Setelah percakapan dengan Cipto di telepon malam itu, Arvin pun akhirnya menyanggupi apa yang diperintahkan oleh Cipto. Dia akan datang menemui laki-laki itu jam sepuluh pagi di kaki Gunung Ungaran. Dia pun akhirnya merelakan bolos bekerja demi mengupayakan agar adiknya bisa hidup normal kembali.
Tanpa mengatakan tujuannya akan ke mana, Arvin membawa Farhan menemui laki-laki bertubuh gempal yang tak sengaja bertemu dengan Arvin di rumah salah satu rumah makan yang ada di sekitar rumah sakit seminggu yang lalu.Dengan mengendarai motornya, Arvin memacu motor matic-nya dengan kecepatan sedang. Mengingat jalur yang mereka tempuh memakan waktu hingga kurang lebih satu jam dengan jalur yang lika-liku karena tempat yang mereka tuju adalah sebuah rumah yang ada di lereng Gunung Ungaran, Semarang."Mas, kita mau ke mana sih?"Entah sudah keberapa kali Farhan melontarkan pertanyaan itu pada kakak laki-lakinya. Namun baru kali ini Arvin mejawab.Tak sampai lima belas menit, motor yang dikendarai Arvin bersama dengan Farhan berhenti di depan sebuah rumah yang dindingnya dicat dengan warna biru muda. Arvin memandangi rumah itu sesaat, halaman yang tak seberapa luas itu ditumbuhi berbagai macam tanaman sayur yang ditanam dalam media polybag. Terdapat juga beberapa tanaman buah strawbery yang sudah berwarna merah buahnya. Arvin pun terlebih dulu menghubungi Cipto, memberitahu laki-laki berubuh gempal itu jika dia telah sampai di depan rumah yang dimaksud oleh Cipto tadi melalui lokasi yang dikirimnya. "Aku sudah di depan rumah yang Mas Cipto tunjukkan tadi," katanya melalui sambungan telepon. ["Oke. Aku keluar sekarang,"] Dari jarak dua meter, Arvin bisa melihat jika pintu kayu rumah itu perlahan terbuka lebar. Dari baliknya keluar seorang laki-laki yang memiliki perut bak wanita hamil yang usia kehamilannya sudah memasuki tujuh bulan. "Itu orangnya, Mas? Teman Mas?" Telunjuk Fa
Cipto pun menjelaskan apa saja yang perlu dipersiapkan untuk bisa ke Padepokan Tapak Medi. Dia juga berusaha meyakinkan pada Arvin dan Farhan jika banyak pasien yang sembuh setelah berobat dan menjalani terapi di padepokan tersebut. Sejenak, kedua kakak adik itu saling menghargai. Saling menanyakan keputusan lewat mata. "Jangan khawatir. Aku kan kerja di sana. Jadi, kalau kalian memang berminat mau ke sana, kalian bisa datang sendiri ke Padepokan Tapak Medi." Cipto menarik napas sejenak. “Sudah tidak diragukan lagi kesaktian dari Eyang Adiwangsa. Orang-orang yang sudah menjalani terapi di sana dijamin sembuh,” katanya dengan sangat meyakinkan. “Padepokan itu memang ada di mana, Mas?” tanya Arvin membuka suara setelah beberapa saat terdiam."Ada di kaki Gunung Ungaran. Tidak jauh dari sini. Cuma memang letaknya agak jauh dari pemukiman. Ada di perbatasan hutan. Jadi, kalau kalian mau ke sana harus mendaki bukit kecil dulu selama tiga puluh menit," jelasnya. "Kecillah bagi kalian yang
Kata-kata atasannya itu masih terngiang-ngiang di telinga Arvin. Dia tidak menyangka jika atasan yang sudah begitu mempercayainya bisa memecatnya juga. Dia pikir, dengan dedikasinya di perusahaan tempatnya mengundi nasib selama hampir tujuh tahun itu bisa sedikit memberinya kesempatan atas sedikit kesalahan yang diperbuatnya. Namun, nyatanya, bagi sang Atasan, kesalahan yang dibuat Arvin justru merugikan perusahaan. Itu alasan yang membuat Arvin dipecat.Entah sudah berapa kali Arvin mengembuskan napas panjang dan berat. Dia terus memutar otak untuk bisa dapat pekerjaan lagi agar bisa membiayai hidupnya ke depan. Tatapan matanya lurus ke depan. Menyaksikan beberapa orang yang lalu lalang di hadapannya. Dia sendiri kini masih duduk termangu dia depan perusahaan tempatnya bekerja. Tepatnya di warung kopi yang ada di depan perusahaan tempatnya bekerja.Suara dering ponsel membuat Arvin mengerjapkan kedua matanya. Memaksa laki-laki berhidung bangir itu untuk memecah lamunannya. Dia mero
Sesaat mereka saling beradu pandang. Hingga akhirnya, Arvin masuk ke dalam kamar dan memutus pandangan mereka. Khawatir terjadi sesuatu terhadap sang Kakak, Farhan kembali menyusulnya meski pintu kamar sudah terlebih dulu ditutup oleh Arvin. Beruntung tidak dikunci. Dia duduk di tepi tempat tidur, sedangkan Arvin berdiri di dekat jendela. Disulutnya sebatang rokok yang sudah lama tak disesapnya. Farhan mengembuskan napas panjang. Tidak biasanya kakaknya seperti ini. Bahkan, yang dia tahu, Arvin telah memutuskan berhenti merokok sejak satu tahun yang lalu. Tapi kenapa sekarang benda itu kembali disesapnya? "Ada apa sebenarnya, Mas? Cobalah cerita sama aku," pinta Farhan sambil terus menatap punggung kakaknya. Cukup lama Arvin tak menyahut, hatinya masih terlalu kacau. Sedangkan pikirannya berkelana, menjajahi berbagai tempat. Di sisi lain, dia memikirkan bagaimana nasib adiknya, apakah pengobatan kali ini berhasil atau tidak? Di sisi lain, dia juga bingung memikirkan harus men
Tanpa pikir panjang lagi, Arvin segera menceburkan diri ke sungai. Dia berusaha mengejar adiknya yang sudah terbawa arus cukup deras. Sedangkan kedua tangan Farhan masih terlihat melambai-lambai. Bukan hal yang mudah bagi Arvin. Terlebih, arusnya memang cukup kuat dan Arvin harus berenang dengan tenang agar tidak ikut terbawa arus. Dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk bisa menggapai tubuh Farhan yang tersangkut pada tiang penyangga jembatan.Beberapa orang yang melihatnya pun bergegas membantu Arvin. Tiga orang nekat turun ke sungai demi bisa mengambil tubuh Farhan yang kini tak terlihat. Namun, masih tersangkut pada tiang penyangga jembatan. "Mas, naik saja! Arusnya deras sekali!" teriak salah satu dari mereka sembari melemparkan tali yang sudah diikat dengan kuat pada salah satu pohon yang ada di pinggir sungai. "Adik saya tenggelam, Pak. Dia tidak bisa berenang!" sahut Arvin sambil mengusap wajahnya yang basah. "Iya. Masnya pegangan pada tali itu. Nanti kita bantu. Biar tida
Keduanya pun menoleh dan saling melempar pandang. Merasa ada sesuatu yang janggal. Namun, entah apa. Hingga lamunan mereka terpecah saat Kang Sukir kembali mengatakan sesuatu. "Saya bawakan kalian senter, takutnya terjebak malam di sana. Syukur-syukur sih sebelum adzan maghrib berkumandang, kalian sudah sampai di padepokan dan bertemu dengan Mas Cipto," katanya sambil memberikan dua senter berukuran kecil pada Arvin dan Farhan. Namun, saat dicoba, cahaya yang keluar sangatlah terang. "Iya, Kang. Terima kasih. Kalau begitu, kita langsung berangkat sekarang saja sebelum keburu maghrib," ujar Arvin. Laki-laki paruh baya itu mengangguk. "Hati-hati dan ikuti petunjuk yang ada di peta saja. Karena banyak percabangan di sana." Dia kembali mengingatkan. Kali ini giliran Arvin dan Farhan yang mengangguk. Kemudian mereka pamit untuk memulai pendakian. Mereka memulai pendakian dengan jalur tanah campur batu dengan jalur yang lumayan landai. Sehingga tampak mudah untuk didaki. Sedangkan ka
Seketika itu mereka bisa bernapas lega saat seseorang yang menepuk bahunya itu ternyata adalah orang yang mereka kenal, Cipto. “Kalian itu kenapa sih? Orang dipanggil-panggil dari tadi kok malah kayak orang ketakutan?” Laki-laki bertubuh gempal itu menatap kakak adik itu dengan kening berkerut. “Duh, Mas. Aku kira sampean itu hantu,” sahut Arvin sambil mengembuskan napas lega. Karena ternyata sosok yang mereka takuti itu hanya manusia, bukan hantu seperti yang ada dipikirannya. “Iya lho, Mas. Bikin kaget saja.” Farhan menimpali. “Apalagi ini suasana kan gelap banget,” imbuhnya.Cipto terkekeh mendengar celotehan mereka. “Ya sudah, ayo masuk! Ini sudah adzan Maghrib. Bahaya kalau masih berkeliaran di luar. Banyak yang mengintai,” ujarnya menatap keduanya serius. Kedua kakak adik itu saling melempar pandang. Lalu mengangguk dan mengikuti langkah Cipto yang masuk ke dalam bangunan yang lebih mirip dengan bangunan kerajaan pada zaman dulu.Mata mereka terus mengamati sekitar, memperha
Cipto pun mengamankan barang-barang berharga yang dibawa Arvin dan Farhan di tempat yang aman. Senyumnya terkembang sempurna saat apa yang sudah dia rencanakan akhirnya berhasil. “Sudah kamu simpan barang mereka, Cipto?” tanya Eyang Adiwangsa menatap Cipto yang kembali ke ruang di mana Arvin dan Farhan masih duduk di sana. “Sudah, Eyang. Aman pokoknya,” sahutnya dengan senyum merekah. “Bagus. Sekarang antar Arvin dan Farhan ini ke kamarnya. Biar mereka istirahat. Besok kalau baru kita mulai terapinya, ya,” kata Eyang Adiwangsa menatap kedua kakak adik itu dengan senyum tipis. “Baik, Eyang,” sahut Arvin dan Farhan hamper bersamaan. “Juga untuk administrasi, selesaikan besok. Karena pengurusnya sudah pulang tadi jam lima,” imbuh laki-laki yang berpenampilan seperti syeikh itu. “Baik, Eyang. Kami nurut saja.” Arvin menimpali. Sedangkan Farhan hanya menganggukkan kepalanya. “Ya sudah. Antar mereka ke kamarnya, Cipto.” Cipto menganggukkan kepalanya. Lalu mengajak Arvin dan Farhan ke