"Hentikan tangismu dan turunlah segera! Binar pasti mencarimu. Aku pun harus pergi bekerja," katanya lagi seraya berbalik badan dan meninggalkan kamar.
Kubekap erat mulut ini, sekuat tenaga menghentikan tangis di saat hati ingin menjerit. Aku harus tetap kuat dan tegar, tidak ada waktu untuk meratapi diri. Aku harus membebaskan diri dari ini semua, setidaknya demi si kecil Binar.Aku terus berusaha menguatkan diri. Setelah dirasa cukup tenang, aku pun membersihkan diri secara kilat, lalu turun ke lantai satu. Kulihat, mertuaku sudah berada di sofa ruang keluarga, sedang Mas Haikal terlihat menenteng tas kerjanya."Ma ... Ma!" panggil si kecil Binar seraya merentangkan tangan ketika melihat kedatanganku. Bocah mungil itu tengah digendong oleh Bi Ratih, asisten rumah tangga kami yang sepertinya datang ketika aku membersihkan diri di kamar tadi."Sini, Nak!" ucapku meminta Binar. "Makasih, ya, Bi ..., Ma. Maaf aku agak lama." Kuambil alih Binar dari gendongan Bi Ratih, lalu membawa Binar dan menghampiri suamiku."Kamu itu ngapain aja, sih, Git? Binar tadi sempat nangis karena susunya habis, untung ada Bi Ratih yang sigap bikinin."Langkahku sempat terhenti, lalu berbalik badan dan meminta maaf berulang kali pada ibu mertuaku. Aku tidak ingin berlarut-larut berdebat dengan Bu Sukma yang sudah pasti tidak akan ada ujungnya. Apa pun alasannya, aku akan tetap disalahkan. Padahal, aku hanya menitipkan Binar sebentar padanya selama aku mengurus keperluan Mas Haikal tadi. Ah, sudahlah."Papa berangkat kerja, ya, Sayang!" Mas Haikal mencubit-cubit gemas pipi putrinya yang kini tengah kugendong. Kami bertiga berada di teras rumah, Binar sering kali merengek setiap kali melihat papanya sudah rapi hendak berangkat seperti ini.Seperti saat ini, ia mulai menangis dan menggerak-gerakan tubuhnya minta digendong papanya. Mau tidak mau akhirnya Mas Haikal pun mengambil Binar dari dekapanku yang sedang kualahan menahan tubuh si kecil tengah berontak.Tepat di saat tangan Mas Haikal menyusup di antara tubuh mungil Binar dan tubuhku, punggung tangannya tak sengaja menyentuh dada ini hingga diriku sempat terkejut dan terdiam sejenak. Namun, tidak dengan Mas Haikal. Kulirik tipis ia yang tetap acuh seolah tidak terganggu sama sekali.**Sesuai dengan permintaan suamiku, beberapa hari ini aku akhirnya memutuskan untuk mengikuti perkataannya. Tak lagi berani menyiapkan setelan kerjanya di pagi hari. Meski berkali-kali aku mempertanyakan hal tersebut pada diriku sendiri karena kurasa ini terlalu berlebihan.Isi otakku terus dipenuhi dugaan-dugaan aneh mengenai Mas Haikal, apa mungkin ada alasan lain?Kutepis cepat pikiran buruk yang terus mengganggu, lalu lanjut menepuk-nepuk lembut dada Binar agar semakin terlelap dalam tidurnya. Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, harusnya sebentar lagi Mas Haikal sudah tiba di rumah dan akan langsung menghampiri putrinya."Ayo bobo yang nyenyak, Nak! Papamu sebentar lagi ke sini." Aku berbicara dalam hati sembari terus melirik jam dinding dari atas ranjang dalam posisi tidur menyamping mendekap tubuh mungil Binar.Meski Binar sudah belajar tidur terpisah, tetapi ruangan yang tak terlalu besar dengan nuansa pink pastel ini bersisian dengan kamarku, dan dilengkapi pula pintu penghubung. Jadi, jika Binar menangis di malam hari, aku bisa langsung menghampirinya tanpa harus membuka pintu utama."Haaah, akhirnya," ucapku berbisik. Lega rasanya karena sudah berhasil menidurkan si kecil. Aku pun tersenyum tenang sambil menatap wajah damai Binar lekat-lekat."Kamu semakin mirip dengan Kak Anita, Nak, ... cantik!" Kukecup lembut kening si kecil, lalu secara perlahan menarik tubuh ini agar menjauh dari sisi Binar, namun tetap dengan mata yang terus memandangnya.Mas Haikal selalu mengatakan bahwa dia masih belum menerima kepergian Kak Anita. Dia seolah lupa, sebagai adik aku juga masih tidak percaya kalau kakakku satu-satunya yang teramat kusayangi telah tiada. Lalu kedua orangtuaku, bahkan sampai detik ini Ibu sering menangis ketika menghubungiku melalui telepon setiap kali menyinggung soal Kak Anita. Tak jauh berbeda dengan Ibu, di usianya yang menuju senja, Ayah pun masih bergelung duka hingga kondisinya kini sering sait-sakitan."Lantas aku ..., aku terpaksa harus menerima takdir ini, Mas. Hidup bersama kamu yang sama sekali gak cinta sama aku, dan ... mau tak mau merelakan impianku bersama laki-laki yang ...." Belum sempat kuselesaikan kalimatku, Mas Haikal muncul membuka pintu kamar dengan sangat hati-hati."Astaghfirullah ...," ucapku dalam hati, "apa yang sedang kupikirkan? Gak seharusnya aku memikirkan laki-laki lain dan menyesali ketentuan yang sudah Allah beri untukku."Segera aku bergerak turun dengan tetap hati-hati supaya tidak menimbulkan gerakan berlebih dan mengganggu Binar. Memberi ruang pada Mas Haikal yang semakin mendekat.Entah apa yang dia bisikkan pada putrinya, tetapi ujung mataku sempat menangkap gerakan bibir Mas Haikal hingga membentuk senyum tipis nan singkat namun hangat. Senyum yang tak pernah kudapatkan darinya selama kami menjadi suami-istri.Aku keluar dari kamar Binar, membiarkan Mas Haikal berlama-lama di sana tanpa kehadiranku yang pasti mengganggunya. Kulangkahkan kaki ini menuju dapur untuk menyiapkan minuman hangat yang nanti akan kuantarkan ke kamar suamiku. Walaupun hati ini masih menyimpan rasa pedih atas kata-katanya bak duri yang menusuk tajam, tetapi sebagai seorang istri aku tak tega setelah tadi sempat memberanikan diri untuk menatap wajah suamiku. Gurat kelelahan sehabis pulang kerja terpatri di sana."Tidak ada seorang Kakak yang meniduri adiknya, Mas. Aku istrimu, tak masalah jika kamu melampiaskan hasratmu padaku karena itu sudah menjadi kewajibanku melayanimu. Tetapi ...."Ah, sudahlah, lupakan! Terus-menerus memikirkannya pun tak ada gunanya. Hanya akan mengurangi kewarasanku dan aku tak ingin berujung gila. Meski kenyataannya aku sudah di tahap stress berat."Gak apa-apa kalau nanti kamu menolak lagi, Mas. Aku akan tetap mencoba menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri." Kutuang pelan satu sendok gula pasir ke dalam teh hangat yang sedang mengepul, kemudian mengaduknya. Bersamaan dengan itu, kuedarkan pandangan ke sekitar ruangan. Sejenak gerakan tanganku terhenti, mendapati pintu belakang yang terbuat dari full kaca itu terbuka lebar."Apa Bu Sukma ke sini, ya?" tebakku bergumam kecil. Kami memang tidak tinggal satu rumah, tetapi kedua mertuaku itu menempati paviliun berukuran sedang yang berjarak 5 langkah di belakang rumah utama. Maka baik kedua orangtuanya maupun Mas Haikal, bebas keluar-masuk hingga pintu belakang pun terbilang jarang dikunci.Selesai membuat minuman hangat, lantas aku berjalan menuju lantai dua dengan nampan di tanganku berisikan teh hangat tadi. Aku yakin Mas Haikal sudah kembali ke kamarnya.Semakin dekat aku menuju kamar Mas Haikal, semakin jelas pula suara dua orang yang tengah berbincang. Hal itu dikarenakan pintu ruangan yang tidak tertutup sepenuhnya hingga menyisakan celah kecil di sana. Sontak kupelankan langkah ini saat mendengar namaku dan Kak Anita disebut. Kuurungkan niatku yang akan membuka pintu, dan kini hanya berdiri terpaku di depan pintu."Ibu kira kalian berdua berantem, Kal.""Enggak, Bu, kami baik-baik aja.""Bukan apa-apa, Ibu perhatikan akhir-akhir ini muka Anggita ditekuk terus, Ibu jadi malas lihatnya. Bikin mood turun, Kal!""Mungkin karena aku ngelarang dia nyiapin baju gantiku, lebih tepatnya ... aku gak suka dia masuk ke kamar ini.""Lho, kenapa?""Ibu, kan, tahu sendiri kamar ini milik Anita, aku gak mau ada orang lain yang lancang masuk ke sini.""Tapi Ibu bukan orang lain, lho, Kal. Ya ... harusnya, sih, Anggita paham posisimu. Gak maksain diri supaya diterima sama kamu.""Udahlah, Bu, gak usah bahas dia lagi. Aku capek mau istirahat, malah mumet nanti."Kugenggam erat nampan di tanganku, lantaran tiba-tiba bergetar diiringi dada ini yang kembali terasa sesak dan penuh. Tega sekali mereka membicarakanku di belakang seperti itu. Apa ini bukan pertama kalinya aku dijadikan topik obrolan?Mataku sontak memanas, kemudian meletakan nampan berisi teh hangat tadi di atas nakas yang berada di depan kamar Mas Haikal, lalu kutinggalkan begitu saja di sana.Semalaman aku kesulitan memejamkan mata, berpikir bagaimana caranya agar bisa keluar dari lingkaran yang seakan mencekik ini. Sampai kapan aku harus bersabar diperlakukan tidak adil begini? Tidak cukupkah mereka merenggut masa depanku? Aku tak minta dipuja, cukup pengorbanan dan kehadiranku di sini dihargai saja.Akibat terjaga hampir sepanjang malam, alhasil pagi ini aku terbangun sedikit terlambat, itu pun karena mendengar tangis si kecil Binar yang melengking. Sontak saja aku terperanjat dengan menahan kepala yang seketika pening bukan main. Kutenangkan Binar sebentar, lalu kusimpan di kereta bayi. Sementara aku mencuci muka dengan kilat dan kembali menghampirinya.Untungnya ini akhir pekan. Jadi, ketika aku memulai pekerjaan rumah, Mas Haikal masih berada di kamarnya. Kedua mertuaku pun belum terlihat kedatangannya ke rumah utama.Seperti biasa aku akan langsung memasuki dapur, menyiapkan sarapan dan membereskan sisanya. Sementara Binar duduk tenang di kursinya, selama aku terlihat
Benar apa yang dikatakan Bi Ratih. Sore harinya, Rania datang ke rumah dan memecahkan suasana dengan suaranya yang nyaring. Di usianya yang menginjak angka 20-an, Rania tampak begitu segar dan cantik, tubuh mungil nan berisinya dibalut gaun mini di atas lutut berwarna pink lembut menunjang penampilannya semakin terlihat memesona. Gadis itu berjalan begitu semangat disertai senyumnya yang cerah, sesekali jemari lentiknya memainkan ikatan rambutnya yang dikuncir quda."Kak Haikaaaal, Rania dataaang!" Rania langsung memeluk suamiku dari arah belakang, tangan Mas Haikal refleks merangkul pinggang Rania dengan posisi yang sama. Mas Haikal sedang duduk di atas karpet bersama Binar."Ya ampun, pelan-pelan, Ran. Nanti kamu kepeleset!" peringatnya pelan, Rania tersenyum lebar sambil menempel sempurna di punggung suamiku."Biarin, kan ada Kakak yang nolongin." Rania menjauhkan diri sebentar, lalu memiringkan kepala dan menatap wajah suamiku dari samping dengan kedua tangan yang masih melingkar
Kubiarkan air mata ini mengalir bebas di pipiku, sementara arah pandangku terus tertuju keluar kaca jendela mobil dengan rinai hujan yang berderai lembut tanpa henti. Perjalanan Jakarta—Bandung kali ini mengingatkanku pada masa lalu. Ketika aku bertolak ke Jakarta dengan perasaan cemas yang serupa. Namun, pedih hatiku saat ini rasanya berkali-kali lipat lebih menyakitkan, hingga membuat kewarasanku hampir hilang karena dihantam kenyataan."Ma ..., huwaaaa!""Huwaaa!"Lamunanku buyar. Rengekan Binar yang tiba-tiba dan sejak tadi tidur pulas di pangkuanku seakan menjadi sebuah peringatan untukku agar berhenti menangis. Kutepuk lembut dada Binar agar kembali terlelap, tetapi sayangnya itu tidak berhasil. Bukannya reda, tangis Binar malah kian menjadi."Ssst ..., Binar Bobo lagi, ya! Perjalanan kita masih jauh, Sayang." Seiring usahaku menenangkan si kecil, sopir travel yang duduk di balik kemudinya sesekali mencuri pandang ke arah kami. Aku yang sadar diperhatikan seperti itu, mulai me
Hari pertama di rumah orang tuaku cukup membuatku sadar akan perbedaan. Perbedaan ketenangan, ketenteraman, serta kenyamanan diri dalam setiap pergerakan. Kupikir, tekanan yang selama ini melingkupiku pasti sirna, kesedihan yang satu tahun ini menderaku akan otomatis tergantikan dengan kebahagiaan kala aku bersama Ayah dan Ibu. Kenyataannya tidak seperti itu. Alasannya tak lain karena bagaimanapun juga segalanya sudah tak lagi sama. Semalaman aku tak bisa tenang, beberapa kali mengecek ponsel, berharap Mas Haikal akan menghubungiku barang sekali saja. Namun, hingga hari kedua aku di Bandung, gawai berbentuk persegi ini tak menunjukkan pergerakan apa pun. "Setidaknya kamu nanyain kabar Binar, Mas," gerutuku kesal sembari mencebikkan bibir. Tidak hanya itu saja, potret mesra yang Rania kirimkan pun turut menghantui pikiranku. Dugaan dan kecurgiaanku pada keduanya kian liar entah ke mana.Aku tertelan oleh kekhawatiran dan asumsi-asumsiku sendiri. Semakin dalam hingga tak tentu arah."K
Tiga puluh menit terasa jauh lebih lama, apalagi ketika diliputi kecanggungan yang tercipta di antara kami bertiga. Diam-daim aku merutuki situasi tak terduga ini di dalam hati. Bukan kerena aku tidak senang dijemput oleh suamiku, atau tidak menerima niat baik dari Mas Azzam. Namun, mengapa mereka harus datang dalam waktu bersamaan? Meskipun raut wajah kedua laki-laki itu tampak biasa saja di mataku, tetapi dari gerak-gerik Mas Haikal yang sejak tadi hanya diam dan tak menyapaku menjadi masalah tersendiri bagiku. Seusai Mas Azzam dan Mas Haikal bergantian menemui ayahku di kamarnya, kini keduanya duduk di kursi teras ditemani oleh Ibu. Sementara aku kembali ke dalam rumah dengan alasan kerepotan oleh BInar yang tidak bisa diam."Silakan diminum teh hangatnya, Nak Azzam, Nak Haikal!" Kulihat, Ibu menyodorkan dua gelas minuman hangat di atas meja yang berada di teras, sedangkan aku berdiri kebingungan tak jauh dari pintu. Harus pulang sekarang, atau menunggu interupsi dari Mas Haikal?
"Jangan pernah kamu bahas soal Rania lagi! Menjaganya adalah kewajibanku. Dia nggak punya saudara laki-laki, atau ayah yang bisa diandalkannya. Jadi, kamu jangan mengarang cerita hanya berdasarkan kecurigaanmu yang tanpa dasar itu!""Aku bisa aja terus ngalah dari kamu atau pun Ibu, Mas. Tapi, jika ada orang lain yang mengusik rumah tanggaku, aku tidak akan tinggal diam!" Aku hanya bisa mengatakannya di dalam hati, membiarkan suamiku beranggapan bahwa aku telah setuju. Lelah yang mebdera, membuatku malas berdebat. Bukan aku tidak percaya padanya, hanya saja apa yang Rania lakukan sebelumnya telah berhasil mengusikku. Photo yang gadis itu kirim tanpa keterangan sungguh memancing rasa penasaranku, dan aku berencana menyinggungnya ketika dia datang ke rumah. Aku yakin tidak lama lagi dia akan datang."Kamu juga tahu, kan, Git. Mas begini karena sedang merin ....""Tahu, kok. Mas gak perlu khawatir, aku nggak akan salah mengartikan. Bahkan kalau iya pun, aku akan tetap beranggapan seprti
Malam kian larut, desiran angin dan detik jarum jam berpadu di tengah kesunyian yang menyapa. Aku meringkuk seorang diri, ditemani kegelisahan dan kepiluan yang membuncah di dada. Sisa isakanku sesekali lolos, menelisik ruang hampa dan keheningan suasana. Sudah pukul 11 malam, tetapi baik Mas Haikal maupun kedua mertuaku belum jua tampak kehadirannya. Sebenarnya, ke mana mereka? Tak biasanya tengah malam seperti ini masih berada di luar rumah. Mungkinkah di tempat Rania sedang ada acara? Kuraih gawai yang semula kusimpan di samping bantal, lalu berselancar di dunia maya. Membuka satu per satu akun anggota keluarga suamiku, berharap bisa menemukan jawaban atas cemasku. Pada zaman serba sharing ini, orang-orang cenderung memiliki kebiasaan membagikan segala jenis kegiatan mereka di sosial media, dan Rania adalah salah satu yang memiliki kebiasaan demikian. Akan tetapi, nyatanya aku tidak menemukan apa pun, hanya foto selfie dirinya yang diposting terakhir kali di suatu toko perhias
"Aku pulang, ya. Kamu baik-baik di rumah. Kunci pintu, jendela, sama hatinya juga!" ujar Mas Azzam sambil menunjukkan senyumnya yang selalu aku sukai."Karena hati kamu cuma buat aku!" lanjutnya pelan."Iyaa. Udah, pulang sana! Nanti kemaleman, lho." Kedua tanganku sedikit mendorong dada Mas Azzam yang masih berdiri di ambang pintu rumah disertai senyum tertahan.Aku sangat mencintai laki-laki bermata indah di hadapanku ini. Tubuhnya selalu menguarkan aroma wangi kayu manis yang menenangkan, dan aku menyukainya. Semua yang ada padanya, aku suka.Dengan senyum Mas Azzam yang masih tercetak jelas, kekasih yang telah menemaniku selama lima tahun ini perlahan mundur dan melambaikan tangannya, kemudian berlalu meninggalkan teras rumah.Aku sendiri masih berdiri di tempat, memandang punggung kokohnya yang kian jauh hingga menghilang bersama mobil hitam jenis SUV miliknya.Orang tuaku sedang tidak ada di rumah, keduanya tengah pergi ke Jakarta untuk menjenguk saudariku yang katanya tengah men
Malam kian larut, desiran angin dan detik jarum jam berpadu di tengah kesunyian yang menyapa. Aku meringkuk seorang diri, ditemani kegelisahan dan kepiluan yang membuncah di dada. Sisa isakanku sesekali lolos, menelisik ruang hampa dan keheningan suasana. Sudah pukul 11 malam, tetapi baik Mas Haikal maupun kedua mertuaku belum jua tampak kehadirannya. Sebenarnya, ke mana mereka? Tak biasanya tengah malam seperti ini masih berada di luar rumah. Mungkinkah di tempat Rania sedang ada acara? Kuraih gawai yang semula kusimpan di samping bantal, lalu berselancar di dunia maya. Membuka satu per satu akun anggota keluarga suamiku, berharap bisa menemukan jawaban atas cemasku. Pada zaman serba sharing ini, orang-orang cenderung memiliki kebiasaan membagikan segala jenis kegiatan mereka di sosial media, dan Rania adalah salah satu yang memiliki kebiasaan demikian. Akan tetapi, nyatanya aku tidak menemukan apa pun, hanya foto selfie dirinya yang diposting terakhir kali di suatu toko perhias
"Jangan pernah kamu bahas soal Rania lagi! Menjaganya adalah kewajibanku. Dia nggak punya saudara laki-laki, atau ayah yang bisa diandalkannya. Jadi, kamu jangan mengarang cerita hanya berdasarkan kecurigaanmu yang tanpa dasar itu!""Aku bisa aja terus ngalah dari kamu atau pun Ibu, Mas. Tapi, jika ada orang lain yang mengusik rumah tanggaku, aku tidak akan tinggal diam!" Aku hanya bisa mengatakannya di dalam hati, membiarkan suamiku beranggapan bahwa aku telah setuju. Lelah yang mebdera, membuatku malas berdebat. Bukan aku tidak percaya padanya, hanya saja apa yang Rania lakukan sebelumnya telah berhasil mengusikku. Photo yang gadis itu kirim tanpa keterangan sungguh memancing rasa penasaranku, dan aku berencana menyinggungnya ketika dia datang ke rumah. Aku yakin tidak lama lagi dia akan datang."Kamu juga tahu, kan, Git. Mas begini karena sedang merin ....""Tahu, kok. Mas gak perlu khawatir, aku nggak akan salah mengartikan. Bahkan kalau iya pun, aku akan tetap beranggapan seprti
Tiga puluh menit terasa jauh lebih lama, apalagi ketika diliputi kecanggungan yang tercipta di antara kami bertiga. Diam-daim aku merutuki situasi tak terduga ini di dalam hati. Bukan kerena aku tidak senang dijemput oleh suamiku, atau tidak menerima niat baik dari Mas Azzam. Namun, mengapa mereka harus datang dalam waktu bersamaan? Meskipun raut wajah kedua laki-laki itu tampak biasa saja di mataku, tetapi dari gerak-gerik Mas Haikal yang sejak tadi hanya diam dan tak menyapaku menjadi masalah tersendiri bagiku. Seusai Mas Azzam dan Mas Haikal bergantian menemui ayahku di kamarnya, kini keduanya duduk di kursi teras ditemani oleh Ibu. Sementara aku kembali ke dalam rumah dengan alasan kerepotan oleh BInar yang tidak bisa diam."Silakan diminum teh hangatnya, Nak Azzam, Nak Haikal!" Kulihat, Ibu menyodorkan dua gelas minuman hangat di atas meja yang berada di teras, sedangkan aku berdiri kebingungan tak jauh dari pintu. Harus pulang sekarang, atau menunggu interupsi dari Mas Haikal?
Hari pertama di rumah orang tuaku cukup membuatku sadar akan perbedaan. Perbedaan ketenangan, ketenteraman, serta kenyamanan diri dalam setiap pergerakan. Kupikir, tekanan yang selama ini melingkupiku pasti sirna, kesedihan yang satu tahun ini menderaku akan otomatis tergantikan dengan kebahagiaan kala aku bersama Ayah dan Ibu. Kenyataannya tidak seperti itu. Alasannya tak lain karena bagaimanapun juga segalanya sudah tak lagi sama. Semalaman aku tak bisa tenang, beberapa kali mengecek ponsel, berharap Mas Haikal akan menghubungiku barang sekali saja. Namun, hingga hari kedua aku di Bandung, gawai berbentuk persegi ini tak menunjukkan pergerakan apa pun. "Setidaknya kamu nanyain kabar Binar, Mas," gerutuku kesal sembari mencebikkan bibir. Tidak hanya itu saja, potret mesra yang Rania kirimkan pun turut menghantui pikiranku. Dugaan dan kecurgiaanku pada keduanya kian liar entah ke mana.Aku tertelan oleh kekhawatiran dan asumsi-asumsiku sendiri. Semakin dalam hingga tak tentu arah."K
Kubiarkan air mata ini mengalir bebas di pipiku, sementara arah pandangku terus tertuju keluar kaca jendela mobil dengan rinai hujan yang berderai lembut tanpa henti. Perjalanan Jakarta—Bandung kali ini mengingatkanku pada masa lalu. Ketika aku bertolak ke Jakarta dengan perasaan cemas yang serupa. Namun, pedih hatiku saat ini rasanya berkali-kali lipat lebih menyakitkan, hingga membuat kewarasanku hampir hilang karena dihantam kenyataan."Ma ..., huwaaaa!""Huwaaa!"Lamunanku buyar. Rengekan Binar yang tiba-tiba dan sejak tadi tidur pulas di pangkuanku seakan menjadi sebuah peringatan untukku agar berhenti menangis. Kutepuk lembut dada Binar agar kembali terlelap, tetapi sayangnya itu tidak berhasil. Bukannya reda, tangis Binar malah kian menjadi."Ssst ..., Binar Bobo lagi, ya! Perjalanan kita masih jauh, Sayang." Seiring usahaku menenangkan si kecil, sopir travel yang duduk di balik kemudinya sesekali mencuri pandang ke arah kami. Aku yang sadar diperhatikan seperti itu, mulai me
Benar apa yang dikatakan Bi Ratih. Sore harinya, Rania datang ke rumah dan memecahkan suasana dengan suaranya yang nyaring. Di usianya yang menginjak angka 20-an, Rania tampak begitu segar dan cantik, tubuh mungil nan berisinya dibalut gaun mini di atas lutut berwarna pink lembut menunjang penampilannya semakin terlihat memesona. Gadis itu berjalan begitu semangat disertai senyumnya yang cerah, sesekali jemari lentiknya memainkan ikatan rambutnya yang dikuncir quda."Kak Haikaaaal, Rania dataaang!" Rania langsung memeluk suamiku dari arah belakang, tangan Mas Haikal refleks merangkul pinggang Rania dengan posisi yang sama. Mas Haikal sedang duduk di atas karpet bersama Binar."Ya ampun, pelan-pelan, Ran. Nanti kamu kepeleset!" peringatnya pelan, Rania tersenyum lebar sambil menempel sempurna di punggung suamiku."Biarin, kan ada Kakak yang nolongin." Rania menjauhkan diri sebentar, lalu memiringkan kepala dan menatap wajah suamiku dari samping dengan kedua tangan yang masih melingkar
Semalaman aku kesulitan memejamkan mata, berpikir bagaimana caranya agar bisa keluar dari lingkaran yang seakan mencekik ini. Sampai kapan aku harus bersabar diperlakukan tidak adil begini? Tidak cukupkah mereka merenggut masa depanku? Aku tak minta dipuja, cukup pengorbanan dan kehadiranku di sini dihargai saja.Akibat terjaga hampir sepanjang malam, alhasil pagi ini aku terbangun sedikit terlambat, itu pun karena mendengar tangis si kecil Binar yang melengking. Sontak saja aku terperanjat dengan menahan kepala yang seketika pening bukan main. Kutenangkan Binar sebentar, lalu kusimpan di kereta bayi. Sementara aku mencuci muka dengan kilat dan kembali menghampirinya.Untungnya ini akhir pekan. Jadi, ketika aku memulai pekerjaan rumah, Mas Haikal masih berada di kamarnya. Kedua mertuaku pun belum terlihat kedatangannya ke rumah utama.Seperti biasa aku akan langsung memasuki dapur, menyiapkan sarapan dan membereskan sisanya. Sementara Binar duduk tenang di kursinya, selama aku terlihat
"Hentikan tangismu dan turunlah segera! Binar pasti mencarimu. Aku pun harus pergi bekerja," katanya lagi seraya berbalik badan dan meninggalkan kamar. Kubekap erat mulut ini, sekuat tenaga menghentikan tangis di saat hati ingin menjerit. Aku harus tetap kuat dan tegar, tidak ada waktu untuk meratapi diri. Aku harus membebaskan diri dari ini semua, setidaknya demi si kecil Binar. Aku terus berusaha menguatkan diri. Setelah dirasa cukup tenang, aku pun membersihkan diri secara kilat, lalu turun ke lantai satu. Kulihat, mertuaku sudah berada di sofa ruang keluarga, sedang Mas Haikal terlihat menenteng tas kerjanya. "Ma ... Ma!" panggil si kecil Binar seraya merentangkan tangan ketika melihat kedatanganku. Bocah mungil itu tengah digendong oleh Bi Ratih, asisten rumah tangga kami yang sepertinya datang ketika aku membersihkan diri di kamar tadi. "Sini, Nak!" ucapku meminta Binar. "Makasih, ya, Bi ..., Ma. Maaf aku agak lama." Kuambil alih Binar dari gendongan Bi Ratih, lalu membawa Bi
Aku terus berjalan menyusuri lorong menuju kamar Mas Haikal yang berada di ujung kiri, sementara kamar milikku berada di ujung kanan. Jujur saja, aku sebenarnya tidak tahu kedua mertuaku menyadarinya atau tidak dengan keadaan rumah tangga kami yang seperti ini. Tak sekali pun baik Bu Sukma maupun Pak Abigail bertanya padaku, apakah putranya memperlakukanku dengan baik atau tidak.Kupikir, mereka mungkin tak peduli. Entahlah.Mulanya aku sendiri sempat kebingungan dengan keinginan Mas Haikal yang tak ingin satu kamar denganku, tetapi perlahan aku mengerti alasan dia memperlakukanku seperti ini. Mas Haikal terpaksa menikah denganku, dan aku paham bahwa kehadiranku sampai detik ini belum bisa diterimanya.Hal itu memengaruhi cara mereka memperlakukanku di rumah besar ini. Tak sedikit pun posisiku benar-benar dihargai, itu semua bisa kusimpulkan karena foto-foto mendiang Kak Anita saja masih terpampang jelas hampir di setiap sudut ruangan, salah satunya di ruang keluarga yang tengah kulewa