengerti bahwa Ibu juga pasti letih setelah seharian merawat Ayah.Lekas aku masuk ke kamarku dan mebaringkan diri, meluruskan otot-otot punggungku yang sempat menegang lantaran duduk berjam-jam di mobil sambil memangku Binar.Baru saja mataku hendak terpejam, bunyi notifikasi pesan masuk berdenting memenuhi ruangan yang senyap. Kuraih cepat ponselku, menebak siapa gerangan yang menghubungiku. Mungkinkah Mas Haikal?Meski harapannya tipis, tetapi senyum di bibirku muncul begitu saja. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Senyumku seketika sirna sesaat setelah netraku melihat isi pesan yang ternyata dari Rania.Potret kebersamaan antara dirinya dan suamiku tengah saling memeluk dalam balutan senyum lebar yang terpancar dari satu sama lain terpampang jelas di sana. Tanganku gemetar, mataku tiba-tiba memanas melihat hal tersebut.Hari pertama di rumah orang tuaku cukup membuatku sadar akan perbedaan. Perbedaan ketenangan, ketenteraman, serta kenyamanan diri dalam setiap pergerakan. Kupikir, tekanan yang selama ini melingkupiku pasti sirna, kesedihan yang satu tahun ini menderaku akan otomatis tergantikan dengan kebahagiaan kala aku bersama Ayah dan Ibu. Kenyataannya tidak seperti itu. Alasannya tak lain karena bagaimanapun juga segalanya sudah tak lagi sama. Semalaman aku tak bisa tenang, beberapa kali mengecek ponsel, berharap Mas Haikal akan menghubungiku barang sekali saja. Namun, hingga hari kedua aku di Bandung, gawai berbentuk persegi ini tak menunjukkan pergerakan apa pun. "Setidaknya kamu nanyain kabar Binar, Mas," gerutuku kesal sembari mencebikkan bibir. Tidak hanya itu saja, potret mesra yang Rania kirimkan pun turut menghantui pikiranku. Dugaan dan kecurgiaanku pada keduanya kian liar entah ke mana.Aku tertelan oleh kekhawatiran dan asumsi-asumsiku sendiri. Semakin dalam hingga tak tentu arah."K
Tiga puluh menit terasa jauh lebih lama, apalagi ketika diliputi kecanggungan yang tercipta di antara kami bertiga. Diam-daim aku merutuki situasi tak terduga ini di dalam hati. Bukan kerena aku tidak senang dijemput oleh suamiku, atau tidak menerima niat baik dari Mas Azzam. Namun, mengapa mereka harus datang dalam waktu bersamaan? Meskipun raut wajah kedua laki-laki itu tampak biasa saja di mataku, tetapi dari gerak-gerik Mas Haikal yang sejak tadi hanya diam dan tak menyapaku menjadi masalah tersendiri bagiku. Seusai Mas Azzam dan Mas Haikal bergantian menemui ayahku di kamarnya, kini keduanya duduk di kursi teras ditemani oleh Ibu. Sementara aku kembali ke dalam rumah dengan alasan kerepotan oleh BInar yang tidak bisa diam."Silakan diminum teh hangatnya, Nak Azzam, Nak Haikal!" Kulihat, Ibu menyodorkan dua gelas minuman hangat di atas meja yang berada di teras, sedangkan aku berdiri kebingungan tak jauh dari pintu. Harus pulang sekarang, atau menunggu interupsi dari Mas Haikal?
"Jangan pernah kamu bahas soal Rania lagi! Menjaganya adalah kewajibanku. Dia nggak punya saudara laki-laki, atau ayah yang bisa diandalkannya. Jadi, kamu jangan mengarang cerita hanya berdasarkan kecurigaanmu yang tanpa dasar itu!""Aku bisa aja terus ngalah dari kamu atau pun Ibu, Mas. Tapi, jika ada orang lain yang mengusik rumah tanggaku, aku tidak akan tinggal diam!" Aku hanya bisa mengatakannya di dalam hati, membiarkan suamiku beranggapan bahwa aku telah setuju. Lelah yang mebdera, membuatku malas berdebat. Bukan aku tidak percaya padanya, hanya saja apa yang Rania lakukan sebelumnya telah berhasil mengusikku. Photo yang gadis itu kirim tanpa keterangan sungguh memancing rasa penasaranku, dan aku berencana menyinggungnya ketika dia datang ke rumah. Aku yakin tidak lama lagi dia akan datang."Kamu juga tahu, kan, Git. Mas begini karena sedang merin ....""Tahu, kok. Mas gak perlu khawatir, aku nggak akan salah mengartikan. Bahkan kalau iya pun, aku akan tetap beranggapan seprti
Malam kian larut, desiran angin dan detik jarum jam berpadu di tengah kesunyian yang menyapa. Aku meringkuk seorang diri, ditemani kegelisahan dan kepiluan yang membuncah di dada. Sisa isakanku sesekali lolos, menelisik ruang hampa dan keheningan suasana. Sudah pukul 11 malam, tetapi baik Mas Haikal maupun kedua mertuaku belum jua tampak kehadirannya. Sebenarnya, ke mana mereka? Tak biasanya tengah malam seperti ini masih berada di luar rumah. Mungkinkah di tempat Rania sedang ada acara? Kuraih gawai yang semula kusimpan di samping bantal, lalu berselancar di dunia maya. Membuka satu per satu akun anggota keluarga suamiku, berharap bisa menemukan jawaban atas cemasku. Pada zaman serba sharing ini, orang-orang cenderung memiliki kebiasaan membagikan segala jenis kegiatan mereka di sosial media, dan Rania adalah salah satu yang memiliki kebiasaan demikian. Akan tetapi, nyatanya aku tidak menemukan apa pun, hanya foto selfie dirinya yang diposting terakhir kali di suatu toko perhias
"Aku pulang, ya. Kamu baik-baik di rumah. Kunci pintu, jendela, sama hatinya juga!" ujar Mas Azzam sambil menunjukkan senyumnya yang selalu aku sukai."Karena hati kamu cuma buat aku!" lanjutnya pelan."Iyaa. Udah, pulang sana! Nanti kemaleman, lho." Kedua tanganku sedikit mendorong dada Mas Azzam yang masih berdiri di ambang pintu rumah disertai senyum tertahan.Aku sangat mencintai laki-laki bermata indah di hadapanku ini. Tubuhnya selalu menguarkan aroma wangi kayu manis yang menenangkan, dan aku menyukainya. Semua yang ada padanya, aku suka.Dengan senyum Mas Azzam yang masih tercetak jelas, kekasih yang telah menemaniku selama lima tahun ini perlahan mundur dan melambaikan tangannya, kemudian berlalu meninggalkan teras rumah.Aku sendiri masih berdiri di tempat, memandang punggung kokohnya yang kian jauh hingga menghilang bersama mobil hitam jenis SUV miliknya.Orang tuaku sedang tidak ada di rumah, keduanya tengah pergi ke Jakarta untuk menjenguk saudariku yang katanya tengah men
Tak terasa, satu tahu pun berlalu. Aku sudah seutuhnya meninggalkan kehidupanku di Bandung dan ikut tinggal bersama suamiku di Jakarta. Rumah yang dulu menjadi saksi kisah Kak Anita dan Mas Haikal terajut, kini kulanjutkan.Malam ini, suara desahan dan erangan terus menggema memenuhi ruangan, saling bersahutan dengan decitan ranjang mengiringi kegiatanku dan Mas Haikal. Kamar mewah minim penerangan milikku sepertinya akan menampilkan siluet tubuh kekar suamiku yang tengah memacu, bergerak liar di atas tubuhku."Mas, sudah!" Aku terus merengek karena sudah tak tahan lagi. Keringatku bercucuran berbarengan dengan air mata yang terus menetes membasahi kedua pipiku."Anita ..., aku mencintaimu!" Lenguhan yang menandakan Mas Haikal telah mencapai puncaknya itu bagai belati yang menancap begitu dalam pada jantung ini.Tubuhku yang dia nikmati, tetapi nama itulah yang selalu suamiku sebutkan. Mas Haikal seolah tak peduli, hentakan terakhirnya adalah bukti bahwa di dalam pikirannya kini hanya
Aku terus berjalan menyusuri lorong menuju kamar Mas Haikal yang berada di ujung kiri, sementara kamar milikku berada di ujung kanan. Jujur saja, aku sebenarnya tidak tahu kedua mertuaku menyadarinya atau tidak dengan keadaan rumah tangga kami yang seperti ini. Tak sekali pun baik Bu Sukma maupun Pak Abigail bertanya padaku, apakah putranya memperlakukanku dengan baik atau tidak.Kupikir, mereka mungkin tak peduli. Entahlah.Mulanya aku sendiri sempat kebingungan dengan keinginan Mas Haikal yang tak ingin satu kamar denganku, tetapi perlahan aku mengerti alasan dia memperlakukanku seperti ini. Mas Haikal terpaksa menikah denganku, dan aku paham bahwa kehadiranku sampai detik ini belum bisa diterimanya.Hal itu memengaruhi cara mereka memperlakukanku di rumah besar ini. Tak sedikit pun posisiku benar-benar dihargai, itu semua bisa kusimpulkan karena foto-foto mendiang Kak Anita saja masih terpampang jelas hampir di setiap sudut ruangan, salah satunya di ruang keluarga yang tengah kulewa
"Hentikan tangismu dan turunlah segera! Binar pasti mencarimu. Aku pun harus pergi bekerja," katanya lagi seraya berbalik badan dan meninggalkan kamar. Kubekap erat mulut ini, sekuat tenaga menghentikan tangis di saat hati ingin menjerit. Aku harus tetap kuat dan tegar, tidak ada waktu untuk meratapi diri. Aku harus membebaskan diri dari ini semua, setidaknya demi si kecil Binar. Aku terus berusaha menguatkan diri. Setelah dirasa cukup tenang, aku pun membersihkan diri secara kilat, lalu turun ke lantai satu. Kulihat, mertuaku sudah berada di sofa ruang keluarga, sedang Mas Haikal terlihat menenteng tas kerjanya. "Ma ... Ma!" panggil si kecil Binar seraya merentangkan tangan ketika melihat kedatanganku. Bocah mungil itu tengah digendong oleh Bi Ratih, asisten rumah tangga kami yang sepertinya datang ketika aku membersihkan diri di kamar tadi. "Sini, Nak!" ucapku meminta Binar. "Makasih, ya, Bi ..., Ma. Maaf aku agak lama." Kuambil alih Binar dari gendongan Bi Ratih, lalu membawa Bi
Malam kian larut, desiran angin dan detik jarum jam berpadu di tengah kesunyian yang menyapa. Aku meringkuk seorang diri, ditemani kegelisahan dan kepiluan yang membuncah di dada. Sisa isakanku sesekali lolos, menelisik ruang hampa dan keheningan suasana. Sudah pukul 11 malam, tetapi baik Mas Haikal maupun kedua mertuaku belum jua tampak kehadirannya. Sebenarnya, ke mana mereka? Tak biasanya tengah malam seperti ini masih berada di luar rumah. Mungkinkah di tempat Rania sedang ada acara? Kuraih gawai yang semula kusimpan di samping bantal, lalu berselancar di dunia maya. Membuka satu per satu akun anggota keluarga suamiku, berharap bisa menemukan jawaban atas cemasku. Pada zaman serba sharing ini, orang-orang cenderung memiliki kebiasaan membagikan segala jenis kegiatan mereka di sosial media, dan Rania adalah salah satu yang memiliki kebiasaan demikian. Akan tetapi, nyatanya aku tidak menemukan apa pun, hanya foto selfie dirinya yang diposting terakhir kali di suatu toko perhias
"Jangan pernah kamu bahas soal Rania lagi! Menjaganya adalah kewajibanku. Dia nggak punya saudara laki-laki, atau ayah yang bisa diandalkannya. Jadi, kamu jangan mengarang cerita hanya berdasarkan kecurigaanmu yang tanpa dasar itu!""Aku bisa aja terus ngalah dari kamu atau pun Ibu, Mas. Tapi, jika ada orang lain yang mengusik rumah tanggaku, aku tidak akan tinggal diam!" Aku hanya bisa mengatakannya di dalam hati, membiarkan suamiku beranggapan bahwa aku telah setuju. Lelah yang mebdera, membuatku malas berdebat. Bukan aku tidak percaya padanya, hanya saja apa yang Rania lakukan sebelumnya telah berhasil mengusikku. Photo yang gadis itu kirim tanpa keterangan sungguh memancing rasa penasaranku, dan aku berencana menyinggungnya ketika dia datang ke rumah. Aku yakin tidak lama lagi dia akan datang."Kamu juga tahu, kan, Git. Mas begini karena sedang merin ....""Tahu, kok. Mas gak perlu khawatir, aku nggak akan salah mengartikan. Bahkan kalau iya pun, aku akan tetap beranggapan seprti
Tiga puluh menit terasa jauh lebih lama, apalagi ketika diliputi kecanggungan yang tercipta di antara kami bertiga. Diam-daim aku merutuki situasi tak terduga ini di dalam hati. Bukan kerena aku tidak senang dijemput oleh suamiku, atau tidak menerima niat baik dari Mas Azzam. Namun, mengapa mereka harus datang dalam waktu bersamaan? Meskipun raut wajah kedua laki-laki itu tampak biasa saja di mataku, tetapi dari gerak-gerik Mas Haikal yang sejak tadi hanya diam dan tak menyapaku menjadi masalah tersendiri bagiku. Seusai Mas Azzam dan Mas Haikal bergantian menemui ayahku di kamarnya, kini keduanya duduk di kursi teras ditemani oleh Ibu. Sementara aku kembali ke dalam rumah dengan alasan kerepotan oleh BInar yang tidak bisa diam."Silakan diminum teh hangatnya, Nak Azzam, Nak Haikal!" Kulihat, Ibu menyodorkan dua gelas minuman hangat di atas meja yang berada di teras, sedangkan aku berdiri kebingungan tak jauh dari pintu. Harus pulang sekarang, atau menunggu interupsi dari Mas Haikal?
Hari pertama di rumah orang tuaku cukup membuatku sadar akan perbedaan. Perbedaan ketenangan, ketenteraman, serta kenyamanan diri dalam setiap pergerakan. Kupikir, tekanan yang selama ini melingkupiku pasti sirna, kesedihan yang satu tahun ini menderaku akan otomatis tergantikan dengan kebahagiaan kala aku bersama Ayah dan Ibu. Kenyataannya tidak seperti itu. Alasannya tak lain karena bagaimanapun juga segalanya sudah tak lagi sama. Semalaman aku tak bisa tenang, beberapa kali mengecek ponsel, berharap Mas Haikal akan menghubungiku barang sekali saja. Namun, hingga hari kedua aku di Bandung, gawai berbentuk persegi ini tak menunjukkan pergerakan apa pun. "Setidaknya kamu nanyain kabar Binar, Mas," gerutuku kesal sembari mencebikkan bibir. Tidak hanya itu saja, potret mesra yang Rania kirimkan pun turut menghantui pikiranku. Dugaan dan kecurgiaanku pada keduanya kian liar entah ke mana.Aku tertelan oleh kekhawatiran dan asumsi-asumsiku sendiri. Semakin dalam hingga tak tentu arah."K
Kubiarkan air mata ini mengalir bebas di pipiku, sementara arah pandangku terus tertuju keluar kaca jendela mobil dengan rinai hujan yang berderai lembut tanpa henti. Perjalanan Jakarta—Bandung kali ini mengingatkanku pada masa lalu. Ketika aku bertolak ke Jakarta dengan perasaan cemas yang serupa. Namun, pedih hatiku saat ini rasanya berkali-kali lipat lebih menyakitkan, hingga membuat kewarasanku hampir hilang karena dihantam kenyataan."Ma ..., huwaaaa!""Huwaaa!"Lamunanku buyar. Rengekan Binar yang tiba-tiba dan sejak tadi tidur pulas di pangkuanku seakan menjadi sebuah peringatan untukku agar berhenti menangis. Kutepuk lembut dada Binar agar kembali terlelap, tetapi sayangnya itu tidak berhasil. Bukannya reda, tangis Binar malah kian menjadi."Ssst ..., Binar Bobo lagi, ya! Perjalanan kita masih jauh, Sayang." Seiring usahaku menenangkan si kecil, sopir travel yang duduk di balik kemudinya sesekali mencuri pandang ke arah kami. Aku yang sadar diperhatikan seperti itu, mulai me
Benar apa yang dikatakan Bi Ratih. Sore harinya, Rania datang ke rumah dan memecahkan suasana dengan suaranya yang nyaring. Di usianya yang menginjak angka 20-an, Rania tampak begitu segar dan cantik, tubuh mungil nan berisinya dibalut gaun mini di atas lutut berwarna pink lembut menunjang penampilannya semakin terlihat memesona. Gadis itu berjalan begitu semangat disertai senyumnya yang cerah, sesekali jemari lentiknya memainkan ikatan rambutnya yang dikuncir quda."Kak Haikaaaal, Rania dataaang!" Rania langsung memeluk suamiku dari arah belakang, tangan Mas Haikal refleks merangkul pinggang Rania dengan posisi yang sama. Mas Haikal sedang duduk di atas karpet bersama Binar."Ya ampun, pelan-pelan, Ran. Nanti kamu kepeleset!" peringatnya pelan, Rania tersenyum lebar sambil menempel sempurna di punggung suamiku."Biarin, kan ada Kakak yang nolongin." Rania menjauhkan diri sebentar, lalu memiringkan kepala dan menatap wajah suamiku dari samping dengan kedua tangan yang masih melingkar
Semalaman aku kesulitan memejamkan mata, berpikir bagaimana caranya agar bisa keluar dari lingkaran yang seakan mencekik ini. Sampai kapan aku harus bersabar diperlakukan tidak adil begini? Tidak cukupkah mereka merenggut masa depanku? Aku tak minta dipuja, cukup pengorbanan dan kehadiranku di sini dihargai saja.Akibat terjaga hampir sepanjang malam, alhasil pagi ini aku terbangun sedikit terlambat, itu pun karena mendengar tangis si kecil Binar yang melengking. Sontak saja aku terperanjat dengan menahan kepala yang seketika pening bukan main. Kutenangkan Binar sebentar, lalu kusimpan di kereta bayi. Sementara aku mencuci muka dengan kilat dan kembali menghampirinya.Untungnya ini akhir pekan. Jadi, ketika aku memulai pekerjaan rumah, Mas Haikal masih berada di kamarnya. Kedua mertuaku pun belum terlihat kedatangannya ke rumah utama.Seperti biasa aku akan langsung memasuki dapur, menyiapkan sarapan dan membereskan sisanya. Sementara Binar duduk tenang di kursinya, selama aku terlihat
"Hentikan tangismu dan turunlah segera! Binar pasti mencarimu. Aku pun harus pergi bekerja," katanya lagi seraya berbalik badan dan meninggalkan kamar. Kubekap erat mulut ini, sekuat tenaga menghentikan tangis di saat hati ingin menjerit. Aku harus tetap kuat dan tegar, tidak ada waktu untuk meratapi diri. Aku harus membebaskan diri dari ini semua, setidaknya demi si kecil Binar. Aku terus berusaha menguatkan diri. Setelah dirasa cukup tenang, aku pun membersihkan diri secara kilat, lalu turun ke lantai satu. Kulihat, mertuaku sudah berada di sofa ruang keluarga, sedang Mas Haikal terlihat menenteng tas kerjanya. "Ma ... Ma!" panggil si kecil Binar seraya merentangkan tangan ketika melihat kedatanganku. Bocah mungil itu tengah digendong oleh Bi Ratih, asisten rumah tangga kami yang sepertinya datang ketika aku membersihkan diri di kamar tadi. "Sini, Nak!" ucapku meminta Binar. "Makasih, ya, Bi ..., Ma. Maaf aku agak lama." Kuambil alih Binar dari gendongan Bi Ratih, lalu membawa Bi
Aku terus berjalan menyusuri lorong menuju kamar Mas Haikal yang berada di ujung kiri, sementara kamar milikku berada di ujung kanan. Jujur saja, aku sebenarnya tidak tahu kedua mertuaku menyadarinya atau tidak dengan keadaan rumah tangga kami yang seperti ini. Tak sekali pun baik Bu Sukma maupun Pak Abigail bertanya padaku, apakah putranya memperlakukanku dengan baik atau tidak.Kupikir, mereka mungkin tak peduli. Entahlah.Mulanya aku sendiri sempat kebingungan dengan keinginan Mas Haikal yang tak ingin satu kamar denganku, tetapi perlahan aku mengerti alasan dia memperlakukanku seperti ini. Mas Haikal terpaksa menikah denganku, dan aku paham bahwa kehadiranku sampai detik ini belum bisa diterimanya.Hal itu memengaruhi cara mereka memperlakukanku di rumah besar ini. Tak sedikit pun posisiku benar-benar dihargai, itu semua bisa kusimpulkan karena foto-foto mendiang Kak Anita saja masih terpampang jelas hampir di setiap sudut ruangan, salah satunya di ruang keluarga yang tengah kulewa