Hayooo kira-kira siapa?
Seketika itu mereka bisa bernapas lega saat seseorang yang menepuk bahunya itu ternyata adalah orang yang mereka kenal, Cipto. “Kalian itu kenapa sih? Orang dipanggil-panggil dari tadi kok malah kayak orang ketakutan?” Laki-laki bertubuh gempal itu menatap kakak adik itu dengan kening berkerut. “Duh, Mas. Aku kira sampean itu hantu,” sahut Arvin sambil mengembuskan napas lega. Karena ternyata sosok yang mereka takuti itu hanya manusia, bukan hantu seperti yang ada dipikirannya. “Iya lho, Mas. Bikin kaget saja.” Farhan menimpali. “Apalagi ini suasana kan gelap banget,” imbuhnya.Cipto terkekeh mendengar celotehan mereka. “Ya sudah, ayo masuk! Ini sudah adzan Maghrib. Bahaya kalau masih berkeliaran di luar. Banyak yang mengintai,” ujarnya menatap keduanya serius. Kedua kakak adik itu saling melempar pandang. Lalu mengangguk dan mengikuti langkah Cipto yang masuk ke dalam bangunan yang lebih mirip dengan bangunan kerajaan pada zaman dulu.Mata mereka terus mengamati sekitar, memperha
Cipto pun mengamankan barang-barang berharga yang dibawa Arvin dan Farhan di tempat yang aman. Senyumnya terkembang sempurna saat apa yang sudah dia rencanakan akhirnya berhasil. “Sudah kamu simpan barang mereka, Cipto?” tanya Eyang Adiwangsa menatap Cipto yang kembali ke ruang di mana Arvin dan Farhan masih duduk di sana. “Sudah, Eyang. Aman pokoknya,” sahutnya dengan senyum merekah. “Bagus. Sekarang antar Arvin dan Farhan ini ke kamarnya. Biar mereka istirahat. Besok kalau baru kita mulai terapinya, ya,” kata Eyang Adiwangsa menatap kedua kakak adik itu dengan senyum tipis. “Baik, Eyang,” sahut Arvin dan Farhan hamper bersamaan. “Juga untuk administrasi, selesaikan besok. Karena pengurusnya sudah pulang tadi jam lima,” imbuh laki-laki yang berpenampilan seperti syeikh itu. “Baik, Eyang. Kami nurut saja.” Arvin menimpali. Sedangkan Farhan hanya menganggukkan kepalanya. “Ya sudah. Antar mereka ke kamarnya, Cipto.” Cipto menganggukkan kepalanya. Lalu mengajak Arvin dan Farhan ke
Kedua mata Arvin mengerjap perlahan. Dia berusaha menajamkan indera pendengarannya saat gendang telinganya menangkap suara rintihan seseorang. Kesadarannya yang belum sempurna kembali membuat Arvin belum menyadari apa yang terjadi pada adiknya. Dia tolehkan kepalanya ke arah kiri, seketika itu kedua matanya membelalak dengan sempurna saat menyadari jika suara rintihan itu berasal dari mulut adiknya. Saking lelahnya, dia bahkan sempat lupa jika dirinya kini berada di Padepokan Tapak Medi. Kelelahan membuat Arvin tidur begitu nyenyak hingga dia tidak menyadari apa yang terjadi di sekitarnya. Arvin bangun terduduk, tangannya terulur dan menyentuh bahu sang Adik. Dia goyangkan tubuh yang kini sedikit terlihat kurus dari biasanya. Sejak teror itu datang dan sering menghantui Farhan, nafsu makan Farhan menurun. Makannya sering tak habis dan asal masuk mulut saja. “Farhan, bangun, Han! Kamu kenapa?” Arvin menatap adiknya dengan cemas. Mulutnya masih mengeluarkan rintihan yang tertahan.
Arvin dan Farhan keluar bersamaan dari dalam kamar. Mereka menatap Cipto yang masih berdiri di depan pintu kamarnya, rupanya sedang menanti kakak beradik itu keluar.“Ayo cepat! Farhan sudah ditunggu sama Eyang Adiwangsa di tempat khusus pensucian. Kamu akan dimandikan sebagai tahap awal terapi pengobatan untuk menghilangkan gangguan gaib yang ada di tubuh kamu,” papar Cipto menatap Farhan serius.Farhan mengernyitkan keningnya. Lalu menoleh pada kakaknya yang juga memberikan reaksi yang sama. Sesaat mereka saling melempar pandangan dengan tatapan bingung. Hingga interupsi dari Cipto membuat keduanya memutuskan kontak mata.“Ayo! Kita nggak punya banyak waktu. Kamu sudah ditunggu dari tadi!” Cipto menarik tangan Farhan agar mengikuti langkahnya menuju tempat yang sudah disediakan oleh Eyang Adiwangsa yang sering disebut dengan tempat penyucian.Tempat yang biasanya digunakan Eyang Adiwangsa untuk memandikan pasiennya yang baru datang sebagai awal terapi pengobatan.Eyang Adiwangsa dik
Usai dimandikan dengan air bunga, Farhan disuruh kembali ke kamarnya untuk mengganti baju dan bersiap untuk salat subuh di mushola. Dia pun kembali ke kamar dengan tubuh yang gemetaran. Karena saking dinginnya. “Astaga, Farhan. Bibir kamu sampai biru begitu!” pekik Arvin saat melihat adiknya baru saja masuk ke dalam kamar. Dia menatap adiknya dengan cemas. Karena bibir Farhan sampai berwarna biru karena kedinginan. “Dingin banget, Mas,” keluhnya sambil merapatkan tubuhnya yang terasa menggigil. “Sini Mas pakaikan minyak kayu putih biar badan kamu hangat.” Arvin mendudukkan tubuh adiknya di atas tempat tidur setelah sebelumnya memberikannya handuk untuk mengeringkan sisa air yang masih menempel di tubuh Farhan. Dengan telaten, Arvin mengusapkan minyak kayu putih di area dada hingga perut. Kemudian memutar hingga punggungnya agar tubuh Farhan tidak lagi kedinginan karena efek minyak kayu putih yang memberi kehangatan. Setelahnya, dia memakaikan baju panjang dan tebal di tubuh adikny
Merasa kesal dengan pertanyaan-pertanyaan yang Arvin lontarkan, Cipto hanya bisa menahan geram. Sebab, mereka adalah ladang uang baginya. Jadi, dia harus sabra dalam menghadapi pasien barunya itu agar tetap bertahan di Padepokan Tapak Medi.Cipto mengepalkan kedua telapak tangannya kuat-kuat demi meredam emosinya agar tidak mencuat ke permukaan. Lalu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan agar emosi yang hampir meluap itu terbuang bersama aliran napas.Dan cara itu selalu berhasil. Jika tidak, maka semua rencananya akan hancur berantakan.“Adik kamu tidak akan kenapa-kenapa. Kamu santai saja. Namanya juga terapi. Aku yakin jika Eyang Adiwangsa pasti bisa mengatasinya. Apalagi, bagi Eyang, apa yang terjadi pada adik kamu itu masalah kecil. Karena ada yang lebih parah dari adikmu ada pulang dalam keadaan sembuh,” papar Cipto berusaha menyakinkan Arvin jika adiknya akan baik-baik saja. Bahkan dia memberikan beberapa testimoni agar Arvin semakin percaya.“Tapi, Mas, aku-“
Farhan mengerang kesakitan. Namun, tatapan matanya malah semakin tajam ke arah Eyang Adiwangsa yang tengah mencengkeram lehernya dengan sedikit kuat. Ternyata, laki-laki berjubah itu gelap mata, dia tidak terima diperlakukan kurang ajar oleh orang yang sedang dia tolong. Lupa jika memang itu bukanlah jiwa asli pasiennya.“Lebih baik kamu mati saja!” geramnya sembari terus menekan leher Farhan. Sedang tubuh Farhan sudah terjebak oleh dinding bangunan tersebut.Tidak semua bangunan yang ada di Padepokan Tapak Medi itu terbuat dari anyaman bambu berbentuk panggok. Ada juga bangunan permanen yang biasanya digunakan untuk ruangan khusus bagi Eyang Adiwangsa atau ruangan yang dipakai untuk ritual dan memang tidak boleh diganggu oleh siapapun. Dan, ruangan itu dibuat kedap suara agar orang yang ada di dalam tetap fokus pada ritual yang tengah dijalankannya.Seketika itu tubuh Eyang Adiwangsa terpental ke belakang hingga punggungnya membentur dinding dan jatuh ke lantai saat tubuhnya didorong
Pikiran Arvin sangat tidak tenang. Ada banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya saat ini. Namun, dia terus mengarahkan kakinya pada tempat khusus terapi, di mana dia terakhir kalinya meninggalkan adiknya sendirian menjalani terapi pengobatan.Sementara yang dia ingat terakhir kalinya, dia sangat mencemaskan Farhan karena terdengar sedikit suara jeritan Farhan dari dalam ruangan tersebut.Meski ruangan khusus terapi itu dibuat khusus agar kedap suara, tapi ruangan tersebut tidak mampu meredam jeritan Farhan yang sangat keras itu. Hingga meski kedap suara, masih terdengar sedikit suara Farhan dari luar dan itu membuat Arvin cemas. Takut terjadi apa-apa pada adiknya.“Farhan! Eyang!”Tangan Arvin langsung mengetuk pintu tersebut. Penasaran karena tak kunjung ada jawaban, dia pun menempelkan telinganya pada daun pintu yang tetap dalam kondisi terkunci itu.Senyap. Dia tidak bisa mendengar apapun dari sana. Padahal, sebelumnya dia bisa mendengar teriakan Farhan dari dalam sana, meski s