Arvin dan Farhan keluar bersamaan dari dalam kamar. Mereka menatap Cipto yang masih berdiri di depan pintu kamarnya, rupanya sedang menanti kakak beradik itu keluar.“Ayo cepat! Farhan sudah ditunggu sama Eyang Adiwangsa di tempat khusus pensucian. Kamu akan dimandikan sebagai tahap awal terapi pengobatan untuk menghilangkan gangguan gaib yang ada di tubuh kamu,” papar Cipto menatap Farhan serius.Farhan mengernyitkan keningnya. Lalu menoleh pada kakaknya yang juga memberikan reaksi yang sama. Sesaat mereka saling melempar pandangan dengan tatapan bingung. Hingga interupsi dari Cipto membuat keduanya memutuskan kontak mata.“Ayo! Kita nggak punya banyak waktu. Kamu sudah ditunggu dari tadi!” Cipto menarik tangan Farhan agar mengikuti langkahnya menuju tempat yang sudah disediakan oleh Eyang Adiwangsa yang sering disebut dengan tempat penyucian.Tempat yang biasanya digunakan Eyang Adiwangsa untuk memandikan pasiennya yang baru datang sebagai awal terapi pengobatan.Eyang Adiwangsa dik
Usai dimandikan dengan air bunga, Farhan disuruh kembali ke kamarnya untuk mengganti baju dan bersiap untuk salat subuh di mushola. Dia pun kembali ke kamar dengan tubuh yang gemetaran. Karena saking dinginnya. “Astaga, Farhan. Bibir kamu sampai biru begitu!” pekik Arvin saat melihat adiknya baru saja masuk ke dalam kamar. Dia menatap adiknya dengan cemas. Karena bibir Farhan sampai berwarna biru karena kedinginan. “Dingin banget, Mas,” keluhnya sambil merapatkan tubuhnya yang terasa menggigil. “Sini Mas pakaikan minyak kayu putih biar badan kamu hangat.” Arvin mendudukkan tubuh adiknya di atas tempat tidur setelah sebelumnya memberikannya handuk untuk mengeringkan sisa air yang masih menempel di tubuh Farhan. Dengan telaten, Arvin mengusapkan minyak kayu putih di area dada hingga perut. Kemudian memutar hingga punggungnya agar tubuh Farhan tidak lagi kedinginan karena efek minyak kayu putih yang memberi kehangatan. Setelahnya, dia memakaikan baju panjang dan tebal di tubuh adikny
Merasa kesal dengan pertanyaan-pertanyaan yang Arvin lontarkan, Cipto hanya bisa menahan geram. Sebab, mereka adalah ladang uang baginya. Jadi, dia harus sabra dalam menghadapi pasien barunya itu agar tetap bertahan di Padepokan Tapak Medi.Cipto mengepalkan kedua telapak tangannya kuat-kuat demi meredam emosinya agar tidak mencuat ke permukaan. Lalu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan agar emosi yang hampir meluap itu terbuang bersama aliran napas.Dan cara itu selalu berhasil. Jika tidak, maka semua rencananya akan hancur berantakan.“Adik kamu tidak akan kenapa-kenapa. Kamu santai saja. Namanya juga terapi. Aku yakin jika Eyang Adiwangsa pasti bisa mengatasinya. Apalagi, bagi Eyang, apa yang terjadi pada adik kamu itu masalah kecil. Karena ada yang lebih parah dari adikmu ada pulang dalam keadaan sembuh,” papar Cipto berusaha menyakinkan Arvin jika adiknya akan baik-baik saja. Bahkan dia memberikan beberapa testimoni agar Arvin semakin percaya.“Tapi, Mas, aku-“
Farhan mengerang kesakitan. Namun, tatapan matanya malah semakin tajam ke arah Eyang Adiwangsa yang tengah mencengkeram lehernya dengan sedikit kuat. Ternyata, laki-laki berjubah itu gelap mata, dia tidak terima diperlakukan kurang ajar oleh orang yang sedang dia tolong. Lupa jika memang itu bukanlah jiwa asli pasiennya.“Lebih baik kamu mati saja!” geramnya sembari terus menekan leher Farhan. Sedang tubuh Farhan sudah terjebak oleh dinding bangunan tersebut.Tidak semua bangunan yang ada di Padepokan Tapak Medi itu terbuat dari anyaman bambu berbentuk panggok. Ada juga bangunan permanen yang biasanya digunakan untuk ruangan khusus bagi Eyang Adiwangsa atau ruangan yang dipakai untuk ritual dan memang tidak boleh diganggu oleh siapapun. Dan, ruangan itu dibuat kedap suara agar orang yang ada di dalam tetap fokus pada ritual yang tengah dijalankannya.Seketika itu tubuh Eyang Adiwangsa terpental ke belakang hingga punggungnya membentur dinding dan jatuh ke lantai saat tubuhnya didorong
Pikiran Arvin sangat tidak tenang. Ada banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya saat ini. Namun, dia terus mengarahkan kakinya pada tempat khusus terapi, di mana dia terakhir kalinya meninggalkan adiknya sendirian menjalani terapi pengobatan.Sementara yang dia ingat terakhir kalinya, dia sangat mencemaskan Farhan karena terdengar sedikit suara jeritan Farhan dari dalam ruangan tersebut.Meski ruangan khusus terapi itu dibuat khusus agar kedap suara, tapi ruangan tersebut tidak mampu meredam jeritan Farhan yang sangat keras itu. Hingga meski kedap suara, masih terdengar sedikit suara Farhan dari luar dan itu membuat Arvin cemas. Takut terjadi apa-apa pada adiknya.“Farhan! Eyang!”Tangan Arvin langsung mengetuk pintu tersebut. Penasaran karena tak kunjung ada jawaban, dia pun menempelkan telinganya pada daun pintu yang tetap dalam kondisi terkunci itu.Senyap. Dia tidak bisa mendengar apapun dari sana. Padahal, sebelumnya dia bisa mendengar teriakan Farhan dari dalam sana, meski s
Keempat laki-laki itu saling menoleh satu sama lain sebagai isyarat meminta persetujuan. Kemudian salah satu dari mereka menganggukkan kepalanya.“Silakan duduk,” katanya dengan senyum ramah.Membuat Arvin bisa mengembuskan napas lega. Karena awalnya dia piker, dia tidak akan diberi tempat oleh mereka. Tapi, nyatanya salah.“Terima kasih,” jawabnya membalas dengan senyuman. Lalu duduk bersila di samping seorang laki-laki yang rambutnya panjang sebahu serta memiliki otot tubuh yang proposional. Berbanding terbalik dengan dirinya yang hanya tulang berbalut kulit. Hanya ada sedikit daging dalam tubuhnya. Selebihnya tulang.Arvin sendiri memiliki postur yang tinggi, yaitu serratus delapan puluh sentimeter. Sedangkan berat badannya di bawah lima puluh kilo. Sehingga dia tergolong kurus, meski tidak kurus-kurus banget.“Mas baru ya di sini?” tanya laki-laki berambut gondrong yang diikat satu ke belakang.“Iya, Mas. Baru masuk tadi malam,” jawab Arvin menatap laki-laki itu. Mencoba bersikap
Kedua mata Arvin menatap wajah Farhan lekat-lekat. Dia masih menunggu apa yang ingin diceritakan adiknya soal terapi yang baru saja dijalaninya.“Han, apa yang terjadi sebenarnya? Cerita sama Mas!” tuntut Arvin menatap adiknya serius.Farhan kembali mengembuskan napas panjang. Lalu menggeleng.“Entah, Mas. Aku saja bingung.”“Ceritakan dari awal kamu masuk secara runtut!” titahnya.Farhan mengangkat wajahnya. Tatapannya dia arahkan pada jendela kecil yang hanya tertutup kain. Dia pun mulai berkisah.“Jadi, tadi kan aku masuk ke ruangan gitu. Terus disuruh duduk sama Eyang Adiwangsa. Dia membisikkan sesuatu yang aku sendiri juga nggak tahu artinya apa. Eyang ngomong dalam Bahasa jawa. Tapi nggak ngerti artinya apa karena aku juga nggak pernah dengar.”Arvin mengangguk dan menyimak cerita Farhan dengan serius. “Lalu?”“Lalu, setelah itu … aku m
Sudah tiga hari Farhan dan Arvin tinggal di Padepokan Tapak Medi. Mereka pun mulai terbiasa menjalani aktivitas yang ada di sana dengan patuh dan tanpa bantahan lagi. Arvin pun nurut saja saat dia tidak pernah diizinkan melihat adiknya diterapi di ruangan khusus. Semua itu agar Eyang Adiwangsa bisa fokus mengobati pasiennya, begitu alasan yang diberikan laki-laki berusia lima puluhan itu. Arvin pun percaya saja karena menurutnya juga masih masuk akal. Seperti sore ini, selepas salat ashar, para jamaah masih duduk rapi di tempatnya mereka melaksanakan salat tadi. Sama dengan dua hari yang lalu, Eyang Adiwangsa melakukan ritual dengan mengobati pasiennya secara bersamaan. Terkadang, ada terapi yang dijalankan dengan privat ada juga yang dijalankan secara bersamaan. Semua itu ada waktu-waktunya tersendiri. Tangan Eyang Adiwangsa menylut kemenyan yang ada di hadapannya sembari mulutnya komat-kamit membaca sebuah mantra yang artinya hanya diketahui oleh Eyang Adiwangsa saja. Setelahnya,