Cari gara-gara Farhan, ya ....
Arvin yang tadinya tengah mencari sang Adik, kini perhatiannya teralihkan oleh teriakan Eyang Adiwangsa. Dia pun menoleh dan menatap laki-laki berjubah itu dengan kening berkerut dan hati bertanya-tanya. Apa kiranya yang membuat Eyang Adiwangsa semarah itu? Tempat antara jamaah lain dan pasien terpisah oleh kain hitam yang ada di tengah-tengah mereka. Sehingga, Arvin tidak bisa melihat apa yang dilakukan oleh adiknya pada orang nomor satu di Padepokan Tapak Medi itu karena terhalang kain hitam yang menjadi sekat antara mereka. Itu juga yang membuat Arvin kesulitan mencari jejak adiknya. “Apa yang terjadi?” tanyanya pada orang yang duduk di sisi kanan dan kiri Arvin. Dia menoleh bergantian. “Nggak tau. Nggak lihat tadi,” jawab orang yang ada di sebelah kanan.“Tadi ada orang yang melempar tasbih tepat di wajah Eyang Adiwangsa. Sepertinya Eyang sangat marah dengan apa yang dilakukan pasiennya tadi,” jawab seseorang yang duduk di sebelah kirinya. Mata Arvin pun tertuju pada sosok la
Laki-laki betubuh gempal itu tampak memutar bola matanya dengan malas. Dia sudah malas menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Arvin.“Ada di ruangan khusus. Nanti akan ditangani lebih lanjut oleh Eyang Adiwangsa,” jawabnya.“Berarti yang melempar tasbih pada wajah Eyang Adiwangsa itu benar Farhan?” Arvin menatap Cipto serius. Mencari jawaban atas pertanyaan demi pertanyaan yang terus berputar memenuhi isi kepalanya.“Iya. Tadi memang Farhan yang melakukannya.”“Suara tamparan tadi? Apa ditunjukkan untuk Farhan, adikku?” Wajah Arvin terlihat semakin cemas.Cipto hanya menganggukkan kepalanya dengan sedikit malas.“Kenapa? Kenapa ditampar? Bukankah kalian tahu jika Farhan sedang tidak baik-baik saja. Semua itu pasti di luar kendali Farhan,” ujarnya merasa tidak terima jika adiknya diperlakukan secara kasar.Laki-laki bertubuh gempal itu membuang napas kasar. Lalu menatap Arvin sungguh-sungguh. “Apa yang dilakukan adik kamu itu sudah kelewatan, Vin. Dia sudah kurang ajar
Laki-laki bertubuh jangkung itu memejamkan kedua matanya sesaat. Berusaha mencerna apa yang sudah terjadi padanya. Namun, dia sendiri tak ingat apapun. Hal terakhir yang dia ingat adalah saat dia mempertanyakan kondisi adiknya pada Cipto. Setelah itu, dia tak ingat apapun lagi. Arvin membuka kedua matanya perlahan. Lalu menggeleng pelan. Ditatapnya wajah sang adik dalam-dalam. Ada kecemasan di sana, belum sampai Arvin menyelami lebih jauh, Farhan cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia sudah bisa menebak apa yang sedang kakaknya lakukan. Sudah menjadi kebiasaan Arvin jika tengah menginterogasi adiknya, pasti menatap matanya lekat-lekat. Seolah tengah mencari sebuah perasaan yang tak mungkin bisa disembunyikan di sana. “Farhan ..,” panggilnya serupa seruan angin lembut yang menyapu wajahnya. “Mas belum jawab pertanyaanku tadi,” sahut Farhan sedikit menoleh pada kakaknya. “Mas tadi sangat mengkhawatirkanmu. Bagaimana kondisimu?” tanyanya lagi. Dia sudah tahu apa yan
Tak sanggup lagi melihat apa yang ada di dalam ruangan itu, Arvin memilih membalikkan tubuhnya dan bersandar pada pintu sembari menormalkan degup jantungnya. Biar bagaimana pun, dia lelaki dewasa yang normal. Melihat adegan tak pantas yang ada di ruangan itu membuat sesuatu yang ada dalam dirinya bangkit.Setelah dirasa normal, dia pun langsung meninggalkan tempat itu dengan setengah berlari. Beruntung tidak ada yang melihatnya mengintai. Jika ada yang melihatnya, entah bagaimana dirinya saat ini.Dia tak menyangka jika Eyang Adiwangsa melakukan hal tercela seperti itu. Apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini? Padepokan macam apa ini sebenarnya? Hatinya masih terus bertanya-tanya hingga dia akhirnya sampai di depan pintu kamarnya.Dibukanya pintu itu perlahan. Kedua matanya kembali melebar saat dia tak menemukan raga adiknya yang sebelumnya masih terlelap di atas tempat tidur. Hatinya mendadak cemas. Dia takut terjadi sesuatu pada adiknya.“Farhan!” teriaknya sembari mengitari panda
Farhan tidak menyangka dengan pemikiran kakaknya. Dia memang berniat pergi dari sini, tapi tidak tahu caranya harus bagaimana.Dia juga sebenarnya sudah tidak tahan berada di sini, apalagi dengan cara Eyang Adiwangsa memperlakukannya juga teman-temannya yang lain. Mereka kerap kali disiksa oleh laki-laki yang selalu mengenakan jubah itu. Farhan tahu semua.Bahkan, pasein yang perempuan pun sering kali dijadikan budak nafsunya. Tentu saja pak tua itu memilih yang cantik juga kaya. Biar hartanya bisa dirampas dengan dalih untuk biaya terapi selama pengobatan di Padepokan Tapak Medi.Anehnya, keluarga hanya menyetujui tanpa mengorek apa yang sebenarnya terjadi. Padahal, banyak keganjalan yang terjadi di tempat tersebut yang memakai kedok padepokan pencak silat Tapak Medi. Tapi kenyataannya, banyak yang mereka sembunyikan selain melatih orang-orang pencak silat.Awalnya, Padepokan Tapak Medi memang hanya padepokan pencak silat biasa. Namun, karena kemampuan Eyang Adiwangsa yang mumpuni, y
“Kalian nggak dengar suara iqomah apa? Malah ngobrol di sini!” ujar Cipto sembari menatap keduanya dengan sedikit sinis. Karena dia mendengar apa yang tengah kakak beradik itu bicarakan. Meski tidak semua, paling tidak, dia mengerti ke mana arah pembicaraan mereka. Seketika itu Arvin dan Farhan menatap ke sekitar dan memang hanya tinggal mereka berdua yang masih ada di depan. Para jamaah sudah bersiap untuk salat Subuh pada tempatnya masing-masing. Kali ini, shaf antara laki-laki terpisah dengan perempuan. Baik pasien maupun yang menemani berbaur menjadi satu. Tidak seperti saat selepas ashar yang dipisah agar lebih mudah membedakan mana pasien dan keluarga yang menemani. “I-iya, Mas,” sahut Arvin yang langsung menarik ujung baju Farhan agar segera masuk ke dalam mushola dan bergabung dengan lainnya untuk salat subuh.Mereka berjalan melewati Cipto begitu saja. Membuat laki-laki bertubuh gempal itu berdecak kesal. “Sudah mulai berani rupanya kalian? Eyang harus tahu agar lebih hat
Tubuh lemah Farhan didorong begitu saja masuk ke dalam ruangan khusus terapi. Eyang Adiwangsa pun sudah menunggunya di sana. Senyum penuh kemenangan menyambut kehadiran Farhan.Laki-laki itu pun hanya diam dengan tatapan kosong. Farhan ada dalam pengaruh hipnotis yang dilakukan oleh salah satu anak buah Eyang Adiwangsa.“Keluar!” titah laki-laki berjubah itu sambil menatap kedua anak buahnya.Tanpa menjawab. Kedua anak buahnya itu menganggukkan kepalanya cepat. Lalu memutar tubuhnya dan keluar dari ruangan tersebut. Membiarkan Eyang Adiwangsa bersama dengan Farhan berdua saja.Mereka pun tidak peduli dengan apa yang akan dilakukan oleh Eyang Adiwangsa pada Farhan. Terpenting, tugasnya sudah selesai.Tatapan Eyang Adiwangsa mengelilingi tubuh Farhan. Senyumnya mengembang sempurna. Dia kini merasa menang karena bisa melemahkan orang-orang yang sudah mengetahui kebusukkannya.“Sekarang kamu sudah tahu apa yang aku lakukan saat ini, Farhan,” ujarnya sambil berjalan mengitari tubuh Farhan
Farhan pun akhirnya mengaku dan dia merasa sangat hina karena sudah dinodai. Dia pun menangis dan merasa sangat menyesal. Arvin sendiri langsung mencelos. Dia pun merasa sangat menyesal juga merasa paling bersalah karena telah membawa adiknya pada tempat mengerikan seperti ini. Dia pun ikut menangis menyesali apa yang sudah terjadi. Bukannya menyembuhkan sang Adik, dia malah justru semakin menjerumuskan adiknya pada lembah kenistaan. Bahkan mereka malah tersesat pada ajaran sesat. Beruntung, mereka cepat menyadari. Tidak seperti pasien lain yang sudah berbulan-bulan berada di padepokan yang menganut ajaran sesat itu. “Maafkan Mas, ya, Han. Maafkan Mas …,” lirih Arvin sambill memeluk adiknya dengan isak tangis. Farhan menggeleng pelan. “Nggak, Mas. Mas nggak salah,” sahutnya diikuti isakan kecil. “Mas sudah berusaha untuk menyembuhkanku,” sambungnya. “Harusnya Mas nggak langsung percaya saja sama Mas Cipto. Brengsek memang itu orang!” geramnya sambil menatap lurus ke arah dinding