Belum usai Risa melepaskan rasa lelahnya. Adik ipar sudah main perintah saja. Dia menyuruh Risa membuatkan sarapan pagi untuk keluarga dan kerabat suaminya.
"Mas, sebenarnya ada apa dengan keluargamu? Kenapa mereka seakan senang main perintah sana-sini? Apa mereka tidak bisa kasih dispensasi sedikit padaku? Aku sudah kecapekan, Mas! Kamu tahu sendiri, semalam aku hanya tidur dua jam menjelang Subuh. Sekarang malah disuruh mengerjakan semua pekerjaan rumah tanpa ada yang berinisiatif membantu," keluh Risa pada suaminya. "Katamu dulu kita harus baik dengan keluarga kedua belah pihak. Terdengar dari ucapanmu itu, sepertinya kamu begitu menyalahkan keluargaku," balas Zein dengan nada tak suka. "Bukannya begitu, Mas Zein. Aku ikhlas melakukan semua pekerjaan rumah di sini, tapi jangan terus semuanya dibebankan kepadaku. Kamu kan juga punya adik perempuan. Kenapa Ibumu tidak menyuruh Salma juga?" Risa berusaha meminta keadilan. "Sekarang masih banyak kerabat yang menginap di sini. Jangan sampai masalah seperti ini jadi bahan gunjingan keluarga besarku. Sebaiknya aku bantu kamu buat menyiapkan sarapan sekarang. Sudah tidak usah banyak protes," ucap Zein. Selama ini Zein memang sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga membantu ibunya. Jadi sekarang bukanlah hal baru bagi Zein, ketika harus membantu istrinya memasak ataupun bersih-bersih rumah. Akhirnya Risa yang mengalah. Daripada dia dan suaminya yang bertengkar. Lebih baik mereka segera membuatkan sarapan pagi seperti yang diinginkan oleh Narita. Setelah bekerja sama di dapur selama beberapa waktu, menu sarapan pagi kini sudah terhidang di meja makan. Tampak Narita tersenyum melihat hasil kerja menantunya. Kemudian dia mempersilakan semua keluarga dan juga kerabatnya untuk menyantap menu sarapan yang dihidangkan oleh menantunya. "Ternyata Mbak Narita punya menantu yang pintar masak. Zein pasti sangat beruntung," puji salah seorang kerabat Narita. "Ah, tidak juga. Kalau masak menu seperti ini sih, pasti banyak yang bisa. Apalagi Risa masih harus banyak belajar sebagai ibu rumah tangga. Zein itu sangat suka menu masakan yang macam-macam dan mintanya gonta-ganti terus. Jadi, sebagai istri yang baik harus banyak belajar lagi tentang menu masakan yang disukai suaminya." Narita tidak terima menantu perempuannya dipuji oleh kerabatnya. "Dik Risa, Ibu mertuamu itu ahli memasak. Kamu pasti tahu sendiri kalau Mbak Narita itu sering menerima pesanan nasi kotak. Jadi, sebaiknya kamu harus belajar terus sama Ibunya Zein," kata kerabat Zein yang lain. Risa hanya menanggapinya dengan senyuman. Percuma juga dikomentari. Pasti ibu mertuanya akan menyudutkannya lagi. Membuat orang lain menjadi tak menghargainya karena perkataan mertuanya sendiri. "Saya permisi dulu, lagi tidak enak badan," pamit Risa kemudian dia menuju kamarnya, tanpa makan sesuap nasi pun. Risa hanya ingin istirahat sejenak. Pekerjaan rumah hari ini begitu menguras tenaganya. Hal yang paling membuat Risa merasa kesal, karena dia diperlakukan seperti asisten rumah tangga oleh ibu mertua dan juga adik iparnya tanpa diberi kesempatan untuk istirahat sejenak. Baru satu hari Risa tinggal di rumah mertuanya, tetapi rasanya sudah berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Dia tidak tahu kemungkinan besar suaminya mau diajak cari rumah kontrakan atau tidak. Sepertinya jika harus berlama-lama di sini hati dan pikiran Risa semakin suntuk. Saat statusnya belum menjadi istri Zein, keluarga suaminya itu begitu baik dalam memperlakukannya. Entah apa yang membuat sikap mereka berubah seratus delapan puluh derajat semenjak statusnya berubah menjadi nyonya Zein Prasetya. Risa sempat terlelap beberapa saat di kamarnya tanpa gangguan. Namun, tiba-tiba dia terbangun karena perutnya sudah berbunyi nyaring. Sepertinya dia harus segera mengisinya. Risa melangkahkan kaki keluar kamar dengan enggan. Berhubung perutnya tidak bisa diajak kompromi, dengan terpaksa Risa harus sarapan sekaligus makan siang karena jadwal sarapan Risa sudah terlambat. Sekarang situasi rumah mertuanya sudah sepi. Mungkin semua kerabat suaminya sudah pulang ke rumah masing-masing, sehingga tak lagi terdengar orang yang berbincang-bincang di rumah tamu ataupun ruang keluarga. Risa sangat terkejut saat sampai di ruang makan. Tampak di atas meja piring-piring kosong bekas makanan yang tadi dimasaknya. Tak ada lagi makanan yang tersisa. Kemudian Risa melanjutkan langkahnya menuju ke dapur. Siapa tahu masih ada makanan yang disisakan untuknya yang telah bersusah payah menyediakan banyak masakan, meskipun tadi dia belum sempat mencicipinya, karena rasa kantuk yang sudah tak tertahankan. "Astaghfirullah, benar-benar jahat ya keluarga Mas Zein. Aku yang masak, mereka yang menikmati dan menghabiskan semuanya." Risa berkali-kali mengucap Istighfar untuk meredakan rasa sesak di d4d4nya, akibat menahan emosi yang sekarang sudah di ubun-ubun. Sekarang Risa menuju ruang tamu. Tampak Zein sedang menonton televisi sendirian. Risa langsung menemui suaminya dan ingin mengeluarkan semua rasa tak nyaman yang ada di d4d4nya. "Mas, apa semua kerabatmu sudah pulang?" tanya Risa sambil duduk di sebelah suaminya. "Sudah," jawab Zein singkat. "Mas, perutku lapar. Kenapa tidak kamu sisakan makanan untukku?" tanya Risa sambil menatap suaminya. "Kukira kamu sudah makan. Jadi tidak kepikiran sama sekali untuk mengambilkan makanan untukmu," jawab Zein santai. "Kamu dan keluargamu sama saja. Kebangetan!" ucap Risa dengan nada kesal. "Kalau memang belum makan, sana masak mie instan saja. Kamu jangan terlalu berlebihan dalam menghvj4t keluargaku. Aku paling tak suka kalau keluarga yang aku sayangi terlihat buruk dan kamu cela setiap saat," tegas Zein. Risa ingin mendapatkan pembelaan dari suaminya. Namun, ternyata suaminya sama saja. Dia lebih membela keluarga daripada istrinya. "Kamu gak adil, Mas!" Risa segera menyingkir dari hadapan Zein. "Ya, Allah. Apa saja yang aku perbuat selalu salah di mata suami ataupun keluarganya. Aku harus bersikap bagaimana?" Tak terasa airmata Risa mengalir membasahi pipinya. Tak berapa lama, terdengar langkah kaki mendekati kamar yang Risa tempati. Dengan segera dia menghapus airmata yang sempat meluncur deras tanpa aba-aba darinya. Tampak Zein memasuki kamar kemudian mengambil tempat duduk di samping Risa. "Maafkan aku, Sayang. Tidak ada maksud menyakiti hatimu," ucap Zein sambil menggenggam jemari tangan istrinya. Risa hanya menoleh sesaat, tetapi dia tetap diam tak mengeluarkan suara sedikitpun untuk mengomentari apa yang dikatakan suaminya. "Jangan ngambek seperti itu. Nanti cantiknya jadi hilang," canda Zein berusaha meluluhkan hati Risa. Menanggapi gurauan Zein, Risa mulai menarik bibirnya membentuk senyuman tipis. Kemudian menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan. "Lupakan saja, Mas," ucap Risa. "Sekarang katanya kamu lagi lapar. Bagaimana kalau kita jalan-jalan keluar sambil cari makanan?" ajak Zein untuk menebus rasa bersalah karena sempat mengabaikan istrinya. "Beneran nih?" Zein menganggukkan kepala sambil tersenyum. "Ayo, cepetan," ucap Zein. "Sebentar, aku ganti baju dulu," jawab Risa. Risa segera beranjak dari tempat duduknya, kemudian berganti baju yang lebih tertutup. Setelah siap, keduanya keluar rumah untuk mencari makanan siap saji. "Mas Zein, mau ke mana?" tanya Salma ketika Zein dan Risa lewat di depannya. "Mau cari angin di luar," jawab Zein singkat. "Kalau begitu nitip belikan siomay yang jualan di ujung jalan. Dv1tnya sekalian dib4y4r1n ya!" lanjut Salma. "Beli saja sendiri," tolak Zein. "Lagi mager, Mas. Ayolah, kalau begitu Mbak Risa saja yang beliin. Satu bungkus doang!" ucap Risa kemudian melangkah pergi tanpa menunggu jawaban dari kakak iparnya. "Tuh, lihat sikap adikmu yang tidak punya sopan santun," gerutu Risa sambil menatap kepergian Salma. "Sudah, tidak usah dipikirin. Yuk, lanjut jalan saja," ajak Zein. Risa dan Zein berjalan beriringan menuju pintu depan. Kemudian mengendarai kendaraan roda dua menuju sebuah rumah makan yang tak jauh dari rumah Zein. Setelah sampai, mereka mencari tempat duduk di sudut ruangan. Ketika sedang berjalan menuju bangku yang diinginkan, mereka berpapasan dengan seorang wanita cantik. Dia menyapa Zein terlebih dahulu dengan sangat ramah. Sepertinya keduanya sudah lama saling kenal. Tak disangka dan diduga oleh Risa, wanita itu tiba-tiba saja m3ng3cvp kedua pipi Zein. Melihat hal itu, Risa sangat terkejut. Bagi Risa, sikap wanita itu sudah tak wajar. Apalagi tak ada penolakan dari suaminya. Hati Risa berdenyut sakit. Seperti tertvsvk benda tajam, tetapi tak ada d4r4h yang mengalir. Mata Risa menatap suaminya t4j4m, pertanda kalau dia sedang tidak baik-baik saja. Bersambung"Mas, seneng banget ya. Pakai acara c1vm-c1vm segala. Memangnya dia siapa?" bisik Risa dengan hati yang terasa remuk redam.Seperti mengerti apa yang berkecamuk dalam hati Risa, wanita yang berdiri di depan Zein itu segera memperkenalkan diri kepada Risa."Kenalkan namaku Anggun," ucapnya tersenyum manis sambil mengulurkan tangannya.Dengan berat hati, Risa menyambut uluran tangan wanita itu. Sepertinya Risa pernah mendengar nama itu. Nama yang tak asing di telinganya. Setelah beberapa saat, dia baru teringat sesuatu. Dulu Salma pernah bercerita tentang wanita yang bernama Anggun. Dia adalah pacar terakhir Zein sebelum mengenal Risa. Mereka berpisah karena beda status ekonomi, sehingga tak direstui oleh orang tua pihak perempuan."Namaku Risa--istrinya Mas Zein. Apa Mbak Anggun sekarang sudah menikah?" Risa merasa perlu bertanya tentang status Anggun, supaya dia bisa lebih waspada atas kemungkinan suami dan mantan pacarnya itu balikan lagi."Sudah," jawab Anggun cepat."Maaf ya, kalau
"Apa saja dua permintaan itu?" tanya Zein penasaran."Yang pertama kamu harus bisa membuktikan kalau memang sudah tidak ada perasaan cinta lagi kepada Anggun dan yang kedua--." Risa menghentikan ucapannya sejenak."Kalau masalah Anggun, memang kami sudah tidak ada hubungan lagi. Saat kita bertemu tadi memang benar-benar tanpa disengaja. Aku bisa pastikan kalau saat ini hatiku hanya untukku," ucap Zein mantap."Baik, aku pegang ucapanmu, Mas," lanjut Risa."Bagaimana dengan hal yang kedua?" sambung Zein."Hem ..., aku ingin kita pindah dari sini dan tinggal di kontrakan saja," ucap Risa lirih."Tinggal di kontrakan? Di rumah ini masih ada kamar kosong untuk kita tempati. Kenapa harus pindah?" Zein merasa keberatan dengan permintaan istrinya."Ingat, Mas. Kamu sudah janji untuk menuruti permintaanku!" kata Risa mengingatkan janji yang baru saja diucapkan suaminya."Apakah permintaan kedua itu bisa diganti? Perlu kamu tahu, kalau ibuku sangat menginginkan kita tetap tinggal bersamanya. B
"Ibuku memang punya watak yang keras, tapi sebenarnya dia sangat menyayangi anak-anaknya. Dia sangat tidak suka kalau keinginannya dibantah. Jadi untuk sementara kita tetap tinggal di sini dulu saja. Daripada harus selalu bertengkar dengan Ibu. Kan ada alternatif lain. Masih ingat apa yang Ibuku katakan?" tanya Zein."Perkataan yang mana? Banyak sekali yang dikatakan Ibumu. Aku tidak ingat," jawab Risa tak bersemangat."Ibu kan bilang, akan mengizinkan kita kontrak rumah kalau kamu sudah h4m1l. Jadi segera saja kita buat dedek bayi," lanjut Zein dengan senyuman penuh arti."Kamu semangat banget kalau masalah begituan," sungut Risa."Namanya juga pengantin baru, pasti lagi semangat banget ini. Ingin cepat pindah rumah atau tidak?" tanya Zein."Baiklah kalau begitu. Daripada aku harus makan hati tinggal di sini terus," jawab Risa setuju dengan pendapat Zein."Yuk, gak pakai lama!" lanjut Zein bersemangat."Tunggu sebentar!" cegah Risa."Apalagi, Sayang?" Zein semakin tak sabar."Ingat t
Setelah mendengar penjelasan suaminya, Risa segera menyelesaikan kegiatan membersihkan diri. Tak lebih dari sepuluh menit dia sudah keluar kamar mandi. Padahal biasanya Risa paling suka berlama-lama di sana untuk mendinginkan badannya. Semua itu karena udara di kota Surabaya memang berhawa pa nas dan hanya didinginkan dengan kipas angin yang tidak begitu besar.Setelah siap, Risa segera menemui suaminya yang sudah menunggu di ruang tamu. Tampak Zein sudah siap dengan kunci kontak kendaraan roda duanya."Mas Zein, sebenarnya yang buka usaha katering itu siapa? Kok, jadi semuanya pekerjaan dilimpahkan padaku?" gerutu Risa."Sudahlah, Sayang! Jangan bahas masalah itu lagi. Kita hanya bantu Ibu tidak lebih dari tiga hari. Siapa tahu nanti bisa meneruskan usaha katering yang ibu lakukan sekarang ini. Jadi kamu nggak perlu lagi kerja sama orang lain," jawab Zein."Aku belum kepikiran ke arah sana," sambung Risa."Setelah ini, kita kembali pada aktivitas pekerjaan masing-masing. Makanya kamu
"Ah, kamu bisa saja, Desy. Aku menganggap Anton sebagai teman biasa. Seperti hubunganku sama kamu," ucap Risa menanggapi godaan Desy--teman satu stand dengannya."Mungkin anggapanmu seperti itu, tapi bagi Anton kamu adalah wanita spesial. Ketika mendengar kamu tidak masuk kerja karena menikah, dia kecewa berat. Dia cerita banyak tentang rasa kagumnya kepadamu," lanjut Desy."Terus aku harus bagaimana dalam bersikap kepadanya? Tidak mungkin aku memberikan harapan semu kepadanya. Apalagi sekarang aku jelas-jelas sudah menikah dengan lelaki yang kucintai," tutur Risa merasa serba salah.Dua bulan telah berlalu. Kehidupan rumah tangga Zein dan Risa masih saja dicampuri oleh ibu mertuanya. Selama tinggal di rumah orang tua Zein, Risa harus siap disuruh-suruh. Apalagi untuk menangani urusan dapur, Risa yang paling bisa diperintah ini dan itu. Sedangkan Salma sudah terbiasa mengabaikan semua pekerjaan rumah. Jika sudah ada kakak iparnya yang bisa mengerjakan semua pekerjaan domestik dan per
"Aku lagi ingin sesuatu, tapi suamiku gak mau nurutin permintaanku," jawab Risa sedih.Entah kenapa keinginan itu begitu besar untuk bisa makan mangga muda. Hatinya kesal sekali dengan perkataan suaminya tadi. Sepertinya Zein tidak perhatian lagi padanya."Memangnya, Mbak Risa mau apa? Mungkin aku bisa mencarikannya." Anton menawarkan bantuan."Apa kamu mau bantu aku?" tanya Risa tidak percaya."Asalkan aku mampu, apapun permintaan Mbak Risa akan aku usahakan untuk bisa terpenuhi," jawab Anton penuh percaya diri."Tapi kamu jangan tertawa, ya." Risa sebenarnya merasa tidak enak jika melibatkan Anton untuk memenuhi permintaannya. Namun, keinginannya sangat besar dan tak bisa dicegah."Aku hanya ingin makan mangga muda. Tadi waktu berangkat, aku sempat melihat di pinggir jalan ada mangga muda, tapi Mas Zein tidak mau minta pada pemiliknya," keluh Risa."Oh, hanya mangga muda! Nanti waktu istirahat, aku carikan untuk Mbak Risa. Jadi tidak usah sedih lagi ya." Ucapan Anton membuat Risa me
Risa merasakan ada telapak tangan yang mengusap pipinya. Matanya berusaha dibuka. Namun, saat menghirup aroma tubuh Zein, perut Risa seakan diaduk-aduk kembali. Dengan secepat kilat, dia langsung terbangun dari peraduan dan berlari menuju kamar mandi untuk menuntaskan rasa mualnya."Hoek ... hoek!"Kembali Risa mengeluarkan isi perutnya, hingga badannya menjadi lemas dan wajahnya pucat. Ketika baru saja membuka pintu kamar mandi, kepala Risa terasa pusing, perut mual, mata berkunang-kunang. Akhirnya Risa tak mampu lagi menahan keseimbangan tubuhnya. Semua tampak gelap, Risa pun jatuh pingsan.Untung saja Zein sudah bersiap menunggu di depan pintu kamar mandi, sehingga badan Risa tak sampai terjatuh di lantai karena dengan sigap suaminya menangkap tubuh istrinya."Sayang, ayo bangun!" Zein kemudian membopong tubuh istrinya dan meletakkannya di tempat tidur.Sekitar sepuluh menit Risa pingsan. Seluruh badannya sudah diberi minyak angin, agar kesadarannya segera pulih. Zein merasa khawat
"Tadi ada sepeda motor yang memotong jalan, tanpa memberi tanda. Jadi, saya tekan rem mendadak untuk menghindari terjadinya kecelakaan. Maaf, Pak. Atas ketidaknyamanannya," jawab sopir itu. Dia merasa bersalah karena tindakannya yang membuat penumpangnya terkejut."Iya, tidak apa-apa. Tapi lain kali jangan diulangi lagi, karena bisa membahayakan penumpang," pesan Zein.Tak terasa, mereka sudah sampai di depan rumah. Dengan hati-hati, Zein mengiringi langkah kaki Risa yang masih lemah.Di ruang keluarga, tampak keluarga Zein sedang berkumpul. Ada ayah dan ibu mertua, serta adik ipar Risa sedang menonton acara televisi. Zein langsung mengajak Risa masuk kamar, supaya istrinya bisa beristirahat sesuai dengan pesan Bidan Ratna. Setelah mengantar Risa istirahat, Zein kembali ke tempat semua anggota keluarganya berkumpul. Dia akan membicarakan keadaan Risa saat ini yang tidak boleh melakukan pekerjaan berat.Zein menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan untuk menenangk
Hampir sebulan Zein harus bolak-balik antara rumah dan kontrakannya sendiri. Bahkan, dia malah jarang bermalam di rumah kontrakannya. Di lain sisi, Risa sangat membutuhkan kehadiran Zein selama kondisi me ngan dung anak pertamanya. Demi mendukung bakti suami pada ibunya, Risa berusaha mengalah.Sebenarnya sejak Anggun mulai datang kembali ke rumah mertuanya, Risa sudah merasa tidak nyaman. Bukannya tidak percaya dengan kesetiaan suaminya, tapi lebih kepada adanya kesempatan yang terbentang di antara mereka untuk saling bertemu. Kucing akan makan ikan, jika disuguhkan kepadanya. Demikian juga Zein yang akan lebih sering bertemu dengan Anggun dibandingkan dengan istrinya sendiri. Ada kemungkinan, rasa cinta yang pernah ada di antara mereka kembali bersemi. Risa tidak menginginkan hal itu.Untuk mengatasi perasaan yang berkecamuk di hatinya, Risa ingin membahas masalah ini dengan suaminya, daripada dia merasa tidak tenang dengan kondisi rumah tangganya. Risa ingin ha mil tanpa banyak pik
Risa penasaran siapa sebenarnya tamu yang disambut oleh adik iparnya itu. Sepertinya ada tamu istimewa yang sengaja ditunggu kedatangannya.Deg!"Anggun? Kenapa dia bisa tahu kalau Ibu mertuaku akan pulang hari ini?" lirih Risa dengan penuh tanda tanya. Tampak Salma menggandeng tangan Anggun dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Anggun, menatap sekilas ke arah Risa. Entah mengapa, perasaan Risa tak enak dengan adanya Anggun di rumah ini. Pikirannya langsung tertuju pada suaminya. Apakah Anggun sengaja diberitahu oleh Salma atau Zein, agar dia menjenguk ibu mertuanya?Risa jadi teringat dengan janji Zein untuk tidak menjalin hubungan apapun dengan Anggun, tapi pada kenyataannya sangatlah berbeda. Kenapa Salma seolah-olah lebih menunggu kehadiran Anggun di rumah ini, daripada dirinya yang mana statusnya jelas-jelas sebagai menantu yang sah."Eh, ternyata Mbak Risa juga sudah ada di sini. Maaf, aku datang ke sini rencananya ikut menjemput Ibunya Salma. Kemarin aku dihubungi Salma, katan
Baru saja masuk ke ruangan di mana mertuanya dirawat, sudah terdengar suara sumbang dari adik iparnya. Ingin rasanya me nam par mu lut Salma yang selalu menyakiti hatinya. Siapa juga yang menginginkan hal buruk terjadi pada mertuanya. Dia sudah berusaha mencegah, tapi ibu mertuanya sendiri yang mengundang penyakit."Tolong dijaga bicaranya. Aku keluar bukannya kelayapan, tapi memeriksakan kandunganku. Dari tadi aku yang mengurus semua kebutuhan Ibu di sini." Tak tahan juga rasanya untuk menjawab setiap omongan Salma yang tak enak didengar telinga."Halah, alasan. Lihat apa yang telah kamu lakukan. Ibu sakit gara-gara makanan yang kamu masak. Awas saja kalau terjadi hal yang tidak diinginkan pada Ibu," cecar Salma."Per-gi ka-mu Ri-sa!" Narita yang masih terbaring lemah tega-teganya mengusir menantunya. Padahal, kalau Risa tidak segera membawanya ke rumah sakit. Nyawa Narita tidak bisa tertolong. Ibu dan anak sama-sama tidak punya hati. Sudah ditolong, tapi malah yang menolong dica ci
"Mas Zein, kamu cepat pulang! Ibu baru saja jatuh di kamar mandi," ucap Risa panik, karena mertuanya tidak sadarkan diri sampai sekarang."Kenapa bisa jatuh di kamar mandi? Pasti kamu tidak pernah membersihkan lantai kamar mandi, sehingga Ibu terpeleset saat masuk kamar mandi!" cetus Zein pada istrinya dengan nada kesal."Kok, malah nyalahin aku! Semenjak aku hamil, kamu 'kan yang bertugas membersihkan kamar mandi? Sudahlah, jangan mengajak berdebat di telepon, Mas Zein. Lebih baik, kamu cepat pulang. Setelah itu, kita bawa Ibu ke ru mah sa kit terdekat!" ujar Risa merasa jengkel, karena mendapatkan tuduhan yang begitu menyudutkannya sebagai orang yang terakhir bersama Narita--ibunya Zein."Lebih baik, kamu minta bantuan tetangga untuk mengantar Ibu ke ru mah sa kit. Takut ada apa-apa yang terjadi pada Ibu, jika tidak segera mendapat pertolongan. Nanti kirim saja lokasi ru mah sa kitnya. Aku akan segera menyusul," pungkas Zein kemudian menutup sambungan ponselnya.Zein begitu cemas se
Kening Zein berkerut. Bagaimana istrinya tidak marah seperti ini. Lama-lama Sarah nekat juga. Urusan rumah tangganya saja belum selesai. Bagaimana bisa dia menawarkan sebuah hubungan yang mampu membuat dua keluarga berantakan?"Kenapa, Mas Zein? Apa wanita itu mengirimkan pesan untukmu?" desak Risa.Zein hanya menganggukkan kepalanya. Secara refleks dia menyerahkan ponsel kepada istrinya. Dengan rasa tak menentu dia menerima ponsel milik suaminya. Kemudian Risa membaca isi pesan dari Sarah. Kini matanya membulat. Tak disangka, wanita yang bernama Sarah itu begitu blak-blakan mengungkapkan rasa cintanya kepada Zein. Bahkan, menginginkan menjadi istri kedua Zein. Perasaan Risa kini campur aduk. Mantan Zein yang bernama Anggun yang ditemuinya beberapa waktu yang lalu, masih mampu menjaga imagenya. Sedangkan Sarah langsung to the point meminta agar dirinya dijadikan istri kedua. Risa menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan-lahan. Dia berusaha melonggarkan d4d4nya ya
Setelah selesai menghabiskan makanan hasil karya Risa, Zein mengambil undangan reuni yang dimaksud istrinya. Ternyata yang mengundang adalah teman SMA. Jadi kangen sama teman seangkatan yang dulu terkenal kompak di zamannya waktu memakai seragam putih abu-abu. Zein berencana tukar jadwal masuk kerja, untuk menghadiri acara reuni tersebut, karena jatah cutinya sudah habis."Yang, apa kamu mau ikut hadir di acara reuni teman SMA-ku?" tanya Zein kepada istrinya."Nggak, Mas Zein. Aku lihat hari itu jadwalnya berbenturan dengan jadwal masuk kerjaku. Lagipula aku juga tidak bisa tukar sama temanku. Dia ada acara lamaran adiknya di desa," jawab Risa."Beneran nih, tidak mau ikut? Apa tidak menyesal? Bagaimana kalau aku ketemu dengan mantan-mantanku? Apa kamu nanti tidak makin cemburu lagi seperti dulu?" goda Zein sambil tersenyum."Awas saja, kalau berani bertingkah laku macam-macam. Aku tidak akan tinggal diam!" ancam Risa sambil menyatukan dua kepalan tangannya.Zein hanya tersenyum melih
"Mas Zein, Ibu datang sambil teriak-teriak di depan pintu. Kamu yang bukakan pintu ya!" pinta Risa.Kalau nada suara ibu mertuanya sudah level tinggi. Pasti kalau bertemu dengan Risa, bawaannya marah-marah terus. Daripada jadi korban, lebih baik Risa menghindar saja. Biasanya tanpa sebab, dirinya kena damprat mertuanya."Ada apa, Bu? Pagi-pagi sudah gedor-gedor pintu," tegur Zein."Hu ... hu ...!" Tiba-tiba terdengar suara tangis Narita keras sekali."Bilang padaku, Bu! Apa yang terjadi? Kenapa Ibu menangis seperti ini?" Zein tampak khawatir."Ayahmu, Zein!""Apa yang terjadi pada Ayah, Bu? Sekarang Ibu masuk dulu. Setelah tenang baru cerita padaku." Zein berusaha menenangkan ibunya.Tanpa disuruh suaminya, Risa membuatkan teh hangat untuk mertuanya. Walaupun hatinya sering tersakiti oleh perkataan dan perbuatan ibu mertuanya, tetapi Risa berusaha tetap menghormati wanita di hadapannya itu sebagai ibu suaminya."Diminum dulu teh hangatnya, Bu. Supaya Ibu bisa lebih tenang," ucap Risa
"Waalaikum salam," jawab Risa kemudian segera melangkahkan kaki menuju pintu masuk. "Bapak, Ibu. Ayo masuk!" Risa mengajak bapak dan ibunya masuk ke rumah kontrakannya.Kedua orang tua Risa membawa beberapa kardus besar berisi berbagai macam makanan untuk diberikan kepada Risa. Memang adat di daerah kelahiran Risa, jika memasuki rumah baru, mereka akan berbagi makanan kepada tetangga kanan dan kirinya. Selain untuk berbagi juga agar mengenal tetangga baru. Walaupun mereka masih pindah di rumah kontrakan. Kemarin Risa sempat menghubungi orang tuanya untuk memberi tahu berita kehamilannya dan rencana pindah rumah. Kedua orang tua Risa sangat senang, karena akan mendapatkan cucu baru dan mendukung penuh keinginan anaknya tinggal berpisah dengan mertuanya. Bagi mereka anaknya lebih baik belajar hidup mandiri, agar dapat belajar mengarungi bahtera rumah tangga dan mendapatkan hikmah tersendiri atas pengalaman yang akan mereka hadapi kelak.Sebagai orang tua Risa, Agam dan Dewi hanya memb
"Biar aku yang keluar. Kamu tetap di sini saja," pesan Zein.Dengan langkah pelan, Zein menuju pintu, agar ketukan yang diberikan tidak semakin keras. Risa hanya melihatnya dari kejauhan. Kali ini Risa berperan sebagai penonton saja. Jika ikut menemui ibu mertuanya pasti akan berbuntut panjang."Ada apa, Bu? Risa lagi tak enak badan. Sekarang dia masih berada di atas tempat tidur," ucap Zein saat sudah berhadapan dengan ibunya."Ibu mau bicara sama istrimu."Narita langsung menyerobot masuk ke dalam kamar anaknya. Tanpa mempedulikan Zein yang berusaha menghalang-halanginya di depan pintu."Risa, enak benar kamu sekarang, ya! Apa memang begini maksud kedatanganmu di rumah ini? Ingin memisahkan Ibu dan anak lelakinya. Dulu sebelum menikahi kamu, Zein sudah bilang kalau akan tetap tinggal di sini menemaniku, tapi sekarang semuanya berubah! Zein lebih memilih tinggal bersama kamu daripada dengan Ibunya!" Narita tak sabar segera mengeluarkan segala uneg-uneg yang selama ini belum tersampai