Kedua mata Arvin menatap wajah Farhan lekat-lekat. Dia masih menunggu apa yang ingin diceritakan adiknya soal terapi yang baru saja dijalaninya.
“Han, apa yang terjadi sebenarnya? Cerita sama Mas!” tuntut Arvin menatap adiknya serius.
Farhan kembali mengembuskan napas panjang. Lalu menggeleng.
“Entah, Mas. Aku saja bingung.”
“Ceritakan dari awal kamu masuk secara runtut!” titahnya.
Farhan mengangkat wajahnya. Tatapannya dia arahkan pada jendela kecil yang hanya tertutup kain. Dia pun mulai berkisah.
“Jadi, tadi kan aku masuk ke ruangan gitu. Terus disuruh duduk sama Eyang Adiwangsa. Dia membisikkan sesuatu yang aku sendiri juga nggak tahu artinya apa. Eyang ngomong dalam Bahasa jawa. Tapi nggak ngerti artinya apa karena aku juga nggak pernah dengar.”
Arvin mengangguk dan menyimak cerita Farhan dengan serius. “Lalu?”
“Lalu, setelah itu … aku m
Sudah tiga hari Farhan dan Arvin tinggal di Padepokan Tapak Medi. Mereka pun mulai terbiasa menjalani aktivitas yang ada di sana dengan patuh dan tanpa bantahan lagi. Arvin pun nurut saja saat dia tidak pernah diizinkan melihat adiknya diterapi di ruangan khusus. Semua itu agar Eyang Adiwangsa bisa fokus mengobati pasiennya, begitu alasan yang diberikan laki-laki berusia lima puluhan itu. Arvin pun percaya saja karena menurutnya juga masih masuk akal. Seperti sore ini, selepas salat ashar, para jamaah masih duduk rapi di tempatnya mereka melaksanakan salat tadi. Sama dengan dua hari yang lalu, Eyang Adiwangsa melakukan ritual dengan mengobati pasiennya secara bersamaan. Terkadang, ada terapi yang dijalankan dengan privat ada juga yang dijalankan secara bersamaan. Semua itu ada waktu-waktunya tersendiri. Tangan Eyang Adiwangsa menylut kemenyan yang ada di hadapannya sembari mulutnya komat-kamit membaca sebuah mantra yang artinya hanya diketahui oleh Eyang Adiwangsa saja. Setelahnya,
Arvin yang tadinya tengah mencari sang Adik, kini perhatiannya teralihkan oleh teriakan Eyang Adiwangsa. Dia pun menoleh dan menatap laki-laki berjubah itu dengan kening berkerut dan hati bertanya-tanya. Apa kiranya yang membuat Eyang Adiwangsa semarah itu? Tempat antara jamaah lain dan pasien terpisah oleh kain hitam yang ada di tengah-tengah mereka. Sehingga, Arvin tidak bisa melihat apa yang dilakukan oleh adiknya pada orang nomor satu di Padepokan Tapak Medi itu karena terhalang kain hitam yang menjadi sekat antara mereka. Itu juga yang membuat Arvin kesulitan mencari jejak adiknya. “Apa yang terjadi?” tanyanya pada orang yang duduk di sisi kanan dan kiri Arvin. Dia menoleh bergantian. “Nggak tau. Nggak lihat tadi,” jawab orang yang ada di sebelah kanan.“Tadi ada orang yang melempar tasbih tepat di wajah Eyang Adiwangsa. Sepertinya Eyang sangat marah dengan apa yang dilakukan pasiennya tadi,” jawab seseorang yang duduk di sebelah kirinya. Mata Arvin pun tertuju pada sosok la
Laki-laki betubuh gempal itu tampak memutar bola matanya dengan malas. Dia sudah malas menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Arvin.“Ada di ruangan khusus. Nanti akan ditangani lebih lanjut oleh Eyang Adiwangsa,” jawabnya.“Berarti yang melempar tasbih pada wajah Eyang Adiwangsa itu benar Farhan?” Arvin menatap Cipto serius. Mencari jawaban atas pertanyaan demi pertanyaan yang terus berputar memenuhi isi kepalanya.“Iya. Tadi memang Farhan yang melakukannya.”“Suara tamparan tadi? Apa ditunjukkan untuk Farhan, adikku?” Wajah Arvin terlihat semakin cemas.Cipto hanya menganggukkan kepalanya dengan sedikit malas.“Kenapa? Kenapa ditampar? Bukankah kalian tahu jika Farhan sedang tidak baik-baik saja. Semua itu pasti di luar kendali Farhan,” ujarnya merasa tidak terima jika adiknya diperlakukan secara kasar.Laki-laki bertubuh gempal itu membuang napas kasar. Lalu menatap Arvin sungguh-sungguh. “Apa yang dilakukan adik kamu itu sudah kelewatan, Vin. Dia sudah kurang ajar
Laki-laki bertubuh jangkung itu memejamkan kedua matanya sesaat. Berusaha mencerna apa yang sudah terjadi padanya. Namun, dia sendiri tak ingat apapun. Hal terakhir yang dia ingat adalah saat dia mempertanyakan kondisi adiknya pada Cipto. Setelah itu, dia tak ingat apapun lagi. Arvin membuka kedua matanya perlahan. Lalu menggeleng pelan. Ditatapnya wajah sang adik dalam-dalam. Ada kecemasan di sana, belum sampai Arvin menyelami lebih jauh, Farhan cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia sudah bisa menebak apa yang sedang kakaknya lakukan. Sudah menjadi kebiasaan Arvin jika tengah menginterogasi adiknya, pasti menatap matanya lekat-lekat. Seolah tengah mencari sebuah perasaan yang tak mungkin bisa disembunyikan di sana. “Farhan ..,” panggilnya serupa seruan angin lembut yang menyapu wajahnya. “Mas belum jawab pertanyaanku tadi,” sahut Farhan sedikit menoleh pada kakaknya. “Mas tadi sangat mengkhawatirkanmu. Bagaimana kondisimu?” tanyanya lagi. Dia sudah tahu apa yan
Tak sanggup lagi melihat apa yang ada di dalam ruangan itu, Arvin memilih membalikkan tubuhnya dan bersandar pada pintu sembari menormalkan degup jantungnya. Biar bagaimana pun, dia lelaki dewasa yang normal. Melihat adegan tak pantas yang ada di ruangan itu membuat sesuatu yang ada dalam dirinya bangkit.Setelah dirasa normal, dia pun langsung meninggalkan tempat itu dengan setengah berlari. Beruntung tidak ada yang melihatnya mengintai. Jika ada yang melihatnya, entah bagaimana dirinya saat ini.Dia tak menyangka jika Eyang Adiwangsa melakukan hal tercela seperti itu. Apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini? Padepokan macam apa ini sebenarnya? Hatinya masih terus bertanya-tanya hingga dia akhirnya sampai di depan pintu kamarnya.Dibukanya pintu itu perlahan. Kedua matanya kembali melebar saat dia tak menemukan raga adiknya yang sebelumnya masih terlelap di atas tempat tidur. Hatinya mendadak cemas. Dia takut terjadi sesuatu pada adiknya.“Farhan!” teriaknya sembari mengitari panda
Farhan tidak menyangka dengan pemikiran kakaknya. Dia memang berniat pergi dari sini, tapi tidak tahu caranya harus bagaimana.Dia juga sebenarnya sudah tidak tahan berada di sini, apalagi dengan cara Eyang Adiwangsa memperlakukannya juga teman-temannya yang lain. Mereka kerap kali disiksa oleh laki-laki yang selalu mengenakan jubah itu. Farhan tahu semua.Bahkan, pasein yang perempuan pun sering kali dijadikan budak nafsunya. Tentu saja pak tua itu memilih yang cantik juga kaya. Biar hartanya bisa dirampas dengan dalih untuk biaya terapi selama pengobatan di Padepokan Tapak Medi.Anehnya, keluarga hanya menyetujui tanpa mengorek apa yang sebenarnya terjadi. Padahal, banyak keganjalan yang terjadi di tempat tersebut yang memakai kedok padepokan pencak silat Tapak Medi. Tapi kenyataannya, banyak yang mereka sembunyikan selain melatih orang-orang pencak silat.Awalnya, Padepokan Tapak Medi memang hanya padepokan pencak silat biasa. Namun, karena kemampuan Eyang Adiwangsa yang mumpuni, y
“Kalian nggak dengar suara iqomah apa? Malah ngobrol di sini!” ujar Cipto sembari menatap keduanya dengan sedikit sinis. Karena dia mendengar apa yang tengah kakak beradik itu bicarakan. Meski tidak semua, paling tidak, dia mengerti ke mana arah pembicaraan mereka. Seketika itu Arvin dan Farhan menatap ke sekitar dan memang hanya tinggal mereka berdua yang masih ada di depan. Para jamaah sudah bersiap untuk salat Subuh pada tempatnya masing-masing. Kali ini, shaf antara laki-laki terpisah dengan perempuan. Baik pasien maupun yang menemani berbaur menjadi satu. Tidak seperti saat selepas ashar yang dipisah agar lebih mudah membedakan mana pasien dan keluarga yang menemani. “I-iya, Mas,” sahut Arvin yang langsung menarik ujung baju Farhan agar segera masuk ke dalam mushola dan bergabung dengan lainnya untuk salat subuh.Mereka berjalan melewati Cipto begitu saja. Membuat laki-laki bertubuh gempal itu berdecak kesal. “Sudah mulai berani rupanya kalian? Eyang harus tahu agar lebih hat
Tubuh lemah Farhan didorong begitu saja masuk ke dalam ruangan khusus terapi. Eyang Adiwangsa pun sudah menunggunya di sana. Senyum penuh kemenangan menyambut kehadiran Farhan.Laki-laki itu pun hanya diam dengan tatapan kosong. Farhan ada dalam pengaruh hipnotis yang dilakukan oleh salah satu anak buah Eyang Adiwangsa.“Keluar!” titah laki-laki berjubah itu sambil menatap kedua anak buahnya.Tanpa menjawab. Kedua anak buahnya itu menganggukkan kepalanya cepat. Lalu memutar tubuhnya dan keluar dari ruangan tersebut. Membiarkan Eyang Adiwangsa bersama dengan Farhan berdua saja.Mereka pun tidak peduli dengan apa yang akan dilakukan oleh Eyang Adiwangsa pada Farhan. Terpenting, tugasnya sudah selesai.Tatapan Eyang Adiwangsa mengelilingi tubuh Farhan. Senyumnya mengembang sempurna. Dia kini merasa menang karena bisa melemahkan orang-orang yang sudah mengetahui kebusukkannya.“Sekarang kamu sudah tahu apa yang aku lakukan saat ini, Farhan,” ujarnya sambil berjalan mengitari tubuh Farhan