Home / Rumah Tangga / Aku Bukan Istri Bayangan / Bab 05 - Menemukan Benda Asing

Share

Bab 05 - Menemukan Benda Asing

Author: AnnaHN
last update Last Updated: 2024-02-03 12:35:10

Semalaman aku kesulitan memejamkan mata, berpikir bagaimana caranya agar bisa keluar dari lingkaran yang seakan mencekik ini. Sampai kapan aku harus bersabar diperlakukan tidak adil begini? Tidak cukupkah mereka merenggut masa depanku? Aku tak minta dipuja, cukup pengorbanan dan kehadiranku di sini dihargai saja.

Akibat terjaga hampir sepanjang malam, alhasil pagi ini aku terbangun sedikit terlambat, itu pun karena mendengar tangis si kecil Binar yang melengking. Sontak saja aku terperanjat dengan menahan kepala yang seketika pening bukan main. Kutenangkan Binar sebentar, lalu kusimpan di kereta bayi. Sementara aku mencuci muka dengan kilat dan kembali menghampirinya.

Untungnya ini akhir pekan. Jadi, ketika aku memulai pekerjaan rumah, Mas Haikal masih berada di kamarnya. Kedua mertuaku pun belum terlihat kedatangannya ke rumah utama.

Seperti biasa aku akan langsung memasuki dapur, menyiapkan sarapan dan membereskan sisanya. Sementara Binar duduk tenang di kursinya, selama aku terlihat di pandangannya, si kecil memang cenderung anteng dan tidak rewel. Lalu setelah selesai, aku akan menuju laundry room, kebetulan Bi Ratih sudah tiba sejak tadi dan juga sudah selesai membersihkan setiap sudut rumah.

"Aku periksa cucian bentar, ya, Bi. Titip Binar dulu!" pintaku pada Bi Ratih yang muncul dari ruang tengah.

"Baik, Neng Gita." Tak ada yang berbeda dari Bi Ratih, dia masih selalu baik sama seperti dulu ketika aku masih berstatuskan ipar. Bahkan daripada dengan ibu mertuaku, aku lebih dekat dengan wanita berusia sekitar 50 tahunan ini.

"Main sama Bibi sebentar, ya, Nak! Mama akan selesaikan semuanya dengan cepat," ucapku lembut pada si buah hati. Aku merasa gemas melihat Binar yang tersenyum lebar menampilkan dua buah gigi susunya di bagian bawah.

Hatiku yang sejak semalam bergemuruh hebat perlahan melunak setiap kali melihat senyum hangat Binar. Mungkinkah ini memang sudah jadi takdirku? Menerima segala ujian hidup dan harus terus bergelung dengan rasa pedih.

Melihat Binar yang nampak anteng bermain dengan Bi Ratih, segera aku memasuki ruang cuci dan mengecek helai per helai pakaian yang akan kumasukkan ke dalam mesin cuci. Guna meminimalisir benda asing yang berpotensi mengganggu kinerja mesin.

Sebetulnya, ini termasuk bagian pekerjaan Bi Ratih, tetapi akulah yang meminta mengerjakannya dengan tanganku sendiri. Entah mengapa selalu ada perasaaan puas karena bisa mengurus langsung pakaian keluarga kecilku.

Kuperiksa setiap kantong baju dan celana, merogohnya dengan satu tangan. Beberapa helai pakaian yang sudah lolos dari pemeriksaanku, kini giliran celana navy milik Mas Haikal sekaligus pakaian kotor terakhir yang belum kuperiksa.

Keningku tiba-tiba mengkerut, saat tanganku merasakan sebuah benda aneh di dalamnya.

"Apa ini ...?" monologku dalam hati, "teksturnya seperti ... karet."

*

*

"Lho, lho, lho .... Ini kenapa mukanya ditekuk gini atuh, Neng?" Bi Ratih bertanya sambil berjalan perlahan ke arahku.

Tanpa menjawab, lekas aku mengeluarkan sesuatu dari kantong baju yang kukenakan. "Aku nemuin benda ini di kantong celananya Mas Haikal, Bi."

"Apa ini ...?" tanya heran Bi Ratih, dengan kening mengkerut diraihnya benda berbentuk melingkar dari tanganku. "Ini ikat rambut, Neng."

kuanggukkan kepala sebagai bentuk jawaban dengan mulut yang sedikit mengerucut, hal itu malah memancing seyum tertahan Bi Ratih yang penuh makna.

"Iiih, bibi kok malah senyam-senyum." Bi Ratih tak menghiraukan rengekanku, senyumnya malah semakin lebar entah apa yang dianggapnya lucu. Padahal otakku sudah dipenuhi berbagai spekulasi aneh terhadap suamiku itu.

Mengapa bisa ada ikat rambut perempuan di kantong celananya?

Milik siapa itu?

Aku tidak memiliki ikat rambut semacam itu, mungkinkah itu milik perempuan seling ....

Ah, tidak. Stop, Gita! Berhenti berasumsi sendiri dan lupakan semuanya. Lantaran jujur saja, semenjak malam ketika aku tak sengaja menguping pembicaraan mereka, aku tak lagi berani menyapa suamiku. Takut hanya akan memancing emosinya kembali mencuat. Lagipula, Mas Haikal memang jarang menemuiku, apalagi menyentuhku.

Ya, begitulah. Hubungan rumah tangga kami memang tidak seperti rumah tangga pada umumnya.

"Maaf, Neng," ucap Bi Ratih dengan senyum hangat yang tak memudar . "Habis Neng Gita lucu banget kalau lagi cemburu."

Mataku melotot kaget. "Ihhh. Enggak, ya, Bi. Mana ada aku cemburu. Cuma penasaran aja."

"Iya deeeh, Bibi percaya." Kedua tangan Bi Ratih menarik pelan lenganku untuk duduk. "Palingan juga itu ikat rambut milik Non Rania. Ini juga, kan, bukan pertama kalinya Neng Gita nemuin sesuatu di sakunya Pak Haikal. kemarin-kemarin ada bungkus permen karet, struk belanjaan, samaaa satu lagi Bibi lupa."

"Voucher hotel!"

"Nah, iya, itu."

Kuhembuskan napas pelan, lalu mengalihkan pandanganku pada Binar yang sedang mengunyah biskuitnya hingga belepotan.

"Iya, Bi. Mas Haikal, kan, manager hotel. Mungkin gak sengaja kebawa sama dia." Kuseka lembut sisa-sisa biskuit di mulut Binar menggunakan tissue yang kuambil di atas meja. "Tapi kayaknya kejadian begini udah keseringan, deh. Benda-benda milik Rania dering banget ketinggalan."

"Ya ... namanya juga anak gadis, Neng. Apalagi Non Rania yang ceroboh dan pelupa. Kita juga tahu tabiatnya dia semanja apa sama Pak Haikal. Dari dulu malah."

"Agak aneh aja, sih, Bi. Biasanya yang tertinggal itu pasti di dalam mobil. Seperti minggu lalu, laptopnya Rania yang ketinggalan. Terus minggu lalunya lagi, jaketnya Rania yang banyak bulu-bulunya itu. Tapi ini ... ikat rambut, dikantongi pula sama Mas Haikal," ujarku panjang lebar.

"Udah, jangan mikir yang aneh-aneh dulu. Coba nanti Neng Gita tanyain aja langsung sama Bapak. Lagipula palingan bentar lagi yang punya ikat rambut datang ke sini buat ngambil."

Memang sudah tak aneh lagi bagi kami semua, Rania adalah putri satu-satunya dari saudara Bu Sukma. Gadis yang baru memulai kuliahnya itu memang terbilang sangat manja pada suamiku. Ia seolah menemukan sosok Kakak yang diinginkannya pada diri Mas Haikal.

Aku tak keberatan. Bagiku Rania anak baik dan cerdas, hanya saja sikap manjanya itu terkadang cukup menyebalkan jika sedang kumat. Terlepas dari itu semua, dia adalah orang kedua yang menerimaku setelah Bi Ratih di rumah ini.

Pagi itu, aku dan Bi Ratih lanjut berbincang sebentar. Kedua mertuaku datang saat jam menunjukkan pukul 9 lewat 30 menit, sementara suamiku baru keluar dari kamarnya saat waktu dzuhur hampir tiba. Sudah biasa aku mendapati Mas Haikal bangun siang seperti itu setiap akhir pekan, dia akan langsung bermain dengan putrinya setelah selesai dengan urusan perut.

Pemandangan semacam itu selalu berhasil membuat hatiku menghangat, jalinan kasih seorang ayah dan putri kecilnya yang mampu menenangkanku, serta menguarkan efek bahagia bagi siapa saja yang menyaksikannya.

Seperti saat ini, aku berdiri di dekat sofa, memandang ke arah Binar dan papanya yang sedang asyik bercanda. Sementara Bu Sukma datang dari arah luar sembari menenteng kantong belanja. Dengan senyum lebar dan wajahnya yang cerah, ibu mertuaku itu duduk di sofa, tak jauh dari posisiku.

Tak lama, tawa renyah si kecil menggema ke setiap penjuru ruangan. Inilah yang membuatku masih memiliki keyakinan bahwa mungkin saja Mas Haikal sebenarnya laki-laki yang baik dan juga Ayah yang baik. Dan sisi baik sebagai suami hanya ditujukannya untuk Kak Anita seorang, bukan untukku.

Akan tetapi, senyum yang sedang mengembang indah di bibirku ini perlahan surut tatkala suara hentakan sepatu hak tinggi seseorang mengambil alih atensi semua penghuni rumah.

Related chapters

  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 06 - Pingsan

    Benar apa yang dikatakan Bi Ratih. Sore harinya, Rania datang ke rumah dan memecahkan suasana dengan suaranya yang nyaring. Di usianya yang menginjak angka 20-an, Rania tampak begitu segar dan cantik, tubuh mungil nan berisinya dibalut gaun mini di atas lutut berwarna pink lembut menunjang penampilannya semakin terlihat memesona. Gadis itu berjalan begitu semangat disertai senyumnya yang cerah, sesekali jemari lentiknya memainkan ikatan rambutnya yang dikuncir quda."Kak Haikaaaal, Rania dataaang!" Rania langsung memeluk suamiku dari arah belakang, tangan Mas Haikal refleks merangkul pinggang Rania dengan posisi yang sama. Mas Haikal sedang duduk di atas karpet bersama Binar."Ya ampun, pelan-pelan, Ran. Nanti kamu kepeleset!" peringatnya pelan, Rania tersenyum lebar sambil menempel sempurna di punggung suamiku."Biarin, kan ada Kakak yang nolongin." Rania menjauhkan diri sebentar, lalu memiringkan kepala dan menatap wajah suamiku dari samping dengan kedua tangan yang masih melingkar

    Last Updated : 2024-03-01
  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 07 - Curiga

    Kubiarkan air mata ini mengalir bebas di pipiku, sementara arah pandangku terus tertuju keluar kaca jendela mobil dengan rinai hujan yang berderai lembut tanpa henti. Perjalanan Jakarta—Bandung kali ini mengingatkanku pada masa lalu. Ketika aku bertolak ke Jakarta dengan perasaan cemas yang serupa. Namun, pedih hatiku saat ini rasanya berkali-kali lipat lebih menyakitkan, hingga membuat kewarasanku hampir hilang karena dihantam kenyataan."Ma ..., huwaaaa!""Huwaaa!"Lamunanku buyar. Rengekan Binar yang tiba-tiba dan sejak tadi tidur pulas di pangkuanku seakan menjadi sebuah peringatan untukku agar berhenti menangis. Kutepuk lembut dada Binar agar kembali terlelap, tetapi sayangnya itu tidak berhasil. Bukannya reda, tangis Binar malah kian menjadi."Ssst ..., Binar Bobo lagi, ya! Perjalanan kita masih jauh, Sayang." Seiring usahaku menenangkan si kecil, sopir travel yang duduk di balik kemudinya sesekali mencuri pandang ke arah kami. Aku yang sadar diperhatikan seperti itu, mulai me

    Last Updated : 2024-03-06
  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 8 - Pertemuan Mendebarkan

    Hari pertama di rumah orang tuaku cukup membuatku sadar akan perbedaan. Perbedaan ketenangan, ketenteraman, serta kenyamanan diri dalam setiap pergerakan. Kupikir, tekanan yang selama ini melingkupiku pasti sirna, kesedihan yang satu tahun ini menderaku akan otomatis tergantikan dengan kebahagiaan kala aku bersama Ayah dan Ibu. Kenyataannya tidak seperti itu. Alasannya tak lain karena bagaimanapun juga segalanya sudah tak lagi sama. Semalaman aku tak bisa tenang, beberapa kali mengecek ponsel, berharap Mas Haikal akan menghubungiku barang sekali saja. Namun, hingga hari kedua aku di Bandung, gawai berbentuk persegi ini tak menunjukkan pergerakan apa pun. "Setidaknya kamu nanyain kabar Binar, Mas," gerutuku kesal sembari mencebikkan bibir. Tidak hanya itu saja, potret mesra yang Rania kirimkan pun turut menghantui pikiranku. Dugaan dan kecurgiaanku pada keduanya kian liar entah ke mana.Aku tertelan oleh kekhawatiran dan asumsi-asumsiku sendiri. Semakin dalam hingga tak tentu arah."K

    Last Updated : 2024-03-07
  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 09 - Amarah Berujung Pasrah

    Tiga puluh menit terasa jauh lebih lama, apalagi ketika diliputi kecanggungan yang tercipta di antara kami bertiga. Diam-daim aku merutuki situasi tak terduga ini di dalam hati. Bukan kerena aku tidak senang dijemput oleh suamiku, atau tidak menerima niat baik dari Mas Azzam. Namun, mengapa mereka harus datang dalam waktu bersamaan? Meskipun raut wajah kedua laki-laki itu tampak biasa saja di mataku, tetapi dari gerak-gerik Mas Haikal yang sejak tadi hanya diam dan tak menyapaku menjadi masalah tersendiri bagiku. Seusai Mas Azzam dan Mas Haikal bergantian menemui ayahku di kamarnya, kini keduanya duduk di kursi teras ditemani oleh Ibu. Sementara aku kembali ke dalam rumah dengan alasan kerepotan oleh BInar yang tidak bisa diam."Silakan diminum teh hangatnya, Nak Azzam, Nak Haikal!" Kulihat, Ibu menyodorkan dua gelas minuman hangat di atas meja yang berada di teras, sedangkan aku berdiri kebingungan tak jauh dari pintu. Harus pulang sekarang, atau menunggu interupsi dari Mas Haikal?

    Last Updated : 2024-03-08
  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 10 - Ternyata Kalian ....

    "Jangan pernah kamu bahas soal Rania lagi! Menjaganya adalah kewajibanku. Dia nggak punya saudara laki-laki, atau ayah yang bisa diandalkannya. Jadi, kamu jangan mengarang cerita hanya berdasarkan kecurigaanmu yang tanpa dasar itu!""Aku bisa aja terus ngalah dari kamu atau pun Ibu, Mas. Tapi, jika ada orang lain yang mengusik rumah tanggaku, aku tidak akan tinggal diam!" Aku hanya bisa mengatakannya di dalam hati, membiarkan suamiku beranggapan bahwa aku telah setuju. Lelah yang mebdera, membuatku malas berdebat. Bukan aku tidak percaya padanya, hanya saja apa yang Rania lakukan sebelumnya telah berhasil mengusikku. Photo yang gadis itu kirim tanpa keterangan sungguh memancing rasa penasaranku, dan aku berencana menyinggungnya ketika dia datang ke rumah. Aku yakin tidak lama lagi dia akan datang."Kamu juga tahu, kan, Git. Mas begini karena sedang merin ....""Tahu, kok. Mas gak perlu khawatir, aku nggak akan salah mengartikan. Bahkan kalau iya pun, aku akan tetap beranggapan seprti

    Last Updated : 2024-03-09
  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 11 - Ketahuan

    Malam kian larut, desiran angin dan detik jarum jam berpadu di tengah kesunyian yang menyapa. Aku meringkuk seorang diri, ditemani kegelisahan dan kepiluan yang membuncah di dada. Sisa isakanku sesekali lolos, menelisik ruang hampa dan keheningan suasana. Sudah pukul 11 malam, tetapi baik Mas Haikal maupun kedua mertuaku belum jua tampak kehadirannya. Sebenarnya, ke mana mereka? Tak biasanya tengah malam seperti ini masih berada di luar rumah. Mungkinkah di tempat Rania sedang ada acara? Kuraih gawai yang semula kusimpan di samping bantal, lalu berselancar di dunia maya. Membuka satu per satu akun anggota keluarga suamiku, berharap bisa menemukan jawaban atas cemasku. Pada zaman serba sharing ini, orang-orang cenderung memiliki kebiasaan membagikan segala jenis kegiatan mereka di sosial media, dan Rania adalah salah satu yang memiliki kebiasaan demikian. Akan tetapi, nyatanya aku tidak menemukan apa pun, hanya foto selfie dirinya yang diposting terakhir kali di suatu toko perhias

    Last Updated : 2024-03-12
  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 01 - Menikahlah!

    "Aku pulang, ya. Kamu baik-baik di rumah. Kunci pintu, jendela, sama hatinya juga!" ujar Mas Azzam sambil menunjukkan senyumnya yang selalu aku sukai."Karena hati kamu cuma buat aku!" lanjutnya pelan."Iyaa. Udah, pulang sana! Nanti kemaleman, lho." Kedua tanganku sedikit mendorong dada Mas Azzam yang masih berdiri di ambang pintu rumah disertai senyum tertahan.Aku sangat mencintai laki-laki bermata indah di hadapanku ini. Tubuhnya selalu menguarkan aroma wangi kayu manis yang menenangkan, dan aku menyukainya. Semua yang ada padanya, aku suka.Dengan senyum Mas Azzam yang masih tercetak jelas, kekasih yang telah menemaniku selama lima tahun ini perlahan mundur dan melambaikan tangannya, kemudian berlalu meninggalkan teras rumah.Aku sendiri masih berdiri di tempat, memandang punggung kokohnya yang kian jauh hingga menghilang bersama mobil hitam jenis SUV miliknya.Orang tuaku sedang tidak ada di rumah, keduanya tengah pergi ke Jakarta untuk menjenguk saudariku yang katanya tengah men

    Last Updated : 2024-02-03
  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 02 - Iming-Iming Semata

    Tak terasa, satu tahu pun berlalu. Aku sudah seutuhnya meninggalkan kehidupanku di Bandung dan ikut tinggal bersama suamiku di Jakarta. Rumah yang dulu menjadi saksi kisah Kak Anita dan Mas Haikal terajut, kini kulanjutkan.Malam ini, suara desahan dan erangan terus menggema memenuhi ruangan, saling bersahutan dengan decitan ranjang mengiringi kegiatanku dan Mas Haikal. Kamar mewah minim penerangan milikku sepertinya akan menampilkan siluet tubuh kekar suamiku yang tengah memacu, bergerak liar di atas tubuhku."Mas, sudah!" Aku terus merengek karena sudah tak tahan lagi. Keringatku bercucuran berbarengan dengan air mata yang terus menetes membasahi kedua pipiku."Anita ..., aku mencintaimu!" Lenguhan yang menandakan Mas Haikal telah mencapai puncaknya itu bagai belati yang menancap begitu dalam pada jantung ini.Tubuhku yang dia nikmati, tetapi nama itulah yang selalu suamiku sebutkan. Mas Haikal seolah tak peduli, hentakan terakhirnya adalah bukti bahwa di dalam pikirannya kini hanya

    Last Updated : 2024-02-03

Latest chapter

  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 11 - Ketahuan

    Malam kian larut, desiran angin dan detik jarum jam berpadu di tengah kesunyian yang menyapa. Aku meringkuk seorang diri, ditemani kegelisahan dan kepiluan yang membuncah di dada. Sisa isakanku sesekali lolos, menelisik ruang hampa dan keheningan suasana. Sudah pukul 11 malam, tetapi baik Mas Haikal maupun kedua mertuaku belum jua tampak kehadirannya. Sebenarnya, ke mana mereka? Tak biasanya tengah malam seperti ini masih berada di luar rumah. Mungkinkah di tempat Rania sedang ada acara? Kuraih gawai yang semula kusimpan di samping bantal, lalu berselancar di dunia maya. Membuka satu per satu akun anggota keluarga suamiku, berharap bisa menemukan jawaban atas cemasku. Pada zaman serba sharing ini, orang-orang cenderung memiliki kebiasaan membagikan segala jenis kegiatan mereka di sosial media, dan Rania adalah salah satu yang memiliki kebiasaan demikian. Akan tetapi, nyatanya aku tidak menemukan apa pun, hanya foto selfie dirinya yang diposting terakhir kali di suatu toko perhias

  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 10 - Ternyata Kalian ....

    "Jangan pernah kamu bahas soal Rania lagi! Menjaganya adalah kewajibanku. Dia nggak punya saudara laki-laki, atau ayah yang bisa diandalkannya. Jadi, kamu jangan mengarang cerita hanya berdasarkan kecurigaanmu yang tanpa dasar itu!""Aku bisa aja terus ngalah dari kamu atau pun Ibu, Mas. Tapi, jika ada orang lain yang mengusik rumah tanggaku, aku tidak akan tinggal diam!" Aku hanya bisa mengatakannya di dalam hati, membiarkan suamiku beranggapan bahwa aku telah setuju. Lelah yang mebdera, membuatku malas berdebat. Bukan aku tidak percaya padanya, hanya saja apa yang Rania lakukan sebelumnya telah berhasil mengusikku. Photo yang gadis itu kirim tanpa keterangan sungguh memancing rasa penasaranku, dan aku berencana menyinggungnya ketika dia datang ke rumah. Aku yakin tidak lama lagi dia akan datang."Kamu juga tahu, kan, Git. Mas begini karena sedang merin ....""Tahu, kok. Mas gak perlu khawatir, aku nggak akan salah mengartikan. Bahkan kalau iya pun, aku akan tetap beranggapan seprti

  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 09 - Amarah Berujung Pasrah

    Tiga puluh menit terasa jauh lebih lama, apalagi ketika diliputi kecanggungan yang tercipta di antara kami bertiga. Diam-daim aku merutuki situasi tak terduga ini di dalam hati. Bukan kerena aku tidak senang dijemput oleh suamiku, atau tidak menerima niat baik dari Mas Azzam. Namun, mengapa mereka harus datang dalam waktu bersamaan? Meskipun raut wajah kedua laki-laki itu tampak biasa saja di mataku, tetapi dari gerak-gerik Mas Haikal yang sejak tadi hanya diam dan tak menyapaku menjadi masalah tersendiri bagiku. Seusai Mas Azzam dan Mas Haikal bergantian menemui ayahku di kamarnya, kini keduanya duduk di kursi teras ditemani oleh Ibu. Sementara aku kembali ke dalam rumah dengan alasan kerepotan oleh BInar yang tidak bisa diam."Silakan diminum teh hangatnya, Nak Azzam, Nak Haikal!" Kulihat, Ibu menyodorkan dua gelas minuman hangat di atas meja yang berada di teras, sedangkan aku berdiri kebingungan tak jauh dari pintu. Harus pulang sekarang, atau menunggu interupsi dari Mas Haikal?

  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 8 - Pertemuan Mendebarkan

    Hari pertama di rumah orang tuaku cukup membuatku sadar akan perbedaan. Perbedaan ketenangan, ketenteraman, serta kenyamanan diri dalam setiap pergerakan. Kupikir, tekanan yang selama ini melingkupiku pasti sirna, kesedihan yang satu tahun ini menderaku akan otomatis tergantikan dengan kebahagiaan kala aku bersama Ayah dan Ibu. Kenyataannya tidak seperti itu. Alasannya tak lain karena bagaimanapun juga segalanya sudah tak lagi sama. Semalaman aku tak bisa tenang, beberapa kali mengecek ponsel, berharap Mas Haikal akan menghubungiku barang sekali saja. Namun, hingga hari kedua aku di Bandung, gawai berbentuk persegi ini tak menunjukkan pergerakan apa pun. "Setidaknya kamu nanyain kabar Binar, Mas," gerutuku kesal sembari mencebikkan bibir. Tidak hanya itu saja, potret mesra yang Rania kirimkan pun turut menghantui pikiranku. Dugaan dan kecurgiaanku pada keduanya kian liar entah ke mana.Aku tertelan oleh kekhawatiran dan asumsi-asumsiku sendiri. Semakin dalam hingga tak tentu arah."K

  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 07 - Curiga

    Kubiarkan air mata ini mengalir bebas di pipiku, sementara arah pandangku terus tertuju keluar kaca jendela mobil dengan rinai hujan yang berderai lembut tanpa henti. Perjalanan Jakarta—Bandung kali ini mengingatkanku pada masa lalu. Ketika aku bertolak ke Jakarta dengan perasaan cemas yang serupa. Namun, pedih hatiku saat ini rasanya berkali-kali lipat lebih menyakitkan, hingga membuat kewarasanku hampir hilang karena dihantam kenyataan."Ma ..., huwaaaa!""Huwaaa!"Lamunanku buyar. Rengekan Binar yang tiba-tiba dan sejak tadi tidur pulas di pangkuanku seakan menjadi sebuah peringatan untukku agar berhenti menangis. Kutepuk lembut dada Binar agar kembali terlelap, tetapi sayangnya itu tidak berhasil. Bukannya reda, tangis Binar malah kian menjadi."Ssst ..., Binar Bobo lagi, ya! Perjalanan kita masih jauh, Sayang." Seiring usahaku menenangkan si kecil, sopir travel yang duduk di balik kemudinya sesekali mencuri pandang ke arah kami. Aku yang sadar diperhatikan seperti itu, mulai me

  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 06 - Pingsan

    Benar apa yang dikatakan Bi Ratih. Sore harinya, Rania datang ke rumah dan memecahkan suasana dengan suaranya yang nyaring. Di usianya yang menginjak angka 20-an, Rania tampak begitu segar dan cantik, tubuh mungil nan berisinya dibalut gaun mini di atas lutut berwarna pink lembut menunjang penampilannya semakin terlihat memesona. Gadis itu berjalan begitu semangat disertai senyumnya yang cerah, sesekali jemari lentiknya memainkan ikatan rambutnya yang dikuncir quda."Kak Haikaaaal, Rania dataaang!" Rania langsung memeluk suamiku dari arah belakang, tangan Mas Haikal refleks merangkul pinggang Rania dengan posisi yang sama. Mas Haikal sedang duduk di atas karpet bersama Binar."Ya ampun, pelan-pelan, Ran. Nanti kamu kepeleset!" peringatnya pelan, Rania tersenyum lebar sambil menempel sempurna di punggung suamiku."Biarin, kan ada Kakak yang nolongin." Rania menjauhkan diri sebentar, lalu memiringkan kepala dan menatap wajah suamiku dari samping dengan kedua tangan yang masih melingkar

  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 05 - Menemukan Benda Asing

    Semalaman aku kesulitan memejamkan mata, berpikir bagaimana caranya agar bisa keluar dari lingkaran yang seakan mencekik ini. Sampai kapan aku harus bersabar diperlakukan tidak adil begini? Tidak cukupkah mereka merenggut masa depanku? Aku tak minta dipuja, cukup pengorbanan dan kehadiranku di sini dihargai saja.Akibat terjaga hampir sepanjang malam, alhasil pagi ini aku terbangun sedikit terlambat, itu pun karena mendengar tangis si kecil Binar yang melengking. Sontak saja aku terperanjat dengan menahan kepala yang seketika pening bukan main. Kutenangkan Binar sebentar, lalu kusimpan di kereta bayi. Sementara aku mencuci muka dengan kilat dan kembali menghampirinya.Untungnya ini akhir pekan. Jadi, ketika aku memulai pekerjaan rumah, Mas Haikal masih berada di kamarnya. Kedua mertuaku pun belum terlihat kedatangannya ke rumah utama.Seperti biasa aku akan langsung memasuki dapur, menyiapkan sarapan dan membereskan sisanya. Sementara Binar duduk tenang di kursinya, selama aku terlihat

  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 04 - Milik Anita

    "Hentikan tangismu dan turunlah segera! Binar pasti mencarimu. Aku pun harus pergi bekerja," katanya lagi seraya berbalik badan dan meninggalkan kamar. Kubekap erat mulut ini, sekuat tenaga menghentikan tangis di saat hati ingin menjerit. Aku harus tetap kuat dan tegar, tidak ada waktu untuk meratapi diri. Aku harus membebaskan diri dari ini semua, setidaknya demi si kecil Binar. Aku terus berusaha menguatkan diri. Setelah dirasa cukup tenang, aku pun membersihkan diri secara kilat, lalu turun ke lantai satu. Kulihat, mertuaku sudah berada di sofa ruang keluarga, sedang Mas Haikal terlihat menenteng tas kerjanya. "Ma ... Ma!" panggil si kecil Binar seraya merentangkan tangan ketika melihat kedatanganku. Bocah mungil itu tengah digendong oleh Bi Ratih, asisten rumah tangga kami yang sepertinya datang ketika aku membersihkan diri di kamar tadi. "Sini, Nak!" ucapku meminta Binar. "Makasih, ya, Bi ..., Ma. Maaf aku agak lama." Kuambil alih Binar dari gendongan Bi Ratih, lalu membawa Bi

  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 03 - Jangan Salah Paham!

    Aku terus berjalan menyusuri lorong menuju kamar Mas Haikal yang berada di ujung kiri, sementara kamar milikku berada di ujung kanan. Jujur saja, aku sebenarnya tidak tahu kedua mertuaku menyadarinya atau tidak dengan keadaan rumah tangga kami yang seperti ini. Tak sekali pun baik Bu Sukma maupun Pak Abigail bertanya padaku, apakah putranya memperlakukanku dengan baik atau tidak.Kupikir, mereka mungkin tak peduli. Entahlah.Mulanya aku sendiri sempat kebingungan dengan keinginan Mas Haikal yang tak ingin satu kamar denganku, tetapi perlahan aku mengerti alasan dia memperlakukanku seperti ini. Mas Haikal terpaksa menikah denganku, dan aku paham bahwa kehadiranku sampai detik ini belum bisa diterimanya.Hal itu memengaruhi cara mereka memperlakukanku di rumah besar ini. Tak sedikit pun posisiku benar-benar dihargai, itu semua bisa kusimpulkan karena foto-foto mendiang Kak Anita saja masih terpampang jelas hampir di setiap sudut ruangan, salah satunya di ruang keluarga yang tengah kulewa

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status