"Ayo, bangun! Pengantin baru itu harusnya bangun pagi, beberes rumah, dan cuci piring di rumah mertua. Bukannya bermalas-malasan seperti ini. Sudah siang masih saja molor di kamar," ucap Narita--ibu Zein sambil menyibak tirai di kamar anak lelakinya.
"Ibu ini apa-apaan, sih!" jawab Zein sambil mengucek matanya yang masih sulit untuk dibuka. "Zein, suruh istrimu itu segera ke dapur untuk cuci piring dan masak! Kita semua belum sarapan pagi!" titah Narita--ibunya Zein kemudian pergi meninggalkan kamar anak dan menantunya yang semalam baru saja melaksanakan resepsi pernikahan di rumah mempelai pria. Sinar mentari pagi menyeruak masuk melalui kaca jendela kamar Zein. Narita tanpa permisi memasuki kamar pengantin anak pertamanya menggunakan kunci cadangan yang sudah biasa disimpannya. Semalam Narita baru saja melaksanakan acara ngunduh mantu di rumahnya. "Mas, apa semalam kamu tidak mengunci pintu kamar ini. Bisa-bisanya lbu kamu nyelonong masuk kamar kita. Tidak sopan banget sih! Untung saja aku sudah mandi dan ganti baju lengkap. Bisa malu kalau misalnya masih memakai baju dinas malam yang kamu berikan," protes Risa. "Memang itu sudah kebiasaan ibuku dari dulu. Setiap pagi membangunkan seisi rumah. Jadi jangan diambil hati atau kita lanjutkan saja pert3mpvr4n semalam?" ucap Zein tersenyum sambil mengecup pipi istrinya yang cantik. "Jangan becanda kamu, Mas! Ibumu sudah ngomel-ngomel tuh! Suaranya sampai kedengaran dari sini," jawab Risa kemudian merapikan selimut dan tempat tidur yang tampak acak-acakan. Setelah merapikan rambutnya yang masih b4s4h, Risa melangkah keluar kamar menuju dapur sesuai perintah mertua. Alangkah terkejutnya Risa, saat melihat dapur yang begitu berantakan. Masih banyak piring-piring kotor di sana sini. Belum lagi sampah bekas makanan yang sudah basi. Dengan sigap Risa mulai mengerjakan pekerjaan rumah itu. Sesekali dia menoleh ke belakang, siapa tahu ada adik atau kerabat yang turun tangan membantunya. Ternyata setelah menunggu hampir setengah jam tak ada satupun manusia di rumah itu yang menunjukkan batang hidungnya di dapur. Mertuanya yang sedari pagi ngomel-ngomel pada Risa dan suaminya, hanya terdengar suara tawanya yang sedang bercengkrama dengan saudara dan anak-anaknya yang lain di ruang tamu. Sedangkan Risa dibiarkan sendiri di dapur yang membutuhkan tenaga banyak untuk dapat menyulapnya menjadi bersih dan rapi. Baru sehari berubah status sebagai istri Zein Prasetya, Risa harus menyingsingkan lengan bajunya untuk beberes rumah dan cuci piring di dapur. Pyar ...! Tanpa sengaja Risa memecahkan sebuah piring keramik di lantai yang penuh dengan percikan minyak goreng sisa acara semalam. Tangan Risa yang licin mengakibatkan piring itu meluncur dengan mudahnya dan pecah berhamburan di lantai dapur. Dari arah depan terdengar langkah kaki yang berjalan tergesa-gesa menuju dapur. Tampak ibu mertuanya berkacak pinggang di depan pintu dengan mata melotot seperti hampir keluar dari kelopak matanya. "Kalau bersih-bersih itu yang hati-hati, Risa! Rvg1 aku, kalau kamu pecahkan piring-piring yang kus3w4 itu. Pasti pemiliknya akan minta ganti rvg1 padaku!" teriak Narita kesal dengan tingkah laku menantunya. "Bu, saya hanya memecahkan satu piring saja. Itupun karena tidak sengaja. Tangan saya licin karena terkena sabun cair, sehingga piringnya terlepas waktu saya pegang." Risa berusaha membela diri. "Masih bisa protes kamu, Risa! Sudah salah masih ngeyel saja!" gerutu Narita. "Ibu, Risa. Ada apa ini? Kenapa pagi-pagi sudah ribut? Apa tidak malu kalau terdengar saudara dan juga tetangga? Apa tidak bisa dibicarakan baik-baik tanpa harus berteriak?" Zein berusaha melerai perselisihan antara mertua dan menantu itu. "Istrimu itu bisa cuci piring tidak sih, Zein? Rvg1 aku, kalau piring pada pecah seperti ini!" ucap Narita dengan wajah kesal. "Sudah, Bu. Tolong maafkan Risa. Mungkin dia masih capek karena acara semalam," bela Zein. "Bela terus istri kamu. Awas, kalau ada piring atau gelas yang pecah lagi seperti tadi! Kamu yang harus ganti rvg1!" Narita segera pergi dari tempat itu masih dengan perasaan kesal. Di sisi lain, Risa begitu syok saat mendengar omelan mertuanya. Sebelum menikah, Risa sempat merasa begitu bersyukur karena akan mendapatkan calon mertua yang berbeda dengan apa yang selalu dibicarakan banyak orang. Dia mengira punya calon mertua yang baik, tidak cerewet, dan menganggapnya seperti anak sendiri. Ternyata semua itu hanya sandiwara belaka. Baru hari ini berada di rumah mertuanya, aneka omelan dan svmp4h s3r4p4h keluar dari b1b1r Narita yang tipis. Tampak butiran bening menetes di kedua pipi Risa. Selama ini, di dalam keluarganya sendiri, ayah dan ibu tak pernah berkata begitu keras dan kasar sampai membuat gendang telinga berdenging. "Sabar, Sayang. Kamu tidak perlu menangis seperti itu. Ibu memang agak cerewet, tapi hatinya sangat baik. Jangan pernah kamu ragukan itu," tutur Zein berusaha menenangkan hati istrinya yang sedang syok dan bersedih. "Bukannya aku ingin melawan Ibumu, Mas. Perlakuannya kepadaku kali ini, sudah sangat keterlaluan. Aku baru jadi menantu satu hari di sini, tapi ibumu sudah memperlakukanku seperti asisten rumah tangga. Lihat, adik dan juga kerabatmu! Semuanya malah asyik bersenda gurau di ruang tamu. Sedangkan aku harus kerja keras membersihkan dapur yang keadaannya seperti kapal pecah. Apa kemarin keluargamu tidak meminta orang lain untuk bersih-bersih rumah setelah acara resepsi pernikahan kita? Kenapa menantunya yang harus mengerjakan ini semua, Mas?" Zein hanya menggelengkan kepalanya menanggapi kemarahan istrinya. "Kemarin Ibu sempat bilang, kalau kegiatan bersih-bersih rumah setelah acara resepsi pernikahan kita selesai, bisa dikerjakan sendiri. Jadi bisa lebih hemat dan tidak perlu memb4y4r orang untuk beres-beres rumah. V4ngnya bisa digunakan untuk keperluan yang lain," lanjut Zein. "Sungguh keterlaluan Ibumu itu, Mas Zein," gerutu Risa dengan d4d4 yang terasa bergemuruh. "Ya sudah. Masalah sepele seperti ini jangan diperpanjang lagi. Ayo, sini aku bantu cuci piring dan bersih-bersih dapur dan rumah." Senyuman dan perlakuan Zein yang begitu lembut membuat Risa mampu meredam rasa amarahnya. Setelah bekerja sama membersihkan dapur selama beberapa waktu. Akhirnya selesai sudah apa yang diperintahkan oleh sang mertua. Keduanya melakukan pekerjaan itu sambil bersenda gurau sehingga mereka tak merasa lelah, meskipun pekerjaan yang dilakukan begitu menguras tenaga. Baru saja, Risa dan Zein duduk di kursi yang ada di pojok ruangan, untuk melepas kepenatan yang bersarang di badan mereka. Terdengar kembali suara langkah kaki seseorang menuju dapur. Tampak Salma berjalan dengan langkah tergesa ke tempat Risa dan Zein berada. "Mbak Risa dan Mas Zein, ngapain saja kalian dari tadi berada di dapur? Jangan bilang kalau kalian berdua hanya bercanda di sini, ya!" ucap Salma sambil berkacak pinggang seperti seorang bos yang memerintah karyawannya. "Apa kamu tidak lihat kalau sekarang dapur ini sudah bersih? Aku dan Kakak iparmu ini, baru saja selesai membersihkan dapur yang sangat kotor itu akibat pesta pernikahan semalam," cetus Zein, saat adik perempuannya mulai bertindak seperti penguasa di rumah orang tua mereka. "Aku hanya melihat kalau saat ini kalian hanya sedang bercanda. Tapi benar juga kata kalian, dapur ini sudah bersih. Sekarang saatnya kalian masak, kami sudah lapar dan butuh makanan. Jadi, segeralah siapkan sarapan untuk kami dan saudara-saudara yang lain. Cepetan, jangan lelet! Awas saja, kalau pekerjaan kalian tidak selesai. Akan aku adukan semuanya pada Ibu. Biar kalian kena omelan Ibu lagi!" ancam Salma--adik perempuan Zein tanpa merasa bersalah. "Mas Zein, apa aku gak salah dengar?" ucap Risa dengan d4d4 yang terasa sesak karena menahan amarah. "Untuk kali ini, tolong mengalah, Sayang. Tidak baik kalau kamu dan Ibu bertengkar hanya karena soal mempersiapkan sarapan. Apalagi, sekarang banyak kerabat yang masih berada di rumah ini." Zein berusaha menasehati istrinya. "Selalu saja, aku yang harus mengalah," gerutu Risa. BersambungBelum usai Risa melepaskan rasa lelahnya. Adik ipar sudah main perintah saja. Dia menyuruh Risa membuatkan sarapan pagi untuk keluarga dan kerabat suaminya."Mas, sebenarnya ada apa dengan keluargamu? Kenapa mereka seakan senang main perintah sana-sini? Apa mereka tidak bisa kasih dispensasi sedikit padaku? Aku sudah kecapekan, Mas! Kamu tahu sendiri, semalam aku hanya tidur dua jam menjelang Subuh. Sekarang malah disuruh mengerjakan semua pekerjaan rumah tanpa ada yang berinisiatif membantu," keluh Risa pada suaminya."Katamu dulu kita harus baik dengan keluarga kedua belah pihak. Terdengar dari ucapanmu itu, sepertinya kamu begitu menyalahkan keluargaku," balas Zein dengan nada tak suka."Bukannya begitu, Mas Zein. Aku ikhlas melakukan semua pekerjaan rumah di sini, tapi jangan terus semuanya dibebankan kepadaku. Kamu kan juga punya adik perempuan. Kenapa Ibumu tidak menyuruh Salma juga?" Risa berusaha meminta keadilan. "Sekarang masih banyak kerabat yang menginap di sini. Jangan s
"Mas, seneng banget ya. Pakai acara c1vm-c1vm segala. Memangnya dia siapa?" bisik Risa dengan hati yang terasa remuk redam.Seperti mengerti apa yang berkecamuk dalam hati Risa, wanita yang berdiri di depan Zein itu segera memperkenalkan diri kepada Risa."Kenalkan namaku Anggun," ucapnya tersenyum manis sambil mengulurkan tangannya.Dengan berat hati, Risa menyambut uluran tangan wanita itu. Sepertinya Risa pernah mendengar nama itu. Nama yang tak asing di telinganya. Setelah beberapa saat, dia baru teringat sesuatu. Dulu Salma pernah bercerita tentang wanita yang bernama Anggun. Dia adalah pacar terakhir Zein sebelum mengenal Risa. Mereka berpisah karena beda status ekonomi, sehingga tak direstui oleh orang tua pihak perempuan."Namaku Risa--istrinya Mas Zein. Apa Mbak Anggun sekarang sudah menikah?" Risa merasa perlu bertanya tentang status Anggun, supaya dia bisa lebih waspada atas kemungkinan suami dan mantan pacarnya itu balikan lagi."Sudah," jawab Anggun cepat."Maaf ya, kalau
"Apa saja dua permintaan itu?" tanya Zein penasaran."Yang pertama kamu harus bisa membuktikan kalau memang sudah tidak ada perasaan cinta lagi kepada Anggun dan yang kedua--." Risa menghentikan ucapannya sejenak."Kalau masalah Anggun, memang kami sudah tidak ada hubungan lagi. Saat kita bertemu tadi memang benar-benar tanpa disengaja. Aku bisa pastikan kalau saat ini hatiku hanya untukku," ucap Zein mantap."Baik, aku pegang ucapanmu, Mas," lanjut Risa."Bagaimana dengan hal yang kedua?" sambung Zein."Hem ..., aku ingin kita pindah dari sini dan tinggal di kontrakan saja," ucap Risa lirih."Tinggal di kontrakan? Di rumah ini masih ada kamar kosong untuk kita tempati. Kenapa harus pindah?" Zein merasa keberatan dengan permintaan istrinya."Ingat, Mas. Kamu sudah janji untuk menuruti permintaanku!" kata Risa mengingatkan janji yang baru saja diucapkan suaminya."Apakah permintaan kedua itu bisa diganti? Perlu kamu tahu, kalau ibuku sangat menginginkan kita tetap tinggal bersamanya. B
"Ibuku memang punya watak yang keras, tapi sebenarnya dia sangat menyayangi anak-anaknya. Dia sangat tidak suka kalau keinginannya dibantah. Jadi untuk sementara kita tetap tinggal di sini dulu saja. Daripada harus selalu bertengkar dengan Ibu. Kan ada alternatif lain. Masih ingat apa yang Ibuku katakan?" tanya Zein."Perkataan yang mana? Banyak sekali yang dikatakan Ibumu. Aku tidak ingat," jawab Risa tak bersemangat."Ibu kan bilang, akan mengizinkan kita kontrak rumah kalau kamu sudah h4m1l. Jadi segera saja kita buat dedek bayi," lanjut Zein dengan senyuman penuh arti."Kamu semangat banget kalau masalah begituan," sungut Risa."Namanya juga pengantin baru, pasti lagi semangat banget ini. Ingin cepat pindah rumah atau tidak?" tanya Zein."Baiklah kalau begitu. Daripada aku harus makan hati tinggal di sini terus," jawab Risa setuju dengan pendapat Zein."Yuk, gak pakai lama!" lanjut Zein bersemangat."Tunggu sebentar!" cegah Risa."Apalagi, Sayang?" Zein semakin tak sabar."Ingat t
Setelah mendengar penjelasan suaminya, Risa segera menyelesaikan kegiatan membersihkan diri. Tak lebih dari sepuluh menit dia sudah keluar kamar mandi. Padahal biasanya Risa paling suka berlama-lama di sana untuk mendinginkan badannya. Semua itu karena udara di kota Surabaya memang berhawa pa nas dan hanya didinginkan dengan kipas angin yang tidak begitu besar.Setelah siap, Risa segera menemui suaminya yang sudah menunggu di ruang tamu. Tampak Zein sudah siap dengan kunci kontak kendaraan roda duanya."Mas Zein, sebenarnya yang buka usaha katering itu siapa? Kok, jadi semuanya pekerjaan dilimpahkan padaku?" gerutu Risa."Sudahlah, Sayang! Jangan bahas masalah itu lagi. Kita hanya bantu Ibu tidak lebih dari tiga hari. Siapa tahu nanti bisa meneruskan usaha katering yang ibu lakukan sekarang ini. Jadi kamu nggak perlu lagi kerja sama orang lain," jawab Zein."Aku belum kepikiran ke arah sana," sambung Risa."Setelah ini, kita kembali pada aktivitas pekerjaan masing-masing. Makanya kamu
"Ah, kamu bisa saja, Desy. Aku menganggap Anton sebagai teman biasa. Seperti hubunganku sama kamu," ucap Risa menanggapi godaan Desy--teman satu stand dengannya."Mungkin anggapanmu seperti itu, tapi bagi Anton kamu adalah wanita spesial. Ketika mendengar kamu tidak masuk kerja karena menikah, dia kecewa berat. Dia cerita banyak tentang rasa kagumnya kepadamu," lanjut Desy."Terus aku harus bagaimana dalam bersikap kepadanya? Tidak mungkin aku memberikan harapan semu kepadanya. Apalagi sekarang aku jelas-jelas sudah menikah dengan lelaki yang kucintai," tutur Risa merasa serba salah.Dua bulan telah berlalu. Kehidupan rumah tangga Zein dan Risa masih saja dicampuri oleh ibu mertuanya. Selama tinggal di rumah orang tua Zein, Risa harus siap disuruh-suruh. Apalagi untuk menangani urusan dapur, Risa yang paling bisa diperintah ini dan itu. Sedangkan Salma sudah terbiasa mengabaikan semua pekerjaan rumah. Jika sudah ada kakak iparnya yang bisa mengerjakan semua pekerjaan domestik dan per
"Aku lagi ingin sesuatu, tapi suamiku gak mau nurutin permintaanku," jawab Risa sedih.Entah kenapa keinginan itu begitu besar untuk bisa makan mangga muda. Hatinya kesal sekali dengan perkataan suaminya tadi. Sepertinya Zein tidak perhatian lagi padanya."Memangnya, Mbak Risa mau apa? Mungkin aku bisa mencarikannya." Anton menawarkan bantuan."Apa kamu mau bantu aku?" tanya Risa tidak percaya."Asalkan aku mampu, apapun permintaan Mbak Risa akan aku usahakan untuk bisa terpenuhi," jawab Anton penuh percaya diri."Tapi kamu jangan tertawa, ya." Risa sebenarnya merasa tidak enak jika melibatkan Anton untuk memenuhi permintaannya. Namun, keinginannya sangat besar dan tak bisa dicegah."Aku hanya ingin makan mangga muda. Tadi waktu berangkat, aku sempat melihat di pinggir jalan ada mangga muda, tapi Mas Zein tidak mau minta pada pemiliknya," keluh Risa."Oh, hanya mangga muda! Nanti waktu istirahat, aku carikan untuk Mbak Risa. Jadi tidak usah sedih lagi ya." Ucapan Anton membuat Risa me
Risa merasakan ada telapak tangan yang mengusap pipinya. Matanya berusaha dibuka. Namun, saat menghirup aroma tubuh Zein, perut Risa seakan diaduk-aduk kembali. Dengan secepat kilat, dia langsung terbangun dari peraduan dan berlari menuju kamar mandi untuk menuntaskan rasa mualnya."Hoek ... hoek!"Kembali Risa mengeluarkan isi perutnya, hingga badannya menjadi lemas dan wajahnya pucat. Ketika baru saja membuka pintu kamar mandi, kepala Risa terasa pusing, perut mual, mata berkunang-kunang. Akhirnya Risa tak mampu lagi menahan keseimbangan tubuhnya. Semua tampak gelap, Risa pun jatuh pingsan.Untung saja Zein sudah bersiap menunggu di depan pintu kamar mandi, sehingga badan Risa tak sampai terjatuh di lantai karena dengan sigap suaminya menangkap tubuh istrinya."Sayang, ayo bangun!" Zein kemudian membopong tubuh istrinya dan meletakkannya di tempat tidur.Sekitar sepuluh menit Risa pingsan. Seluruh badannya sudah diberi minyak angin, agar kesadarannya segera pulih. Zein merasa khawat
Hampir sebulan Zein harus bolak-balik antara rumah dan kontrakannya sendiri. Bahkan, dia malah jarang bermalam di rumah kontrakannya. Di lain sisi, Risa sangat membutuhkan kehadiran Zein selama kondisi me ngan dung anak pertamanya. Demi mendukung bakti suami pada ibunya, Risa berusaha mengalah.Sebenarnya sejak Anggun mulai datang kembali ke rumah mertuanya, Risa sudah merasa tidak nyaman. Bukannya tidak percaya dengan kesetiaan suaminya, tapi lebih kepada adanya kesempatan yang terbentang di antara mereka untuk saling bertemu. Kucing akan makan ikan, jika disuguhkan kepadanya. Demikian juga Zein yang akan lebih sering bertemu dengan Anggun dibandingkan dengan istrinya sendiri. Ada kemungkinan, rasa cinta yang pernah ada di antara mereka kembali bersemi. Risa tidak menginginkan hal itu.Untuk mengatasi perasaan yang berkecamuk di hatinya, Risa ingin membahas masalah ini dengan suaminya, daripada dia merasa tidak tenang dengan kondisi rumah tangganya. Risa ingin ha mil tanpa banyak pik
Risa penasaran siapa sebenarnya tamu yang disambut oleh adik iparnya itu. Sepertinya ada tamu istimewa yang sengaja ditunggu kedatangannya.Deg!"Anggun? Kenapa dia bisa tahu kalau Ibu mertuaku akan pulang hari ini?" lirih Risa dengan penuh tanda tanya. Tampak Salma menggandeng tangan Anggun dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Anggun, menatap sekilas ke arah Risa. Entah mengapa, perasaan Risa tak enak dengan adanya Anggun di rumah ini. Pikirannya langsung tertuju pada suaminya. Apakah Anggun sengaja diberitahu oleh Salma atau Zein, agar dia menjenguk ibu mertuanya?Risa jadi teringat dengan janji Zein untuk tidak menjalin hubungan apapun dengan Anggun, tapi pada kenyataannya sangatlah berbeda. Kenapa Salma seolah-olah lebih menunggu kehadiran Anggun di rumah ini, daripada dirinya yang mana statusnya jelas-jelas sebagai menantu yang sah."Eh, ternyata Mbak Risa juga sudah ada di sini. Maaf, aku datang ke sini rencananya ikut menjemput Ibunya Salma. Kemarin aku dihubungi Salma, katan
Baru saja masuk ke ruangan di mana mertuanya dirawat, sudah terdengar suara sumbang dari adik iparnya. Ingin rasanya me nam par mu lut Salma yang selalu menyakiti hatinya. Siapa juga yang menginginkan hal buruk terjadi pada mertuanya. Dia sudah berusaha mencegah, tapi ibu mertuanya sendiri yang mengundang penyakit."Tolong dijaga bicaranya. Aku keluar bukannya kelayapan, tapi memeriksakan kandunganku. Dari tadi aku yang mengurus semua kebutuhan Ibu di sini." Tak tahan juga rasanya untuk menjawab setiap omongan Salma yang tak enak didengar telinga."Halah, alasan. Lihat apa yang telah kamu lakukan. Ibu sakit gara-gara makanan yang kamu masak. Awas saja kalau terjadi hal yang tidak diinginkan pada Ibu," cecar Salma."Per-gi ka-mu Ri-sa!" Narita yang masih terbaring lemah tega-teganya mengusir menantunya. Padahal, kalau Risa tidak segera membawanya ke rumah sakit. Nyawa Narita tidak bisa tertolong. Ibu dan anak sama-sama tidak punya hati. Sudah ditolong, tapi malah yang menolong dica ci
"Mas Zein, kamu cepat pulang! Ibu baru saja jatuh di kamar mandi," ucap Risa panik, karena mertuanya tidak sadarkan diri sampai sekarang."Kenapa bisa jatuh di kamar mandi? Pasti kamu tidak pernah membersihkan lantai kamar mandi, sehingga Ibu terpeleset saat masuk kamar mandi!" cetus Zein pada istrinya dengan nada kesal."Kok, malah nyalahin aku! Semenjak aku hamil, kamu 'kan yang bertugas membersihkan kamar mandi? Sudahlah, jangan mengajak berdebat di telepon, Mas Zein. Lebih baik, kamu cepat pulang. Setelah itu, kita bawa Ibu ke ru mah sa kit terdekat!" ujar Risa merasa jengkel, karena mendapatkan tuduhan yang begitu menyudutkannya sebagai orang yang terakhir bersama Narita--ibunya Zein."Lebih baik, kamu minta bantuan tetangga untuk mengantar Ibu ke ru mah sa kit. Takut ada apa-apa yang terjadi pada Ibu, jika tidak segera mendapat pertolongan. Nanti kirim saja lokasi ru mah sa kitnya. Aku akan segera menyusul," pungkas Zein kemudian menutup sambungan ponselnya.Zein begitu cemas se
Kening Zein berkerut. Bagaimana istrinya tidak marah seperti ini. Lama-lama Sarah nekat juga. Urusan rumah tangganya saja belum selesai. Bagaimana bisa dia menawarkan sebuah hubungan yang mampu membuat dua keluarga berantakan?"Kenapa, Mas Zein? Apa wanita itu mengirimkan pesan untukmu?" desak Risa.Zein hanya menganggukkan kepalanya. Secara refleks dia menyerahkan ponsel kepada istrinya. Dengan rasa tak menentu dia menerima ponsel milik suaminya. Kemudian Risa membaca isi pesan dari Sarah. Kini matanya membulat. Tak disangka, wanita yang bernama Sarah itu begitu blak-blakan mengungkapkan rasa cintanya kepada Zein. Bahkan, menginginkan menjadi istri kedua Zein. Perasaan Risa kini campur aduk. Mantan Zein yang bernama Anggun yang ditemuinya beberapa waktu yang lalu, masih mampu menjaga imagenya. Sedangkan Sarah langsung to the point meminta agar dirinya dijadikan istri kedua. Risa menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan-lahan. Dia berusaha melonggarkan d4d4nya ya
Setelah selesai menghabiskan makanan hasil karya Risa, Zein mengambil undangan reuni yang dimaksud istrinya. Ternyata yang mengundang adalah teman SMA. Jadi kangen sama teman seangkatan yang dulu terkenal kompak di zamannya waktu memakai seragam putih abu-abu. Zein berencana tukar jadwal masuk kerja, untuk menghadiri acara reuni tersebut, karena jatah cutinya sudah habis."Yang, apa kamu mau ikut hadir di acara reuni teman SMA-ku?" tanya Zein kepada istrinya."Nggak, Mas Zein. Aku lihat hari itu jadwalnya berbenturan dengan jadwal masuk kerjaku. Lagipula aku juga tidak bisa tukar sama temanku. Dia ada acara lamaran adiknya di desa," jawab Risa."Beneran nih, tidak mau ikut? Apa tidak menyesal? Bagaimana kalau aku ketemu dengan mantan-mantanku? Apa kamu nanti tidak makin cemburu lagi seperti dulu?" goda Zein sambil tersenyum."Awas saja, kalau berani bertingkah laku macam-macam. Aku tidak akan tinggal diam!" ancam Risa sambil menyatukan dua kepalan tangannya.Zein hanya tersenyum melih
"Mas Zein, Ibu datang sambil teriak-teriak di depan pintu. Kamu yang bukakan pintu ya!" pinta Risa.Kalau nada suara ibu mertuanya sudah level tinggi. Pasti kalau bertemu dengan Risa, bawaannya marah-marah terus. Daripada jadi korban, lebih baik Risa menghindar saja. Biasanya tanpa sebab, dirinya kena damprat mertuanya."Ada apa, Bu? Pagi-pagi sudah gedor-gedor pintu," tegur Zein."Hu ... hu ...!" Tiba-tiba terdengar suara tangis Narita keras sekali."Bilang padaku, Bu! Apa yang terjadi? Kenapa Ibu menangis seperti ini?" Zein tampak khawatir."Ayahmu, Zein!""Apa yang terjadi pada Ayah, Bu? Sekarang Ibu masuk dulu. Setelah tenang baru cerita padaku." Zein berusaha menenangkan ibunya.Tanpa disuruh suaminya, Risa membuatkan teh hangat untuk mertuanya. Walaupun hatinya sering tersakiti oleh perkataan dan perbuatan ibu mertuanya, tetapi Risa berusaha tetap menghormati wanita di hadapannya itu sebagai ibu suaminya."Diminum dulu teh hangatnya, Bu. Supaya Ibu bisa lebih tenang," ucap Risa
"Waalaikum salam," jawab Risa kemudian segera melangkahkan kaki menuju pintu masuk. "Bapak, Ibu. Ayo masuk!" Risa mengajak bapak dan ibunya masuk ke rumah kontrakannya.Kedua orang tua Risa membawa beberapa kardus besar berisi berbagai macam makanan untuk diberikan kepada Risa. Memang adat di daerah kelahiran Risa, jika memasuki rumah baru, mereka akan berbagi makanan kepada tetangga kanan dan kirinya. Selain untuk berbagi juga agar mengenal tetangga baru. Walaupun mereka masih pindah di rumah kontrakan. Kemarin Risa sempat menghubungi orang tuanya untuk memberi tahu berita kehamilannya dan rencana pindah rumah. Kedua orang tua Risa sangat senang, karena akan mendapatkan cucu baru dan mendukung penuh keinginan anaknya tinggal berpisah dengan mertuanya. Bagi mereka anaknya lebih baik belajar hidup mandiri, agar dapat belajar mengarungi bahtera rumah tangga dan mendapatkan hikmah tersendiri atas pengalaman yang akan mereka hadapi kelak.Sebagai orang tua Risa, Agam dan Dewi hanya memb
"Biar aku yang keluar. Kamu tetap di sini saja," pesan Zein.Dengan langkah pelan, Zein menuju pintu, agar ketukan yang diberikan tidak semakin keras. Risa hanya melihatnya dari kejauhan. Kali ini Risa berperan sebagai penonton saja. Jika ikut menemui ibu mertuanya pasti akan berbuntut panjang."Ada apa, Bu? Risa lagi tak enak badan. Sekarang dia masih berada di atas tempat tidur," ucap Zein saat sudah berhadapan dengan ibunya."Ibu mau bicara sama istrimu."Narita langsung menyerobot masuk ke dalam kamar anaknya. Tanpa mempedulikan Zein yang berusaha menghalang-halanginya di depan pintu."Risa, enak benar kamu sekarang, ya! Apa memang begini maksud kedatanganmu di rumah ini? Ingin memisahkan Ibu dan anak lelakinya. Dulu sebelum menikahi kamu, Zein sudah bilang kalau akan tetap tinggal di sini menemaniku, tapi sekarang semuanya berubah! Zein lebih memilih tinggal bersama kamu daripada dengan Ibunya!" Narita tak sabar segera mengeluarkan segala uneg-uneg yang selama ini belum tersampai