Pikiran Arvin sangat tidak tenang. Ada banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya saat ini. Namun, dia terus mengarahkan kakinya pada tempat khusus terapi, di mana dia terakhir kalinya meninggalkan adiknya sendirian menjalani terapi pengobatan.Sementara yang dia ingat terakhir kalinya, dia sangat mencemaskan Farhan karena terdengar sedikit suara jeritan Farhan dari dalam ruangan tersebut.Meski ruangan khusus terapi itu dibuat khusus agar kedap suara, tapi ruangan tersebut tidak mampu meredam jeritan Farhan yang sangat keras itu. Hingga meski kedap suara, masih terdengar sedikit suara Farhan dari luar dan itu membuat Arvin cemas. Takut terjadi apa-apa pada adiknya.“Farhan! Eyang!”Tangan Arvin langsung mengetuk pintu tersebut. Penasaran karena tak kunjung ada jawaban, dia pun menempelkan telinganya pada daun pintu yang tetap dalam kondisi terkunci itu.Senyap. Dia tidak bisa mendengar apapun dari sana. Padahal, sebelumnya dia bisa mendengar teriakan Farhan dari dalam sana, meski s
Keempat laki-laki itu saling menoleh satu sama lain sebagai isyarat meminta persetujuan. Kemudian salah satu dari mereka menganggukkan kepalanya.“Silakan duduk,” katanya dengan senyum ramah.Membuat Arvin bisa mengembuskan napas lega. Karena awalnya dia piker, dia tidak akan diberi tempat oleh mereka. Tapi, nyatanya salah.“Terima kasih,” jawabnya membalas dengan senyuman. Lalu duduk bersila di samping seorang laki-laki yang rambutnya panjang sebahu serta memiliki otot tubuh yang proposional. Berbanding terbalik dengan dirinya yang hanya tulang berbalut kulit. Hanya ada sedikit daging dalam tubuhnya. Selebihnya tulang.Arvin sendiri memiliki postur yang tinggi, yaitu serratus delapan puluh sentimeter. Sedangkan berat badannya di bawah lima puluh kilo. Sehingga dia tergolong kurus, meski tidak kurus-kurus banget.“Mas baru ya di sini?” tanya laki-laki berambut gondrong yang diikat satu ke belakang.“Iya, Mas. Baru masuk tadi malam,” jawab Arvin menatap laki-laki itu. Mencoba bersikap
Kedua mata Arvin menatap wajah Farhan lekat-lekat. Dia masih menunggu apa yang ingin diceritakan adiknya soal terapi yang baru saja dijalaninya.“Han, apa yang terjadi sebenarnya? Cerita sama Mas!” tuntut Arvin menatap adiknya serius.Farhan kembali mengembuskan napas panjang. Lalu menggeleng.“Entah, Mas. Aku saja bingung.”“Ceritakan dari awal kamu masuk secara runtut!” titahnya.Farhan mengangkat wajahnya. Tatapannya dia arahkan pada jendela kecil yang hanya tertutup kain. Dia pun mulai berkisah.“Jadi, tadi kan aku masuk ke ruangan gitu. Terus disuruh duduk sama Eyang Adiwangsa. Dia membisikkan sesuatu yang aku sendiri juga nggak tahu artinya apa. Eyang ngomong dalam Bahasa jawa. Tapi nggak ngerti artinya apa karena aku juga nggak pernah dengar.”Arvin mengangguk dan menyimak cerita Farhan dengan serius. “Lalu?”“Lalu, setelah itu … aku m
Sudah tiga hari Farhan dan Arvin tinggal di Padepokan Tapak Medi. Mereka pun mulai terbiasa menjalani aktivitas yang ada di sana dengan patuh dan tanpa bantahan lagi. Arvin pun nurut saja saat dia tidak pernah diizinkan melihat adiknya diterapi di ruangan khusus. Semua itu agar Eyang Adiwangsa bisa fokus mengobati pasiennya, begitu alasan yang diberikan laki-laki berusia lima puluhan itu. Arvin pun percaya saja karena menurutnya juga masih masuk akal. Seperti sore ini, selepas salat ashar, para jamaah masih duduk rapi di tempatnya mereka melaksanakan salat tadi. Sama dengan dua hari yang lalu, Eyang Adiwangsa melakukan ritual dengan mengobati pasiennya secara bersamaan. Terkadang, ada terapi yang dijalankan dengan privat ada juga yang dijalankan secara bersamaan. Semua itu ada waktu-waktunya tersendiri. Tangan Eyang Adiwangsa menylut kemenyan yang ada di hadapannya sembari mulutnya komat-kamit membaca sebuah mantra yang artinya hanya diketahui oleh Eyang Adiwangsa saja. Setelahnya,
Arvin yang tadinya tengah mencari sang Adik, kini perhatiannya teralihkan oleh teriakan Eyang Adiwangsa. Dia pun menoleh dan menatap laki-laki berjubah itu dengan kening berkerut dan hati bertanya-tanya. Apa kiranya yang membuat Eyang Adiwangsa semarah itu? Tempat antara jamaah lain dan pasien terpisah oleh kain hitam yang ada di tengah-tengah mereka. Sehingga, Arvin tidak bisa melihat apa yang dilakukan oleh adiknya pada orang nomor satu di Padepokan Tapak Medi itu karena terhalang kain hitam yang menjadi sekat antara mereka. Itu juga yang membuat Arvin kesulitan mencari jejak adiknya. “Apa yang terjadi?” tanyanya pada orang yang duduk di sisi kanan dan kiri Arvin. Dia menoleh bergantian. “Nggak tau. Nggak lihat tadi,” jawab orang yang ada di sebelah kanan.“Tadi ada orang yang melempar tasbih tepat di wajah Eyang Adiwangsa. Sepertinya Eyang sangat marah dengan apa yang dilakukan pasiennya tadi,” jawab seseorang yang duduk di sebelah kirinya. Mata Arvin pun tertuju pada sosok la
Laki-laki betubuh gempal itu tampak memutar bola matanya dengan malas. Dia sudah malas menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Arvin.“Ada di ruangan khusus. Nanti akan ditangani lebih lanjut oleh Eyang Adiwangsa,” jawabnya.“Berarti yang melempar tasbih pada wajah Eyang Adiwangsa itu benar Farhan?” Arvin menatap Cipto serius. Mencari jawaban atas pertanyaan demi pertanyaan yang terus berputar memenuhi isi kepalanya.“Iya. Tadi memang Farhan yang melakukannya.”“Suara tamparan tadi? Apa ditunjukkan untuk Farhan, adikku?” Wajah Arvin terlihat semakin cemas.Cipto hanya menganggukkan kepalanya dengan sedikit malas.“Kenapa? Kenapa ditampar? Bukankah kalian tahu jika Farhan sedang tidak baik-baik saja. Semua itu pasti di luar kendali Farhan,” ujarnya merasa tidak terima jika adiknya diperlakukan secara kasar.Laki-laki bertubuh gempal itu membuang napas kasar. Lalu menatap Arvin sungguh-sungguh. “Apa yang dilakukan adik kamu itu sudah kelewatan, Vin. Dia sudah kurang ajar
Laki-laki bertubuh jangkung itu memejamkan kedua matanya sesaat. Berusaha mencerna apa yang sudah terjadi padanya. Namun, dia sendiri tak ingat apapun. Hal terakhir yang dia ingat adalah saat dia mempertanyakan kondisi adiknya pada Cipto. Setelah itu, dia tak ingat apapun lagi. Arvin membuka kedua matanya perlahan. Lalu menggeleng pelan. Ditatapnya wajah sang adik dalam-dalam. Ada kecemasan di sana, belum sampai Arvin menyelami lebih jauh, Farhan cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia sudah bisa menebak apa yang sedang kakaknya lakukan. Sudah menjadi kebiasaan Arvin jika tengah menginterogasi adiknya, pasti menatap matanya lekat-lekat. Seolah tengah mencari sebuah perasaan yang tak mungkin bisa disembunyikan di sana. “Farhan ..,” panggilnya serupa seruan angin lembut yang menyapu wajahnya. “Mas belum jawab pertanyaanku tadi,” sahut Farhan sedikit menoleh pada kakaknya. “Mas tadi sangat mengkhawatirkanmu. Bagaimana kondisimu?” tanyanya lagi. Dia sudah tahu apa yan
Tak sanggup lagi melihat apa yang ada di dalam ruangan itu, Arvin memilih membalikkan tubuhnya dan bersandar pada pintu sembari menormalkan degup jantungnya. Biar bagaimana pun, dia lelaki dewasa yang normal. Melihat adegan tak pantas yang ada di ruangan itu membuat sesuatu yang ada dalam dirinya bangkit.Setelah dirasa normal, dia pun langsung meninggalkan tempat itu dengan setengah berlari. Beruntung tidak ada yang melihatnya mengintai. Jika ada yang melihatnya, entah bagaimana dirinya saat ini.Dia tak menyangka jika Eyang Adiwangsa melakukan hal tercela seperti itu. Apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini? Padepokan macam apa ini sebenarnya? Hatinya masih terus bertanya-tanya hingga dia akhirnya sampai di depan pintu kamarnya.Dibukanya pintu itu perlahan. Kedua matanya kembali melebar saat dia tak menemukan raga adiknya yang sebelumnya masih terlelap di atas tempat tidur. Hatinya mendadak cemas. Dia takut terjadi sesuatu pada adiknya.“Farhan!” teriaknya sembari mengitari panda
Arvin menatap Kiyai Fathur dengan tak percaya. Dia masih sedikit syok mendengar kalimat yang keluar dari mulut orang yang paling dia percaya saat ini.“I-ini sungguhan, Kiyai?” tanyanya memastikan. Dia khawatir jika ini adalah prank. Tapi tidak mungkin jika Kiyai Fathur mengerjai Arvin tentang lamaran. Bahkan itu lamaran anaknya sendiri.Laki-laki setengah baya itu membetulkan letak sorbannya yang agak jatuh dari bahunya. Lalu mengangguk dan membalas tatapan Arvin dengan seulas senyum.“Arvin, saya tidak pernah bercanda soal pernikahan. Apalagi, pernikahan itu sesuatu yang sacral. Tanggung jawabnya besar di hadapan Allah,” katanya sungguh-sungguh.“T-tapi, Kiyai. Ap-apa Kiyai yakin menyerahkan putri bungsu Kiyai pada saya?” tanyanya sedikit ragu. “Ma-maksud saya, Kiyai Fathur tahu sendiri kondisi saya seperti apa saat ini. Tidak punya pekerjaan tetap. Bahkan … ilmu agama pun saya masih harus belajar banyak. Saya takut tidak bisa menjadi imam rumah tangga yang baik untuk Dek Latifah. S
Belum habis keterkejutan Farhan dengan memberikannya fasilitas gratis selama memperdalam ilmu agama di pesantren ini. Sekarang, dia kembali dikejutkan dengan niat Kiayi Fathur untuk menikahkan anak sulungnya dengan kakak tercintanya.Dia masih tertegun. Merasa tidak percaya jika Kiyai Fathur, seorang pemuka agama yang terkenal di daerahnya ingin menikahkan putri kesayangannya dengan orang biasa macam Arvin? Bahkan kerjaan pun Arvin tidak punya pasca dipecat gara-gara dirinya.“Farhan!” panggilan dan tepukan kecil tangan Kiyai Fathur menyadarkan laki-laki berusia dua puluh tiga tahun dari lamunannya.Farhan mengerjapakan kedua matanya beberapa kali. Lalu berkata, “Apa saya mimpi, Kiyai?” tanyanya setelah sadar beberapa saat. “Barangkali saya masih berada di tempat Eyang Adiwangsa dan tengah bermimpi indah dalam tidur saya?” tanyanya lagi menatap Kiyai Fathur serius.“Saya tidak pernah main-main soal pernikahan , Fa
Satu Minggu di pondok pesantren, kondisi Farhan berangsur membaik. Meski dia yang paling mendapat terapi paling eksklusif untuk mengendalikan dirinya.Jiwanya yang kosong mulai terisi dengan mendengarkan tausyiah-tausyiah juga bacaan-bacaan ayat suci Al-Quran.Ibadah mereka pun semakin baik. Arvin bahagia melihat perubahan adiknya itu.Arvin baru saja keluar dari kamar mandi usai mandi karena hendak salat ashar berjamaah. Sengaja dia mandi lebih awal agar tidak terlalu antre.Saat dia hendak kembali ke kamarnya, dia tak sengaja bertemu dengan Kiyai Fathur yang baru saja pulang dakwah di luar pondok pesantren. Dua santri yang mengawalnya terlihat masing-masing membawa dua kantong plastic hitam besar.“Assalamu’alaikum, Kiyai,” sapanya sambil sedikit membungkukkan punggungnya. Mengikuti kebiasaan para santri jika bertemu dengan Kiyai Fathur atau guru-gurunya yang lain sebagai bentuk penghormatan.“Wa’alaikumsalam,” balas Kiyai Fathur menatap Arvin dengan senyuman. Mereka pun berjabat ta
Pihak kepolisian mendatangi lokasi pesantren yang akan menampung para korban kebejatan Eyang Adiwangsa. Tentu setelah mendapat persetujuan dari keluarga korban. Ada yang menurut, ada juga yang membawanya pulang dan merasa trauma karena takut mengalami hal yang sama.Tak apa, polisi tidak akan memaksa. Toh, itu hak mereka. Pihak kepolisian hanya akan memasukkan yang mau saja.“Assalamu’alaikum,” sapa seorang polisi bernama Suseno. Dia diantar oleh seorang santri menuju rumah dari pemilik pondok pesantren yang kini semakin banyak saja muridnya.“Wa’alaikumsalam,” sahut seorang laki-laki dari dalam.Sosok laki-laki setengah baya yang memakai kemeja warna merah bata yang dipadu dengan sarung polos berwarna hitam. Tidak lupa, sebagian kepalanya tertutup peci hitam. Senyum laki-laki bermata teduh itu menghiasi wajahnya.Sebelumnya, dia sudah diberitahu oleh besannya, dokter yang menangani kasus Eyang Adiwangsa di rumah sakit jika akan ada pihak kepolisian yang datang ke pesantrennya karena
Pintu pun didobrak secara paksa. Cipto dan Eyang Adiwangsa yang tidak bisa kabur pun akhirnya pasrah saat ditangkap dan dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan bersama beberapa anak buah Eyang Adiwangsa. Pasien lain pun merasa ketakutan dan kebingungan. Ada yang langsung disambut keluarganya, ada juga yang sempat ditenangkan dan disadarkan oleh warga sekitar karena keluarganya belum mengetahuinya. Polisi yang tersisa juga masyarakat setempat menggeledah ruang pribadi milik Eyang Adiwangsa dan menemukan bukti-bukti kebusukan laki-laki paruh baya itu, berupad bukti transfer yang banyak dari para pasiennya. “Pak, katanya di sini ada penjara yang digunakan Eyang Adiwangsa untuk mengurung orang-orang yang sudah mengetahui kebusuukkannya,” ujar salah satu warga yang diberi info oleh salah satu pasien yang keluarganya juga dimasukkan ke dalam penjara, tapi sudah meninggal karena kelaparan. Dan mirisnya, dia tidak tahu akan hal itu. Polisi pun langsung mencari tempat tersebut dan
Semakin hari, kondisi Farhan semakin parah. Meski ada yang bisa mengobati, namun Farhan bisa sampai tiga kali kerasukan setiap harinya. Tubuhnya yang tadinya berisi pun kini terlihat kurus. Beban mental yang terus menggerogoti hati dan pikirannya membuatnya semakin tertekan dengan kondisi sekarang ini.Bukan hanya Farhan yang mengalaminya, Arvin pun demikian. Dia tidak bisa berbuat apapun demi menyelamatkan adiknya. Yang ada hanya rasa bersalah karena telah menjebloskan adiknya ke dalam penjara seperti ini dan membuat hidupnya semakin menderita.Sesama penghuni penjara pun tidak bisa membantu banyak. Karena mereka juga sudah begitu lama berada di ruangan pengap tersebut dan tidak bisa keluar karena tidak ada akses keluar dari sana.“Maafkan Mas, Farhan ….” Arvin mengusap rambut kepala adiknya yang sudah gondrong karena tak dirawat. Padahal, Farhan adalah tipe orang yang paling rajn dengan rambut.Dia baru saja tenang setelah hampir setengah jam meraung-raung karena kerasukan makhluk
Farhan pun akhirnya mengaku dan dia merasa sangat hina karena sudah dinodai. Dia pun menangis dan merasa sangat menyesal. Arvin sendiri langsung mencelos. Dia pun merasa sangat menyesal juga merasa paling bersalah karena telah membawa adiknya pada tempat mengerikan seperti ini. Dia pun ikut menangis menyesali apa yang sudah terjadi. Bukannya menyembuhkan sang Adik, dia malah justru semakin menjerumuskan adiknya pada lembah kenistaan. Bahkan mereka malah tersesat pada ajaran sesat. Beruntung, mereka cepat menyadari. Tidak seperti pasien lain yang sudah berbulan-bulan berada di padepokan yang menganut ajaran sesat itu. “Maafkan Mas, ya, Han. Maafkan Mas …,” lirih Arvin sambill memeluk adiknya dengan isak tangis. Farhan menggeleng pelan. “Nggak, Mas. Mas nggak salah,” sahutnya diikuti isakan kecil. “Mas sudah berusaha untuk menyembuhkanku,” sambungnya. “Harusnya Mas nggak langsung percaya saja sama Mas Cipto. Brengsek memang itu orang!” geramnya sambil menatap lurus ke arah dinding
Tubuh lemah Farhan didorong begitu saja masuk ke dalam ruangan khusus terapi. Eyang Adiwangsa pun sudah menunggunya di sana. Senyum penuh kemenangan menyambut kehadiran Farhan.Laki-laki itu pun hanya diam dengan tatapan kosong. Farhan ada dalam pengaruh hipnotis yang dilakukan oleh salah satu anak buah Eyang Adiwangsa.“Keluar!” titah laki-laki berjubah itu sambil menatap kedua anak buahnya.Tanpa menjawab. Kedua anak buahnya itu menganggukkan kepalanya cepat. Lalu memutar tubuhnya dan keluar dari ruangan tersebut. Membiarkan Eyang Adiwangsa bersama dengan Farhan berdua saja.Mereka pun tidak peduli dengan apa yang akan dilakukan oleh Eyang Adiwangsa pada Farhan. Terpenting, tugasnya sudah selesai.Tatapan Eyang Adiwangsa mengelilingi tubuh Farhan. Senyumnya mengembang sempurna. Dia kini merasa menang karena bisa melemahkan orang-orang yang sudah mengetahui kebusukkannya.“Sekarang kamu sudah tahu apa yang aku lakukan saat ini, Farhan,” ujarnya sambil berjalan mengitari tubuh Farhan
“Kalian nggak dengar suara iqomah apa? Malah ngobrol di sini!” ujar Cipto sembari menatap keduanya dengan sedikit sinis. Karena dia mendengar apa yang tengah kakak beradik itu bicarakan. Meski tidak semua, paling tidak, dia mengerti ke mana arah pembicaraan mereka. Seketika itu Arvin dan Farhan menatap ke sekitar dan memang hanya tinggal mereka berdua yang masih ada di depan. Para jamaah sudah bersiap untuk salat Subuh pada tempatnya masing-masing. Kali ini, shaf antara laki-laki terpisah dengan perempuan. Baik pasien maupun yang menemani berbaur menjadi satu. Tidak seperti saat selepas ashar yang dipisah agar lebih mudah membedakan mana pasien dan keluarga yang menemani. “I-iya, Mas,” sahut Arvin yang langsung menarik ujung baju Farhan agar segera masuk ke dalam mushola dan bergabung dengan lainnya untuk salat subuh.Mereka berjalan melewati Cipto begitu saja. Membuat laki-laki bertubuh gempal itu berdecak kesal. “Sudah mulai berani rupanya kalian? Eyang harus tahu agar lebih hat