"Ah, kamu bisa saja, Desy. Aku menganggap Anton sebagai teman biasa. Seperti hubunganku sama kamu," ucap Risa menanggapi godaan Desy--teman satu stand dengannya.
"Mungkin anggapanmu seperti itu, tapi bagi Anton kamu adalah wanita spesial. Ketika mendengar kamu tidak masuk kerja karena menikah, dia kecewa berat. Dia cerita banyak tentang rasa kagumnya kepadamu," lanjut Desy. "Terus aku harus bagaimana dalam bersikap kepadanya? Tidak mungkin aku memberikan harapan semu kepadanya. Apalagi sekarang aku jelas-jelas sudah menikah dengan lelaki yang kucintai," tutur Risa merasa serba salah. Dua bulan telah berlalu. Kehidupan rumah tangga Zein dan Risa masih saja dicampuri oleh ibu mertuanya. Selama tinggal di rumah orang tua Zein, Risa harus siap disuruh-suruh. Apalagi untuk menangani urusan dapur, Risa yang paling bisa diperintah ini dan itu. Sedangkan Salma sudah terbiasa mengabaikan semua pekerjaan rumah. Jika sudah ada kakak iparnya yang bisa mengerjakan semua pekerjaan domestik dan perdapuran, buat apa Salma harus susah-susah mengerjakan pekerjaan rumah. Bisa-bisa jemari tangannya jadi kasar dan rusak. Kalau begitu rugi rasanya, sudah keluar biaya banyak untuk menicure pedicure. Meskipun sudah ikhlas disuruh melakukan semua pekerjaan rumah, tetapi Risa tidak pernah diakui kemampuannya dalam menyelesaikan urusan rumah tangga. Ada saja yang kurang menurut mertuanya. Padahal dalam hati, Narita sangat senang dengan keberadaan menantunya selama tinggal bersamanya. Kini rumah Narita selalu bersih, karena ada campur tangan dari menantunya. Dia juga tidak perlu keluar uang untuk membantunya mengerjakan pesanan makanan atau kue-kue. Padahal selama ini Narita selalu membayar tetangga untuk membantu meringankan pekerjaannya dalam mengurusi pesanan makanan dan minuman. "Wow, banyak juga penghasilanku bulan ini. Itu karena aku tak perlu lagi berbagi dengan para tetanggaku. Beruntung sekali, karena itu aku harus terus melarang, jika Zein dan istrinya memaksa untuk pindah ke rumah kontrakan. Mumpung ada pembantu gratisan. Harus pandai memanfaatkan situasi dan kondisi," gumam Narita dengan mata berbinar-binar penuh suka cita. Di dalam kamarnya, Narita menjadikan lembaran kertas berwarna merah yang punya nilai tinggi itu menjadi kipas dadakan. **** "Hoek ...! Kenapa tiba-tiba perutku merasa mual seperti diaduk-aduk? Kepala juga terasa berat," lirih Risa sambil memegangi kepalanya. Dengan sedikit sempoyongan, Risa berjalan menuju kamar mandi. Rasanya ingin mengeluarkan semua isi yang ada di perutnya. Zein terbangun saat mendengar istrinya muntah-muntah di kamar mandi. "Sayang, kamu baik-baik saja di situ?" tanya Zein mengkhawatirkan keadaan istrinya. "Tidak tahu, Mas Zein. Mendadak perutku rasanya mual dan ingin mvnt4h. Padahal, aku belum makan apapun," jawab Risa. Setelah beberapa saat di kamar mandi, Risa keluar dengan wajah pucat. Hal itu, membuat Zein merasa khawatir. Mungkin Risa kelelahan atau masuk angin. Zein meminta Risa untuk ambil cuti lagi. Dia tidak tega ketika dalam keadaan tidak sehat seperti itu, istrinya harus tetap masuk kerja. "Sayang, lebih baik kamu jangan masuk kerja dulu. Tukar saja sama teman jadwal masuknya atau ambil cuti lagi satu hari," ucap Zein dengan rasa khawatir. "Aku harus tetap masuk kerja, Mas Zein." "Kamu sekarang lagi sakit, Risa. Apa perlu aku izinkan ke bos kamu secara langsung?" Zein jengkel dengan istrinya yang keras kepala. "Jatah cutiku sudah habis. Aku juga tidak bisa tukar sama teman, karena dia lagi pulang kampung. Ibunya masuk rumah sakit. Jadi, dia ambil cuti tiga hari," jawab Risa memberi alasan. Risa berusaha menguatkan dirinya untuk tetap bekerja, meskipun kondisinya sedang tidak baik-baik saja. "Kalau begitu, segera bersiap saja. Hari ini, kamu tidak usah bersih-bersih rumah atau masak. Nanti bekalnya beli saja di luar." Risa hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda setuju. Hari ini, Zein dan Risa berangkat lebih awal. Namun, saat mau pamitan pada ibu mertuanya, hanya ucapan tidak menyenangkan yang harus didengar oleh Risa. "Hei, kalian mau berangkat saja. Lihat, di meja belum ada makanan apapun!" protes Narita. "Hari ini, Risa memang kularang memasak, Bu. Dia lagi tidak enak badan. Nanti kami juga beli makanan di luar saja untuk bekal kerja," jawab Zein menanggapi keberatan ibunya. "Kamu jangan mudah percaya begitu saja pada istrimu. Paling dia hanya ingin bermalas-malasan. Dasar istri manja!" gerutu Narita. "Kami berangkat dulu, Bu." Zein tidak mempedulikan ucapan ibunya. Segera diraihnya tangan Narita untuk berpamitan. Namun, saat Risa melakukan hal yang sama dengan suaminya, Narita langsung menepis tangan menantunya itu. Melihat kelakuan ibu mertuanya, Risa berusaha untuk tidak lagi peduli dengan apa yang dikatakan ataupun dilakukan ibunya Zein. Lebih baik dia segera pergi dari hadapan mertuanya yang tak pernah bersikap baik padanya. "Semakin hari, sikap Ibumu bertambah buruk kepadaku. Aku sudah tidak tahan, jika tetap harus tinggal satu atap dengan Ibu mertua. Lebih baik kita saja yang segera pindah dari rumah itu. Aku ingin menjaga kewarasanku, Mas," keluh Risa saat perjalanan menuju tempat kerjanya. "Kenapa itu lagi yang kamu bicarakan sih, Sayang? Jangan buat aku serba salah, karena harus membela salah satu dari kalian berdua," ucap Zein. Tiba-tiba Risa menahan salivanya, saat melihat mangga muda yang ada di depan rumah seseorang yang tak dikenalnya. "Mas Zein, berhenti!" Saat mendengar seruan Risa, Zein langsung menghentikan laju kendaraannya, hingga kepala Risa membentur helm suaminya. "Auw, sakit! Kalau berhenti jangan mendadak!" protes Risa meringis kesakitan sambil mengusap kepalanya. "Kenapa kamu tiba-tiba menyuruhku berhenti, Sayang?" tanya Zein sambil memutar pinggangnya ke arah belakang. "Aku ingin itu!" jawab Risa sambil jari telunjuknya mengarah ke suatu tempat. "Maksudnya kamu ingin apa?" tanya Zein tak paham dengan permintaan Risa. "Apa kamu bisa mintakan mangga muda itu untukku, Mas Zein?" pinta Risa sambil menunjuk pohon mangga yang letaknya tak jauh dari posisi mereka saat ini. "Apa-apaan sih, kamu! Ini masih pagi, kamu juga belum sarapan. Bisa sakit perut nanti. Lagi pula, mangga itu masih muda, pasti tidak boleh diminta sama yang punya. Kalau kamu memang pingin banget. Nanti saja setelah pulang kerja, aku belikan mangga yang sudah matang di pasar." Zein berusaha menolak permintaan Risa. Tanpa mempedulikan permintaan istrinya, Zein langsung menyalakan kembali sepeda motornya menuju tempat kerja. Sebenarnya Risa ingin sekali makan mangga muda itu, tapi suaminya malah melarang. Hati Risa merasa jengkel pada suaminya, meskipun tak diungkapkan. Beberapa saat kemudian, Zein menghentikan kendaraannya di warung makan pinggir jalan untuk sarapan dan bawa bekal. "Yang, kamu ingin makan apa?" tanya Zein. "Aku nggak ingin sarapan, minum air jeruk hangat saja. Makanannya dibungkus buat bekal nanti kalau sudah lapar," jawab Risa. "Baiklah kalau begitu," jawab Zein. Setelah makanan yang mereka pesan selesai dibungkus, perjalanan dilanjutkan. Perut Risa masih terasa mual-mual. Perjalanan pagi ini yang sebenarnya hanya sebentar, terasa begitu lama dan tidak segera sampai tujuan. Pikiran Risa masih tertuju pada mangga muda yang dilihatnya tadi. Hingga mereka telah sampai di tempat kerja Risa. Dia pun segera berpamitan kepada suaminya. "Mbak Risa, kenapa pagi-pagi mukanya sudah ditekuk?" sapa Anton ramah. Bersambung"Aku lagi ingin sesuatu, tapi suamiku gak mau nurutin permintaanku," jawab Risa sedih.Entah kenapa keinginan itu begitu besar untuk bisa makan mangga muda. Hatinya kesal sekali dengan perkataan suaminya tadi. Sepertinya Zein tidak perhatian lagi padanya."Memangnya, Mbak Risa mau apa? Mungkin aku bisa mencarikannya." Anton menawarkan bantuan."Apa kamu mau bantu aku?" tanya Risa tidak percaya."Asalkan aku mampu, apapun permintaan Mbak Risa akan aku usahakan untuk bisa terpenuhi," jawab Anton penuh percaya diri."Tapi kamu jangan tertawa, ya." Risa sebenarnya merasa tidak enak jika melibatkan Anton untuk memenuhi permintaannya. Namun, keinginannya sangat besar dan tak bisa dicegah."Aku hanya ingin makan mangga muda. Tadi waktu berangkat, aku sempat melihat di pinggir jalan ada mangga muda, tapi Mas Zein tidak mau minta pada pemiliknya," keluh Risa."Oh, hanya mangga muda! Nanti waktu istirahat, aku carikan untuk Mbak Risa. Jadi tidak usah sedih lagi ya." Ucapan Anton membuat Risa me
Risa merasakan ada telapak tangan yang mengusap pipinya. Matanya berusaha dibuka. Namun, saat menghirup aroma tubuh Zein, perut Risa seakan diaduk-aduk kembali. Dengan secepat kilat, dia langsung terbangun dari peraduan dan berlari menuju kamar mandi untuk menuntaskan rasa mualnya."Hoek ... hoek!"Kembali Risa mengeluarkan isi perutnya, hingga badannya menjadi lemas dan wajahnya pucat. Ketika baru saja membuka pintu kamar mandi, kepala Risa terasa pusing, perut mual, mata berkunang-kunang. Akhirnya Risa tak mampu lagi menahan keseimbangan tubuhnya. Semua tampak gelap, Risa pun jatuh pingsan.Untung saja Zein sudah bersiap menunggu di depan pintu kamar mandi, sehingga badan Risa tak sampai terjatuh di lantai karena dengan sigap suaminya menangkap tubuh istrinya."Sayang, ayo bangun!" Zein kemudian membopong tubuh istrinya dan meletakkannya di tempat tidur.Sekitar sepuluh menit Risa pingsan. Seluruh badannya sudah diberi minyak angin, agar kesadarannya segera pulih. Zein merasa khawat
"Tadi ada sepeda motor yang memotong jalan, tanpa memberi tanda. Jadi, saya tekan rem mendadak untuk menghindari terjadinya kecelakaan. Maaf, Pak. Atas ketidaknyamanannya," jawab sopir itu. Dia merasa bersalah karena tindakannya yang membuat penumpangnya terkejut."Iya, tidak apa-apa. Tapi lain kali jangan diulangi lagi, karena bisa membahayakan penumpang," pesan Zein.Tak terasa, mereka sudah sampai di depan rumah. Dengan hati-hati, Zein mengiringi langkah kaki Risa yang masih lemah.Di ruang keluarga, tampak keluarga Zein sedang berkumpul. Ada ayah dan ibu mertua, serta adik ipar Risa sedang menonton acara televisi. Zein langsung mengajak Risa masuk kamar, supaya istrinya bisa beristirahat sesuai dengan pesan Bidan Ratna. Setelah mengantar Risa istirahat, Zein kembali ke tempat semua anggota keluarganya berkumpul. Dia akan membicarakan keadaan Risa saat ini yang tidak boleh melakukan pekerjaan berat.Zein menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan untuk menenangk
"Biar aku yang keluar. Kamu tetap di sini saja," pesan Zein.Dengan langkah pelan, Zein menuju pintu, agar ketukan yang diberikan tidak semakin keras. Risa hanya melihatnya dari kejauhan. Kali ini Risa berperan sebagai penonton saja. Jika ikut menemui ibu mertuanya pasti akan berbuntut panjang."Ada apa, Bu? Risa lagi tak enak badan. Sekarang dia masih berada di atas tempat tidur," ucap Zein saat sudah berhadapan dengan ibunya."Ibu mau bicara sama istrimu."Narita langsung menyerobot masuk ke dalam kamar anaknya. Tanpa mempedulikan Zein yang berusaha menghalang-halanginya di depan pintu."Risa, enak benar kamu sekarang, ya! Apa memang begini maksud kedatanganmu di rumah ini? Ingin memisahkan Ibu dan anak lelakinya. Dulu sebelum menikahi kamu, Zein sudah bilang kalau akan tetap tinggal di sini menemaniku, tapi sekarang semuanya berubah! Zein lebih memilih tinggal bersama kamu daripada dengan Ibunya!" Narita tak sabar segera mengeluarkan segala uneg-uneg yang selama ini belum tersampai
"Waalaikum salam," jawab Risa kemudian segera melangkahkan kaki menuju pintu masuk. "Bapak, Ibu. Ayo masuk!" Risa mengajak bapak dan ibunya masuk ke rumah kontrakannya.Kedua orang tua Risa membawa beberapa kardus besar berisi berbagai macam makanan untuk diberikan kepada Risa. Memang adat di daerah kelahiran Risa, jika memasuki rumah baru, mereka akan berbagi makanan kepada tetangga kanan dan kirinya. Selain untuk berbagi juga agar mengenal tetangga baru. Walaupun mereka masih pindah di rumah kontrakan. Kemarin Risa sempat menghubungi orang tuanya untuk memberi tahu berita kehamilannya dan rencana pindah rumah. Kedua orang tua Risa sangat senang, karena akan mendapatkan cucu baru dan mendukung penuh keinginan anaknya tinggal berpisah dengan mertuanya. Bagi mereka anaknya lebih baik belajar hidup mandiri, agar dapat belajar mengarungi bahtera rumah tangga dan mendapatkan hikmah tersendiri atas pengalaman yang akan mereka hadapi kelak.Sebagai orang tua Risa, Agam dan Dewi hanya memb
"Mas Zein, Ibu datang sambil teriak-teriak di depan pintu. Kamu yang bukakan pintu ya!" pinta Risa.Kalau nada suara ibu mertuanya sudah level tinggi. Pasti kalau bertemu dengan Risa, bawaannya marah-marah terus. Daripada jadi korban, lebih baik Risa menghindar saja. Biasanya tanpa sebab, dirinya kena damprat mertuanya."Ada apa, Bu? Pagi-pagi sudah gedor-gedor pintu," tegur Zein."Hu ... hu ...!" Tiba-tiba terdengar suara tangis Narita keras sekali."Bilang padaku, Bu! Apa yang terjadi? Kenapa Ibu menangis seperti ini?" Zein tampak khawatir."Ayahmu, Zein!""Apa yang terjadi pada Ayah, Bu? Sekarang Ibu masuk dulu. Setelah tenang baru cerita padaku." Zein berusaha menenangkan ibunya.Tanpa disuruh suaminya, Risa membuatkan teh hangat untuk mertuanya. Walaupun hatinya sering tersakiti oleh perkataan dan perbuatan ibu mertuanya, tetapi Risa berusaha tetap menghormati wanita di hadapannya itu sebagai ibu suaminya."Diminum dulu teh hangatnya, Bu. Supaya Ibu bisa lebih tenang," ucap Risa
Setelah selesai menghabiskan makanan hasil karya Risa, Zein mengambil undangan reuni yang dimaksud istrinya. Ternyata yang mengundang adalah teman SMA. Jadi kangen sama teman seangkatan yang dulu terkenal kompak di zamannya waktu memakai seragam putih abu-abu. Zein berencana tukar jadwal masuk kerja, untuk menghadiri acara reuni tersebut, karena jatah cutinya sudah habis."Yang, apa kamu mau ikut hadir di acara reuni teman SMA-ku?" tanya Zein kepada istrinya."Nggak, Mas Zein. Aku lihat hari itu jadwalnya berbenturan dengan jadwal masuk kerjaku. Lagipula aku juga tidak bisa tukar sama temanku. Dia ada acara lamaran adiknya di desa," jawab Risa."Beneran nih, tidak mau ikut? Apa tidak menyesal? Bagaimana kalau aku ketemu dengan mantan-mantanku? Apa kamu nanti tidak makin cemburu lagi seperti dulu?" goda Zein sambil tersenyum."Awas saja, kalau berani bertingkah laku macam-macam. Aku tidak akan tinggal diam!" ancam Risa sambil menyatukan dua kepalan tangannya.Zein hanya tersenyum melih
Kening Zein berkerut. Bagaimana istrinya tidak marah seperti ini. Lama-lama Sarah nekat juga. Urusan rumah tangganya saja belum selesai. Bagaimana bisa dia menawarkan sebuah hubungan yang mampu membuat dua keluarga berantakan?"Kenapa, Mas Zein? Apa wanita itu mengirimkan pesan untukmu?" desak Risa.Zein hanya menganggukkan kepalanya. Secara refleks dia menyerahkan ponsel kepada istrinya. Dengan rasa tak menentu dia menerima ponsel milik suaminya. Kemudian Risa membaca isi pesan dari Sarah. Kini matanya membulat. Tak disangka, wanita yang bernama Sarah itu begitu blak-blakan mengungkapkan rasa cintanya kepada Zein. Bahkan, menginginkan menjadi istri kedua Zein. Perasaan Risa kini campur aduk. Mantan Zein yang bernama Anggun yang ditemuinya beberapa waktu yang lalu, masih mampu menjaga imagenya. Sedangkan Sarah langsung to the point meminta agar dirinya dijadikan istri kedua. Risa menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan-lahan. Dia berusaha melonggarkan d4d4nya ya
Hampir sebulan Zein harus bolak-balik antara rumah dan kontrakannya sendiri. Bahkan, dia malah jarang bermalam di rumah kontrakannya. Di lain sisi, Risa sangat membutuhkan kehadiran Zein selama kondisi me ngan dung anak pertamanya. Demi mendukung bakti suami pada ibunya, Risa berusaha mengalah.Sebenarnya sejak Anggun mulai datang kembali ke rumah mertuanya, Risa sudah merasa tidak nyaman. Bukannya tidak percaya dengan kesetiaan suaminya, tapi lebih kepada adanya kesempatan yang terbentang di antara mereka untuk saling bertemu. Kucing akan makan ikan, jika disuguhkan kepadanya. Demikian juga Zein yang akan lebih sering bertemu dengan Anggun dibandingkan dengan istrinya sendiri. Ada kemungkinan, rasa cinta yang pernah ada di antara mereka kembali bersemi. Risa tidak menginginkan hal itu.Untuk mengatasi perasaan yang berkecamuk di hatinya, Risa ingin membahas masalah ini dengan suaminya, daripada dia merasa tidak tenang dengan kondisi rumah tangganya. Risa ingin ha mil tanpa banyak pik
Risa penasaran siapa sebenarnya tamu yang disambut oleh adik iparnya itu. Sepertinya ada tamu istimewa yang sengaja ditunggu kedatangannya.Deg!"Anggun? Kenapa dia bisa tahu kalau Ibu mertuaku akan pulang hari ini?" lirih Risa dengan penuh tanda tanya. Tampak Salma menggandeng tangan Anggun dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Anggun, menatap sekilas ke arah Risa. Entah mengapa, perasaan Risa tak enak dengan adanya Anggun di rumah ini. Pikirannya langsung tertuju pada suaminya. Apakah Anggun sengaja diberitahu oleh Salma atau Zein, agar dia menjenguk ibu mertuanya?Risa jadi teringat dengan janji Zein untuk tidak menjalin hubungan apapun dengan Anggun, tapi pada kenyataannya sangatlah berbeda. Kenapa Salma seolah-olah lebih menunggu kehadiran Anggun di rumah ini, daripada dirinya yang mana statusnya jelas-jelas sebagai menantu yang sah."Eh, ternyata Mbak Risa juga sudah ada di sini. Maaf, aku datang ke sini rencananya ikut menjemput Ibunya Salma. Kemarin aku dihubungi Salma, katan
Baru saja masuk ke ruangan di mana mertuanya dirawat, sudah terdengar suara sumbang dari adik iparnya. Ingin rasanya me nam par mu lut Salma yang selalu menyakiti hatinya. Siapa juga yang menginginkan hal buruk terjadi pada mertuanya. Dia sudah berusaha mencegah, tapi ibu mertuanya sendiri yang mengundang penyakit."Tolong dijaga bicaranya. Aku keluar bukannya kelayapan, tapi memeriksakan kandunganku. Dari tadi aku yang mengurus semua kebutuhan Ibu di sini." Tak tahan juga rasanya untuk menjawab setiap omongan Salma yang tak enak didengar telinga."Halah, alasan. Lihat apa yang telah kamu lakukan. Ibu sakit gara-gara makanan yang kamu masak. Awas saja kalau terjadi hal yang tidak diinginkan pada Ibu," cecar Salma."Per-gi ka-mu Ri-sa!" Narita yang masih terbaring lemah tega-teganya mengusir menantunya. Padahal, kalau Risa tidak segera membawanya ke rumah sakit. Nyawa Narita tidak bisa tertolong. Ibu dan anak sama-sama tidak punya hati. Sudah ditolong, tapi malah yang menolong dica ci
"Mas Zein, kamu cepat pulang! Ibu baru saja jatuh di kamar mandi," ucap Risa panik, karena mertuanya tidak sadarkan diri sampai sekarang."Kenapa bisa jatuh di kamar mandi? Pasti kamu tidak pernah membersihkan lantai kamar mandi, sehingga Ibu terpeleset saat masuk kamar mandi!" cetus Zein pada istrinya dengan nada kesal."Kok, malah nyalahin aku! Semenjak aku hamil, kamu 'kan yang bertugas membersihkan kamar mandi? Sudahlah, jangan mengajak berdebat di telepon, Mas Zein. Lebih baik, kamu cepat pulang. Setelah itu, kita bawa Ibu ke ru mah sa kit terdekat!" ujar Risa merasa jengkel, karena mendapatkan tuduhan yang begitu menyudutkannya sebagai orang yang terakhir bersama Narita--ibunya Zein."Lebih baik, kamu minta bantuan tetangga untuk mengantar Ibu ke ru mah sa kit. Takut ada apa-apa yang terjadi pada Ibu, jika tidak segera mendapat pertolongan. Nanti kirim saja lokasi ru mah sa kitnya. Aku akan segera menyusul," pungkas Zein kemudian menutup sambungan ponselnya.Zein begitu cemas se
Kening Zein berkerut. Bagaimana istrinya tidak marah seperti ini. Lama-lama Sarah nekat juga. Urusan rumah tangganya saja belum selesai. Bagaimana bisa dia menawarkan sebuah hubungan yang mampu membuat dua keluarga berantakan?"Kenapa, Mas Zein? Apa wanita itu mengirimkan pesan untukmu?" desak Risa.Zein hanya menganggukkan kepalanya. Secara refleks dia menyerahkan ponsel kepada istrinya. Dengan rasa tak menentu dia menerima ponsel milik suaminya. Kemudian Risa membaca isi pesan dari Sarah. Kini matanya membulat. Tak disangka, wanita yang bernama Sarah itu begitu blak-blakan mengungkapkan rasa cintanya kepada Zein. Bahkan, menginginkan menjadi istri kedua Zein. Perasaan Risa kini campur aduk. Mantan Zein yang bernama Anggun yang ditemuinya beberapa waktu yang lalu, masih mampu menjaga imagenya. Sedangkan Sarah langsung to the point meminta agar dirinya dijadikan istri kedua. Risa menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan-lahan. Dia berusaha melonggarkan d4d4nya ya
Setelah selesai menghabiskan makanan hasil karya Risa, Zein mengambil undangan reuni yang dimaksud istrinya. Ternyata yang mengundang adalah teman SMA. Jadi kangen sama teman seangkatan yang dulu terkenal kompak di zamannya waktu memakai seragam putih abu-abu. Zein berencana tukar jadwal masuk kerja, untuk menghadiri acara reuni tersebut, karena jatah cutinya sudah habis."Yang, apa kamu mau ikut hadir di acara reuni teman SMA-ku?" tanya Zein kepada istrinya."Nggak, Mas Zein. Aku lihat hari itu jadwalnya berbenturan dengan jadwal masuk kerjaku. Lagipula aku juga tidak bisa tukar sama temanku. Dia ada acara lamaran adiknya di desa," jawab Risa."Beneran nih, tidak mau ikut? Apa tidak menyesal? Bagaimana kalau aku ketemu dengan mantan-mantanku? Apa kamu nanti tidak makin cemburu lagi seperti dulu?" goda Zein sambil tersenyum."Awas saja, kalau berani bertingkah laku macam-macam. Aku tidak akan tinggal diam!" ancam Risa sambil menyatukan dua kepalan tangannya.Zein hanya tersenyum melih
"Mas Zein, Ibu datang sambil teriak-teriak di depan pintu. Kamu yang bukakan pintu ya!" pinta Risa.Kalau nada suara ibu mertuanya sudah level tinggi. Pasti kalau bertemu dengan Risa, bawaannya marah-marah terus. Daripada jadi korban, lebih baik Risa menghindar saja. Biasanya tanpa sebab, dirinya kena damprat mertuanya."Ada apa, Bu? Pagi-pagi sudah gedor-gedor pintu," tegur Zein."Hu ... hu ...!" Tiba-tiba terdengar suara tangis Narita keras sekali."Bilang padaku, Bu! Apa yang terjadi? Kenapa Ibu menangis seperti ini?" Zein tampak khawatir."Ayahmu, Zein!""Apa yang terjadi pada Ayah, Bu? Sekarang Ibu masuk dulu. Setelah tenang baru cerita padaku." Zein berusaha menenangkan ibunya.Tanpa disuruh suaminya, Risa membuatkan teh hangat untuk mertuanya. Walaupun hatinya sering tersakiti oleh perkataan dan perbuatan ibu mertuanya, tetapi Risa berusaha tetap menghormati wanita di hadapannya itu sebagai ibu suaminya."Diminum dulu teh hangatnya, Bu. Supaya Ibu bisa lebih tenang," ucap Risa
"Waalaikum salam," jawab Risa kemudian segera melangkahkan kaki menuju pintu masuk. "Bapak, Ibu. Ayo masuk!" Risa mengajak bapak dan ibunya masuk ke rumah kontrakannya.Kedua orang tua Risa membawa beberapa kardus besar berisi berbagai macam makanan untuk diberikan kepada Risa. Memang adat di daerah kelahiran Risa, jika memasuki rumah baru, mereka akan berbagi makanan kepada tetangga kanan dan kirinya. Selain untuk berbagi juga agar mengenal tetangga baru. Walaupun mereka masih pindah di rumah kontrakan. Kemarin Risa sempat menghubungi orang tuanya untuk memberi tahu berita kehamilannya dan rencana pindah rumah. Kedua orang tua Risa sangat senang, karena akan mendapatkan cucu baru dan mendukung penuh keinginan anaknya tinggal berpisah dengan mertuanya. Bagi mereka anaknya lebih baik belajar hidup mandiri, agar dapat belajar mengarungi bahtera rumah tangga dan mendapatkan hikmah tersendiri atas pengalaman yang akan mereka hadapi kelak.Sebagai orang tua Risa, Agam dan Dewi hanya memb
"Biar aku yang keluar. Kamu tetap di sini saja," pesan Zein.Dengan langkah pelan, Zein menuju pintu, agar ketukan yang diberikan tidak semakin keras. Risa hanya melihatnya dari kejauhan. Kali ini Risa berperan sebagai penonton saja. Jika ikut menemui ibu mertuanya pasti akan berbuntut panjang."Ada apa, Bu? Risa lagi tak enak badan. Sekarang dia masih berada di atas tempat tidur," ucap Zein saat sudah berhadapan dengan ibunya."Ibu mau bicara sama istrimu."Narita langsung menyerobot masuk ke dalam kamar anaknya. Tanpa mempedulikan Zein yang berusaha menghalang-halanginya di depan pintu."Risa, enak benar kamu sekarang, ya! Apa memang begini maksud kedatanganmu di rumah ini? Ingin memisahkan Ibu dan anak lelakinya. Dulu sebelum menikahi kamu, Zein sudah bilang kalau akan tetap tinggal di sini menemaniku, tapi sekarang semuanya berubah! Zein lebih memilih tinggal bersama kamu daripada dengan Ibunya!" Narita tak sabar segera mengeluarkan segala uneg-uneg yang selama ini belum tersampai